22 | Nightmare Tour [Part 2]
"Grandpa!" pekik Tadashi. Tanpa sadar, kedua kakinya berjalan mundur ketika makhluk mengerikan yang bernama Wendigo itu berjarak semakin dekat dengannya.
"Tadashi, run!" Dakota balas berteriak.
Refleks, pemuda beretnik asia-kaukasia itu berbalik badan dan sekuat tenaga menggerakan tungkainya untuk menyelamatkan diri. Dakota mengekorinya, berlari cepat dengan keempat kaki kecil berbulunya. Terdengar lolongan mengerikan yang menusuk indra pendengaran, disusul oleh langkah kaki yang berat dan cepat di belakang, membuat adrenalin kakek dan cucu itu berpacu semakin liar.
"Lari! Jangan sekali-kali melihat ke belakang!" titah Dakota.
Angin yang berembus kencang serta kepingan-kepingan es membuat laju Tadashi melambat. Dirinya tidak sanggup berlari dengan suhu yang semakin menusuk kulit. Rumput-rumput di sekitarnya perlahan layu, tergantikan oleh lapisan salju yang semakin lebat setiap detiknya. Dakota kesulitan menggerakan keempat kaki mungilnya. Terkadang, ia terperosok ke dalam sana dan mencoba kembali berdiri dengan susah payah.
Merasa harus melindungi diri dan cucunya, Dakota berhenti berlari dan berbalik badan, kemudian mengangkat kedua tangan mungilnya tinggi-tinggi. Langit bergemuruh, awan-awan gelap berkumpul tepat di atasnya. Sejurus berikutnya, hadir cahaya yang membutakan pandangan, disusul oleh banyaknya petir yang menyambar makhluk berkepala tengkorak rusa itu. Tadashi terjatuh, nyaris terkena serangan jantung mendadak ketika mendengar suara petir yang menusuk indra pendengarannya.
Makhluk itu berlari zig-zag ketika menghindari serangan Dakota. Ketika petir terbesar berhasil menyambar tubuh Wendigo, terdengar lolongan kesakitan di kejauhan, senyum di wajah kakek berwujud kucing itu mengembang. Namun sedetik kemudian, kurva lengkung itu pudar. Wendigo itu masih menggerakan kedua kakinya untuk berlari ke arah mereka, meskipun sedikit sempoyongan, seakan-akan petir yang dibuat Dakota tadi hanyalah lelucon belaka.
"Petirku hanya bisa menyakitinya, tetapi tidak bisa membuatnya roboh! Lari!" teriak Dakota sambil berbalik badan. Mendengarnya, Tadashi kalut. Dengan cepat ia kembali menegakkan tubuh dan berlari di samping tubuh mungil sang kakek.
Badai salju semakin menggila, begitu pula dengan Dakota dan Tadashi yang semakin kesulitan untuk mengatur napas. Pergerakan kaki mereka melambat, tubuh keduanya pun menggigil semakin hebat, tetapi Wendigo sialan itu tidak kunjung merasakan lelah.
"Kita tidak bisa berlari selamanya! Bangunlah dari tidurmu!" pekik Dakota putus asa.
"Bagaimana caranya?" Tadashi balik berteriak.
"Berkonsentrasilah dan cari pintu keluar!"
"Pintu keluar?" Keduanya masih saling berteriak di tengah badai salju.
"Ya, sebuah pintu secara harfiah!"
"Bagaimana aku bisa berkonsentrasi ketika sedang dikejar makhluk pemakan manusia?" pekik Tadashi sambil terengah-engah.
Kakek dan cucu itu berhenti berlari. Tadashi berusaha berkonsentrasi, mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari sesuatu yang dinamakan 'pintu keluar'. Ia berusaha mengingat-ingat bagaimana rupa pintu yang ada di mimpi Evelyn beberapa minggu lalu. Alih-alih mengingat wujud benda itu, Tadashi malah menciptakan wajah gadis cantik itu di pikirannya.
"Berkonsentrasilah, sialan!" Tadashi bermonolog, mengutuk dirinya sendiri.
Sedangkan Dakota kembali mengangkat tangan mungilnya untuk memanggil petir. Awan-awan gelap kembali bergemuruh, disusul oleh banyaknya cahaya menyilaukan dan kilat yang menyambar daratan. Akibat banyak terkena petir, Wendigo itu berhenti berlari dan terjatuh, menjerit kesakitan sambil menggeliat di tanah. Namun, lolongan itu perlahan melembut, tergantikan oleh suara teriakan perempuan yang cukup familier.
