sixth note
Adolescents are not monsters.
They are just people trying to learn
how to make it among the adults in the world,
who are probably not so sure of themselves.
—Virginia Satir—
*
Hari ini libur dan Nana tidak punya rencana untuk berpisah dengan kasurnya sampai setidaknya pukul sebelas siang ketika Nenek mengetuk pelan pintu kamarnya yang memang sengaja dibiarkan terbuka—Nana tidak bisa tidur dalam ruangan tertutup. Itu membuatnya gelisah, entah kenapa.
"Jevais,"
"Masih dingin, Nek." Nana menyahut seraya mengeratkan pelukan pada guling dan menarik selimutnya lebih tinggi hingga hanya mata dan lekuk hidungnya yang tampak. "Aku bangun rada siangan."
"Ada teman kamu."
Nana masih terpejam saat dia membalas dengan suara parau khas orang mengantuk. "Kasa?"
"Bukan."
"Teman lo yang paling tampan sedunia!" Injun nyeletuk, membuat Nana mengembuskan napas lelah walau teknisnya dia masih setengah sadar. Cowok itu hanya menggeliat sedikit, lalu lanjut ngorok. Nenek melirik Injun yang malah mengacungkan jempolnya, sebelum dia berlari menyerbu ke arah kasur. "Jevais ganteng, waktunya baaaaaaanguuuuuuuuun!!!"
Refleks, Nana membuka mata hanya untuk mendapati Injun telah melompat untuk selanjutnya menjatuhkan dirinya. Cowok itu kontan beranjak dari posisi berbaringnya, bermaksud menyelamatkan diri sebelum jadi korban gencetan Injun—yang kecil-kecil begitu, tulangnya bisa seberat dosa umat manusia sebenua—tapi terlambat. Injun mendarat di perutnya, bikin Nana merasa paru-parunya hampir kempes seketika.
"Anj—"
"Dibilang bangun!"
Nana terbatuk, menatap protes pada Nenek yang malah terkekeh geli. "Nenek!"
"Nenek nggak bisa nahan teman kamu." Nenek beralasan.
"Turun lo dari perut gue, anj—Injun!" Nana batal memaki tatkala sadar Nenek masih berada di ambang pintu kamarnya. Dia terbatuk lagi. "Rasanya lambung gue gepeng."
"Nggak usah berlebihan gitu." Injun menukas diiringi senyum kalem yang bikin Nana mual. "Masih mending gue ngebangunin lo dengan bertatakrama dan penuh cinta. Lo mau dengar gimana cara Komandan Toil bangunin gue?"
"Hah, Komandan ke rumah lo?!"
"Dia ada di sini sekarang. Lagi belagak kalem sambil minum teh buatan Nenek lo. Masih di ruang tamu, kayaknya."
"Idih, terus ngapain lo bawa itu spesies ke sini?!"
"Soalnya, gue nggak mau menderita sendiri." Injun nyengir, lantas menepak punggung Nana keras-keras. "Buruan mandi! Kita masih harus ke rumahnya catman!"
"Lah, ngapain?"
"Lo ingat nggak agenda bersih-bersih markas? Mestinya tuh kemarin bersih-bersih, tapi gue bolos dan Komandan Toil ikut-ikutan ngabur dari tugas negaranya, jadi mau nggak mau bersih-bersihnya ganti jadwal jadi hari ini. Sengaja ke tempat lo dulu, karena sapu, pengki dan kawan-kawannya kan ada di rumah lo."
Nana menggaruk lehernya sembari menguap, melepaskan sisa-sisa kantuknya yang belum sepenuhnya lenyap. "Tunggu di depan kalau gitu. Gue mandi dulu. Kampret juga ya Komandan Toil. Padahal ini hari libur."
"Sekampret-kampretnya cara gue bangunin lo, masih lebih kampret caranya Komandan Toil muncul di rumah gue pagi ini." Injun menukas masam.
"Emang dia ngapain?"
"Lo bakal lihat nanti."
Nana tidak bertanya lebih jauh, lanjut mengambil handuk dan mandi. Tetapi begitu dia masuk ke ruang tengah—di mana Terry sedang duduk sembari mengobrol dengan Nenek dan Injun—Nana bisa menebak, seperti apa kira-kira cara yang digunakan Terry untuk mengusik pagi tenang Injun. Lelaki itu berpenampilan seperti polisi berpakaian preman dalam film-film, dengan jaket kulit hitam, kaus, celana jeans dan rambut yang ditata sedemikian rupa hingga bagian depannya bisa jatuh di dahi tanpa menutupi seluruh jidatnya. Ditambah wajah tanpa senyum dan intonasi suara yang serius, mudah membuat orang tua Injun percaya kalau anaknya akan diciduk polisi.
"Kalau mau dateng tuh bilang-bilang, Ndan!" Nana berseru, tidak kelihatan senang dan itu membuatnya langsung kena gaplok Nenek.
"Yang sopan sama gurumu!"
