twenty first note
The coyote spirit animal makes its presence known
when you feel like you have lost your way.
It signifies the answers to your problems that often come in ways
and forms you least expect.
Tertius Senandika, is my coyote.
—Jevais Nareshwara—
*
Tindakan salah satu teman Dean—Jeno memutuskan menamainya Samat, kependekan dari sawo-mateng karena memang itu warna kulitnya—berhasil membuat bukan hanya Jeno, tapi Nana dan Injun terperangah. Mereka ternganga sejenak, sementara Samat memasang ekspresi layaknya ibu tiri dalam sinetron yang baru saja menendang anaknya masuk selokan. Dengan gaya tak pedulian, dia membiarkan robekan kertas bercap kaki Bongshik itu jatuh ke atas meja, dekat dengan plastik berisi snack milik Nana.
Detik demi detik berlalu. Injun diam. Nana diam. Jeno diam. Samat masih berlagak pongah seraya melipat tangan.
Beberapa detik lainnya lewat, dan Samat mulai merasa awkward. "Jadi, ada pertanyaan?"
Injun melirik Nana dan Jeno, lalu katanya. "Gue sih no, nggak tahu kalau dua orang ini."
Nana memandang cap kaki Bongshik di atas kertas. "Gue nggak ngerti maksudnya apa tapi kira-kira Bongshik marah nggak ya kalau tahu cap kaki saktinya diperlakukan kayak gini?"
"Nggak tahu. Tapi kalau bisa jangan sampai Bongshik tahu." Jeno menukas.
"Wah, kalau soal itu sih kita nggak bisa janji—"
Brak!
Diskusi internal antara Jeno, Injun dan Nana terhenti kala Samat menggebrak meja. Kompak, kepala ketiganya tertoleh pada pemilik tangan ceking yang kini mendengus kesal sambil melotot. "Tanya kek kenapa gue ngerobek kertas itu!"
"Oh, kamu mau ditanya?" Jeno mengangkat alis.
"Boleh-boleh," Nana manggut-manggut. "Kenapa lo ngerobek kertas itu?"
"Perjanjian teman lo sama Dean batal. Dean udah nggak naksir Giza. Ambil aja buat lo, katanya. Berhubung dia juga masuk rumah sakit, dia nggak bakal bisa latihan buat berpartisipasi dalam lomba band yang akan datang. Intinya, semuanya batal. Selama teman lo nggak nyari masalah lagi sama kita-kita, kita nggak akan nyari masalah sama teman lo."
"Wadoh, baru tahu gue kalau tabrakan bisa bikin otak orang kebalik. Kirain cuma amnesia doang!" Injun berseru, yang bikin dia dapat delikan mata dari rekan Samat yang lain.
Jeno mengerjap tak percaya. "Ini... beneran?"
"Beneran lah! Masa bohongan!"
"Oh, oke, deh."
"Udah paham, kan? Yaudah kalau gitu." Samat berbalik diikuti teman-temannya, tapi belum lagi genap empat langkah yang dia ambil, Jeno sudah memanggil.
"Samat!"
"Lo manggil gue?"
"Iya."
"Nama gue bukan Samat!"
"Iya, itu emang nama yang saya kasih, soalnya saya nggak tahu nama kamu." Jeno menukas polos, bikin Samat bingung harus kesal atau marah. "Makasih ya. Semoga Sarif cepat sembuh."
Samat melongo sebentar di tempatnya berdiri, lalu dia mengangguk sebelum akhirnya benar-benar pergi. Sepeninggal Samat dan gerombolan, tidak ada yang bicara, sampai akhirnya Jeno berdeham, mengeluarkan ponselnya untuk mengirim chat pada Giza.
ezekielnk: giza, bongshik kangen sama kamu.
ezekielnk: yang punyanya juga.
ezekielnk: kapan mau main lagi ke rumah?
*
Jeno senang karena masalahnya dengan Dean selesai lebih lekas daripada yang dia kira, tapi rasa senang itu tidak bertahan lama karena mereka kembali punya masalah baru. Tidak ada kaitannya dengan band, atau pertemanan Jeno dengan Injun dan Nana. Awalnya, Jeno memang merasa Injun dan Nana itu anak-anak nakal yang hanya akan bawa pengaruh buruk baginya. Tapi tidak sekarang. Mereka membuat Jeno merasa dipedulikan, juga membuat Jeno ingin peduli. Yah, dia bukan orang yang mudah menunjukkan sesuatu semacam itu, namun Jeno menghargai dua cowok itu sebagai temannya—walau mereka belum berdiskusi lebih lanjut soal band mereka maupun kompetisi yang akan datang.
