void: artajuna
Setiap mendengar tentangnya, yang terlintas hanya kunang-kunang.
Cahaya yang lunaskan segala sangkutan sebelum padam,
lantas bergegas tanpa kata menuju keabadian.
Harap yang kupunya hanya satu;
semoga terang pulangmu.
*
Katanya, dari sekian banyak cara untuk berpisah dengan seseorang, kematian adalah cara paling baik hati yang pernah ada.
Awalnya, gue kira begitu, karena apa yang lebih sakit daripada berkabung untuk seseorang yang masih hidup? Seseorang yang masih berada dalam satu dimensi yang sama dengan lo, tapi nggak bisa lo temui, nggak bisa lo ajak bicara, nggak bisa lo anggap ada, karena dengan suatu cara, memang itu yang seharusnya terjadi. Bodohnya, gue mempercayai itu ketika gue nggak pernah sekalipun bersentuhan dengan kematian. Gue nggak dekat dengan kakek-nenek gue, entah itu dari pihak bokap maupun pihak nyokap. Mereka tinggal di luar kota. Jadi ketika salah satu dari mereka meninggal, gue nggak merasa kehilangan seseorang yang tanpanya, bakal membuat hidup gue jadi berbeda. Gue juga nggak punya hewan peliharaan dan meski gue pernah benar-benar berharap bokap gue tiba-tiba nggak ada, seluruh anggota gue hamdallah masih sehat, baik-baik saja, luar biasa yes-yes-yes.
Sampai suatu hari, gue hampir kehilangan teman terdekat yang gue punya. Gue masih ingat hari itu dengan jelas, gimana gue melihatnya berada di tengah jalan, dengan darah mengalir di aspal dan plastik berisi aneka snack yang sudah berceceran nggak karuan. Gue nggak bisa berkata-kata, sejenak membeku di tempat dan nggak tahu harus berbuat apa. Rasanya, semua kayak mimpi dimana mendadak, gue lupa bukan hanya gimana caranya berbicara, tetapi juga gimana caranya bernapas.
Seperti apa hari-hari gue tanpa seorang Jevais Nareshwara?
Gue nggak tau, yang sebetulnya agak lucu karena ada waktu-waktu di dalam hidup gue dimana gue nggak mengenal dia dan gue merasa gue baik-baik aja. Tapi setelah hari-hari yang nggak terhitung kita habiskan bareng buat sarapan di Warmil punya Bang Horas, agenda nyolong mangga tetangga buat dibikin rujak yang nggak kalah dadakan ama tahu bulat lima ratusan di pos ronda, pengalaman mengagumi melon kembarnya Duo Serigala pertama kali, gimana bucinnya dia ke Kasa dan siasatnya biar gue bisa meledek Lala dengan bebas sentosa tanpa takut kena geprek sampe bonyok...
Gue sudah seterbiasa itu dengan hadirnya sehingga gue takut, gue harus gimana kalau tiba-tiba dia nggak ada.
Hari itu gue berdoa dengan sungguh-sungguh supaya Nana tetap diizinkan ada karena tanpanya, gue hanyalah nasi padang yang karetnya udah sekarat, kena senggol dikit juga putus dan bikin isi nasi padangnya ambyar aur-auran kemana-mana.
Gue nggak mengira, seminggu setelahnya, gue justru merasakan penyesalan terhebat yang pernah gue rasa di sepanjang hidup.
Nggak, gue nggak menyesal karena meminta Nana tetap diizinkan ada.
Gue menyesal karena gue nggak mengucap doa secara lengkap-sempurna. Harusnya, gue juga minta ke Tuhan bahwa bukan cuma Nana yang diizinkan ada, tapi juga Jeno, Alma, Bongshik (gue nggak suka ama tuh kocheng sih tapi kalau nggak ada Bongshik, kayaknya Jeno bakal sinting sampe bangkotan) dan... Komandan Toil. Iya, anggap aja gue serakah. Namanya juga usaha. Kalau ibu-ibu penjual cabe di pasar aja bisa ditawar harga dagangannya, masa doa ke Tuhan nggak bisa, sih?
Katanya, Dia kan Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kalau melihat Nana penuh darah di tengah jalan bikin gue lupa bagaimana caranya bernapas, melihat Pak Terry malam itu... membuat badan gue menolak untuk bernapas. Gue nggak menduga gue akan melihatnya dalam keadaan yang seperti itu. Atau mungkin dalam hati kecil gue, gue sebetulnya sudah tahu. Hanya saja, gue memilih pura-pura nggak tau karena gue nggak siap menghadapi sakit yang ditimbulkan dari sebuah kehilangan.
Konon, manusia memang begitu, kan? Kita sering menipu diri sendiri, berlagak nggak ada clue akan sesuatu, walau sebetulnya kita sudah tahu. Alasannya satu, kita nggak mau merasa sakit.
Gue nggak berhak menentukan bagaimana seseorang seharusnya mati, namun jika gue bisa menulis ulang kisah hidup orang lain, cara pulang yang pantas Pak Terry dapatkan adalah bukan malam itu, melainkan puluhan tahun setelahnya, saat rambutnya sudah ada yang memutih. Dia bakal berdiri di pinggir tebing, duduk di atas bangku, menatap sorot cahaya senja dengan mata yang sudah rabun. Dia akan tersenyum, bangga dengan hidup yang sudah dia jalani. Senang dengan kemenangan-kemenangan kecil yang telah dia ciptakan. Lalu gue akan berada di dekatnya, memegang tangannya, untuk pertama kalinya, gue nggak akan mengejeknya dan berkata, tanpanya hidup gue nggak akan pernah jadi apa-apa.
Dia bisa aja memanggil gue dengan julukan-julukan memalukan itu. Entah itu 'Injunnie' atau 'Sontoloyo Nomor Dua' atau 'Sontoloyo Second'. Mana aja nggak masalah. Gue nggak akan keberatan. Dia akan bicara sedikit tentang gue atau Jeno atau Nana atau bisa jadi, kita bertiga, sebelum akhirnya perlahan matanya menutup dan ruhnya tercabut. Dia akan berjalan menuju keabadian dengan senyum, menyongsong kematian seperti teman lama yang sempat terlupakan.
Tapi kenyataannya nggak seperti itu.
Gue justru menemukannya terbaring di karpet, di atas genangan darahnya sendiri. Sebagian telah terserap, membuat warna karpet jadi merah tua. Lainnya menodai dinding.
Gue nggak lupa bagaimana caranya bernapas.
Gue menolak bernapas.
Lantai tempat gue berpijak bergoyang dan tanpa permisi, air mata berdesakan berebut keluar dari mata gue. sesuatu mencekik tenggorokan gue, membuat gue nggak bisa melakukan apa-apa selain menangis dalam diam.
Itu betul-betul dia.
Gue benar-benar kehilangannya.
Gue nggak akan pernah melihatnya lagi.
Gue nggak akan pernah mendengar suaranya lagi.
Suara ambulans dan apa yang terjadi malam itu hanya pembuka untuk ratusan malam berikutnya, yang penuh mimpi buruk tanpa jeda.
*
Kenapa Lala bisa suka sama Injun?
Jujur, kalau ada yang nanya kayak gitu ke Lala, dia masih nggak tahu harus jawab apa. Suka sama Injun tuh semacam semudah itu. Kayak orang yang ketiduran. Awalnya cuma merem-merem gemes, et lama-lama kepalanya terkulai dan benaknya langsung terbang ke alam mimpi. Itu sih yang Lala rasain waktu pertama kali ngelihat Injun dulu, di hari pertamanya masuk sekolah.
