2 | Tadashi Reyes [Part 2]
Hari telah larut, matahari sudah tenggelam di cakrawala dan kini tiba saatnya bagi bulan untuk berjaga. Robert menurunkan Tadashi di depan kediaman keluarga Reyes. Pemuda berambut hitam itu berlari kecil menuju pintu rumah. Ketika terdengar suara decitan pintu yang beradu dengan lantai, dua orang yang berada di ruang makan memalingkan pandangan.
"There you are," sapa Kagumi, sang ibu. Wanita itu terlihat sedang merapikan hidangan makan malam di meja.
"Aku tidak datang terlambat untuk makan malam, 'kan?" tanya Tadashi.
"Kali ini tidak." Kagumi meletakkan secangkir teh chamomile di meja.
Tadashi menghirup aroma daging panggang yang baru saja dikeluarkan dari oven. "Daging panggang! Favoritku!" ucapnya antusias.
"Simpan tasmu di kamar, kita akan segera makan malam!" perintah seorang pria tua bermata sipit dengan rahang yang tegas di salah satu kursi makan. Usianya telah menginjak tujuh puluh tahun, seluruh rambutnya sudah memutih. Ia dikenal dengan nama Dakota.
"Okay, Grandpa!" Tadashi mengangguk patuh. Pemuda itu bergegas menaiki tangga untuk menyimpan ranselnya di kamar. Setelah itu, ia bergabung bersama ibu dan kakeknya di meja makan.
Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu depan yang kembali bergesekan dengan lantai. Dari arah sana, terlihat sosok pria berambut pirang kecokelatan berusia empat puluh tahun dengan kemeja cokelat pucat dan celana bahan.
"Dad, kau terlambat!" seru Tadashi yang sudah duduk manis di meja makan.
"Sorry, pekerjaanku menumpuk semenjak kolegaku mengajukan cuti." Pria itu mendesah pelan sambil melepas sepatu pantofel kulitnya, kemudian ia letakkan di rak. "Bosku membuatku gila," keluhnya.
Pria pirang yang bernama Andrian itu berjalan menuju dapur, kemudian duduk di sebelah sang istri. Kagumi menyiapkan daging panggang dan telur mata sapi untuk pria itu. Setelahnya, ia duduk dan bersiap menyantap makan malamnya.
Keluarga Reyes menyantap makan malamnya dengan damai. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar dentingan halus dari pisau dan garpu yang beradu. Tadashi melirik satu per satu keluarga yang dimilikinya saat ini. Sang nenek telah meninggalkannya lima tahun lalu, dan sejak itulah Dakota mulai menetap di rumahnya. Andrian dan Kagumi tidak ingin mengirimkan ayah mereka ke panti jompo.
Dakota adalah keturunan penduduk asli Amerika. Meskipun begitu, ia bukan merupakan bagian dari suku Indian. Di masa mudanya, ia bertemu dengan wanita kelahiran Jepang dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah menikah, Dakota dikaruniai buah hati yang mewarisi warna rambut dan iris sang istri. Kagumi adalah nama terindah yang mereka berikan untuk bayi mungil berkulit pucat itu.
Hingga dewasa, Kagumi menetap di Amerika bersama kedua orang tuanya. Lalu, wanita itu bertemu Andrian, pria keturunan Eropa di universitas yang sama. Keduanya menikah dan melahirkan Tadashi, seorang anak laki-laki dengan etnik gabungan dari Asia-Kaukasia, yang juga merupakan keturunan dari Native American atau penduduk asli Amerika.
"How's your school?" tanya Andrian, membuyarkan lamunan Tadashi.
Tadashi mengedikkan bahu. "Ini hari pertama spring quarter dan semuanya baik-baik saja."
"Beberapa bulan lagi cucuku akan berkuliah. Time flies," respons Dakota.
"Yeah, it's crazy." Tadashi memotong daging panggangnya. "Rasanya seperti baru kemarin aku menjadi freshman, dan boom! Kini aku adalah murid senior!"
"Sebentar lagi kau akan berkuliah merantau." Kagumi mendesah pelan. "Rumah ini akan kehilangan satu personil."
