24 | The Unspoken Words [Part 1]

Langit Kota New York telah menggelap secara keseluruhan. Sang raja siang telah beristirahat, digantikan oleh kehadiran rembulan yang menghiasi malam. Tadashi Reyes memarkirkan kuda besinya di garasi rumah, kemudian turun dan berlari kecil ke dalam rumah. Ia membuka pintu dan bergegas menuju ruang makan sambil menggendong ranselnya. Di sana, kedua orang tua dan kakeknya sedang duduk menikmati hidangan di atas meja. Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit, pemuda beretnik asia-kaukasia itu hampir saja melewatkan makan malam.

"Maaf, aku terlambat," ucap Tadashi sambil berjalan menuju kursinya

"Tadashi, kau terlambat lagi!" protes sang ibu.

"Temanku yang bekerja sambilan di restoran Tiongkok mengajakku untuk menikmati kudapan di sana. Tanpa sadar aku mengobrol terlalu lama dan terlambat pulang." Tadashi melepas ransel, menarik kursi makan, dan mendaratkan bokongnya di sana. "Tapi mungkin masih ada ruang di lambungku untuk masakan buatan Mom," ucapnya sambil tersenyum.

"Aaaw ...." Mendengarnya, Kagumi menyunggingkan senyum. Wanita itu mengambil satu potong puding cokelat dan menuangkannya ke mangkuk kecil milik Tadashi. "Selalu ada ruang kecil untuk dessert, 'kan?"

"Oh no, no, no, aku ingin mac and cheese saja. Aku tidak ingin makan terlalu banyak." Tadashi menggeleng, kemudian mengambil sendiri sekitar satu pertiga porsi dan menuangkannya ke dalam mangkuk.

"Oke, mungkin kau ingin makan mac and cheese terlebih dahulu sebelum—"

Dengan cepat Tadashi menggeleng dan menolak tawaran ibunya. "Aku sedang tidak nafsu untuk memakan sesuatu yang manis. It's okay, Mom."

Kagumi mengangguk pelan. Mendadak, seisi ruang makan diliputi kecanggungan, begitu pula dengan Tadashi yang menikmati mac and cheese dalam diam tanpa memulai percakapan. Wanita paruh baya itu melirik suami dan ayahnya secara bergantian.

"Apa ada hal yang mengganggu pikiranmu, Tadashi?" tanya Dakota.

Tadashi mendongak sambil mengernyit. "Apa maksudmu, Grandpa?"

"Kau tidak berselera menikmati puding cokelat yang dibuat ibumu, sedangkan kau tidak pernah melewatkan makan malam tanpa dessert," jawab Dakota, "oh come on! Kau cucuku dan sudah bertahun-tahun aku makan malam di meja yang sama denganmu."

Tadashi bungkam. Melihat respons pemuda itu, Kagumi dan Andrian lagi-lagi bertatapan. Saat itulah keduanya menyadari ada yang salah dengan putra semata wayangnya.

"Oke, jadi apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya Kagumi.

"I'm not sure. Sebenarnya ini hanya masalah kecil ...."

"It's okay, kau bisa menceritakannya pada kami." Andrian menimpali.

Tadashi meletakkan sendok dan garpunya di atas meja, kemudian bergeming untuk beberapa saat. Di bawah meja, ia memainkan kuku-kuku jari, pertanda dirinya tidak mampu lagi menahan kegelisahannya. Pemuda itu menimbang-nimbang, apakah ia harus menceritakan kegundahannya pada kedua orang tua dan kakeknya? Namun, itu akan lebih baik daripada memendamnya sendirian, 'kan?

"Aku telah mempertimbangkan satu jurusan kuliah yang bisa kuambil." Tadashi memulai ceritanya.

Mendengarnya, rona wajah Kagumi mendadak cerah. "Aaaw ... Sweetheart. Itu hal yang bagus, 'kan?"

"Jadi, jurusan apa yang akan kau ambil?" Dakota bertanya lagi.

"Jurusan Seni."

"Ah, sepertiku?" tanya Andrian.

Tadashi menjawab dengan anggukan. "Tapi ... aku masih ragu apakah ini pilihan yang tepat atau bukan. Yeah, mungkin menggambar adalah hobi yang kutekuni beberapa tahun belakangan ini. Namun, aku takut kecintaanku terhadap seni akan memudar ketika sudah mencicipi kerasnya dunia pekerjaan."

Dakota mendesah pelan. "Ah, anak muda. Selalu mengkhawatirkan masa depan yang belum pasti terjadi."

"Itu hal yang logis! Aku memikirkannya karena aku peduli pada masa depanku!" cicit Tadashi.