Saat itu, Lala lagi mau pulang dan nggak sengaja, dia melihat Injun di dekat gerbang depan sekolah. Seragamnya agak berantakan. Setengah bagian kemejanya sudah nggak lagi dimasukkan. Ada pulpen nyelip di telinganya—jelas-jelas pulpen hasil nyopet teman sekelasnya yang cewek karena warnanya merah muda dan tutupnya berbentuk kepala kelinci. Kayaknya nggak mungkin banget cowok bisa punya pulpen warna merah muda dan ada tutup kepala kelincinya pula. Yah, bukan berarti cowok nggak boleh suka sama warna merah muda. Tapi ngelihat dari dandanannya Injun yang seperti semacam anak nggak modal, kayaknya nggak mungkin dia beli pulpen begituan. Injun tuh aura-aura anak yang kalo ke sekolah bawa buku aja udah alhamdulillah.
Injun lagi menunggu orang, nggak tahu siapa. Hari itu mendung, tapi udaranya gerah. Injun keringetan, tapi nggak cukup banyak buat bisa merembes ke bajunya. Dia memegang es teh dalam plastik yang dilengkapi sedotan hijau di tangan kanan, sementara tangan kirinya mengacak rambutnya ke belakang dengan jari. Badannya agak bersandar ke pilar, dengan satu kaki yang diangkat, bikin alas sepatunya nempel ke tembok—yang kalau ketahuan penjaga sekolah, pasti langsung digaplok karena bikin kotor dinding.
Awalnya, Lala biasa aja.
Sampai tiba-tiba, Injun ngehalangin jalan seorang anak cewek yang kelihatannya seangkatan ama Lala. Muka anak cewek itu langsung pucat, gugup karena mendadak dihadang kakak kelas. Injun ngelihatin dia sebentar dan saat itulah, Lala sadar kalau ada noda di bagian belakang rok tuh anak cewek. Kayaknya dia datang bulan, tapi nggak sadar karena gesturnya kayak santai-santai aja. Injun nunduk, ngebisikin tuh cewek yang bikin mukanya langsung merah banget. Tapi dia mengangguk, sebelum akhirnya melonggarkan tali tasnya hingga tas itu bisa menutupi bagian belakang roknya yang bernoda.
Lala sempat dengar samar-samar anak itu bilang 'terimakasih' ke Injun yang dibales Injun pake kedipan sok manja dan sahutan, 'hati-hati pulangnya'.
Terus ya di dunia Lala berasa ada RAN muncul terus nyanyi lagu kurasa ku tlah jatuh cinta sambil nebar-nebarin kelopak mawar warna merah muda.
Sejak hari itu, Lala tuh kagum banget sama Injun. Suka juga. Sesekali sebel sih, sampe pengen ngehajar Injun apalagi kalau mulut sampahnya sudah beraksi, tapi di luar itu tuh Injun adalah cowok yang manis, lucu dan penuh perhatian. Idaman banget, deh. Lala nggak butuh cowok beraura ubin mesjid yang berdekatan dengannya bikin cewek-cewek berasa diguyur air Lembang alias luar biasa adem. Lala dikasih Injun aja udah bahagia. Apalagi kalau kadar persampahan di mulutnya bisa dikurangi dikit. Mau deh tuh Lala membaktikan seluruh jiwa dan raga hanya untuk seorang Mas Artajuna.
Tapi Lala nggak bisa terus terang lah ya. Gengsi coy. Belom lagi risiko ditolak. Apalagi ada isu, katanya Injun nggak suka cewek karena sepaket melulu sama Nana. Kemana-mana bareng. Bahkan konon, mereka pernah izin ke toilet berdua sampe guru yang lagi mengajar dan dimintai izin pun melongo kehilangan kata-kata.
Walau begitu, Lala percaya, Injun masih lebih suka liang daripada batang.
Selama tahu Injun, Lala nggak pernah sekalipun lihat Injun nge-down atau sedih banget di sekolah. Dia selalu jahil dan ketawa, even ketika lagi dihukum Pak Asu atau diomelin Pak Jancok. Tapi ada yang berbeda seminggu belakangan. Injun kelihatan muram. Kadang, dia duduk sama Jeno. Namun, dia lebih sering sendirian. Beberapa kali, Lala melihatnya melamun di depan laboratorium Biologi yang sudah nggak terpakai—yang katanya sih udah jadi markas pribadi buat Injun, Jeno, Nana dan Pak Terry.
Lala betulan clueless soal apa yang telah terjadi seminggu sebelumnya. Dia cuma tahu kalau Pak Terry udah nggak ada. Sebabnya nggak jelas. Pak Terry juga belum lama mengajar dan bukan jenis orang yang dekat dengan semua siswa di sekolah, jadi meski sempat kaget, rasa penasaran mereka nggak berlanjut. Namun jelas, nggak adanya Pak Terry betul-betul berpengaruh pada Jeno dan Injun. Setahu Lala, Nana juga masih di rumah sakit usai kecelakaan yang dia alami. Injun pernah mengajaknya membesuk Nana sekali—dan mereka hanya bisa melihat Nana dari jauh, melalui kaca yang membatasi ruang perawatan ICU dengan koridor rumah sakit.
Lala khawatir sama Injun.
Siang ini, dia sedang duduk di kantin sambil mengaduk es tehnya pakai sedotan waktu Adin menghampirinya. Lala sempat sensi, soalnya gimana ya, tuh cewek sok imut adalah rival terbesar dalam percintaannya. Ceileh. Apalagi setelah Lala tahu kalau orang tuanya Adin tuh pengusaha tajir yang punya saham banyak di sejumlah perusahaan terkemuka di Indonesia. Dengar-dengar sih, Adin anak satu-satunya dan dimanja banget karena dia pernah nyaris mati setelah tenggelam di kolam renang rumahnya waktu dia masih kecil. Gara-gara itu juga, keinginan konyol tuh bocah buat pindah sekolah cuma buat ngikutin Injun dituruti.
Gimana Lala nggak sensi kalau saingannya adalah princess manja kaya-raya tapi setengah gila?
"Kak Lala."
"Ape?"
"Tau Kak Artajuna ada di mana nggak sekarang?"
"Nggak."
"Kak Artajuna ada di depan laboratorium Biologi yang udah nggak kepake. Sendirian."
Lala mengernyit. "Kenapa lo ngasih tahu gue?"
"Soalnya... Kak Artajuna kayaknya butuh teman."
"Terus?"
"Aku ngerasa, Kak Artajuna bakal lebih senang kalau Kak Lala yang ada di sana."
Lala terbatuk. "Kenapa—"
Adin memotong sambil tersenyum. "Aku suka sama Kak Artajuna. Sayang juga. Sayang banget. Aku nggak mau lihat Kak Artajuna sedih, tapi saat ini, aku ngerasa Kak Lala yang bisa bikin Kak Artajuna ngerasa lebih baik."
Lidah Lala kelu, membuatnya hanya bisa mengangguk dan menonton punggung Adin yang menjauh kala gadis itu berlalu pergi. Tak berapa lama, dia bergegas menuju tempat yang Adin maksud. Benar saja, Injun memang sedang sendirian di sana, sibuk menatap ke kejauhan dengan sorot menerawang. Tatapannya kosong. Kemudian perlahan, ada air mata mengalir ke pipinya tanpa dia sadari. Dia bergeming, hampir tak berkedip layaknya patung batu tanpa nyawa.
Lala kian cemas.