Sekarang, masalahnya datang dari Terry.
Usai acara Pensi waktu itu, Terry tidak pernah lagi datang ke sekolah. Dia juga menolak dihubungi dan tidak membalas pesan-pesan yang ditinggalkan Jeno-Injun-Nana di groupchat. Pernah, mereka nekat mendatangi apartemen Terry, namun Terry mengabaikan mereka atau turun ke lobi hanya untuk menyuruh tiga cowok itu pulang. Jeno, Injun dan Nana bisa menghargai itu jika saja Terry terlihat baik-baik saja, yang sayangnya tidak.
Hari ini menandai hari kelima Terry tidak datang ke sekolah dan mata pelajaran bahasa Inggris yang biasa diajar olehnya digantikan oleh guru bahasa Inggris lain. Sejak awal masuk kelas, guru itu telah memandang ngeri pada Nana dan Injun—yang menurutnya secara tidak biasa, kelihatan tenang dan sibuk berpikir. Itu jelas keajaiban dunia, karena setidaknya 70% warga sekolah menganggap Nana dan Injun terlalu nakal untuk duduk diam lebih dari lima menit.
"Bu!"
Guru itu tersentak di tempat duduknya kala Injun mengangkat tangannya tiba-tiba di tengah-tengah pelajaran. Matanya menatap ngeri, mengantisipasi benih-benih kekacauan yang sepertinya akan segera Injun tebarkan. Jika Injun sudah bicara, itu berarti kiamat bagi guru yang ada daam kelas. "Iya, kenapa?!"
"Widih, nge-gas amat ibu, nih!"
"Iya—maaf—kenapa?"
"Saya mau—"
"MAU APA?!"
"... saya mau ke toilet."
"Hah?"
"Saya mau ke toilet, Bu."
"Oh." Guru itu mengerjap beberapa kali. "Oke. Yaudah. Sendirian apa berdua?"
"Sendirian lah."
"Tumben."
"Kenapa emangnya?"
Guru itu kicep seketika. "Nggak apa-apa."
Injun memiringkan wajah dengan dahi berlipat, heran karena gurunya terkesan takut padanya. Namun dia tidak bicara lebih jauh, malah beranjak dan meninggalkan kelas tanpa membuat keributan. Itu kontan saja membuat guru tersebut merasa heran. Dia mengerutkan dahi sampai-sampai kedua alisnya nyaris bertaut, lantas bangkit dari duduk untuk mendekati tempat duduk Nana. Cowok yang didekati tak banyak bereaksi, kelihatan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Jevais?"
Nana tidak menjawab, perhatiannya benar-benar tersita oleh lamunan.
"Jevais?" Masih tak ada sahutan, jadi guru itu nekat menyentuh dahi Nana dengan tangannya. Alisnya terangkat ketika dia sadar temperatur badan Nana terhitung normal. "Hm... nggak panas."
Sentuhannya bikin Nana tersadar."Kenapa, Bu?"
"Kamu nggak sakit?!"
"Lah, saya sehat alhamdulillah luar biasa allahuakbar yes yes yes, Bu." Nana jadi heran. "Kenapa?"
"Kamu udah insyaf?"
"Tobat sepenuhnya sih belom, masih suka melipir lagi ke jalan setan, tapi kayaknya sekarang udah mendingan. Kenapa emangnya, Bu?"
"Hng... nggak apa-apa."
Guru itu buru-buru berbalik dan kembali ke kursinya. Dia sempat menduga Nana akan berkomplot dengan Jeno untuk menjahilinya, tetapi ternyata tidak. Dua anak itu tampak betul-betul sibuk memikirkan sesuatu. Entah apa. Namun apa pun itu, dia merasa penasaran, bagaimana bisa dalam waktu yang terhitung singkat, Terry membuat anak-anak biang onar sekolahan jadi sekalem itu.
*
Pikiran Injun yang sepenuhnya tertuju pada Terry membuatnya tidak fokus ketika berjalan, hingga dia menabrak salah satu tiang bangunan sekolah dengan keras. Sakitnya sih hanya lima detik, tapi malunya bisa bertahan sampai lima hari. Soalnya, muka Injun membentur pilar yang berada tepat di depan sebuah kelas. Berita buruk nomor satu, kelas itu sedang ramai dan serius mendengarkan penjelasan guru. Berita buruk lainnya, kelas itu adalah kelas Lala.