Dakota menaikkan salah satu alisnya. "Tapi kau akan menyiksa dirimu sendiri dengan terlalu merisaukan masa depan yang belum terjadi."

Rahang Tadashi mengeras. Perkataan sang kakek ada benarnya, tetapi ia merasa kesal karena Dakota tidak paham dengan apa yang dirasakannya. Menurutnya, sudah menjadi hal yang wajar jika seseorang merisaukan masa depannya, apalagi bagi seorang remaja yang akan beranjak dewasa sepertinya.

"Oke, oke." Andrian berusaha mencairkan ketegangan. "Tapi kakekmu ada benarnya, Tadashi. Terlalu merisaukan masa depan akan membuatmu berdiam diri di tempat dan takut untuk melangkah."

"Aku bersikap seperti ini karena tidak mau mengalami hal yang sama sepertimu, Dad," ujar Tadashi, berusaha untuk tidak meninggikan suara.

Andrian mengernyit. "Me?"

"Itu yang terjadi padamu selama ini, 'kan?" tanya Tadashi, masih menatap intens sepasan netra hazel milik sang ayah.

Andrian menggeleng cepat, alisnya bertaut. "Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan."

Tadashi membuka mulutnya beberapa kali, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari dalam sana. Perasaan itu telah terpendam sangat lama, persis seperti bom yang sewaktu-waktu akan meledak. Rasanya ingin sekali mencurahkan isi hatinya pada sang ayah, menceritakan keluh kesahnya ketika Andrian memutuskan untuk tidak pernah lagi menyusun puzzle dengannya. Namun, Tadashi tidak pernah bisa melakukannya.

Kagumi meletakkan segelas air mineral di hadapan Tadashi, kemudian mengelus pundak pemuda itu. "Tenangkan dirimu terlebih dahulu. Take a deep breath," bisiknya.

Tadashi mengangguk cepat. Pandangannya memburam akibat air mata, dengan cepat ia mengedip beberapa kali, berusaha sekuat tenaga menahan tangis. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu menarik napas dalam-dalam, meraih segelas air mineral yang telah tersedia di hadapannya, kemudian meneguknya sekaligus.

Setelah Tadashi terlihat lebih tenang, barulah Andrian bertanya, "Bisakah kau jelaskan padaku apa maksud perkataanmu tadi, Nak?"

"Ingat hari-hari di mana kita terbiasa menghabiskan waktu bersama setelah makan malam? Ketika Dad membeli banyak puzzle dan menyusunnya bersamaku?" Tadashi menjeda perkataannya. "Itu adalah salah satu momen yang paling membahagiakan dalam hidupku.. Namun, semakin aku beranjak dewasa, aku ... mulai merasa kehilanganmu, Dad."

Mendengar kejujuran putra semata wayangnya, Andrian terkejut bukan main. Ia menoleh Kagumi dan Dakota bergantian, pada akhirnya kembali ke Tadashi. Pria berambut pirang itu mengisyaratkan sang anak itu untuk melanjutkan perkataannya.

"Lalu aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Mom. Ketika kita tidak pernah lagi menghabiskan waktu bersama, Mom menanyakan alasannya, dan kau menjawab bahwa kau sudah cukup jenuh dengan pekerjaanmu, sehingga tidak memiliki waktu untuk menyusun puzzle bersamaku."

"Tadashi, itu semua terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Mengapa kau baru mengatakannya sekarang?" tanya Andrian.

Tadashi menggeleng. "I don't know. Aku tidak pernah memiliki keberanian untuk mengatakannya."

Kagumi turut merasakan apa yang dirasakan putranya. Untuk membuat Tadashi tenang, wanita itu mengelus lembut pucuk kepala pemuda itu.

"Aku benar-benar benci kala itu. Di satu sisi, tentu aku merasa sedih telah kehilanganmu, tetapi melihat wajah letihmu setiap pulang kerja, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun aku menunggu sampai malam sekali pun, kau selalu menekuk wajahmu, seolah-olah kau tidak ingin diajak bicara." Tadashi menyelesaikan ucapannya. "Dan saat itulah aku berjanji tidak akan mengorbankan keluargaku demi pekerjaan, karena aku tahu bagaimana rasanya ...."

Mendengarnya, seolah-olah ribuan anak panah menghunjam jantung pria paruh baya berambut pirang di seberang Tadashi. Lidahnya kelu, dirinya memiliki banyak kata yang ingin diucapkan, tetapi tidak ada satu kata pun yang lolos. Ia melirik sang istri yang terlihat sama terlukanya.

"Did your Mom know about this?" Alih-alih menenangkan putranya, Andrian malah bertanya.

Kagumi menggeleng pelan. "Aku tidak tahu apa-apa hingga hari ini ...."

