13 | I'm Not Alone [Part 3]

"Tadashi, ini Prof. Akando, salah satu guru besar Harvard University, dosen yang mengajar di salah satu mata kuliah yang kuambil, sekaligus pria yang akan membantumu keluar dari permasalahan ini."

Tadashi meneliti penampilan pria berambut gondrong bernama Akando itu. Ia mengenakan semacam gamis berwarna beige dengan sandal gladiator pendek berbahan kulit yang modelnya sedikit kuno. Kedua matanya sipit dengan warna kulit gelap, rahang dan dagunya tegas. Jika dibandingkan dengan guru besar Harvard University, pria ini lebih terlihat seperti dukun suku Indian yang tidak sengaja melakukan penjelajahan waktu dan tersesat di masa depan.

Pemuda itu mengerjap, membuang jauh-jauh pemikiran konyolnya, kemudian tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Tadashi Reyes."

"Please, call me Akando." Pria itu menyambut uluran tangan Tadashi. Suaranya berat dan sedikit serak, khas pria tua, dengan aksen yang tidak pernah Tadashi dengar sebelumnya.

"Haruskah kita mulai sekarang?" tanya Noah pada Prof. Akando.

"Ya, itu lebih baik. Proses pengangkatannya harus dilakukan sebelum matahari terbenam," jawab Prof. Akando. Tadashi sedikit terkejut dan kikuk. Hal apa yang akan mereka mulai saat ini juga? Apa mereka berdua tidak akan memberikannya penjelasan terlebih dahulu?

"Apakah tidak ada yang mau menjelaskan padaku sebelumnya? Apa yang sebenarnya akan kita lakukan di sini?" Akhirnya, Tadashi memberanikan diri untuk bertanya.

Noah tersenyum. "Prof. Akando akan membebaskan jiwamu dari mimpi-mimpi buruk itu."

"I know, but ... nevermind." Ya, Tadashi tahu akan hal itu, tapi, hal spesifik apa yang akan Prof. Akando lakukan padanya? Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi ia tidak ingin pria tua itu tersinggung karenanya. Dengan banyak bertanya, Tadashi akan terkesan tidak memercayainya, 'kan?

Prof. Akando meraih punggung Tadashi, menuntunnya untuk berjalan sesuai instruksinya. "Duduklah di batang kayu itu."

Tadashi menurut. Pemuda berambut sewarna langit malam itu duduk di salah satu batang kayu, tepat di depan pohon besar dengan banyak ukiran lambang-lambang kuno. Prof. Akando mengambil mangkuk yang terbuat dari tempurung buah kelapa dengan banyak pola-pola tribal di permukaanya, kemudian menyerahkannya pada Tadashi. Pemuda itu menerimanya.

"Kau sudah berpuasa, 'kan?" tanya pria tua itu.

Tadashi mengangguk. "Yeah, aku terakhir makan sesuatu kemarin malam."

"Kalau begitu, minumlah!"

Tadashi mengintip sesuatu yang ada di dalam mangkuk itu. Di sana terdapat sup berwarna hijau pucat, seperti sup bayam. Tidak ingin membuang waktu, pemuda itu mendekatkan mangkuk tersebut ke mulutnya. Namun, ketika sudah berada semakin dekat dengan hidungnya, Tadashi refleks mengerutkan dahi. Tidak, ini bukan sup bayam, tetapi seperti campuran sup krim jamur yang sudah basi ditambah sedikit aroma ketiak kakeknya.

"What is this?" Tidak tahan lagi, Tadashi memutuskan untuk bertanya.

"Itu ramuan herbal yang kuracik," jawab Prof. Akando singkat, "dengan sedikit mantra."

"Apa ini berbahaya?" tanya Tadashi lagi.

"Tentu tidak, itu hanya ramuan herbal biasa. Kau ingat bahwa kubilang beberapa keturunan suku Indian mewarisi sihir penyembuhan?" Noah mencolek ramuan herbal tersebut, kemudian menjilatnya. "See? Itu tidak seburuk kelihatannya."

"Ya. Ramuan herbal ini akan membantu mantra yang kurapalkan agar bekerja lebih efektif dalam tubuhmu." Prof. Akando menimpali.

