1 | Tadashi Reyes [Part 1]
Langit Kota New York telah menggelap secara keseluruhan. Sudah waktunya bagi seisi kota untuk beristirahat, tetapi tidak bagi seorang anak laki-laki berambut hitam legam yang kini sedang duduk di atas karpet maroon berbahan wol. Di hadapannya terdapat puzzle yang terbagi menjadi seratus bagian kecil. Kedua iris cokelat tuanya tertuju pada satu bagian kecil puzzle yang tersisa.
"Kita hampir berhasil menyelesaikannya," ujar seorang pria berusia sekitar pertengahan tiga puluh tahunan yang duduk tepat di seberang bocah itu, "kau mau Dad yang memasangnya?"
"No! Biarkan aku yang melakukannya sendiri!" seru anak itu.
Mendengarnya, pria berambut pirang itu terkekeh, kemudian mengangguk. "As you wish."
Anak laki-laki itu memasang bagian puzzle terakhir yang letaknya di kanan atas. Senyumnya mengembang, ia mengangkat tinggi-tinggi benda itu sambil mengamati potret superhero favoritnya yang kini telah tersusun menjadi satu bagian utuh.
"Captain America!" serunya. Kemudian ia menoleh ke arah sang ayah. "Kita berhasil, Dad!"
"Wow, kita menyelesaikannya lebih cepat dari puzzle-puzzle sebelumnya!"
"Aku ingin puzzle bergambar superhero lainnya!"
"Whoaaa, kau bersemangat sekali! Sekarang hari sudah larut dan energimu bahkan belum habis?" Pria berambut pirang itu terkekeh. "Bersabarlah, Dad akan membawakanmu puzzle yang lain besok." Lalu ia menunjukkan telapak tangan pada putra semata wayangnya. "Good job, Tiger!"
Anak laki-laki itu berdiri, kemudian melakukan high five dengan sang ayah. Ia berbalik badan, kemudian berlari kecil ke arah dapur sambil membawa puzzle bergambar Captain America.
"Hey, where are you going?" teriak pria itu.
"Aku ingin menunjukkannya pada Mom!" balas bocah itu.
"Setelah itu pergilah tidur! Kau tidak ingin terlambat ke sekolah, 'kan?" Pria itu berteriak dari kejauhan, sang putra hanya mendengarnya samar-samar.
Anak laki-laki yang usianya enam tahun itu melangkahkan kedua kaki menuruni tangga, kemudian menuju dapur. Pandangannya menyisir seisi ruangan untuk mencari presensi sang ibu. "Mom?" teriaknya.
Ketika tidak ada tanda-tanda kehadiran ibunya, bocah itu mencari di ruangan lain. Kamar tidur, kamar mandi, basement, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran sang ibu. Ketika sedang melewati koridor sebelah tangga, ia melihat cahaya menyilaukan dari arah ruang keluarga. Kedua matanya menyipit. Dengan rasa penasaran yang membuncah, ia berlari kecil mendatangi sumber cahaya.
Sesampainya di sana, kedua kakinya membeku, mulutnya sedikit menganga. Ia yakin sekali ruang keluarganya tidak pernah memiliki pintu berbahan kayu mahoni yang berdiri sendiri di tengah-tengah ruangan. Benda itu seolah-olah muncul dengan sendirinya. Cahaya menyilaukan membuatnya kesulitan melihat sisi lain dari pintu itu. Hal itu benar-benar ganjil, mengingat 'pintu ke mana saja' hanya ada di dunia Doraemon.
"Mom? Are you there?" teriaknya. Sayangnya, tidak ada jawaban.
Namun, bukannya kembali ke kamar, anak laki-laki itu malah nekat melangkah memasuki pintu tersebut. Cahaya menyilaukan perlahan memudar, tergantikan oleh hamparan padang rumput yang luas. Terdapat sekitar tiga pohon besar sejauh mata memandang. Ia mendongak, kedua matanya berbinar melihat kupu-kupu yang sedang terbang, mengepakkan sayap berwarna ungunya yang cantik. Matahari bersinar cerah, tetapi tidak menimbulkan panas yang membakar kulit. Dengan senyum yang mengembang, kedua kaki mungilnya bergerak menjelajahi tempat itu.
Tiba-tiba saja, gumpalan kapas mendung menutupi langit biru. Padang rumput itu menggelap, cahaya matahari tidak mampu lagi memberi kehangatan. Kilasan cahaya menyilaukan datang dari arah langit, disusul oleh bunyi gemuruh pelan. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari tempat berteduh jikalau hujan turun.
Di kejauhan, ia melihat presensi seorang pria dengan setelan panjang berwarna putih gading dilengkapi dengan aksen rumbai-rumbai di ujungnya. Entah bagaimana rupanya, anak itu tidak dapat melihatnya karena pria itu berdiri membelakanginya. Sebagian rambutnya telah memutih, ikat kepala dengan bulu-bulu binatang dan motif tribal menghiasi penampilannya. Sosok itu mengangkat kedua tangannya di udara.