Injun meringis, melihat ke dalam kelas melalui jendela dan tanpa sengaja, matanya langsung beradu dengan mata milik Lala. Cewek itu menghela napas panjang sambil memijit batang hidungnya dengan jari. Kelihatannya, dia perlu mengerahkan segenap tenaga untuk menahan dirinya supaya tidak membenturkan kepala ke meja. Injun terkekeh, malah melambaikan kecupan jarak jauh yang bikin seisi kelas terperangah sejenak, sebelum anak-anak cowok kompak mengeluarkan suitan panjang. Lala kian malu. Wajahnya hampir semerah kotak pensilnya. Secara tidak bertanggung jawab, Injun malah santai melenggang pergi, lanjut menuju kamar mandi.
Namun tentu saja, Lala tidak akan membiarkan Injun lolos begitu saja setelah cowok itu membuatnya memerah seperti kepiting rebus di depan teman-teman sekelasnya.
Injun baru keluar dari kamar mandi saat dia dibuat tersekat karena Lala telah menunggunya di luar. Cewek itu bersandar di tembok dengan satu kaki terangkat dan tangan terlipat di dada. Gayanya persis preman. Injun menelan ludah, takut-takut melangkah mendekat.
"Seumur-umur, baru kali ini gue disamperin cewek di kamar mandi."
"Seumur-umur, baru kali ini juga kan ada cewek yang naksir lo?"
"Nggak. Ada yang naksir selain lo, kok."
Lala melotot. "Siapa?!"
"Adin."
"Oh." Lala menegakkan punggungnya lagi, berniat pergi, namun Injun buru-buru menahannya dengan mengulurkan lengan hingga telapak tangannya melekat ke tembok. Lengannya jadi penghalang bagi Lala untuk melarikan diri, serupa adegan klise dalam drama percintaan. Lala menelan ludah, memandang lengan Injun sebelum perhatiannya kembali tertuju pada wajah cowok ini. Injun kelihatan manly, dan mungkin bakal betulan jadi manly jika saja ekspresi kaget yang tak jauh beda terlihat di wajahnya.
"Anjir, gini tah rasanya jadi Dilan?!"
Lala mendengus. "Ngapain lo nahan gue?"
Ragu-ragu, Injun menarik tangannya. "Lo... pasti ke sini ada yang mau diomongin. Apa?"
"Gue naksir lo."
"Gue nggak denger."
"Artajuna Purnasaman!"
"Shavela Vladivia binti Syu'aeb!"
"Heh, nggak usah bawa-bawa bokap gue!" Lala sewot. "Gue nggak ngerti, mau lo sebenarnya apa? Lo ngegodain gue di depan teman-teman sekelas gue. Lo ngeledekin gue pake jokes yang bisa bikin baper. Lo—"
"La."
"Apa?!"
Injun jadi gentar. "Oke. Nggak jadi. Lanjutin aja dulu marahnya sampai puas."
"Nggak bisa!"
"Kenapa?"
"Lo udah bikin gue kepo! Lo tadi mau ngomong apa?!"
"Urusan menyatakan cinta itu... urusan anak cowok." Injun berujar, mampu membuat Lala terdiam dalam sekejap. "Gue memilih pura-pura nggak denger lo pernah ngomong gitu, karena... balik lagi, urusan menyatakan cinta itu urusan anak cowok."
Lala berdecak, masih belum paham makna kata-kata Injun. "Terus lo ada niatan nyatain cinta nggak?!"
"Ada."
"Ke siapa? Gue atau Adin?"
"Soal itu..."
"GUE INJEK KAKI LO YA?!"
"Soal itu... gue nggak bisa jawab sekarang."
Lala terperangah. "Hah?"
"Tapi yang jelas, gue nggak tahu nama bokap Adin siapa... dan nggak berminat nyari tahu."
"Hah?!"
"Gusti nu Agung, hamdallah ternyata ada juga anak IPA yang lemot prekotot kayak gini."
"Apa lo bilang?!"
"Intinya gitu."
Lala berpikir sebentar, menelaah kembali maksud kata-kata Injun.
Gue nggak tahu nama bokap Adin siapa... dan nggak berminat nyari tahu.
Saat Lala tersadar, darah serasa naik dengan cepat ke wajahnya. Pipinya seakan-akan ditempeli oleh setrika panas. Cewek itu menunduk, sengaja berusaha menyembunyikan wajahnya yang merona, meski itu tak banyak berguna.
