15 | The Savior [Part 2]

Chapter ini sama chapter sesudahnya sebenarnya nyambung. Karena kepanjangan jadi aku bagi dua. Jadi, disarankan untuk dibaca sekaligus. Cari waktu luang, supaya bacanya nggak keganggu.

Happy reading!

*****

"Tadashi! Tadashi!"

Pemuda beretnik asia-kaukasia itu mendengar seseorang memanggil namanya. Perlahan, ia membuka kedua netra, kemudian berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan pencahayaan di sekitar. Tadashi sedang berbaring di permukaan yang empuk sambil menatap langit-langit ruangan berwarna putih bersih. Entah sejak kapan ia sudah kembali ke kamarnya.

"Tadashi!" seru seseorang yang suaranya cukup familier.

Kepalanya terasa berat, Tadashi mengerang ketika bersusah payah untuk duduk tegak. Di samping ranjang, hadir sahabatnya yang sedang duduk di sebuah kursi kayu. Pemuda bermata sipit itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan melihat sang kakek sedang mondar-mandir tidak jauh dari tempatnya berbaring.

"Hey, Dakota, he's awake!" seru Robert pada Dakota.

Pria tua yang rambutnya telah memutih itu berhenti mondar-mandir dan memalingkan pandangan ke arah ranjang. Tersirat kekhawatiran yang amat besar dari raut wajahnya. Dakota berjalan cepat ke arah Tadashi. Perlahan, rahangnya mengeras, alisnya bertaut.

"Bagaimana kau bisa sebodoh itu untuk memercayai seorang yang baru saja kau kenal?" bentak Dakota dengan tatapan nyalang.

"Whoa, whoa, chill out! Tadashi baru saja siuman!" Robert menginterupsi.

"Kau tahu apa yang akan terjadi jika aku terlambat sedetik saja? Apa yang kau pikirkan, Tadashi Reyes?" Dakota tidak menghiraukan Robert, masih meninggikan suara di depan Tadashi.

"Jesus! Tadashi tidak tahu apa yang baru saja terjadi! Sebaiknya kita menjelaskannya pelan-pelan!" pinta Robert, berusaha tidak ikut meninggikan suara di depan Tadashi.

"W-what happened?" tanya Tadashi dengan suara parau. Ia mengusap usap dahinya yang sedikit pening.

"Apa hal terakhir yang kau ingat?" Robert bertanya balik.

"Aku ... menemui seseorang yang mengaku bisa membebaskanku dari mimpi-mimpi dan penglihatan yang buruk. Ia memberiku ramuan herbal dan mengoles dahiku dengan cairan berwarna merah pekat. Lalu, aku mendengar suara petir yang sangat keras. Setelah itu ... semuanya terasa gelap, tubuhku terasa sangat lemas. Tiba-tiba saja, aku sudah berada di kamar ini," jawabnya.

Robert bergeming. Perlahan, ia menoleh ke arah pria tua yang sedang berdiri di sampingnya. Dakota mengembuskan napas berat, kemudian mendaratkan bokongnya di tepi ranjang di mana Tadashi baru saja siuman.

"Mengapa kau bisa berpikir ingin memberikan kemampuanmu pada orang itu?" tanya Dakota, kali ini dengan nada yang lebih halus.

Kedua netra Tadashi membola. "Grandpa tahu soal kemampuanku?"

"Of course. Kakekmu juga bisa memanggil petir dengan tangannya. Dia seperti Thor tanpa mjolnir," celetuk Robert. Kemudian, pemuda berambut merah itu mengusap wajahnya. "Ah, sungguh tidak bisa dipercaya. Selama ini aku dikelilingi oleh orang-orang berkemampuan super."

"Memanggil petir?" tanya Tadashi lagi.

"Yes, I'm a lightning summoner, Tadashi," jawab Dakota. "Aku yang memanggil petir dan menggagalkan ritual itu."

Tadashi berkedip beberapa kali, berusaha mencerna perkataan Dakota. Alisnya bertaut. "You what?"

"Kemampuan memanggil petir adalah salah satu anugerah yang diturunkan oleh leluhur kita, suku Indian. Dan kau ...." Dakota menunjuk cucunya. "Adalah seorang yang juga memiliki kemampuan itu. Kau dianugerahi kemampuan untuk mengunjungi mimpi orang lain."

"Seorang dream walker?" tanya Tadashi.

Dakota mengangguk. "Ya, kau bisa menyebutnya demikian."

"Jadi ... selama ini ...." Tadashi menjeda perkataannya, kemudian melirik Dakota dan Robert secara bergantian. "Kalian sudah tahu soal kemampuanku?"

"No. Dakota baru saja memberitahuku sekitar dua jam yang lalu," jawab Robert. "Tidak kusangka kau bisa mengunjungi mimpi orang lain sejak kecil. Apa kau pernah mengunjungi mimpiku?" tanya pemuda berambut merah itu polos.

"No! Untuk apa aku melakukan itu?" Tadashi berbohong.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau menemui Akando dan berniat memberikan kemampuanmu padanya?" tanya Dakota lagi.

