21 | Nightmare Tour [Part 1]
"Okay, then," ucap Dakota singkat. "Kalau begitu, bagaimana jika aku yang memberimu tur mimpi?"
"Good idea! Ke mana kita akan pergi?" tanya Tadashi antusias.
Dakota dengan wujud kucing tersenyum. "Bersiaplah melakukan penjelajahan waktu. Kau bilang ingin mengetahui segalanya tentang suku Indian dan kekuatanmu, 'kan?"
Mendengarnya, alis Tadashi bertaut. Dakota berdiri, kemudian mengangkat kedua tangan mungilnya ke udara. Dari dalam tanah, muncul banyak pucuk tanaman yang tumbuh menjadi pohon-pohon besar hanya dalam hitungan detik. Langit yang semula berwarna biru cerah, kini telah menggelap. Asap pekat menyelimuti Tadashi dan Dakota, membuat keduanya terbatuk-batuk. Tiba-tiba saja, hawa panas menyeruak, banyak tenda-tenda berbentuk kerucut berbahan jerami dan kayu dilahap si jago merah, begitu pula dengan pepohonan dan semak-semak
"What is this place?" tanya Tadashi, tetapi Dakota tidak menjawabnya.
Di hadapan kakek dan cucu itu, banyak orang-orang bergamis dengan hiasan bulu-bulu hewan di kepala mereka, berlarian dan berteriak. Genderang perang ditabuh, para wanita menggendong anak-anak mereka sambil berlari, sedangkan para pria dengan war paint berwarna merah-hitam-putih yang menghiasi wajah melindungi keluarganya dengan tombak yang dihiasi bulu-bulu binatang, gagah berani dan selalu siaga menghunuskan benda itu ketika ancaman datang.
"Mereka ... mereka adalah suku Indian ...," gumam Tadashi.
Tadashi berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada penduduk asli Amerika itu. Ia menoleh ke arah sebaliknya, mendapati pria-pria berkulit putih dengan seragam berwarna hijau army serta pelindung kepala mengarahkan senapannya kepada masyarakat yang berusaha melarikan diri. Suara tembakan memekakkan telinga, diiringi oleh tumbangnya satu per satu pejuang suku Indian. Tombak-tombak di tangan mereka terjatuh, cairan berwarna merah pekat mengalir deras dari lubang kecil di dada, pertanda perjuangan mereka telah usai. Tidak kenal ampun, tentara-tentara di hadapan Tadashi juga membidik wanita dan anak-anak yang tidak berdosa.
Melihat pemandangan mengerikan itu, tubuh Tadashi gemetar hebat. Pemuda bermata sipit itu memegangi perutnya yang mendadak terasa mual.
"Inilah keadaan suku Indian sekitar seratus tahun yang lalu, Tadashi." Pada akhirnya, Dakota angkat bicara. "Dan orang-orang berkulit putih itu adalah penjajah yang nyaris membinasakan leluhurmu."
Perlahan, pemandangan di hadapan mereka memudar. Terdengar suara rumput yang saling bergesekan. Dari dalam tanah, keluarlah tangan-tangan yang berlumuran cairan hitam pekat. Melihatnya, Tadashi nyaris berteriak. Dengan refleks, pemuda berambut sewarna langit malam itu mengangkat kaki bergantian untuk berusaha menghindar.
"Grandpa! Awas!" serunya.
Dakota justru terlihat santai. Dua tangan berwarna hitam pekat menangkap tubuh mungil berbulunya dan menariknya ke dalam tanah. "Jangan berusaha melawan! Biarkan tangan-tangan ini menangkapmu!"
"Are you kidding me?" pekik Tadashi putus asa. Pada akhirnya, pemuda itu memejamkan mata dan berhenti mengangkat kakinya, pasrah sepenuhnya ketika ada tangan hitam yang mencengkeram erat pergelangan kakinya. Tubuhnya terisap ke dalam tanah, diiringi oleh suara teriakan yang lolos dari mulutnya.
Tadashi merasakan tubuhnya melayang di dalam kegelapan yang absolut, persis seperti ketika ia mengunjungi mimpi Robert. Pandangannya mengedar ke sekeliling, mencari presensi sang kakek. Tidak jauh darinya, ia melihat dua pasang mata bulat yang bersinar di dalam kegelapan.
"Grandpa!" serunya. Dengan cepat ia meraih tubuh mungil sang kakek dan mendekapnya erat.
Dakota terkekeh. "Tubuhmu bergetar hebat."
"Tur yang sangat mengerikan!" cicit pemuda itu. "Apakah sekarang kita akan pulang?"
"Not yet," jawab Dakota. "Tur yang sesungguhnya baru akan dimulai."
Tadashi meneguk salivanya. Ia memejamkan kedua netra dan memeluk sang kakek lebih erat.