"Tadashi!" rintihnya.
Tadashi menoleh ke sumber suara dan melihat sosok Evelyn Rogers telungkup di tanah dan merintih kesakitan akibat serangan Dakota.
"Grandpa! Kau menyakiti Evelyn!" Tadashi dengan cepat mengangkat dan mengguncang-guncang tubuh berbulu sang kakek. Petir yang seharusnya menyambar tubuh Evelyn kini meleset sekitar tiga puluh sentimeter ke kanan.
"It's not her! Wendigo itu bermain-main dengan pikiranmu!" bentak Dakota.
Atensi Tadashi dan Dakota teralihkan ketika gadis itu kembali berteriak. Makhluk mengerikan berkepala tengkorak rusa itu menarik kaki Evelyn dan menyeretnya ke belakang.
"Help me!" jerit Evelyn dalam posisi tengkurap. Tangannya meronta-ronta, berusaha menggapai apa pun di tanah untuk menghentikan pergerakan Wendigo itu. Segalanya terjadi begitu cepat, sosoknya perlahan menghilang di balik badai salju.
"Evelyn!" pekik Tadashi. Pemuda itu berlari untuk masuk ke dalam badai salju.
"Berhenti memikirkan Evelyn dan berkonsentrasilah mencari pintu keluar!" bentak Dakota lagi.
"I can't! Wendigo itu akan memakannya! Kita harus membawa Evelyn pulang!"
Melihat sang cucu melesat masuk ke dalam badai salju, Dakota menjadi semakin frustrasi. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain berlari menyusul pemuda itu, tak peduli meski dinginnya kepingan es menusuk kulitnya.
Di dalam badai salju, Dakota melihat sang cucu samar. Semakin ia berlari mendekat, sosoknya semakin jelas. Tadashi sedang bersimpuh dengan tubuh yang bergetar hebat. Perasaan marah, putus asa, dilengkapi dengan dinginnya udara sekitar begitu menyiksanya. Ia menunduk sambil terisak, kristal bening membanjiri pipinya. Dakota mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada tanda-tanda gadis yang dicintai cucunya, begitu pula dengan monster mengerikan itu.
"Tadashi Reyes, listen to me!" Dakota berteriak di tengah gemuruh badai salju. "Jika itu benar-benar Evelyn, satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah memutus hubunganmu dengan Wendigo! Akhiri mimpi buruk ini dan berkonsentrasilah mencari sebuah pintu!"
Tadashi mendongak sambil terisak, kemudian menghapus air matanya dengan lengan. Ia memejamkan mata, berusaha mengingat-ingat bagaimana wujud pintu yang dapat mengeluarkannya dari mimpi buruk ini.
"Pintu! Pintu sialan, keluarlah!" Tadashi berkomat-kamit.
Namun, suara teriakan Evelyn yang bergaung di kejauhan memecah konsentrasinya. Pemuda itu membuka kembali kedua netranya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Berkonsentrasilah! Kita tidak bisa mengalahkan Wendigo, tetapi kau bisa menyelamatkan Evelyn dengan bangun dari mimpi buruk ini!" teriak Dakota.
Tadashi memejamkan mata sekali lagi, berusaha mengabaikan teriakan Evelyn yang bergaung di udara. Bibirnya bergetar hebat, air mata masih membanjiri pipinya, tetapi dirinya berjuang keras untuk tetap berkonsentrasi.
Di kejauhan, Dakota melihat cahaya menyilaukan. Ia menyesuaikan dengan pencahayaan sekitar dan melihat sebuah pintu yang terbuka. Senyum di wajahnya mengembang.
"Itu pintu keluarnya! Bangun dan lari!" pekik kakek tua itu sambil menarik lengan sang cucu sekuat tenaga.
Tadashi bangun. Dengan kedua tungkai yang bergetar hebat, pemuda itu berusaha mengimbangi sang kakek yang berlari di sebelahnya. Ia memejamkan kedua netra ketika cahaya menyilaukan dari arah pintu semakin menusuk indra penglihatannya. Sejurus kemudian, tubuhnya terasa melayang. Tadashi tidak lagi melawan ketika cahaya menyilaukan itu menariknya masuk.
Kedua netranya terbuka, Tadashi tersentak dan menegakkan tubuh secara tiba-tiba di atas ranjang. Di sampingnya, sang kakek juga melakukan hal yang sama. Debaran jantung keduanya masih tak terkendali, peluh membanjiri dahi mereka. Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, keduanya melihat kamar tidur klasik yang cukup familier, didominasi oleh kayu mahoni asli dan cat berwarna putih. Dakota mendunduk, melihat kedua telapak tangan serta seluruh bagian tubuhnya yang kini tidak lagi berbentuk kucing belang tiga. Barulah kakek dan cucu itu dapat mengembuskan napas lega.