Tadashi bungkam. Ia memalingkan pandangan dari kakeknya, kemudian menunduk. Robert dan Dakota masih setia menunggu jawaban dari pemuda itu.

"Penglihatan itu membebaniku." Pada akhirnya, Tadashi angkat bicara. "Sejak kecil, aku banyak mengunjungi mimpi orang lain, dan sebagian besar adalah mimpi buruk. Sekali pun aku tidak ingin, kesadaranku tetap berjalan-jalan di mimpi orang lain pada akhirnya, dan terkadang aku tidak bisa mencegah hal itu terjadi."

Pemuda bermata sipit itu mendongak ke arah Dakota. "Ingat hari di mana Grandma pergi? Aku pernah secara tidak sengaja mengunjungi mimpi Mom. Malam itu, Grandma mendatangi Mom dalam tidurnya, dan aku ... merasakan segalanya yang Mom rasakan. Aku berusaha untuk bangun dan terbebas dari mimpi buruk itu, tetapi malah memperburuk keadaan. Di penghujung mimpi, Dad juga ada di sana. Grandma mengucapkan salam perpisahan untuknya, dan aku turut merasakan duka yang Dad rasakan."

"I'm sorry to hear that, Tadashi," lirih Robert.

"Ketika aku terbangun, dadaku terasa sangat sesak. Perasaan duka yang kurasakan ketika kehilangan Grandma bercampur dengan rasa sakit yang dirasakan Mom dan Dad. Bisa bayangkan betapa tersiksanya aku?" Tadashi mengakhiri ceritanya.

Baik Robert maupun Dakota, keduanya bungkam, tidak ada yang merespons cerita Tadashi.

"Dan aku pernah mengunjungi mimpi Evelyn juga, meskipun secara sengaja," ucap Tadashi pada sahabatnya.

"Dasar mata keranjang!" seru Robert.

"No! Aku tidak bermaksud begitu!" ucap Tadashi cepat.

"Siapa itu Evelyn? Apa itu pacarmu?" celetuk Dakota.

Mendengarnya, semburat merah muncul di kedua pipi pemuda bermata sipit itu. "Dia ... nevermind, itu tidak penting. Kami bahkan tidak saling bicara sekarang." Tadashi kembali melanjutkan ceritanya. "Aku melihat trauma masa kecil Evelyn dalam mimpinya. Meskipun aku mendapatkan sedikit pencerahan bagaimana caranya untuk meminta maaf, tetapi apa yang Evelyn rasakan masih membekas, bahkan ketika aku terbangun. Rasa sakit itu sungguh menggangguku."

"Itu karena kau belum bisa mengontrol kemampuan serta mengelola emosimu," respons Dakota.

"Yeah! Aku tidak mengerti bagaimana cara mengontrolnya! Aku tidak pernah meminta untuk dianugerahi kemampuan semacam ini!" cicit Tadashi, "lebih baik kemampuanku dihilangkan saja, 'kan?"

Dakota mendesah pelan, kemudian menunduk. "Kau tidak mengerti. Seorang dream walker tidak bisa begitu saja melepas kekuatannya."

"Why?"

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, mengalihkan atensi mereka bertiga. Di sana, berdiri sepasang suami istri dengan raut muka yang kusut. Keduanya berjalan cepat menuju ranjang.

Kagumi merunduk, meletakkan telapak tangan di kedua sisi pipi putra semata wayangnya, kemudian mengelusnya lembut. "Tadashi, Sweetheart. Oh, thank God!" Wanita paruh baya bermata sipit itu membawa Tadashi ke dalam dekapan. "Syukurlah kau baik-baik saja."

"Aku dan Kagumi benar-benar khawatir!" seru Andrian panik. Pria berambut pirang kecokelatan itu turut memeluk istri dan anaknya.

Melihat raut wajah keruh kedua orang tuanya, Tadashi merasakan sesak di dada, seolah-olah ada ribuan anak panah yang menghunjam jantungnya. Pemuda itu menunduk. "I'm sorry, Mom, Dad," lirihnya penuh penyesalan.

"Jangan pernah melakukan hal ceroboh seperti ini lagi, oke? Berjanjilah pada Mom!" pinta Kagumi.

Tadashi mengangguk pelan. Tanpa sadar, kristal bening mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, ia mengubur wajah di bahu sang ibu. Kemudian hening, tak ada yang berucap, hanya terdengar isakan halus dari ketiga insan yang sedang bertukar afeksi itu.

"Maafkan aku ... maafkan aku ...," ucap Tadashi parau.

Robert merasakan tepukan halus di bahunya. Refleks, ia mendongak ke arah Dakota yang berdiri di sampingnya.

"Sebaiknya kita biarkan mereka bertiga sendirian," ucap pria tua itu.

Robert mengangguk. Pemuda berambut merah itu beranjak dari kursi, kemudian mengikuti Dakota untuk berjalan keluar kamar. Pria tua itu menutup pintu kamar perlahan, tidak ingin mengganggu momen haru anak-anak dan cucunya.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

28 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top