"Sekarang udah ngerti, kan?"
Lala mengangguk. "Tapi terus lo mau nyatain tuh kapan?"
"Ntar."
"Ntar kapan."
"Ntar, tunggu ada tanggal cantik."
Lala nyaris menyepak Injun sampai lenyap dari peradaban.
*
Masih tidak ada kabar dari Terry hingga dua hari berikutnya, walau mereka bertiga belum juga menyerah. Hari ini, setelah lama tidak mengunjungi Markas—dan Iteung—Nana mengajak Jeno dan Injun untuk membersihkan tempat itu. Biasanya, Terry yang galak menyuruh mereka bersih-bersih setiap pulang sekolah. Injun pernah mencoba kabur sekali, namun gagal karena tiba-tiba, Terry membelikan mereka semua gelato untuk dimakan setelah acara bersih-bersih selesai. Sejak saat itu, selalu ada makanan kecil setiap mereka bersih-bersih, yang menjadi alasan tunggal kenapa Nana-Jeno-Injun menurut. Namun sekarang, mereka bertiga tidak menginginkan snack apa pun.
Mereka hanya ingin Terry kembali ada di sekolah.
Sesi bersih-bersih mereka sore ini adalah sesi bersih-bersih tersunyi dari semua sesi bersih-bersih. Injun terlalu sibuk berpikir, tidak sempat bercanda. Jeno lebih banyak diam. Dan Nana, ekspresi wajah cowok itu sukar didefinisikan. Tidak ada orang yang meneriaki mereka kala mereka melamun ketika menyapu. Tidak ada orang yang bisa Injun ledek, atau Nana paksa membelikan bakso sebagai makanan tambahan buat mereka. Segalanya jadi muram dan datar, seakan-akan seluruh warna telah dihisap keluar dari sana.
Mereka selesai membersihkan lantai, melap kaca dan memasangkan rol rambut di wig Iteung—kata Jeno, sekarang lagi nge-tren rambut keriting, Nana mengunci pintu Markas dan ketiganya pun berniat pulang. Tetapi, di perjalanan, Nana baru menyadari jika saputangan pemberian Kasa telah lenyap dari saku jaketnya. Cowok itu berpikir sebentar, berusaha mengingat-ingat dan mencurigai, saputangannya tertinggal di sekolah. Akhirnya, dia menyuruh Jeno dan Injun pulang lebih dulu, sementara dia berbalik dan setengah berlari menuju sekolah.
Tebakannya benar. Saputangan itu memang tertinggal di sekolah. Dia menemukannya di Markas, setelah sebelumnya menyusuri tiap jengkal lantai kelas dan tak ada jejak dari saputangan yang dia cari. Saputangannya terjatuh di belakang ruangan, diantara tembok dan kaki salah satu meja. Nana memungutnya, membersihkannya dari debu, lalu menyimpan saputangan itu baik-baik dalam tasnya.
Sekolah sudah sepi. Senja telah mengambil ancang-ancang untuk menjemput matahari. Namun ternyata, Nana bukan satu-satunya yang masih berada di sekolah. Langkah cowok itu dihentikan oleh kehadiran seorang laki-laki yang tengah berdiri menghadap tiang bendera, di depan sebuah tong berapi. Ada kardus di dekat kakinya, juga benda-benda di tangan yang lantas dia lemparkan ke dalam tong.
Nana mengangkat alis, mengenali sosok itu setelah dia berada cukup dekat. "Pak Toi—Pak Terry?"
Punggung Terry menegang, tapi akhirnya dia berdecak dan menoleh. Matanya terlihat lelah. Wajahnya lebih pucat dari biasanya. Dia tidak mengenakan setelan ala model atau orang kaya nyasar seperti ketika dia berada di sekolah sebelumnya, hanya kaus dan jaket. Nana menelan ludah, terus berjalan hingga dia berada di sebelah Terry. Kelihatannya, Terry belum lama berada di sana. Kardus miliknya masih sarat barang—walau sudah beberapa yang berakhir dalam jilatan api.
"Ngapain kamu di sini?"
"Saya yang harusnya nanya, ngapain bapak di sini? Kalau mau bakar-bakaran tuh bilang, kita kan bisa dateng nanti bawa jagung!"
Terry tertawa kecil. "Saya nggak suka jagung bakar."