Merasa tidak punya pilihan lain, Tadashi memejamkan kedua netranya erat-erat dan menahan napas selagi meneguk habis ramuan herbal itu. Lidahnya nyaris mati rasa ketika mencicipi campuran rasa asam dan pahit yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Setelah selesai, Noah mengambil mangkuk tempurung kelapa itu dari tangan Tadashi sambil terkekeh. "Kau akan terbiasa nantinya. Aku sudah sering meminum ramuan semacam ini."

Tadashi tidak merespons. Hidung dan dahinya masih berkerut akibat ramuan menjijikan itu. Dalam hatinya, ia kagum akan kegilaan Noah. Bagaimana lidahnya bisa tahan akan ramuan herbal yang beraroma seperti ketiak pria tua?

Kemudian, Prof. Akando mencelupkan jari telunjuknya ke dalam mangkuk yang lain. Cairan berwarna merah pekat melekat di sana. Pria tua itu menggambar lambang kuno suku Indian di dahi Tadashi dengan jarinya sambil berkomat-kamit, merapalkan mantra yang tidak bisa Tadashi dengar.

"Apakah itu darah?" tebak Tadashi. "Darah rusa? Darah cerpelai?"

"Tidak, Tadashi, ini campuran sari buah delima murni dengan sirup cokelat." Prof. Akando terkekeh.

Oh, tidak. Tadashi merasa omongannya tadi sangat tidak pantas.

"Maaf," cicit Tadashi.

"Tidak apa-apa," jawab pria tua itu santai.

Selanjutnya, Prof. Akando memakaikan jubah kulit serigala di kepala Tadashi. Pemuda itu merasakan halusnya bulu-bulu asli dari hewan karnivora itu. Hormon adrenalin membanjiri tubuhnya, debaran jantungnya kian tak terkendali. Ia memejamkan mata dengan senyum yang merekah. Sebentar lagi, ia akan terbebas dari pikiran-pikiran yang membebaninya. Pemuda itu juga tidak akan tergoda lagi untuk bermain-main di mimpi orang lain, karena kemampuannya akan segera hilang.

"You ready, Reyes?" tanya Noah.

Tadashi mengangguk mantap. "More than ready."

Noah mengambil tongkat kayu dengan ujung yang dipenuhi bulu-bulu hewan berwarna putih-cokelat di dekat pohon besar, kemudian memberikannya pada Prof. Akando. Pria tua itu menerimanya, kemudian mengentakkan benda itu ke tanah. Ia memejamkan mata dan kembali merapalkan mantra kuno yang tidak dapat Tadashi mengerti.

Tiba-tiba saja, lambang-lambang kuno suku Indian yang terukir di pohon besar memancarkan cahaya berwarna merah-jingga. Tadashi takjub. Dengan kedua netra yang membulat sempurna dan mulut yang sedikit menganga, pemuda itu mengamati simbol-simbol bercahaya itu. Lalu, Prof. Akando melangkah menuju tempatnya duduk, masih memejamkan mata sambil merapalkan mantra. Ujung telunjuk dan jari tengahnya menyentuh simbol di dahi Tadashi.

Pemuda beretnik asia-kaukasia itu merasakan dahinya memanas. Kehangatan itu menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja, kedua netranya memancarkan cahaya merah-jingga. Prof. Akando masih merapalkan mantra-mantra kuno itu.

Entah mengapa, Tadashi merasa energinya berkurang, perlahan terkuras habis. Akibat tidak sanggup menahan bobot tubuhnya sendiri, pemuda itu limbung. Beruntung, Noah dengan sigap menangkap tubuh Tadashi sebelum ambruk ke tanah.

Terdengar gemuruh pelan. Noah menengadah, menatap langit yang tiba-tiba didatangi awan mendung. Sinar matahari perlahan memudar, kegelapan meliputi ketiganya.

"That's weird. Bukankah sudah diprediksi bahwa hari ini tidak akan turun hujan?" gumam Noah pelan. Prof. Akando tidak mengindahkan, masih merapalkan mantra-mantra kuno untuk Tadashi.

Cahaya menyilaukan datang tiba-tiba, membutakan pandangan, petir menyambar pohon besar dengan lambang-lambang kuno itu, disusul oleh bunyi yang memekakkan telinga. Baik Noah maupun Prof. Akando, keduanya terkejut bukan main.