"Sengaja ke sini cuma buat nangis? Dasar cengeng."
Injun tersentak, menoleh ke arah Lala sebelum tangannya terangkat naik dan dia menyentuh pipinya sendiri. Cepat-cepat, Injun menyeka air matanya dengan punggung tangan sementara Lala melangkah mendekat. Seiring dengan kian sempitnya jarak diantara mereka, bayangan hitam di bawah mata Injun makin jelas. Cowok itu pasti sulit tidur selama beberapa hari terakhir.
"Ngapain lo di sini?"
"Lo nggak suka gue di sini?" Lala balik bertanya, nadanya galak.
Injun meringis. "Bukan gitu. Cuma... heran aja. Kenapa lo ada di sini?"
Lala membuang napas lelah, lantas duduk di sebelah Injun. "Mau bilang, kalau kemarin itu tanggal cantik. Mana janji lo?"
"Oh." Injun mengerjap, tampak merasa bersalah. "Sori. Gue lupa. Nanti gue bakal—"
"Lupain aja. Sekarang gue lebih tertarik nanya sesuatu yang lain."
"Apa?"
"Lo tidur jam berapa semalam?"
"Itu—"
"Oh, ralat. Maksud gue, lo tidur berapa jam semalam?"
Injun berdeham. "Gue nggak—"
"Jangan bilang lo tidur dengan cukup atau lo baik-baik aja karena kantung mata itu nggak bisa bohong."
Injun menghindari tatapan Lala, memandang lurus ke depan dan mengerjap beberapa kali. Dia menelan ludah, seperti tengah menahan diri. "Gue nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
Injun masih mengedipkan kedua matanya beberapa kali, terkesan seperti sedang berusaha keras agar tak ada air mata yang jatuh. "Mimpi buruk."
"Oh."
"Itu bukan karena—"
"Gue nggak nanya."
Injun jadi bingung, namun kemudian mengerti. "Ah, gue kira—"
"Gue nggak dekat dengan wali kelas lo. Diajar sama beliau pun nggak. Gue juga nggak tahu apa yang terjadi sama beliau. Tapi gue tahu, lo sangat dekat dengan dia. Bisa jadi, dia adalah guru yang paling dekat sama lo selama lo sekolah di sini—yang sebenernya lucu banget, karena dia bukan guru beneran dan dia hanya beberapa bulan mengajar." Lala menarik napas. "Ketika orang yang kita pedulikan tiba-tiba nggak ada... itu pasti berat, kan? Gue cuma mau ngasih tau aja, lo nggak sendirian. Soalnya gue... bakal ada di sini."
Injun tercengang, tapi tak lama, senyum tipisnya tertarik. "Makasih."
Bel tanda berakhirnya jam istirahat berdering, namun tidak ada satupun dari mereka yang beranjak.
"Shavela."
"Mm?"
"Udah bel masuk."
"Lagi males kelas."
"Bohong."
"Atas dasar apa lo ngomong gitu?"
"Lo nggak pernah males. Lo anak paling rajin di sekolah ini."
"Yah, siang ini lagi mau males dan lo nggak bisa larang gue." Lala menjawab tegas. "Gue mau di sini. Lo nggak usah ke-ge-er-an. Ini bukan buat lo."
"Masa?"
"Lo mau dihajar dulu biar percaya?"
Injun nyengir. "Nggak perlu."
Lala jadi salah tingkah karena senyum Injun. Mereka kembali diam, seolah-olah tengah ditenggelamkan pikiran masing-masing sampai tanpa aba-aba, Injun menjatuhkan kepalanya di pundak Lala. Tubuh Lala langsung kaku seketika, apalagi ketika sejenak setelahnya, Injun menyelipkan jari-jarinya diantara jemari Lala, menggenggamnya erat. Tangannya hangat.
"Aneh, kenapa gue jadi ngantuk ya sekarang?"
"Juna,"
"Tumben lo nyebut nama gue dengan patut." Injun tertawa kecil. "Biasanya orang manggil gue 'Injun' atau 'Artajuna'. Kenapa lo manggil gue itu?"
"Suka-suka gue, lah!"
"Ah ya, benar. Suka-suka lo." Injun menarik napas dalam-dalam. "Nggak nyangka, ternyata lo wangi gini. Medusa juga kenal parfum rupanya."
"Maksud lo?!"
"Seminggu yang lalu, gue melihat sesuatu yang... bikin badan gue menolak bernapas." Injun malah bicara sesuatu yang lain, membuat Lala batal membantah. "Lo benar. Lo emang nggak dekat dengan Pak Terry. Diajar pun nggak pernah. Tapi dia berarti banget buat gue. Dan melihatnya pergi dengan cara yang seperti itu..." Kata-kata Injun tersubstitusi oleh kesenyapan. Namun diam-diam, Lala merasa ada hangat merembes bagian bahu seragamnya.
Cowok di sebelahnya pasti baru saja meneteskan air mata.
"Gue nggak tahu apakah gue bisa tidur dengan baik lagi seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin nggak. Mimpi buruk itu, sama seperti kesedihan setiap kali gue sadar Pak Terry nggak akan pernah bisa gue lihat lagi, nggak mau pergi. Mimpi buruk itu terus ada, bikin gue takut tidur. Anehnya... di sini... di samping lo... gue justru mengantuk."
Lala berdeham untuk melegakan tenggorokannya yang seolah-olah disumbat dari dalam. "Tidur aja."
"Gue mau. Tapi gue takut."
"Gue bakal di sini, menjaga lo dari mimpi buruk itu."
"Emang lo bisa?"
"Gue kan Medusa."
Injun tertawa dan tidak bicara lebih jauh. Mereka tak saling mengatakan apa-apa, hingga sejenak kemudian, napas Injun berubah teratur dan lebih lambat. Lala menunduk sedikit tanpa melepaskan tangan mereka yang saling terkait dan melihat kedua mata Injun kini sudah terpejam. Cowok itu tertidur betulan.
Lala tersenyum, menyentuh kepala Injun, menenggelamkan jari-jari tangannya yang lain pada helai rambut halus cowok di sebelahnya. Injun tidak bereaksi, terkubur terlalu jauh dalam mimpinya. Hanya satu yang Lala sadari, genggaman tangan Injun pada jemarinya yang malah menguat.
*
Injun sedang duduk berhadapan dengan Jeno sambil makan siomay di kantin ketika Lala muncul dan langsung melemparkan sebuah kantung plastik berukuran besar ke pangkuannya. Cowok itu menoleh pada cewek di samping meja dengan tangan masih memegang sendok berisi potongan kol dan telur rebus. Jeno sendiri menolak melihat, langsung menggeser duduk, mengantisipasi kalau-kalau Injun dan Lala bakal bertengkar. Dia ogah terjebak di jalur konflik.
"Apaan?"
"Selimut."
"Maksud lo teh sekarang lo dagang selimut gitu? Hampura pisan nih, La, tapi gue nggak punya duit buat beli selimut dagangan lo. Ini aja makan siomay hasil malak nyokapnya Jeno—ehehe malak dengan muka melas maksudnya."
"Nggak. Itu buat lo."
"Hah?"
"Lo sering bilang kalau lo masih sering mimpi buruk, terutama kalau lagi nggak sama gue." Lala sengaja merendahkan suaranya, enggan jadi bahan gosip adik kelas meski sekarang teknisnya, mereka telah jadi pusat perhatian para penghuni kantin. "Gue nggak bisa nemenin lo, apalagi di malam hari. Jadi ambil aja tuh selimut gue. Sekalian, gue ngasih botol parfum yang gue pake disitu. Siapa tau... siapa tau... bisa membantu."
