11 | I'm Not Alone [Part 1]

Setelah menempuh perjalan kurang lebih setengah jam, Tadashi Reyes sampai di sebuah restoran Italia yang cukup terkenal di Kota New York. Ketika membuka pintu restoran, ia disambut oleh seorang pelayan wanita. Diantarkannya pemuda itu ke salah satu meja yang masih kosong. Setelah duduk, Tadashi ditawari berbagai macam menu populer, seperti pasta dan pizza dengan berbagai varian. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk memesan pasta penne dengan saus carbonara, menu termurah yang bisa dibelinya, mengingat akhir bulan masih cukup lama dan ia tidak ingin uang sakunya habis di tengah jalan.

Setelah pelayan wanita itu pergi untuk memproses pesanannya, pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Restoran ini terdiri dari banyak meja berbentuk segiempat dengan masing-masing satu kursi di salah satu sisinya. Lantai dan langit-langit ruangan itu berbahan kayu, sedangkan dindingnya didominasi oleh cat berwarna putih dengan sedikit ornamen yang juga berbahan dasar kayu. Penerangan di sini cukup minim dan hangat. Pengunjung di restoran didominasi oleh muda-mudi berusia dua puluh tahunan. Beberapa dari mereka datang berpasangan. Sesaat Tadashi berpikir bahwa restoran ini juga cocok jika dijadikan tempat untuk berkencan.

Ah, seandainya saja Tadashi memiliki seorang gadis yang bisa diajak berkencan.

Sekitar lima belas menit kemudian, makan malamnya datang, disusul oleh kehadiran pemuda berambut pirang dengan senyum yang merekah. Ia memakai pakaian semi formal—kemeja lengan pendek dengan celana bahan. Noah berjalan menuju meja tempat di mana Tadashi duduk.

"Ah, kukira aku terlambat. Rupanya kau sudah datang terlebih dahulu," ujar Noah.

"Aku tidak ingin terjebak macet, jadi datang lebih awal," respons Tadashi sambil menyerahkan buku menu. "Kau ingin memesan sesuatu?"

"Kudengar dari kolegaku, tuna mushroom pizza di sini enak. Sepertinya aku akan memesan itu."

Noah memanggil pelayan wanita yang berdiri tidak jauh dari mejanya, kemudian memesan seloyang pizza kecil dengan sparkling water. Setelah wanita itu pergi ke dapur dan memproses pesanannya, atensi Noah kembali pada Tadashi.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan padaku soal Harvard?" tanyanya.

"Sebenarnya ini bukan tentang Harvard, tetapi suku Indian. Ada beberapa yang ingin kuketahui."

Noah mengangkat kedua alisnya. "Apa yang ingin kau ketahui?"

"Setelah pertemuan pertama kita, aku mencari-cari informasi tentang suku Indian dan cukup penasaran dengan kemampuan mereka. You know, magic thing." Tadashi memelankan suaranya di akhir kalimat.

"Ah, ya, ya." Noah mengangguk pelan beberapa kali. "Mengapa kau penasaran soal itu?"

"Karena aku keturunan suku Indian. Aku mencari-cari informasi di seluruh situs internet, tetapi tidak ada yang membahas soal itu. Bolehkah aku tahu dari mana kau mendapatkan artikel ilmiah yang membahas tentang itu?" pinta Tadashi.

Noah bergeming sesaat. "Itu sulit. Di perpustakaan mana pun, kau tidak akan menemukan informasi berharga seperti itu."

"Lalu, dari mana kau mengetahuinya?"

"Karena aku juga keturunan suku Indian, Tadashi. Aku mewarisi gen ayahku."

Jawaban Noah membuat Tadashi tertegun. Jika dilihat dari fitur wajahnya, memang kulit Noah tidak sepucat orang-orang yang beretnik kaukasia lainnya, meskipun rambutnya berwarna pirang. Namun, jawline pemuda itu cukup tegas, seperti milik kakeknya yang juga merupakan keturunan langsung suku Indian.

"Dan aku pernah memiliki kemampuan yang sama sepertimu," ucap Noah.

Mendengarnya, kedua bola mata Tadashi membulat sempurna. "Pernah?"

"Yeah. Dulu aku bisa menjelajahi mimpi sepertimu, Tadashi."

"Wait, wait," potong Tadashi. "Dari mana kau tahu aku seorang dream walker juga?"

"Entahlah. Aku secara alami mengetahuinya. Ketika pertama kali melihatmu di Davey's Ice Cream, kau punya aura yang tidak dipunyai teman rambut merahmu."

"Wow. I can't believe this! Aku bertemu seseorang yang pernah memiliki kemampuan sepertiku!" ucap Tadashi antusias. "Menjelajahi mimpi orang lain adalah sesuatu yang luar biasa, bukan?"

"Yeah, luar biasa sampai seseorang tidak bisa lagi mengendalikannya," jawab Noah serius.

Mendengar jawaban dan raut serius di Noah, senyum di wajah Tadashi pudar.

"Being a dream walker ... is a curse, not a gift," ucap pemuda berambut pirang itu.

"What do you mean?" tanya Tadashi serius, seolah menuntut pemuda di hadapannya untuk menjelaskan saat ini juga.