Ini gila, tetapi anak itu bersumpah sempat melihat percikan listrik dari tubuh pria itu, seolah-olah ia dapat memanggil petir hanya dengan tangannya.
"Tadashi!"
Pemuda berambut hitam yang bernama Tadashi itu membuka matanya cepat. Tubuhnya terasa sangat berat setelah dibangunkan tiba-tiba. Ia yang awalnya bersandar pada kaca mobil, dengan perlahan menegakkan tubuh sambil mengucek kedua mata sipitnya, lalu kembali memfokuskan atensi pada jalanan pagi Kota New York yang padat merayap. 'Somebody That I Used to Know' dari Gotye di dalam radio terdengar hingga ke seluruh penjuru Mercedes-Benz mewah itu.
"Selamat pagi dan selamat hari pertama spring quarter!" sindir seseorang di sampingnya.
Tadashi melirik seorang pemuda yang sedang berkutat dengan pedal dan kemudi di sampingnya. Sahabatnya itu memiliki rambut berwarna merah yang sangat khas serta sedikit freckles di pipi.
"Shut up, Robert," lirih Tadashi, "anyway, I had a weird dream."
"Mimpi apa?"
"Aku melihat ... ah sudahlah, kau tidak akan tertarik mendengarnya."
"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi," jawab Robert cuek, masih berkutat dengan kemudi mobil, "apa yang kau lakukan sepanjang malam sampai-sampai terlambat bangun dan membuatku harus repot-repot menjemputmu?" tanya Robert.
"Motorku masih di bengkel dan ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan, wajar jika aku belum terbiasa bangun pagi," ujar Tadashi, "aku juga menatap laptop sepanjang malam."
Robert mengernyit. "Kau menonton The Witcher dan WandaVision untuk yang kesekian kalinya?"
"No!" Tadashi terkekeh. "Sebentar lagi kita akan lulus dan berkuliah. Aku masih sibuk mengunjungi website beberapa universitas terbaik yang bisa kupilih."
"Wow, kau sudah memikirkannya dari sekarang?" tanya Robert.
"Memangnya kau tidak?" Tadashi bertanya balik.
Robert mengedikkan bahu sambil mengerutkan bibir. "Aku bahkan tidak tahu apakah akan lanjut kuliah atau tidak."
"Kau bercanda!" seru Tadashi. "Jika kau tidak berkuliah, bagaimana dengan masa depanmu?"
"Kau sendiri sudah memutuskan ingin kuliah di mana?" Robert mengalihkan pembicaraan.
"Aku belum memutuskannya," jawab Tadashi, "MIT, Stanford, dan kampus-kampus yang masuk jajaran Ivy League, semuanya menarik. Masa depanku akan sangat terjamin jika diterima di sana."
"Ya, sangat menggiurkan." Robert mengangguk setuju. "Seandainya saja berkuliah di sana semudah membolos kelas Mr. Finch."
"We're seniors now. Kau harus mengurangi kegiatan bolosmu atau kau tidak akan lulus dengan nilai yang baik!" omel Tadashi.
"Dan kau juga harus mengurangi kegiatan workout pagimu jika tidak ingin mengantuk selama perjalanan!" balas Robert, "lihatlah tubuhmu, massa ototmu sudah jauh lebih banyak dariku!"
"Tapi melakukan workout setiap pagi bagus untuk tubuhmu. Kau lihat kakekku? Usianya sudah tujuh puluh tahun dan ia masih sangat bugar!"
"Ya, Dakota memang patut dijadikan panutan." Robert mengangguk setuju. "Tapi tidak bisakah kau melakukannya di sore hari setelah pulang sekolah?"
"Percaya atau tidak, melakukan workout pagi akan membuat staminamu membaik dan membuatmu menjadi lebih kuat." Tadashi menutup percakapan.
Mercedes-Benz putih mewah itu nyaris sampai di depan Red Valley High School. Sekitar lima meter di depan, kedua pemuda itu melihat seorang gadis cantik berambut hitam sebahu dengan highlight biru. Berbagai kalung berwarna hitam menghiasi lehernya. Sosok yang mengenakan oversized sweater berwarna navy, dilengkapi dengan ripped jeans biru muda itu terlihat sedang berjalan santai di trotoar dengan AirPods di kedua telinganya.
Robert menepuk bahu bidang sahabatnya dengan buku tangan. "Kalau kau sudah merasa menjadi jagoan dengan melakukan workout tiap pagi, turunlah dan ajak Evelyn bicara!"
Tadashi tertawa hambar. "Kau tahu itu tidak ada hubungannya sama sekali, 'kan?"