"Wait? Kehilangan satu personil?" Andrian menginterupsi, ia menoleh ke arah putra semata wayangnya. "Apakah kau memilih untuk berkuliah di universitas yang jauh dari New York?"
"No, no," sanggah Tadashi. "Aku belum memilih sama sekali. Chill out, Dad."
"Tapi apakah sudah ada universitas yang menarik perhatianmu?" tanya Kagumi.
Tadashi mengedikkan bahu. "Ivy League, seperti Harvard. Atau Stanford dan MIT. Untuk jurusannya, aku masih mencari tahu."
"Ah, pilihan yang tepat. MIT adalah tempatku dulu berkuliah." Dakota mengelus dagunya.
"I know, right? Masa depanku akan terjamin jika berkuliah di sana. Aku akan bekerja di tempat yang bagus dan mendapatkan uang pensiun yang banyak, sepertimu, Grandpa," respons Tadashi sambil tersenyum.
Andrian mengangguk. "Yeah, tidak ada yang salah dengan memilih universitas bagus. Namun, semuanya bergantung pada dirimu sendiri, Tadashi."
Ucapan sang ayah menarik perhatian Tadashi. Pemuda itu meletakkan garpu dan sendoknya di piring, lalu menoleh ke arah pria itu.
"Universitas hanyalah media untuk mengantarkanmu ke masa depan yang cerah, tapi untuk meraihnya, itu tergantung padamu," lanjut Andrian, "Di mana pun kau berkuliah, kau harus mengimbanginya dengan kerja keras dan tekad yang kuat."
"Kau ... tidak memaksaku untuk berkuliah di universitas terbaik?" tanya Tadashi.
Andrian menggeleng. "Aku hanya membutuhkan tekad dan kerja kerasmu. Di mana pun kau berkuliah, itu bukan masalah bagiku. Yang terpenting, kau mencintai apa yang kau lakukan."
"Bukan masalah juga bagiku," jawab Kagumi sebelum menyeruput teh chamomile-nya.
Tadashi mengangguk pelan. Ia menatap kosong makan malamnya. Meskipun rahangnya sibuk mengunyah, pikiran pemuda berambut sewarna langit malam itu melayang entah ke mana.
*****
"Mengapa semua ini sungguh menggangguku?"
"Karena kau sepeduli itu pada masa depanmu, Bro," jawab seseorang di seberang telepon.
Sehari setelah pembicaraannya dengan sang ayah, Tadashi duduk di meja belajar dengan AirPods di telinga, hanya lampu belajar sumber pencahayaan yang menemaninya kini. Pemuda dengan etnik campuran itu sedang asyik menorehkan pensil di secarik kertas. Sesekali, ia melirik jendela di depannya, melihat keadaan di luar rumah—halaman depan rumah tetangganya yang dipenuhi oleh pepohonan rindang dan semak-semak. Seekor anjing Husky berwarna abu tua-putih tidur di depan pintu. Setelah merekam pemandangan itu, ia menuangkannya dalam bentuk gambar.
"Aku benar-benar tidak bisa tidur kemarin malam," ucap Tadashi pada sahabatnya di seberang telepon. "Jika kedua orang tuaku membebaskanku untuk berkuliah di mana saja, aku semakin bingung harus mendaftar ke mana. I mean, hatiku menyukai Stanford, meskipun harus merantau jauh ke California, begitu pula Harvard dan MIT. Namun, kebingunganku tidak berhenti sampai di sana. Aku tidak tahu harus memilih jurusan apa."
"Oke, sekarang kutanya, apa hal yang sangat kau sukai, dan kau mahir di bidang itu?" tanya Robert.
Tadashi mengedikkan bahu. "Aku pernah mengikuti klub debat, tetapi tidak merasa cocok di sana. Nilai akademikku imbang, semuanya tidak pernah kurang dari B-, tetapi tidak ada juga yang menyentuh A+."
"Kau mengikuti klub debat saat freshman year karena Evelyn." Tadashi mendengkus kasar. "Dari semua itu, apa ada mata pelajaran yang sangat kau kuasai?"
"Tidak ada." Tadashi menggeleng. "Aku merasa mampu menguasai semuanya, karena aku merasa semuanya penting untuk masa depanku."