Keheningan yang panjang meliputi ruang makan keluarga Reyes. Tidak ada yang bicara, hanya terdengar detak jarum jam di dinding. Tadashi merasa bersalah telah membuat makan malam kali ini menjadi canggung. Namun, jika dibandingkan Tadashi, Andrian lebih merasa bersalah lagi.

Dakota beranjak dari bangkunya, menghasilkan bunyi decitan halus dari kaki kursi dan lantai yang beradu. Atensi ketiganya kini teralihkan pada pria tua itu. Dakota melangkah menghampiri Tadashi dan mengelus lembut bahu pemuda itu. "How about we continue this tomorrow? It's getting too late," ujarnya.

Tadashi mengangguk. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu beranjak dari bangkunya, kemudian melangkah menuju kamarnya di lantai dua.

"Aku akan mengantarmu." Kagumi buru-buru menyejajarkan langkahnya dengan Tadashi.

"Tadashi?"

Mendengar sang ayah memanggilnya, Tadashi menoleh, menunggu pria itu mengatakan sesuatu. Alih-alih mengutarakan perasaannya, pria paruh baya berambut pirang itu menggeleng cepat. "Nothing. Sleep well."

Tadashi tersenyum simpul dan mengangguk, kemudian memutar tubuh dan mulai melangkahkan kedua tungkainya menaiki anak-anak tangga, diikuti oleh Kagumi.

*****

Setelah makan malam yang canggung itu berakhir, Tadashi tidak bisa tidur sama sekali. Ia merutuki diri sendiri. Memang, hatinya menjadi sedikit lega setelah mengungkapkan keluh kesahnya, tetapi ia juga tidak kuasa melihat ekspresi terpukul sang ayah. Pemuda itu mendengkus, menarik selimut hingga sepenuhnya menutupi wajah. Sudah bisa dipastikan hubungannya dengan sang ayah tidak akan sama lagi sejak malam ini.

Dirinya dikejutkan oleh suara ketukan halus. "Tadashi, kau sudah tidur?" Terdengar suara Dakota dari balik pintu kamar.

Dengan cepat Tadashi menyibakkan selimut dan berteriak, "Come in!"

Dakota membuka pintu perlahan, menghasilkan suara decitan halus. Pria tua yang usianya kini telah menginjak tujuh puluh tahun itu melangkahkan tungkainya menuju ranjang di mana cucunya berbaring, kemudian mendaratkan bokong di sisi matras.

"I'm sorry, Grandpa," cicit Tadashi, "karenaku, makan malam tadi jadi canggung."

Mendengarnya, Dakota mendesah pelan dan tersenyum tipis. "Tadi itu bukan salahmu. We're family. Sudah sewajarnya kita saling berkata jujur, 'kan?"

"Apakah Dad akan baik-baik saja? Aku benar-benar tidak ingin membebaninya."

Dakota mengelus pucuk kepala cucunya. "Andrian sudah dewasa. Aku yakin ia bisa mengatasinya dengan baik, yang terpenting kau sudah mengatakan segalanya."

Tadashi mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia kembali menarik selimut hingga dada.

"Anyway ...." Dakota menjeda perkataannya. "Soal mimpi kita dan Wendigo itu, sebenarnya aku berencana untuk melatih kekuatanmu. Namun, melihat keadaan sekarang, sepertinya sesi latihan bisa kita tunda besok."

"Grandpa, ujian akhir semakin dekat, bisakah aku fokus pada ujian terlebih dahulu?"

"Ujian memang penting, tapi ini lebih penting lagi," tegas Dakota, "kau bisa belajar di sore hari sebelum makan malam dan berlatih bersamaku sebelum tidur."

Tadashi mengembuskan napas panjang. Membayangkannya saja sudah sangat melelahkan, apalagi ketika melakukannya langsung. Namun, ia tidak bisa membantah. Dirinya mungkin saja akan membahayakan orang lain jika masih belum mampu mengontrol kemampuannya.

"Baiklah." Tadashi pasrah.

Setelah itu, Dakota meninggalkan kamar, mempersilakan cucunya untuk tidur. Beban yang harus dipikul Tadashi semakin berat, ia semakin tidak bisa tidur. Perkara kecanggungannya dengan sang ayah, ujian akhir, tes masuk universitas, ditambah lagi dengan takdirnya sebagai dream walker. Pemuda itu berharap semuanya hanya mimpi dan terbangun esok hari tanpa semua itu.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

7 Juli 2021

*****

Hai haiii, lama nggak update. Ternyata ngerjain dua cerita selang-seling lumayan lama juga ya progressnya. Tapi aku usahain tetep teratur seminggu sekali.

Makasih buat semua yang udah sabar menunggu. Sampai jumpa lagi minggu depan!❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top