Pemuda berambut merah itu mendengkus pasrah. "Sekarang apa? Kita akan berkendara melewatinya begitu saja seolah-olah tidak saling mengenal? Sapa dia!"
"Kami tidak sedekat itu sekarang. Tahun ini, tidak banyak kelas yang kami ambil bersama-sama," jawab Tadashi seadanya.
"Karena dari dulu kau memang tidak pernah berusaha mendekatinya lebih dari teman. Kalau begitu, kau harus—ah, masa bodoh!" Ketika mobil sudah berada sejajar dengan Evelyn, Robert melambatkan laju kendaraannya dan membuka jendela di samping Tadashi. "Hai, Ev!" sapa pemuda berambut merah itu cukup kencang.
Evelyn yang menyadari hal itu, buru-buru melepas AirPods-nya dan menyapa balik dengan senyum yang merekah. "Hai, Robert!" Kini, atensinya tertuju pada pemuda bermata sipit di sampingnya. "Hai, Tadashi!"
"Hai juga, Ev!" Tadashi menyapa balik. Canggung selama beberapa detik. Untuk mengatasinya, Tadashi memberanikan diri untuk bicara. "Mau masuk dan menumpang?"
Evelyn terkekeh sambil menunjuk bangunan tiga tingkat di dekat mereka. "Red Valley High School hanya sekitar dua puluh langkah lagi dari sini."
"Oh, ya, kau benar," respons Tadashi pahit. Di bangku kemudi, Robert mengalihkan pandangan ke arah sebaliknya sambil menutup mulut, berusaha menahan tawa.
"Tapi terima kasih tawarannya," jawab Evelyn, masih dengan senyum yang membuat otak Tadashi berhenti berfungsi, "sampai jumpa di sekolah!"
"See ya!" seru Robert sebelum melajukan kembali kendaraannya dan menutup jendela. Setelah mereka memasuki kawasan sekolah, tawa pemuda itu pecah. "Tadashi, you're a chicken!"
"Sudah kubilang, kami tidak sedekat dulu! Tidak ada topik segar yang bisa dijadikan bahan obrolan!"
"Itu karena kau memang tidak pernah berusaha untuk mencari topik! Kau tahu hal-hal yang disukainya, tetapi tidak pernah menjadikannya bahan obrolan!"
"Study first, girlfriend later, okay?" Tadashi mengakhiri percakapan.
Robert memarkirkan kendaraan mewahnya di area parkir khusus senior. Setelah turun, Tadashi berjalan memasuki kawasan sekolah dan membelah kerumunan siswa di koridor lantai satu, diikuti oleh sahabatnya. Tujuan mereka pagi ini adalah kelas Sejarah Amerika.
"Hei, hei. Bagaimana jika aku membantumu untuk kembali dekat dengan Evelyn?" Robert bersikeras.
Tadashi memutar bola matanya malas. "Seriously?"
"Yeah! Beberapa bulan lagi kita lulus dan kau mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan seperti ini lagi!"
"In one condition, don't do anything stupid!" tegas Tadashi.
Robert melakukan gestur finger gun sambil mengedipkan salah satu mata. "Got it!"
Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
*****
GLOSSARIUM
Harvard University adalah universitas swasta di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat dan anggota Ivy League. Universitas ini merupakan salah satu universitas paling bergengsi di dunia dan mempunyai pendapatan terbesar di antara universitas-universitas di seluruh dunia (US$22,6 miliar pada tahun 2004), hampir dua kali lipat dari Universitas Yale, pesaing terdekatnya).
Leland Stanford Junior University, yang lazim dikenal sebagai Universitas Stanford (atau Stanford saja), adalah sebuah universitas swasta yang terletak dekat Kota Palo Alto, California, Amerika Serikat.
Universitas Stanford merupakan universitas kedua terbesar di dunia, dan terdiri atas Sekolah Teknik, Hukum, Kedokteran, Pendidikan, Bisnis, Ilmu bumi, dan Humaniora serta Sains.
Massachusetts Institute of Technology atau MIT adalah institusi riset swasta dan universitas yang terletak di Kota Cambridge, Massachusetts tepat di seberang Sungai Charles dari distrik Back Bay di Boston, Amerika Serikat. MIT memiliki 5 sekolah dan satu kolese, mencakup 32 departemen yang mengkhususkan diri pada sains dan penelitian teknologi.
Didirikan tahun 1861 sebagai respon atas kemajuan teknologi dan industri di Amerika pada saat itu, universitas ini mengadopsi universitas riset ala Eropa. MIT sekarang berdiri di atas tanah seluas 168 are yang dibuka 1916. Dalam kurun waktu 60 tahun belakangan ini, MIT telah mengembangkan cabang lain seperti manajemen, ekonomi, ilmu politik, dan biologi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top