Terdengar helaan napas berat dari seberang telepon. "Kau tidak bisa memilih semua mata pelajaran, harus ada satu yang nantinya akan dijadikan jurusan kuliahmu!"
"Memikirkan semua ini membuatku gila." Tadashi menyugar helaian rambutnya sambil mendengkus, lalu meletakkan pensilnya di meja. Pemuda itu beranjak dari posisi duduknya, lalu berjalan menuju board di sebelah cermin besar. Ia menancapkan bagian atas karya seni yang baru saja dibuatnya dengan push pin. "Kau punya saran?"
"Aku sendiri masih tidak tahu akan berkuliah atau tidak," jawab Robert, "baiklah, kapan-kapan kita pergi ke lab komputer dan mencari informasi mengenai kampus-kampus terbaik di Amerika. Website, sosial media, apa pun. Aku yakin setiap universitas punya keunggulan yang mungkin menarik perhatianmu. Sebenarnya ... aku pun sedikit penasaran. Siapa tahu ada jurusan yang kuminati nantinya."
"Mungkin kau cocok di Harvard Business School," jawab Tadashi tanpa memalingkan atensinya dari board di depannya. Di sana, banyak kertas-kertas dengan coretan tangan pemuda itu, seperti sketsa interior kelasnya, hutan tempat di mana ia kemping, serta anjing Husky tetangganya. Dari beberapa lukisan itu, ada pula yang dibuat dengan cat air. "I mean, ayahmu punya bisnis keluarga. Kau bisa mengambil program MBA dan menjadi penerusnya di masa depan."
Robert mendengkus. "Aku harus menjadi sarjana terlebih dahulu sebelum mendaftar program MBA, 'kan?"
"Right." Tadashi memutar tubuh dan berjalan menuju ranjang. "Besok kita cari informasi bersama-sama, oke?"
"Aye aye, captain!" seru pemuda berambut merah di seberang telepon. "See you tomorrow!"
"See ya!" jawab Tadashi.
Ketika sambungan telepon terputus, pemuda itu melepas AirPods-nya, lalu meletakannya di laci nakas. Ia naik ke atas ranjang, mematikan lampu tidur, dan menarik selimut. Baru saja matanya terpejam, ia mendengar koloni cacing di perutnya meraung meminta makan.
"Ah, sial," umpatnya sambil membuka mata.
Atensinya tertuju pada jam di atas nakas. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Tadashi baru menyadari bahwa ia pulang terlambat dan melewatkan makan malam bersama keluarganya. Makanan terakhir yang berhasil memasuki lambungnya hari ini adalah grilled chicken, menu sarapannya tadi pagi. Akibat disibukkan oleh tugas kelompok, pemuda itu itu juga tidak sempat makan siang di sekolah. Tadashi menimbang-nimbang. Apakah ia harus turun ke lantai bawah dan makan malam selarut ini?
"Menyebalkan, aku terlalu mengantuk untuk makan, tetapi aku sedang tidak ingin bermimpi aneh malam ini," keluhnya.
Tadashi bergeming, menatap kosong langit-langit kamarnya. Ya, kemampuan aneh itu sudah ada dalam dirinya sejak usianya lima tahun. Tiap kali Tadashi tidak makan seharian, ia akan memimpikan sesuatu yang aneh. Butuh beberapa tahun baginya untuk menyadari bahwa apa yang dilihatnya itu bukanlah mimpinya sendiri, melainkan milik orang terakhir yang ada di pikirannya sebelum tidur.
Tadashi Reyes memiliki kemampuan untuk mengunjungi mimpi orang lain.
"Sepertinya malam ini aku akan berjalan-jalan di mimpinya Robert, berhubung ia orang terakhir yang ada di pikiranku dan aku berpuasa secara tidak sengaja," ucapnya pasrah. "Tapi ... sepertinya itu bukan ide yang buruk."
Tadashi menarik selimut dan mengubah posisi tidurnya menyamping ke kanan, lalu memejamkan mata. Kesadarannya kian menurun hingga dirinya sampai di alam mimpi.
Rupanya, keputusannya untuk tidak turun ke lantai bawah dan makan malam adalah ide yang buruk.
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top