Injun melongo, sedangkan Jeno langsung tersedak.
"Nggak mau?! Yaudah kalau nggak mau!"
Kontan saja, Injun memeluk kantung plastik yang tadi Lala jatuhkan ke pangkuannya, sepenuhnya lupa pada siomay di piring yang baru dimakan setengah. "Botolnya doang nih?!"
"Ada isinya, dudul! Lo kira gue segoblok lo?!"
"Atuhlah nggak usah pake urat, sayangkuh. Lo tuh orang, bukan bakso!"
"Bodo!"
"Eits, mukanya merah. Untung kamu nggak lagi pake kaos kuning sama rok hejo. Bisa dikira lampu lalu-lintas ntarnya."
"Bodo!"
Lala betul-betul salah tingkah, memilih berbalik dan berlari pergi. Dia tidak sadar bahwa dia jadi alasan pertama kenapa Injun tertawa hari itu, sekaligus penyebab kenapa malam harinya, Injun bisa tidur lebih lama tanpa terganggu mimpi buruk seperti malam-malam sebelumnya.
*
Hari ini menandai sebulan setelah Pak Terry tidak ada dan Lala pergi bersama Injun untuk membesuk Nana yang sekarang sudah ditempatkan di ruang perawatan biasa. Cowok itu sedang duduk di atas ranjangnya sambil melipat kertas warna menjadi bentuk bangau ketika Injun dan Lala tiba. Begitu melihat kehadiran temannya, Nana buru-buru membereskan tumpukan kertas warnanya, memindahkannya ke atas nakas metal yang ada di samping tempat tidur. Wajahnya masih pucat, tapi Nana sudah terlepas dari selang-selang juga perban. Satu-satunya yang tersisa adalah jarum infus yang masih tersemat di tangannya.
"Udah kayak siswa prakarya aja, lipet kertas melulu." Injun berkomentar.
"Bosen." Nana jawab begitu. "Lagian ya, Kasa bilang, katanya kalau kita bisa melipat kertas warna bentuk bangau sampai seribu buah, nanti tuh keinginan kita bakal terkabul!"
"Emang lo punya keinginan apa?"
"Ada."
"Bukannya semua keinginan lo udah terkabul?" Injun mengangkat alis. "Lo tahu siapa nyokap lo setelah bertahun-tahun cuma bisa menebak-nebak gimana dia terlihat. Nyokap lo sayang sama lo, selalu nemenin lo di saat-saat paling sulit. Kasa peduli sama lo, rajin nengok lo. Lo juga punya teman tampan, amazing sekaligus pembawa cahaya untuk dunia yang gelap ini—"
"Maksud lo Jeno?"
"Gue lah! Mana ada Jeno membawa cahaya yang menerangi dunia ini!"
Nana tertawa. "Ada satu keinginan gue yang belum terkabul."
"Apa?"
"Pokoknya ada."
"Yeu apa?"
"Kalau dikasih tahu, nanti nggak akan jadi nyata."
"Oh." Injun memasang ekspresi wajah yang tidak terkesan, meski diam-diam, dia meneruskan ucapannya dalam hati.
Jangan bilang kalau keinginan lo adalah supaya Pak Terry datang dan membesuk lo karena kalau iya, Nana, mau lo melipat bangau kertas sampai sejuta buah pun, keinginan lo nggak akan jadi nyata.
Sebab dia nggak ada lagi.
Walau jantungnya masih berdetak di sana—di dalam diri lo.
Jeno belum datang. Bisa jadi sibuk dengan Giza atau mengurusi Bongshik yang konon katanya sedang diare karena salah makan. Biasalah, kucing satu itu memang banyak tingkah dan hobi cari perhatian. Injun dan Lala tetap di sana, menemani Nana beberapa lama hingga Ryona datang bersama Nenek. Nenek ganti duduk di samping tempat tidur Nana sementara Ryona mengantar Injun dan Lala sampai ke bagian depan koridor.
"Sampai sini aja, Tante. Makasih udah nganter." Injun berkata sopan.
"Makasih sudah datang buat besuk Jevais ya, Juna. Dia itu gampang bosan, tapi saya bisa lihat dia sesenang itu setiap kamu, Kasa atau Ezekiel membesuk kesini."
"Iya, Tante. Semoga Nana cepat sembuh."
"Mulai lusa, dia sudah boleh pulang, kok."
"Oh, bagus deh kalau gitu." Injun meringis. "Kalau besuknya di rumah Tante, pasti lebih banyak kue-kue dan camilan-nya daripada di rumah sak—argh, anjirun pisan lah, beb! Sakit tau!"
Lala hanya tersenyum kaku pada Ryona yang justru menatap geli, meski tidak lama karena sorot matanya kembali diisi oleh keseriusan.
"Juna, Tante dengar dari Mama kamu, katanya kamu masih suka mimpi buruk."
Senyum Injun perlahan lenyap. "Hng... soal itu... udah membaik kok, Tante. Tadinya emang parah banget sampai saya nggak bisa tidur tapi sekarang—"
"Mungkin kamu butuh terapi. Tante tahu psikiater yang bagus dan—"
"Tante, saya belum gila dan—"
"Psikiater bukan hanya menangani orang yang kurang sehat secara kejiwaan, Juna." Ryona buru-buru meluruskan. "Apa yang kamu lihat... saya mengerti, itu bisa menimbulkan trauma. Sesuatu yang akan terus membekas sama kamu, mungkin nggak akan bisa terlupakan seumur hidup. Kamu dan Ezekiel sepertinya butuh itu. Soal Gara, sepertinya keluarganya punya psikiater sendiri, jadi Tante pikir ada baiknya—"
"Saya nggak apa-apa, Tante." Injun memotong, lantas mengangguk kikuk sebelum berjalan menjauhi Ryona begitu saja. Lala sempat meminta maaf, kemudian berbalik dan berlari untuk mengejar langkah Injun.
"Juna!"
Injun tetap tidak menoleh.
"Juna!"
Injun masih menolak berhenti bergerak.
"Lo nggak berhenti, kita putus!"
Spontan, Injun batal meneruskan langkah. Dia malah melihat ke arah Lala yang berada di belakangnya dengan dahi berkerut. "Emang kapan kita jadian?"
"Itu juga gara-gara lo! Lupa melulu tiap ada tanggal cantik!"
"Iya juga ya?"
"Soal tawaran Tante Ryona—"
"Gue nggak mau." Injun langsung menolak mentah-mentah. "Gue merasa... yang terbaik mungkin begini."
"Tapi lo sulit tidur tiap malam!"
"Kan gue udah bilang, semuannya sudah lebih baik sejak lo ngasih selimut lo yang waktu itu."
"Membaik, tapi bukan berarti hilang sepenuhnya kan?"
"Shavela."
"Nggak, sekarang lo yang dengerin gue."
"Bukan gitu."
"Juna, gue kan udah bilang, sekarang lo yang dengerin gue! Maksudnya Tante Ryona itu baik dan mestinya lo—kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu?!"
"Lo tuh kalau ngomel tambah jelek tahu, La."
"Gue nggak peduli!"
"Saking jeleknya tuh jadi gemesin. Pengen nyium. Tapi katanya kalau cium-ciuman sebelum waktunya, nanti bibirnya dijadiin steak di neraka."
"ARTAJUNA!"
"Adaow—ih sakit tau!"
"Lagian lo nggak mau dengerin gue ketika gue ngomong serius!"