Nana diam, entah mengapa merasa tenggorokannya mendadak tersumbat. Dia benci ini. Perasaan ini adalah perasaan familiar yang selalu dia rasakan setiap kali dia hampir menangis.
Anehnya, Nana tidak tahu kenapa dia ingin menangis.
"Saya... saya lebih nggak suka sama orang yang nggak balas chat."
Terry tidak menjawab.
"Kita chat bapak di grup. Kenapa nggak dibalas?"
"Saya—"
"Jangan bilang bapak sibuk! Bapak aja nggak ke sekolah!"
Terry menoleh. "Saya nggak berniat bilang saya sibuk. Saya mau bilang, saya nggak balas karena saya nggak tahu harus balas apa."
Nana diam, menarik napas panjang, berusaha melegakan dadanya yang tiba-tiba sesak. Terry tidak bicara. Matanya menatap hampa pada api. Ada senyum tipis di wajahnya, yang kelihatan aneh pada wajahnya yang pucat. Dia terlihat tidak baik-baik saja.
"Saya pernah punya mantan."
"Apa?"
"Atau mungkin bukan mantan?"
"Bapak ngomong apa?"
Terry terkekeh, menunduk untuk menatap foto di tangannya. Fotonya bersama seorang perempuan berambut sebahu dan seorang laki-laki dengan wajah yang terkesan tidak ramah. Nana ikut melihatnya. Mereka berada di sebuah tempat yang gelap. Sepertinya foto itu diambil malam hari. Terry memegang gitar dan perempuan itu tersenyum ke kamera. Nana menerka, foto itu berasal dari suatu momen yang terjadi bertahun-tahun lalu. Terry terlihat sangat muda, seperti masih belasan tahun.
"Saya baru terpikir, kenapa selama ini saya menganggap dia mantan saya ya? Padahal, nggak pernah ada kata suka diantara kita. Bahkan mungkin, dia suka sama yang lain. Kamu lihat anak ini, yang ada di sebelah dia? Namanya Yuta. Nakamura Yuta. Dia teman dekat saya."
"Pak—"
"Kamu nggak kepo gitu? Ini jarang-jarang loh, saya mau cerita."
Ada sesuatu dalam sorot mataTerry yang membuat Nana memutuskan untuk mengalah. "Terus perempuan itu... orang yang pernah bapak suka?"
Terry mengangguk. "Namanya Aria."
"Namanya bagus."
"Nama yang cantik." Terry sependapat. "Kamu tahu, Jevais? Dalam musik, aria adalah bentuk nyanyian tunggal yang sendu. Dia dibawakan dengan penuh perasaan, diiringi alat musik seperti opera dan oratoria. Dia mewakili sesuatu yang biasa kita sebut... kesedihan. Tapi di saat yang sama, aria juga artinya udara. Sesuatu yang kita butuhkan untuk bertahan hidup."
Nana diam, mendengarkan.
"Saya selalu berpikir, hanya ada satu aria dalam hidup saya. Aria yang tidak balik menyukai saya seperti saya menyukai dia. Aria yang mewakili kesedihan dalam hidup saya. Saya nggak tahu, kalau selama ini, saya punya satu aria lain." Terry menatap lagi pada Nana "Aria yang mewakili udara. Aria yang saya butuhkan untuk bertahan hidup. Dua aria yang berbeda. Aria yang meski sebentar, pernah membuat saya ingin percaya pada selamanya."
"Saya... nggak ngerti."
"Selamanya itu nggak ada, Jevais. Pada satu titik, segala sesuatu, entah itu baik atau buruk, harus berakhir." Terry tersenyum. "Sama seperti saya dalam hidup kalian bertiga. Atau kalian bertiga dalam hidup saya. Orang-orang akan datang dan pergi dalam hidup. Termasuk saya. Termasuk kalian. Kita nggak bisa menginginkan selamanya, sebab selamanya itu nggak ada."
Nana terperangah, membalas refleks. "Saya nggak peduli selamanya ada atau nggak ada yang seperti bapak bilang. Saya nggak butuh selamanya. Tapi saya mau bapak ada dalam hidup saya, dalam hidup kita, sedikit lebih lama. Itu aja. Kalaupun bapak harus pergi, saya mau ketika semuanya udah baik-baik aja. Bukan saat bapak punya masalah."
Terry tidak menyahut.
"Itu aja yang saya mau. Sesusah itu ya?"