"Nek, dia ini guru jadi-jadian."
"Jevais!"
Terry tersenyum kalem, penuh pencitraan yang membuat Injun dan Nana bergidik geli. "Nggak apa-apa, Bu. Namanya juga remaja. Oke, kalau Jevais sudah siap, bisa saya pinjam dulu, Bu? Nanti kalau urusan di sekolah sudah selesai, saya antar pulang ke sini lagi."
Nana menatap horor. "Komandan kalau lagaknya kayak gini, saya malah takut."
"Jangan-jangan kita mau dimutilasi habis ini." Injun manggut-manggut.
"Jevais!" Nenek berseru lebih keras, mulai kelihatan jengkel, walau senyum yang berbanding seratus delapan puluh derajat langsung tertarik di wajahnya kala dia mengalihkan pandang pada Terry. "Maaf ya, Pak. Anak ini memang sudah berbakat nakal sejak dulu."
"Oh, nggak apa-apa, Bu. Namanya juga anak muda."
Nana mendengus, nyaris sujud syukur ketika acara ramah-tamah penuh kepalsuan antara Terry dan Nenek selesai. Mereka langsung melanjutkan mengangkut peralatan bersih-bersih yang sudah dibeli—yang mayoritas berwarna biru, karena katanya Jeno yang memilih dan warna biru itu warna favorit Jeno. Selesai menata semua peralatan bersih-bersih—berikut satu setel pakaian baru untuk Iteung yang tetap akan jadi maskot markas mereka, ketiganya masuk ke dalam mobil.
"Ndan, lain kali—" Nana bilang begitu sambil menutup pintu mobil setelah lelah melambai pada Nenek yang berdiri di teras. "—kalau mau datang tuh kasih tahu!"
"Ho-oh!" Injun yang duduk di depan, tepat di sebelah Terry yang menyetir manggut-manggut setuju. "Tapi lagi-lagi, lo masih mending, sih. Lo tahu nggak ni Komandan muncul di rumah gue pagi-pagi buta, dengan gaya macem itu, hampir aja gue digampar bolak-balik ama bokap gue, dikira barusan ngehamilin anak orang dan mau ditangkap polisi!"
"Oh, bokap lo udah nggak marah?"
"Masihlah. Gue nggak ngomong ama dia."
"Tapi lo diizinin balik?" Nana balik bertanya, teringat pada drama yang terjadi kemarin. Usai dibuat kalang-kabut oleh kepanikan Mama Injun akan Injun yang tidak pulang semalaman, Nana mengantar Injun kembali ke rumahnya. Respon Papa Injun tidak menyenangkan, namun laki-laki itu tidak banyak bicara, melenggang pergi begitu saja waktu Mama Injun mengomeli kenakalan anaknya yang kabur dari rumah sambil menahan air mata.
"Iya. Hampir digampar lagi sih gue, tapi ya kalau dia berani, bakal gue gampar balik. Bodo amat."
"Kerad juga bokap lo."
"Dodol sih lebih tepatnya." Injun asal ceplos saja, tidak merasa berdosa mencerca ayahnya di depan Nana dan Terry. "Untung nyokap gue nggak punya sakit jantung. Alma aja hampir mewek."
"Emang Komandan Toil munculnya gimana?"
"Ngetok pintu, terus pas dibuka bilangnya gini, 'Permisi, apa benar ini rumah Artajuna Purnasaman?'. Nyettttt, nyokap gue hampir semaput dikira gue abis jadi pelaku tindak kriminal!"
"Kenakalan-kenakalan kalian yang super sontoloyo itu, kalau dikumpulkan dan dibuat daftar, bisa bikin kalian diciduk polisi. Ngerti nggak?"
"Kita kan masih anak di bawah umur, Pak."
"Anak di bawah umur tapi kelakuannya udah macam orang dewasa." Terry menukas ringan. "Misalnya, nonton film dewasa, ngerokok, pegangan tangan sama cewek di kantin—"
Nana hampir tersedak. "ANJAY GURINJAY—dari mana Komandan ta—oke, itu nggak penting. Tapi sumpah, lama-lama saya jadi ngeri tau!"
"Kan udah dibilang, baik-baiklah tingkah laku kalian itu. Saya selalu mengawasi kalian."
"Jangan-jangan bapak juga tahu kalau pagi ini saya nggak sengaja sikat gigi pake sabun cuci mukanya Alma?" Injun menyahut horor.
"Tadinya nggak tahu, tapi sekarang saya tahu." Terry membalas, setengah bergurau. "Rumahnya Jeno belok ke sebelah mana?"
"Depan belok kanan."
Rumah Jeno terletak di tepi jalan besar, sehingga mudah bagi mereka untuk menemukannya. Berbeda dengan Nana dan Injun yang perlu dibangunkan dengan sedikit kehebohan, Jeno sudah menunggu di teras rumah bersama kucingnya ketika mereka tiba. Cowok itu sudah rapi, dan jelas sudah mandi.