Injun tertawa sambil menangkap kepalan tinju Lala, menggenggamnya erat dan hanya dengan satu tatapan tepat di mata, dia berhasil membuat gadis di depannya lupa pada apa yang dinamakan kata-kata. Tidak hanya sampai di sana, Injun lalu menarik Lala ke dalam pelukannya, mendekapnya erat disaksikan oleh abah-abah penjual minuman di depan rumah sakit yang kini ternganga, sesaat lupa pada tutup wadah es batu yang niatnya mau dia ciduk menggunakan sendok dan dimasukkan ke dalam gelas.
"Gue lebih suka begini. Kalaupun nantinya mimpi buruk itu bakal hilang, gue mau semuanya hilang dengan sendirinya. Soalnya... dengan begini... gue bisa mengingat dia dengan cara gue sendiri. Bahwa dia sudah betul-betul nggak ada dan gue nggak seharusnya menipu diri gue sendiri dengan bilang gue bakal baik-baik aja atau dia hanya lagi pergi jauh."
Lala menarik napas, kemudian mengangguk di dalam pelukan Injun.
"Tapi suka deh kalau lo bawel kayak tadi." Injun berujar diikuti senyum setelah dia melepas dekapannya dari Lala. "Itu berarti, lo peduli sama gue. Padahal lo bukan siapa-siapa."
Lala berdeham dan suaranya jadi galak lagi. "Bukan siapa-siapa?"
Injun tertawa dan meski kata-katanya bikin ada tanda tanya muncul dalam kepala Lala, tapi suara gelak cowok itu membuatnya senang. Jika saja Lala bisa, dia ingin merekam tawa itu, menjadikannya nada dering ponsel dan mendengarkannya beberapa kali sebelum pergi tidur. "Lo bukan siapa-siapa. Lo nggak punya hubungan keluarga sama gue. Lo nggak punya kewajiban untuk peduli apalagi sayang sama gue. Tapi lo melakukannya. Lo peduli dan sayang sama gue. Jadi... makasih ya."
"Peduli dan sayang sama lo?" mata Lala membesar ketika dia bertanya sarkastik.
"Oh, emangnya nggak? Wah, sayang banget. Padahal gue... juga nggak peduli dan sayang-sayang amat sama lo sih sebenarnya."
"Juna!"
"Iya kan baru peduli dan sayang bangetnya nanti, kalau lo udah jadi bagian dari keluarga gue."
"Idih."
"Berkeluarga ama gue tuh sebenarnya impian lo dari pertama kali kita ketemu kan, La?"
"Nggak!"
"Tenang." Injun merangkul leher Lala. "Nanti kita bakal jadi keluarga yang besar, kok. Sangat besar. Kalau bisa sih kita bikin kesebelasan beserta penghuni bangku cadangannya—ets tapi jangan deh, ntar gue mesti kerja lembur bagai gajah sirkus buat menafkahi lo dan anak-anak hahaha—acie, mukanya merah lagi. Mau gue nyanyiin sesuatu nggak? Gini-gini, suara gue dipuja di sekolah, loh. Hm... bentar... lagu apa ya... ah, gimana kalau ini aja..." Injun tidak merasa perlu permisi, terus saja bernyanyi. "Jadilah pasangan hidupku... jadilah... ibu dari anak-anakku—anjrit, lo nih sukanya main kasar emang ya?"
"Malu! Lo juga lebih mirip monyet sirkus daripada gajah sirkus!"
"Eleuh-eleuh, pacarannya hot pisan, euy, pake peluk-pelukan segala jiga eptipi wae ah si Aa teh!" Abah pedagang minuman tiba-tiba berkomentar, membuat Injun malah menyeringai sementara Lala menunduk seraya tersipu.
"Nggak apa-apa atuh, Bah. Kan cuma peluk-peluk, terus di depan orang banyak. Bahaya tuh kalau cium-cium sama cuma berdua, yang ketiganya udah pasti setan. Lagian nanti juga ni orang saya halalin, kok. Muehehehe. Iya nggak, La? Iya dong, Sayang? Loh, sayang, kok—aduh anjrot sakit ih—eits kalau mau nendang di kaki aja oke, jangan sampe kena aset. Kalau aset kenapa-napa nih yang rugi lo juga nanti—adaow, Shavela! Ampun! Ampun!"
*
Usai sebulan lebih berlalu sejak malam itu, baru sore ini Injun berani membuka kotak yang ditinggalkan Terry untuknya. Ukurannya tidak besar, tapi sarat oleh benda. Injun bisa berkata begitu karena saat memegangnya, kotak itu terasa berat. Entah memang karena benda yang tersimpan di dalamnya sebanyak itu atau karena beban yang terasa menjadi alasan utama. Seandainya saja bisa memilih, Injun tidak ingin membukanya. Sekiranya punya kuasa, dia tidak akan meninggalkan Terry barang sedetikpun hari itu. Tetapi segalanya sudah tertuntaskan. Terry tiada namun tetap ada dengan caranya sendiri. Nana kembali membuka mata, tapi disambut oleh dunia yang tidak lagi sama.
Injun tidak tahu apakah Jeno dan Yeda sudah membuka kotak mereka masing-masing. Dia tidak pernah bertanya—dan sejujurnya, tidak cukup kuat buat melakukannya. Setiap bertemu Jeno, mereka akan bicara banyak hal, mulai dari tugas sekolah yang makin banyak seiring dengan semakin dekatnya Ujian Nasional, rencana mereka selepas SMA yang kebanyakan lebih mirip angan-angan tanpa tujuan, Bongshik yang ganjen lirik-lirik kucing dari RT tetangga hingga kedekatan Jeno dengan Giza. Jeno juga beberapa kali main ke rumah dan mudah bicara banyak dengan Alma. Mereka jadi teman akrab. Tetapi tidak pernah sekalipun Injun menyinggung soal malam itu, juga apa yang dititipkan Terry pada Jeno.
Dengan Yeda, segalanya lebih rumit. Hubungan mereka tidak pernah baik. Dalam masa singkat perkenalan keduanya, Injun dan Yeda lebih sering berdebat sambil menatap satu sama lain sepenuh curiga. Namun, Injun memahami luka yang Yeda rasakan. Apa yang dilihatnya cukup membuatnya sakit malam itu, hingga dia tidak bisa mengizinkan dirinya membiarkan Jeno dan Yeda ke sana.
Mereka tidak sepatutnya turut ditikam nyeri sehebat yang dia rasa.
Ditambah lagi, Yeda sangat jarang mengunjungi Nana di rumah sakit. Bukan salahnya. Injun mengerti. Jika dia jadi Yeda, kemungkinan besar, dia akan mengambil sikap yang sama.
Laki-laki sejati itu nggak pernah lari.
Seseorang berbisik dalam telinganya, membuat Injun menunduk dengan mata panas dan bibir yang menarik senyum. Terry mengatakan itu suatu kali padanya, di sebuah malam sepi saat dia lagi-lagi duduk sendiri di depan toko mainan. Tangannya masih memegang kertas gambar dan pensil, sementara tatapannya jatuh pada deretan boneka lucu yang berjejalan di etalase. Boneka-boneka itu memandangnya seperti meminta dibawa pulang, berbeda dengan plushie Moomin yang terpojok di sudut. Dia hanya diam, tidak bermulut sehingga sulit menerka emosinya.
Namun Moomin kelihatan sedih.
Hari itu, dia bertengkar lagi dengan Papa.