Terry tertawa kecil, kemudian melemparkan lebih banyak barang ke dalam api sebelum dia kembali bicara. "Tanggal 2 Februari, di halte dekat toko mainan, kamu pernah menyendiri. Nangis. Mengabaikan tatapan orang-orang. Nggak sadar sama lingkungan sekitar."
Nana hampir tersedak. Dia menelan ludah dengan susah-payah. Dia tidak tahu kapan persisnya itu terjadi, tapi dia memang pernah duduk di halte dekat toko mainan yang tak jauh dari rumahnya hanya untuk menangis. Hari itu, dia merasa sangat sedih—sesedih itu, sampai-sampai dia masih mengingatnya hingga sekarang.
"Saya nggak tahu kamu bertengkar dengan siapa. Mungkin Nenek. Atau Ayah. Kamu anak baik, tapi nggak pernah berhenti merengek, menanyakan ke ayah kamu kenapa kamu nggak punya ibu seperti anak-anak yang lain."
Nana merasa matanya memanas, seperti tengah menghimpun air mata. "Bapak... bapak... sejak kapan kenal sama saya?"
"Kenapa?"
Nana menunduk, menggigit bibir. Dia tidak bisa bicara—ah bukan, dia tidak boleh bicara karena jika dia bicara, dia akan menangis. Ini aneh. Bagaimana bisa dia menangis tanpa tahu alasan mengapa dia menangis?
Terry juga membisu, membungkuk untuk mengambil lebih banyak barang dari dalam kardus dan melemparnya ke api, membiarkan jilatan lidah jingga mengubah kenangan menjadi abu.
"Bapak—" Nana berdeham karena suaranya pecah saat bicara. "Saya nggak peduli soal apa maksud kata-kata bapak, tapi saya bakal selalu ada buat bapak. Kalau bapak sakit, saya bakal ada buat bapak sampai bapak sembuh."
"Saya nggak mau."
"Pak—"
"Soalnya, saya nggak akan pernah bisa sembuh."
Nana tertunduk, tangannya gemetar hingga dia harus mengepalkannya.
"Seperti yang saya bilang, Jevais. Nggak semua orang ditakdirkan ada dalam hidup kamu selamanya."
"Saya nggak peduli. Saya butuh bapak. Saya nggak punya siapa-siapa lagi. Saya harus gimana kalau nggak ada bapak?"
"Anak baik selalu punya banyak penjaga. Jadi anak baik. Mungkin aja dengan begitu, kamu bisa ketemu ibu kamu."
"Pak—"
"Ada banyak yang mau saya jelaskan. Bukan cuma ke kamu, tapi juga Artajuna dan Ezekiel. Weekend ini, kalian bisa datang ke tempat saya."
"Kenapa harus weekend ini? Kenapa nggak bapak ke sekolah dan—"
"Karena mulai besok, saya bukan lagi wali kelas kamu."
Nana tidak langsung merespon, sebab apa yang baru saja dia dengar terlalu mengejutkan. Dia berdiri di tempatnya tanpa bergerak, menatap nanar. Terry menghela napas panjang, melemparkan foto-foto terakhir ke dalam api sebelum dia menoleh pada Nana dan tersadar, ada air mata berjatuhan di pipi cowok itu.
Terry berdecak. "Anak laki-laki nggak seharusnya gampang menangis."
Bukannya reda, air mata Nana justru makin deras berjatuhan. Terry memandangnya beberapa lama, kembali menghela napas panjang dan mendekat untuk meraih remaja di depannya ke dalam pelukan erat.
Dia pernah memeluk Injun saat anak itu menangis. Dia pernah memeluk Jeno saat anak itu menangis. Namun dia tidak pernah sekalipun menduga, memeluk Nana yang sedang menangis bisa terasa sesakit ini.
bersambung ke twenty second note
***
Catatan dari Renita:
ea, jadi bagaimana?
apakah terry ada hubungannya dengan chef kita sekaligus pacarnya mb kia?
of course, baby.
HAHAHAHA
lalu bagaimana cerita trio sontoloyo dan pak terry akan berakhir? lets see.
btw, coyote itu hewan yang ada di flag NCT Dream era We Go Up ya wkwkk ((pas banget di depan mana nana yang megang benderanya))
yah, intinya begitu. makasih sudah sabar menunggu. makasih udah tetap baca, vote dan comment walaupun minggu kemaren mati lampu. pokoknya, makasih banyak banget.
sampai ketemu lagi di chapter berikutnya.
ciao.
Semarang, August 11th 2019
17.40
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top