"Bersiaplah! Kita akan mendarat sebentar lagi," ucap Dakota.
Tadashi mengangguk. Ia merasakan tubuhnya kini tidak lagi melayang. Merasakan adanya permukaan, dengan sigap ia menopang badan dengan kedua tungkainya dan mendarat sempurna. Dakota melompat dari gendongan cucunya dan turut mendarat di permukaan berumput yang suhunya lebih rendah dari sebelumnya, dikarenakan tidak adanya kobaran api di sekitar. Namun, langit masih enggan menunjukkan cahayanya pada dunia, hanya terlihat ribuan bintang-bintang kecil yang berkilauan di sana.
Pemuda beretnik asia-kaukasia itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Di balik pepohonan, ia melihat cahaya dan asap yang mengepul di kejauhan, terdengar pula sahutan-sahutan samar yang berulang. Kedua tungkanya bergerak menelusuri hutan, diikuti oleh kakeknya yang masih berwujud kucing. Ketika sampai di sebuah lahan terbuka yang cukup luas, ia melihat puluhan penduduk suku Indian yang bersujud di depan api unggun dan sebuah totem besar dengan tengkorak rusa di atasnya, mengucapkan semacam pujian-pujian dalam bahasa kuno, atau mungkin sebuah doa? Tinggi totem kayu itu sekitar dua meter. Di samping mereka terdapat pula obor-obor yang menerangi tempat itu.
Tadashi tersentak ketika melihat bayangan hitam muncul dari balik totem. Dua pasang mata yang bersinar itu membuat bulu kuduknya berdiri.
"Grandpa ...," ucapnya dengan suara bergetar. "Ada sesuatu di balik totem itu."
Dakota mengikuti arah pandangan Tadashi. Perlahan, bayangan itu semakin jelas, menampilkan sejenis mahluk yang berwujud seperti manusia, tetapi dengan perawakan yang sangat kurus hingga bentuk tulang-tulang rusuknya tercetak di balik kulit. Kepalanya berwujud tengkorak dengan tanduk rusa. Mulutnya rusak dengan gigi-gigi tajam yang menyembul dari dalam gusi. Ketika menangkap sepasang mata makhluk mengerikan itu, mereka tidak dapat melihat irisnya, hanya tatapan kosong yang gelap. Tadashi merasakan tubuhnya bergetar semakin hebat, rasa takut yang luar biasa meliputinya.
"Itu adalah makhluk yang dinamakan Wendigo," terang Dakota, "roh jahat pemakan manusia yang dianggap hanya legenda. Namun, makhluk itu nyata adanya, dan salah satu dukun suku Indian telah berkorban menyatukan raganya dengan roh jahat itu."
"Mengapa ia melakukan itu?" tanya Tadashi.
"Mereka tidak punya pilihan lain, Tadashi. Pengorbanan harus dilakukan untuk memenangkan perang."
Salah satu wanita suku Indian dengan topi berbulu binatang dan lambang-lambang tribal berdiri di sebelah totem, mengangkat kedua tangannya di udara. Kalung taring serigala menghiasi leher jenjangnya. Penduduk-penduduk suku Indian dengan war paint yang menghiasi wajah duduk bersila mengitari totem. Seluruhnya memejamkan kedua netra, menjadikan tubuhnya rileks. Wanita dengan topi berbulu itu pun pada akhirnya ikut duduk bersila di tengah lingkaran, melakukan hal yang sama.
"She's a dream walker, just like me," ucap Tadashi ketika melihat wanita yang berada di tengah lingkaran.
Dakota tersenyum. "You're right."
Asap api unggun yang mengepul menampilkan bayangan yang sama persis dengan sebelumnya. Tadashi mendongak, melihat perang suku Indian dan penjajah untuk yang kedua kali, tetapi kini keadaan berbalik. Salah satu pria dengan war paint mengeluarkan api dari tangannya, menghanguskan tentara-tentara kulit putih di hadapannya. Beberapa dari mereka juga mengeluarkan elemen lain dari dalam tangannya, seperti air dan udara untuk melindungi diri. Langit bergemuruh, salah satu pejuang suku Indian menyambar kerumunan tentara Eropa dengan petir yang dahsyat. Pria lainnya mengangkat kedua tangannya di udara, memanggil akar-akar dan sulur-sulur tanaman dari dalam tanah yang siap mencekik tubuh para penjajah hingga napas terakhirnya.
"Mereka tidak bisa memenangkan perang ketika para penjajah dalam keadaan sadar. Senjata api yang mereka punya tentu lebih canggih dari hanya sekadar tombak kayu. Maka karena itu, suku Indian harus melawan peralatan mutakhir itu dengan kekuatan alam," terang Dakota.
"I saw a lightning summoner too, just like you." Tadashi menunduk, menatap sang kakek.
"Ya. Pengendali elemen adalah tentara terbaik yang suku Indian punya, dan mimpi adalah satu-satunya medan perang yang dapat mereka kuasai."