Diantara terpa angin malam yang mengacak rambut hitamnya, Injun berpikir, mengapa hidup harus seberat itu? Tidak bisakah dia hanya ada sekedar ada? Tidak bisakah dia menjalani hidupnya sebagaimana apa adanya? Dia tidak butuh mimpi tinggi, pencapaian menjulang dan dikagumi banyak orang. Dia hanya ingin jadi dirinya yang biasa, yang hidup dengan baik, yang hidup dengan bahagia tanpa khawatir orang mau berpikir apa tentangnya. Sebatas itu. Namun kenapa dunia selalu memberitahunya bahwa dia tidak bisa hidup tanpa mengejar apa-apa?
Injun terlalu lelah untuk membaktikan hidupnya mengejar sesuatu.
Kemudian entah dari mana, Terry muncul, kemudian duduk di sebelahnya. Dia menatap ke langit malam, angin turut bikin berantakan rambutnya, lantas katanya. "Setiap saya nemu kamu di emperan jalan, kayaknya kamu lagi cengeng banget ya?"
Injun tidak menyahut.
"Nggak usah nangis. Muka kamu tambah jelek kalau nangis." Terry menoleh. "Lagipula, air mata kamu bakal menghancurkan gambar yang udah susah-susah kamu buat."
"Ini nggak penting."
"Menggambar itu satu-satunya keahlian yang kamu punya, lho."
Injun menghapus air matanya dengan lengan, tapi isaknya justru mengeras. "Nggak ada yang suka gambar saya."
"Ada."
"Bapak?"
"Bukan saya. Saya nggak nge-fans sama tokoh aneh nggak punya mulut yang paling sering kamu gambar. Tapi di luar sana, pasti ada yang selera seninya cukup bobrok untuk suka sama gambar kamu."
Bukannya tersinggung, Injun malah tertawa. Malah kelihatan aneh, karena air mata yang masih membanjir di pipinya. Terry memutar bola mata. "Ketawa kamu bikin saya sakit kepala."
Injun tidak langsung menjawab, malah sibuk melipat gambarnya dan meletakkannya di ujung bangku. "Bapak ngikutin saya ya?"
"Ge-er betul kamu jadi sontoloyo."
"Bilang aja gitu."
"Ogah."
"Biar saya senang."
"Kamu kira saya di sini buat bikin kamu senang?"
Injun terkekeh. "Saya abis berantem sama Papa saya. Biasalah. Tapi saya jadi kepikiran sesuatu."
"Sori nih, saya bukan Mamah Dedeh dan saya lagi nggak buka sesi curhat."
Injun mengabaikan kata-kata Terry, lanjut saja bercerita. "Menurut Komandan, dalam hidup itu... kita harus selalu jadi siapa-siapa ya? Nggak bisa kita hidup sederhana aja. Nggak mengajar apa-apa. Hidup aja gitu. Jujur, saya capek. Saya nggak perlu jadi orang yang luar biasa, jadi orang yang spektakuler, jadi orang yang dipuja sama orang lain. Saya mau jadi diri saya sendiri aja, dalam versi yang paling bahagia."
"Nggak salah."
"Komandan orang pertama yang bilang begitu."
"Sebab memang nggak salah." Terry menghela napas panjang sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. "Kita bebas memilih jadi apa. Mau luar biasa atau tidak. Mau bermimpi besar atau hanya punya keinginan-keinginan sederhana. Bahagia saat ada di puncak atau bahagia hanya dengan melihat dari bawah. Tapi pernah nggak kamu berpikir sesuatu? Seandainya hidup hanya sekedar hidup, monyet di hutan juga hidup."
Injun terdiam.
"Hidup itu...bisa jadi tentang berjuang. Kamu bisa berusaha keras untuk memberi yang terbaik dari kamu setiap hari. Kamu bisa mengejar mimpi-mimpi besar. Kalaupun nantinya kamu lelah, kamu cuma perlu duduk untuk menarik napas dan istirahat sebentar. Sesederhana itu." Terry, untuk pertama kalinya malam itu, memberikan senyum paling tulusnya pada Injun. "Hidup itu penuh dengan pilihan dan setiap pilihan yang kamu ambil punya konsekuensi sendiri-sendiri. Tapi kemudian, apa yang salah dari bermimpi? Bermimpi itu gratis. Dan katanya, Tuhan punya caranya sendiri untuk memeluk setiap mimpi yang dirajut dengan keringat dan air mata."
Injun berdeham, tertunduk dan kelihatan merenungi kata-kata Terry.
"Saya penasaran, akan jadi apa kamu lima tahun lagi."
Injun tidak menyahut.
"Jadi apa pun nggak masalah sih sebenarnya. Cuma saya harap, kamu jangan jadi bapak-bapak muda yang ngetuk pintu apartemen saya jam sepuluh malam untuk minjem duit buat beli susu anak-anak kamu ya."
"Bapak—"
"Lima tahun lagi," Terry memotong sembari mengalihkan pandang pada Injun dan mata mereka pun bertemu. "saya punya firasat, kamu bakal bikin saya bangga. Dengan cara kamu sendiri."
Injun kembali batal bicara, justru mengangguk beberapa kali.
"Hidup nggak pernah mudah, Artajuna. Mungkin bukan tempat saya bilang begini, soalnya saya juga pengecut dan ada masa-masa saya memilih menghindar daripada menghadapi. Tapi setahu saya, laki-laki sejati itu nggak pernah lari."
Laki-laki sejati itu nggak pernah lari.
"Laki-laki sejati itu nggak pernah lari." Injun membisikkannya serupa mantra dan memasukkan flashdisk itu ke port USB komputernya. Hanya ada satu video di sana dan thumbnailnya berwarna hitam. Jari Injun gemetar saat dia meng-klik dua kali pada file video tersebut.
Bahkan sejak detik pertama, Injun merasa tangisnya sudah nyaris tumpah.
"Saya ngerasa aneh harus mengatakan sesuatu yang hampir sama berkali-kali tapi daripada nantinya kamu cemburu kalau nggak dikasih salam pembuka, jadi saya akan kasih deh. Halo, Sontoloyo second. Saya harap kamu nggak lagi sedih waktu kamu buka video ini. Maaf. Harusnya saya pamitan secara langsung, tapi kelihatannya kamu nggak akan mengizinkan saya pergi kalau saya melakukannya dengan begitu. Kamu sama Jevais itu mirip-mirip. Mungkin sama kayak dia, kamu bakal ikutan mengancam untuk loncat dari rooftop kalau tahu saya mengambil keputusan yang begini. Tapi saya harus melakukannya. Bukan cuma buat Jevais, tapi juga buat kamu dan Ezekiel."
Ada yang menetes tanpa kata.
"Kita pernah bicara soal hidup, juga akan jadi apa kamu lima tahun lagi. Saya masih tetap pada kata-kata saya yang dulu. Kamu akan jadi seseorang yang bikin saya bangga, dengan cara kamu sendiri. Tapi itu masih lama. Masih lima tahun lagi. So, take your time and—oops, sori. Saya lupa nilai bahasa Inggris kamu beda tipis sama kebon cabe. Intinya, nggak perlu buru-buru. Semua akan terjadi saat waktunya itu terjadi. Saya berharap kamu hidup dengan sebaik-baiknya. Terus saling menjaga dengan Ezekiel dan Jevais. Saya tahu kamu nggak demen-demen amat sama Yeda, soalnya kamu cemburu sama dia gara-gara dia adik saya, tapi tolong diajakin ya. Yeda tuh agak introvert gitu, jadi susah dapat teman. Kalau mau kamu manfaatin buat beliin es teh dan gorengan, silakan. Saya nggak keberatan." Terry tertawa kecil. "Saya bukan jenis orang yang merayakan ulang tahun. Tapi tiba-tiba, saya kepingin banget dapet kado dari kamu. Kado yang sepertinya nggak bisa kamu serahkan langsung. Saya tahu, saya nggak punya hak memaksa kamu untuk terus menggambar, tapi boleh saya minta itu sebagai hadiah? Empat belas gambar untuk empat belas kali tanggal empat belas. Bisa itu jadi hadiah buat saya?"