Pohon besar itu kini terbakar. Cahaya di kedua netra Tadashi padam. Pemuda itu memejamkan mata, kesadarannya perlahan menghilang. Kini, Noah sedikit kesulitan untuk menahan bobot tubuh Tadashi sepenuhnya.

"Prof? What happened?" tanya Noah panik.

"It wasn't me!" jawab pria tua itu.

Belum selesai sampai di sana, petir kembali menyambar tanah di dekat Prof. Akando berpijak, membuat pria tua itu limbung dan jatuh. Beruntung, petir itu meleset sekitar beberapa sentimeter darinya. Dengan amarah yang membuncah, pria tua itu bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, hingga menemukan presensi seseorang yang sedang berlari di kejauhan.

"Dakota, you son of a bitch!" berangnya. Pria tua itu mengacungkan tongkatnya pada Dakota yang sedang berlari di kejauhan.

"Awas!" Dakota berteriak pada sosok yang berlari di belakangnya.

Itu Robert. Pemuda berambut merah itu dengan sigap berlari menghindari sulur-sulur tanaman yang bergerak menuju ke arahnya, bersiap untuk melilit kedua kakinya. Beruntung, keduanya lolos dan kembali berlari menuju Tadashi yang masih tak sadarkan diri.

"Bawa anak itu pergi dari sini! Biar aku yang hadapi mereka!" teriak Prof. Akando pada Noah. Pemuda berambut pirang itu mengangguk patuh, kemudian berusaha menggotong tubuh Tadashi.

Dakota mengacungkan tangannya ke langit, berusaha mengumpulkan partikel-partikel bermuatan negatif dan positif yang saling bergesekan, hingga menghasilkan energi yang cukup besar, kemudian mengayunkannya ke arah Noah. Lagi, petir menyambar tanah di dekat Noah berdiri, membuatnya limbung dan jatuh. Tadashi terlepas dari genggamannya. Pemuda berambut pirang itu mengerang sambil menyentuh kakinya yang terkena imbas dari serangan Dakota.

"Buang jubah kulit serigala di kepala Tadashi dan bawa dia ke mobil! Aku akan menangani si Tua itu!" perintah Dakota pada Robert. Ia mengangguk, lalu berlari ke arah Tadashi.

Dakota kembali menyambar petir ke arah Prof. Akando, tetapi pria tua itu terlebih dahulu melindungi tubuhnya dengan sulur-sulur tanaman setebal perisai. Dengan amarah yang membuncah, Prof. Akando mengarahkan tongkatnya ke arah Dakota sambil berkomat-kamit. Daun-daun terlepas dari rantingnya, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah Dakota. Pria tua itu mengerang ketika salah satu sisi daun yang tajam menyayat lengannya. Kini, pergerakannya melambat.

Robert dengan sigap mengambil batang kayu yang tergeletak di sana, kemudian menghantam kepala Noah. Beruntung, alumnus Harvard University itu tidak bisa melawan akibat fokus pada luka di kakinya. Hanya dengan sekali pukulan, pemuda itu semaput.

"Bodoh! Seharusnya kau percaya pada kata-kataku!" seru Robert pada sahabatnya yang tentu saja tidak memberikan respons. Meskipun begitu, rasa khawatir yang dirasakannya masih lebih besar jika dibandingkan dengan amarah.

Dengan cepat, Robert melepas jubah kulit serigala itu dan menggendong Tadashi yang masih tak sadarkan diri, kemudian berlari kembali ke arah Dakota.

Merasa tidak ada persiapan untuk melawan pemanggil petir di hadapannya, Prof. Akando melindungi dirinya dengan sulur-sulur tanaman yang lebih tebal lagi. Dakota kembali melayangkan petirnya pada perisai yang dibuat lawannya, tetapi tidak ada hasil yang signifikan. Sulur-sulur tanaman itu perlahan terbakar menjadi abu dan lenyap, begitu pula dengan Prof. Akando dan Noah yang sudah menghilang dari pandangan.

Merasa keadaan sudah aman, Dakota dan Robert kembali berlari menuju perbatasan hutan sambil menggotong Tadashi yang tidak kunjung sadar. Perlahan, langit Kota New York kembali cerah. Awan-awan gelap itu telah pergi.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

26 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top