"Jadi, suku Indian mengalahkan penjajah di dalam mimpi? Dengan sihir?"
Dakota mengangguk. "Kau benar."
"Mengapa suku Indian tidak menggunakan sihir mereka untuk mengalahkan penjajah di dunia nyata?" tanya Tadashi.
"Kemampuan kami akan menjadi lebih kuat jika berada di alam mimpi. Selain itu, suku Indian enggan untuk merusak alam. Ketika menyelamatkanmu dari Akando, aku nyaris membakar hutan. Kau ingat itu?" Dakota mendongak, menatap sepasang netra cucunya. "Dan itulah hal yang ingin kami hindari. Maka karena itu, kami membutuhkan seorang dream walker untuk membawa penjajah masuk ke dalam mimpi."
"Lalu, apa yang akan terjadi dengan tentara-tentara asing itu di dunia nyata?"
"Mereka yang gugur dalam mimpi, akan kehilangan jiwanya, baik suku Indian maupun penjajah. Mereka akan terlihat seperti tidur panjang tanpa jantung yang berdetak."
"Seperti ... meninggal secara alami?"
Dakota mengangguk. "Kau benar, Tadashi."
Pria tua itu berbalik badan, begitu pula dengan Tadashi. Di tengah hutan, pemuda itu melihat ratusan jasad penjajah Eropa yang menggunung. Jumlahnya terus bertambah, penduduk suku Indian tidak ada hentinya melemparkan mayat-mayat itu dan menumpuknya di satu tempat.
"Apa mereka akan membakarnya?" tanya Tadashi.
"Lebih buruk dari itu," ucap Dakota.
Di puncak bukit yang terdiri dari mayat-mayat, hadir sosok Wendigo yang sedang mengoyak daging-daging yang nyaris membusuk itu, kemudian mengunyah dan menelannya, terus menerus seakan-akan makhluk itu tidak pernah merasakan kenyang.
Melihatnya, mendadak perut Tadashi mual, seakan-akan seisi perutnya bergejolak, nyaris ingin muntah. Bau busuk yang sangat kuat menusuk indra penciumannya.
"Wendigo memberikan anugerah untuk suku Indian agar mereka dapat memenangkan perang, tetapi semua itu ada harganya," terang Dakota, "suku Indian harus menyerahkan jasad-jasad manusia sebagai tumbal, setidaknya satu setiap bulannya. Jika tidak, makhluk jahat itu akan memilih sendiri korbannya."
"Kesimpulannya adalah ... suku Indian mendapatkan kekuatan itu dari roh jahat yang bernama Wendigo? Baik dream walker maupun pengendali elemen?" tanya Tadashi.
"Tepat sekali!"
"Apakah ini takdirku, Grandpa? Menjadi seorang pembunuh?" Tadashi menekuk wajahnya, menatap sepasang netra bulat sang kakek dengan sendu. "I hate this. Kekuatan ini bukanlah anugerah, melainkan kutukan."
Mendengarnya, Dakota menunduk dan bergeming sesaat, kemudian mendesah pelan. "Aku sedikit setuju dengan pernyataanmu. Ya, kekuatan yang kita miliki bisa dibilang kutukan. Namun, ada satu cara untuk memutus rantai kutukan itu."
"Bagaimana caranya?"
Dakota menatap makhluk mengerikan bertanduk rusa di kejauhan. "Dengan tewasnya dukun berwujud Wendigo itu, maka putuslah garis takdir suku Indian, begitu pula kemampuan kita."
Tadashi meneguk saliva dalam-dalam. "Kurasa itu bukan pilihan yang dapat kita pertimbangkan."
Wendigo yang sedang menikmati jamuannya mendadak berhenti mengunyah. Kedua netranya tiba-tiba menyorot Tadashi di kejauhan. Tiba-tiba saja, angin dingin berembus kencang, diikuti oleh butiran-butiran salju yang turun dengan lebat.
"Grandpa?" tanya Tadashi dengan suara bergetar. Mendadak bulu kuduknya berdiri, jantungnya berdetak lebih cepat. "What happened? Mengapa ia melihatku seperti itu? Apa ia sadar kita ada di sini? Dan mengapa tiba-tiba terjadi badai salju?"
Wendigo itu melempar jasad yang ada di tangannya, kemudian berdiri dan melompat dari atas tumpukan mayat. Kedua tungkai kurusnya perlahan melangkah menuju keduanya. Dakota membungkukan badan, bulu-bulu halus di seluruh tubuhnya berdiri, begitu pula dengan ekornya. Mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan desisan persis seperti kucing yang sedang terancam.
"Grandpa!" pekik Tadashi. Tanpa sadar, kedua kakinya berjalan mundur.
"Tadashi, run!" Dakota balas berteriak.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
31 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top