Injun mengangguk berkali-kali tanpa suara, membuat air mata berjatuhan melewati garis rahangnya.
"Empat belas gambar untuk empat belas kali tanggal empat belas. Kamu bisa menyelesaikan dalam empat belas bulan. Setelah itu, terserah kamu mau melanjutkan menggambar atau nggak. Bisa kan ya? Tolong bilang bisa, karena kalau nggak, saya akan ngirimin kamu mimpi buruk di setiap tanggal empat belas."
Tanpa itu pun, Injun sudah mengalami mimpi buruk setiap malam.
"Jaga diri baik-baik, Artajuna. Saya nggak pernah bilang ini, tapi saya bakal ngaku sekarang. Dari semua artist yang pernah saya tahu, gambar kamu adalah favorit saya. Jangan menyerah dengan hidup. Terus berani, karena kamu nggak pernah sendirian. Dan tolong, jangan lupa catokin rambut Iteung dan Euis seenggaknya sebulan sekali. Biar kebadai-an mereka tetap terjaga. Sampai ketemu lagi nanti, Artajuna. Saya harap, nggak dalam waktu dekat ini biar kamu punya banyak cerita setelah saya nggak ada. Supaya saat kita ketemu lagi nanti, kita bisa ngobrol agak lama sebelum kamu ditarik dan dilempar ke neraka. Hahaha bercanda. Intinya, sampai ketemu lagi, suatu hari nanti."
Video terselesaikan dan Injun ditinggalkan sendirian, tenggelam dalam tangisan yang berusaha dia bungkam menggunakan kedua telapak tangan.
*
Sehari pasca pengumuman kelulusan sekolah, Jeno dan Injun sengaja berkunjung ke rumah Nana—yang pada akhirnya bersama Nenek, pindah ke rumah Ryona. Injun agak sedih, karena rumah Nana yang baru berada cukup jauh dari rumahnya, tapi dia senang karena Nana kelihatan baik-baik saja. Rambutnya sudah lebih gondrong, jatuh membingkai wajahnya yang kini tampak lebih kurus. Dia sudah bisa tersenyum lagi, setelah beberapa bulan belakangan, jadi lebih muram. Ryona tidak bilang apa-apa, tetapi Injun tahu, Nana pasti sudah memutar apapun video yang ditinggalkan Terry untuknya. Dia sudah tahu alasan mengapa dia bisa selamat dari kecelakaan itu, juga fakta bagaimana harapan yang dia buat bersama seribu bangau kertasnya telah sia-sia sejak awal.
Terry tidak perlu membesuknya, karena Terry selalu ada bersamanya, secara literal.
"Gondrong banget, udah kayak abang-abang kenek Metromini." Jeno berkata begitu sambil memeluk wadah kaca berisi kue kering cokelat hasil buatan Ryona. Untuk pertama kalinya, Jeno mengakui ada orang yang bisa bikin cookies lebih enak dari mamanya. Cookies itu juga yang jadi alasan kenapa Jeno rajin bertandang ke rumah Nana—sampai-sampai Mama Jeno akhirnya menghubungi Ryona buat minta resep kue kering cokelat agar Jeno nggak keseringan menghilang ke rumah Nana.
"Kata nyokap gue nanti dipotongin."
"Nyokap lo bisa motong rambut?"
"Katanya sih dulu pernah jago motong rambut. Tapi dipikir lagi, kalaupun nantinya gue pitak gara-gara potongannya salah, kayaknya gue nggak bakal keberatan." Nana tersenyum sedikit. "Selamat karena udah lulus! Setelah ini, kalian mau lanjut kemana?"
"Masih belum tahu. Mama bilang terserah. Saya tadinya mau ambil hukum, biar bisa jadi aktivitas yang membela hak-hak binatang peliharaan. Tapi nggak jadi soalnya kata Mama nanti Bongshik cemburu kalau saya membela binatang peliharaan selain dia." Jeno mengedikkan bahu. "Injun sih nggak tahu. Saya belum nanya."
"Lo gimana?"
"Gap year aja kayaknya."
"Jangan bilang kalau lo gap year gara-gara gue."
"Dih, ge-er!" Injun spontan membantah. "Gue ngerasa gue butuh waktu buat merenungkan hidup gue, enaknya bakal dibawa kemana. Setahun harusnya cukup. Terus gue juga mesti belajar lagi, lah!"
"Bukan karena kita pernah janji buat masuk kampus bareng-bareng, kan?"
"Itu juga salah satunya."
"Jun,"
"Santai aja. Bokap gue aja setuju, masa lo mau sok-sok beda suara?"
Jeno dan Nana terperangah. "Hah?!"
"Bokap gue setuju gue gap year."
"Kamu ama Papa kamu—"
"Santai, Cing. Hubungan gue dan bokap gue udah baik-baik aja. Yah, gue rasa sebagian besar gara-gara penampilan kita pas Pensi waktu itu. Guru-guru pada nonton. Belum lagi orang tua yang hadir beberapa diantaranya tetangga gue. Yeda juga upload video penampilan kita ke internet dan sempet ditonton banyak orang. Ada beberapa teman bokap gue atau tetangga yang bilang ke bokap gue kalau gue ganteng. Itu sih dari dulu ya hihiw. Terus mereka juga bilang suara gue bagus. Mereka kayak kagum gitu sampai ada yang lebay, katanya gue calon artis masa depan."
"Lantas bokap lo jadi insyaf gitu?"
"Udah kayak sinetron Hidayah aja, bahasa lo!" Injun berseru. "Daripada insyaf, bokap gue lebih kayak ke sadar aja, kalau dengan cara gue sendiri, gue pun bisa bikin dia bangga. Gue nggak mesti jago matematika, fisika dan kimia buat dipuji orang. Ditambah lagi, nilainya Jeno paling gede dari semua anak IPS sesekolahan. Bokap gue ngerasa gue nggak salah berteman. Ternyata dia nggak butuh bantahan, tapi butuh pembuktian. Jadi ya... kayaknya kita nggak akan berantem-berantem lagi dalam waktu dekat ini."
"Bagus lah kalau gitu."
"Nah, sekarang gimana kalau kita makan bakso dulu? Berhubung Jeno kelihatannya bakal jadi yang duluan kuliah diantara kita bertiga, gimana kalau dia yang traktir?"
"LOH, KOK GU—EH MAKSUDNYA, KOK SAYA?!"
*
Lima tahun kemudian.
"Kalian tahu kenapa kalian bertiga saya kumpulkan di sini?"
Injun yang sudah mangap batal menggigit wafer cokelatnya ketika Jeno menyikut rusuknya pelan. Injun terbatuk, mengerjap polos beberapa kali pada Ten yang berkacak pinggang di depan mereka bertiga. Siang ini, tumben-tumbennya Ten memanggil mereka bertiga ke ruangannya yang berada di lantai 9 Menara Frasa. Mereka biasa menyebut tempat itu Cloud 9 dan jika ada artist yang dipanggil kesana, entah itu penyanyi, model, aktor bahkan hingga director atau scenarist senior sekalipun—perusahaan milik Ten memang menaungi banyak seniman dalam beragam medium, mulai dari musik, gambar hingga film—biasanya orang itu sedang berada dalam masalah besar. Tapi Injun tetaplah Injun. Sebelum diseret Nana dan Jeno masuk ke dalam lift, dia masih sempat-sempatnya jajan wafer cokelat di vending machine yang tersedia di lobi gedung.