"Grandpa, kau baik-baik saja?" tanya Tadashi cepat sambil memeluk sang kakek.
"Yeah. Untung saja kau menemukan pintu itu lebih cepat," jawab Dakota, ia dapat merasakan detak jantung cucunya yang menggila, tetapi perlahan melambat. Pria tua itu balik mendekap Tadashi sambil mengelus-elus punggungnya. "Shhh, jangan khawatir, kita sudah terbebas dari makhluk itu."
"Aku tidak ingin melakukan tur mimpi lagi!" cicit Tadashi, "mengapa Wendigo itu bisa melihat kita?"
"Itu karena kekuatanmu melemah akibat ritual yang dilakukan Akando, kau tidak lagi memiliki kuasa untuk mencegah tamu tak diundang. Sesosok Wendigo--yang entah bagaimana caranya--terpanggil dan masuk ke dalam mimpimu," jawab Dakota sambil melepas pelukan sang cucu, "sial, kukira dengan berada di bawah pengawasanku, semuanya akan baik-baik saja."
"I'm sorry, Grandpa," lirih Tadashi.
"Tidak, tidak, itu semua salahku. Kedatangan Wendigo benar-benar tidak dapat kuprediksi." Dakota melirik jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, kemudian bergerak perlahan untuk beranjak dari ranjang.
"Grandpa?" panggil Tadashi.
Pria tua itu berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Yeah?"
"Apa Wendigo itu akan mendatangiku lagi?" tanya Tadashi dengan suara yang nyaris tak terdengar, pertanda ketakutan masih meliputinya.
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi." Dakota tersenyum. "Sambil aku memikirkan caranya, sebaiknya kau mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku akan membantu Kagumi menyiapkan sarapan."
Pria tua itu sedikit terhuyung-huyung ketika berjalan menuju pintu. Ketika punggung kakeknya sudah menghilang dari pandangan, Tadashi bergeming, menatap kosong ke sisi dinding kamar kakeknya selama beberapa saat. Tiba-tiba, kedua netranya membola, ia teringat akan seseorang.
"Evelyn." Pemuda itu secepat kilat beranjak dari ranjang dan naik ke lantai dua untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar.
Tadashi membanting pintu kamar dan bergegas mengambil benda pipih di atas nakas. Ia mencari nomor Evelyn di daftar kontak, kemudian menekan tombol 'call' dan meletakkan ponselnya di telinga. Debaran jantungnya kembali menggila ketika mendengar nada sambung di balik speaker. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu berdecak ketika seseorang di seberang sana tidak kunjung menjawab panggilannya. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Dua, tiga, hingga empat kali ia menelepon. Pada panggilan kelima, barulah gadis itu menjawabnya.
"Halo?"
"Ev! Finally!" ucap Tadashi sedikit berteriak. "Are you okay?"
Evelyn terdiam sejenak. "Apa maksudmu?"
"Apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka?"
"Aku tidak tahu lelucon apa yang kau maksud, tapi, ya, aku baik-baik saja," jawab Evelyn yang kebingungan setengah mati.
Tadashi mengembuskan napas lega. "Oh syukurlah."
"Tadashi, kau aneh sekali pagi ini. Apa terjadi sesuatu?"
"Benarkah?" Tadashi tertawa canggung. "Aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Baiklah kalau begitu, sampai jumpa di sekolah!"
Panggilan telepon terputus, pertanda Tadashi sudah menutupnya dan bergegas bersiap ke sekolah. Di seberang sana, Evelyn Rogers duduk di atas ranjang, mengerutkan dahi sambil menatap ponsel di tangannya.
"Anak itu. Apa maksudnya?" gumamnya.
Namun, debaran jantungnya tidak kunjung melambat, gadis itu juga masih sulit mengatur napas. Mimpi yang dialaminya tadi malam terasa sangat nyata. Makhluk mengerikan berkepala tengkorak rusa mendatanginya di tengah badai salju. Di kejauhan, ia melihat pemuda yang baru saja menghubunginya lewat telepon. Sekeras apa pun Evelyn memanggil namanya, Tadashi tidak kunjung datang untuk menyelamatkannya ketika monster itu menyeretnya dengan brutal.
Mengapa Tadashi harus meneleponnya tepat setelah ia terbangun dari mimpi buruk itu?
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
12 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top