"Karena seharusnya seseorang tidak bermain-main di dalam mimpi orang lain. Ini seperti tokoh fiksi di dalam komik yang memiliki kemampuan telepati. Kau tahu, seseorang dengan kemampuan seperti itu akan mendengar banyak bisikan-bisikan yang tertumpuk di otak mereka. Rupanya, itu adalah suara hati orang-orang di sekitarnya," terang Noah.

"Yeah, seperti Jean Grey yang belum mahir mengendalikan kekuatannya." Tadashi menimpali.

Noah mengangguk. "Kekuatan itu semakin besar, sehingga banyak mimpi yang bertumpuk di satu waktu. Kau beruntung jika seseorang yang kau intip mimpinya sedang berbahagia. Namun, bagaimana jika mereka sedang depresi, terkena serangan panik sebelum tidur, atau dirundung kesedihan yang mendalam? Mereka akan menciptakan mimpi buruk di otaknya, dan kau turut melihat dan merasakannya. Apa kau bisa tahan dengan perasaan negatif itu?"

Tadashi tertohok. Dalam bulan yang sama, sudah dua orang yang ia kunjungi mimpinya secara sengaja; Robert dan Evelyn. Meskipun Robert tidak bermimpi buruk, efek dari apa yang dilihatnya membuat Tadashi mengalami kecemasan berlebih terhadap masa depannya. Sahabatnya itu memiliki masa depan yang telah ditentukan, tidak sepertinya yang masih kehilangan arah. Tadashi sempat membenci dirinya sendiri akibat dengki yang ia rasakan terhadap Robert.

Sedikit berbeda dengan mimpi Evelyn. Apa yang gadis itu rasakan di dalam mimpi berdampak langsung pada mental Tadashi. Suara-suara perdebatan itu, dapur yang suram dan mencekam, tidak ada kehangatan sama sekali di sana. Jangan lupakan giginya yang kian rontok akibat ketakutan dan trauma yang dirasakan pemuda itu. Mungkin penglihatan itu telah berakhir, tetapi Tadashi masih merasa efeknya selama beberapa hari.

"Well, aku tahu bagaimana rasanya." Tadashi menunduk. "Aku banyak mengunjungi mimpi orang-orang dan turut merasakan apa yang mereka rasakan."

"Kurasa kemampuanmu mulai mengambil alih pikiranmu, sehingga kau kehilangan kendali atas dirimu sendiri," ucap Noah serius. "Aku mencari informasi di segala sumber. Sekitar seratus tahun yang lalu, banyak dukun suku Indian yang juga seorang dream walker, kehilangan kewarasannya akibat mimpi-mimpi itu. Mereka bahkan diasingkan dari sukunya karena dianggap sebagai simbol kesialan."

Mendengarnya, Tadashi panik. Pemuda bermata sipit itu merasakan bulu kuduknya berdiri. "Lalu, apa yang harus kulakukan? Apa aku akan jadi gila juga?"

"Tidak, jika kau tidak menggunakan kekuatanmu, karena itulah yang kualami. Aku melepas kemampuanku. Kini, aku tidak bisa lagi mengunjungi mimpi orang lain."

"Tunggu. Kemampuan semacam ini bisa dihilangkan?" tanya Tadashi.

"Tentu saja bisa." Noah tersenyum. "Lihatlah aku sekarang. Aku tidak perlu lagi mengunjungi psikiater untuk mengembalikan kewarasanku."

"Kau ... sampai harus bertemu psikiater?" tanya Tadashi sambil mengusap-usap lengannya karena merinding.

"Tapi kau tidak perlu khawatir, aku belum mencapai tahap 'hilang akal sepenuhnya'."

"Bagaimana cara menghilangkan kemampuan itu?" tanya Tadashi.

"Kau ingin menghilangkan kemampuanmu juga?" Noah bertanya balik.

"I don't know." Tadashi ragu. "Mendengar ceritamu, aku jadi khawatir hal buruk akan menimpaku di masa depan. Memang, kemampuan ini dapat membantuku untuk mengetahui keadaan hati seseorang, sehingga aku dapat lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan bertindak. Namun, aku khawatir tidak bisa mengontrolnya di masa depan."

"Sebaiknya kau pikirkan matang-matang, karena sekali kau melepas kekuatanmu, kau tidak akan bisa mengembalikannya lagi," respons Noah serius. "Tapi jika kau benar-benar mau melepasnya, aku bisa membantumu."

"Benarkah?"

Noah mengangguk. "Aku kenal seseorang yang mewarisi sihir kuno suku Indian. For your information, tidak semua keturunan suku Indian menguasai ilmu hitam, ada pula sihir yang dapat digunakan sebagai penyembuh."

Obrolan kedua pemuda itu terpotong oleh datangnya seorang pelayan wanita yang membawa seloyang kecil tuna mushroom pizza dan segelas sparkling water, kemudian meletakkannya di hadapan Noah. Setelah pesanan lengkap, wanita itu kembali ke dapur.

"Sebaiknya kau pikirkan baik-baik. Jika keputusanmu sudah final, kau bisa menghubungiku lagi." Noah mengambil sepotong pizza di mejanya, kemudian tersenyum pada Tadashi. "Lambungku sudah tidak bisa diajak berkompromi. Bagaimana jika kita makan malam terlebih dahulu?"

Kedua pemuda itu menghentikan pembicaraan mereka dan beralih pada makan malam yang telah disajikan. Tadashi memiliki banyak pikiran yang mengganggunya, membuat pemuda itu tidak banyak bicara setelahnya.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

21 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top