"Bukan gara-gara saya nyolong nastar dari meja bapak kemarin lusa kan?" Injun bertanya polos, bikin ekspresi wajah Ten berubah.
"JADI KAMU YANG NYOLONG NASTAR BIKINAN ISTRI SAYA?!"
"Tenang, Pak. Tenang." Jeno berusaha mendinginkan suasana. "Nastar bapak bisa kami ganti nanti. Mari kita kembali ke topik utama. Kenapa bapak panggil kita ke sini?"
"Betul sekali." Nana menimpali. "Seingat kita, kita nggak melakukan kesalahan. Konser perdana tiga bulan lalu juga hasilnya oke dan penjualan full album pertama masih bagus. Saya nggak lagi kepergok jajan nasgor malem-malem sama Kasa dan Jeno juga nggak tertangkap basah jalan-jalan di Gramedia sama anak di bawah umur. Kalau ketangkep basah juga nggak apa-apa sih sebenernya, tinggal bilang aja tuh anak di bawah umurnya adeknya Injun. Atau ada sesuatu yang lain?! Jangan bilang Giza dendam karena putus sama Jeno terus nyebarin video mereka yang hiya-hiya semasa pacaran?! Atau... ada yang ngelihat Injun sama Lala ngerujak mangga curian di pos ronda? Yaelah, bahlul! Gue bilang kan kalau mau makan rujak tuh ya beli yang bener! Percuma dong udah punya duit tapi masih ngutil mangga tetangga?!"
"Mangga Spanyol lebih enak, cuy."
"Spanyol?"
"Separuh nyolong."
Ten tidak bisa lagi menahan diri. Dia menggulung majalah yang tergeletak di atas meja, mengubahnya jadi pentungan dan menghantam puncak kepala Injun, Jeno dan Nana bergantian. Tidak keras, sebetulnya, namun cukup membuat tiga cowok itu meringis.
"Kelakuan kalian tuh ya, tolong ditata dengan baik! Kalian tuh punya banyak penggemar! Sudah terkenal! Apalagi kalian dinaungi perusahaan yang kece badai ampun-ampunan kayak perusahaan saya! Tolong itu otak, rada dipake dikit. Dikiiiiit aja." Ten berdecak. "Bukan soal mangga Spanyol, kamu yang makan nasgor tengah malem sama cewek atau Jeno yang gandengan ama dedek-dedek di toko buku. Ini soal konser kalian—"
"Jelek?"
"Kita mau dipecat?"
"Ampun, Pak. Kalau kita dipecat, saya ngasih makan Bojun pake apa? Saya punya banyak kucing yang harus dinafkahi, Pak!"
"Mulai bulan depan, kalian akan mulai rangkaian tour ke sejumlah kota. Bukan cuma di Indonesia, tapi juga beberapa negara Asia Tenggara lainnya."
"Hah?!"
"Kalian bakal konser ke 17 kota di Asia Tenggara."
"Widiwwwww, nggak sekalian digenepin jadi 20 tah, Pak? Bekasi deh tambahin!"
"Kebetulan Jeno juga udah rindu pada para majikannya di Bantargebang area, Pak!"
"Heh, masih aja bercanda kalian! Saya tuh serius, loh!"
"Ini tuh beneran?" Nana berusaha memastikan.
"Beneran!"
"Itu yang nonton konsernya ntar orang kan? Napak semua, kan? Bukan ghoib?"
"Menurut ngana?!"
Jeno, Injun dan Nana saling berpandangan sebelum akhirnya mereka kompak bersuara. "Oohhhhhhh..."
Ten malah jadi frustrasi dibuatnya. Dari semua artist yang ada di Frasa Entertainment, tiga anak di depannya ini yang memang paling merepotkan sekaligus paling gampang dirindukan. Mereka tidak pernah berubah, bahkan meski bertahun-tahun sudah berlalu. Meski begitu, ada kalanya Ten dibuat kerepotan karena Jeno, Injun dan Nana hobi melakukan tindakan-tindakan yang membuat publik mempertanyakan image mereka sebagai bocah-bocah inspiratif yang memulai segalanya dari bawah. Salah satunya ya Injun yang masih hobi nimpukin mangga di pohon tetangga sampai jatuh.
"Yaudahlah! Sana keluar! Saya mau lanjut browsing online shop mumpung lagi Harbolnas!"
"Oh iya! Lupa saya juga kalau hari ini Harbolnas! Padahal udah lama mau beliin Kasa sesuatu, tapi nunggu diskon dulu."
"Kalau gitu, ini saat yang tepat nyetok whiskas buat Bojun beserta para handai-taulan-nya." Jeno sependapat.
Injun malah ternganga. "Harbolnas?"
"Hari belanja online nasional, dol!" Nana mendelik. "Ada diskon gede-gedean. Cuma ada setahun sekali, pas tanggal 12 bulan 12."
"Lho, hari ini tanggal 12 bulan 12?"
"MENURUT ANDAAAAAAA?!" Sekarang, Ten, Jeno dan Nana dibuat kompak oleh tanya polos Injun.
"Berarti tanggal cantik, dong?!"
"IYEEEEEE!"
"Woalah, siap grak kalau gitu!" Injun langsung beranjak, lupa pada wafer cokelatnya yang baru digigit sekali. Dia berjalan cepat menuju pintu ruangan, bikin Jeno, Injun dan Ten saling pandang.
"Lo mau kemana?!"
"ITC Mangga Dua!"
"Hah, ngapain?!"
"Beli cincin!"
"Buat ape, anjir?!"
"Lamar seseorang, mumpung lagi tanggal cantik!"
*
Untuk seseorang yang gue kenal.
Untuk seseorang yang menyebut gue Sontoloyo Second.
Untuk seseorang yang keinginannya mendapatkan empat belas gambar dalam empat belas kali tanggal empat belas dan telah berhasil gue penuhi.
Untuk seseorang yang mengajarkan gue untuk nggak lari.
Untuk seseorang yang memberitahu gue bagaimana caranya untuk berani.
Hari ini, gue sudah tahu bagaimana caranya untuk berani.
Gue berharap lo bangga dengan apa yang gue lakukan.
Bukan cuma buat gue, tapi juga buat lo.
Terang selalu di sana.
Jangan larut dalam sepi.
Sampai suatu hari nanti, kita dipertemukan lagi.
—Your Injunnie
void: artajuna — selesai
***
Catatan dari Renita:
mohon maapkeun karena semalem error, jadi baru bisa diposting sekarang. wkwk gue tau kalian pasti mau ada momen lainnya yang isinya gemes-gemesan antara injun dan lala, tapi ini udah panjang banget ok jadi mungkin next time.
apakah akan ada void selanjutnya.
tergantung, kalo pada ngegas ya kita lanjut ke void berikutnya.
btw, makasih buat yang udah vote, comment dan baca chapter sebelumnya.
makasih ya<3
enaknya setelah ini, kita ke siapa?
yeda, jeno atau nana?
ea ea
dah ah.
sampai ketemu lagi.
ciao.
https://youtu.be/s2xw1Jbn_6w
Semarang, September 24th 2019
16.36
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top