"Kok lo udah siap, sih?!" Injun bertanya heran sembari membuka pintu pagar.
"Pak Terry kan udah kasih tahu mau datang di groupchat." Jeno menjawab polos, lalu meraih salah satu kucingnya, menjabatnya. "Bongshik, aku pergi dulu ya. Whiskasnya udah aku tuang. Air minumnya juga. Jaga rumah dan jangan nakal, oke? Kalau hujan, jangan main hujan-hujanan, nanti sakit!"
Injun dan Nana berpandangan, sementara Terry kelihatan menahan tawa.
Seakan-akan tidak cukup sampai di sana, Jeno membungkuk, memberi satu kecup di dekat hidung Bongshik—yang sukses membuatnya bersin gara-gara alergi tidak lama setelahnya.
"Barang-barangnya udah dimasukkin, kan? Yaudah, yuk!"
"Lo... barusan nyium kucing?"
Jeno menggosok hidungnya yang gatal dengan jari. "Saya selalu cium Bongshik kalau mau pergi. Mama bilang nggak bagus sih, soalnya saya alergi. Tapi gimana ya, takut Bongshiknya kangen."
"Idih."
"Kalian tuh coba contoh Jeno." Terry angkat bicara, tangannya menepuk-nepuk pundak Jeno. "Nggak perlu dibangunin, nggak perlu ditungguin siap-siap. Begitu saya kasih info di grup, dia langsung gercep dan saat kita datang, udah siap tinggal berangkat. Jadilah budak yang berdedikasi, seperti Jeno ini."
Nana yang barusan mengecek groupchat mereka kontan berseru tidak terima. "Bapak bilang mau dateng jam delapan pagi tapi ngechat di group jam setengah delapan! Ya mana nyambung, kita semua lagi enak-enaknya molor!"
"Jeno nggak."
"Saya bangun jam lima."
"Memang yang kayak gini tuh baru anak harapan bangsa. Track recordnya bersih pula. Nggak nonton film porno, apalagi ngerokok." Terry menyindir.
"Tapi bikin kepala bapak benjol." Injun menimpali. "Yaudah. Saya juga bisa kok nggak ngerokok atau nonton film porno, asal boleh bikin kepala bapak benjol. Gimana?"
"Sontoloyo kayak kamu ini memang nggak mempan diberitahu baik-baik." Terry melotot. "Yaudah, ayo buruan masuk mobil! Agenda bersih-bersih ruangan harus selesai hari ini, kecuali kalian mau besok saya susulin lagi kalian ke rumah masing-masing buat ngelanjut bersih-bersih!"
Injun kelihatannya masih ingin membantah, namun Nana menyikutnya, membuatnya diam dan dengan patuh, kembali masuk ke dalam mobil. Hari ini hari libur, maka wajar sekalipun waktu sudah menjelang siang, jalanan tidak seramai hari-hari biasa. Injun dan Nana masih tidak bisa diam, saling melempar candaan receh atau cercaan buat Terry walau mereka terpisah jarak tempat duduk. Jeno hanya membisu seraya menyandarkan kepala pada jendela. Tinggal tambahkan sedikit hujan rintik-rintik yang airnya menitik ke kaca, maka dia sudah kelihatan seperti sedang membuat video klip. Sayangnya, hari ini terlalu cerah untuk mengharapkan gerimis turun.
"Anjir—anjir, buruan, Pak!" Injun tiba-tiba berseru gregetan tatkala lampu merah di depan mereka menunjukkan tanda-tanda perpindahan warna dari hijau ke kuning.
Nana jauh lebih berani, langsung mencondongkan badannya ke depan dan berteriak dekat telinga Terry. "ULAH TANGGUNG-TANGGULAH! CUS TEROBOS!"
Jeno melotot, tiba-tiba ikut tegang. "Heh, jangan! Melanggar lalu-lintas itu nggak—"
"BENER KATA NANA! TEROBOS, JANGAN RAGU!"
"MUMPUNG NGGAK ADA POLISI, GEURA!"
Terry tersekat, harga dirinya serasa tertohok. "HE, SUMPAH NIH TEROBOS?!"
"BUKTIKAN MERAHMU, NDAN!"
"PAK, BUAT SEYOHYUN BANGGA, PAK!"
"GASKEUUUUUUN!"
"Pak, kalaupun nggak ada polisi, sesungguhnya Tuhan maha melihat, Pak." Jeno berusaha menjadi penengah diantara bisikan-bisikan setan yang menghasut Terry untuk menerobos lampu lalu-lintas. "Seandainya bapak nerobos terus—"
"LAKI-LAKI HARUS PUNYA KEBERANIAN, PAK!"
"GASKEUUUUN, LUUUUUR!"
Jalan kebenaran, memang konon selalu lebih sulit ditempuh daripada jalan setan. Terry mengabaikan peringatan Jeno, menginjak pedal gas dalam-dalam dan mobil yang mereka tumpangi pun meluncur mulus, ditonton oleh pengendara lain yang sempat speechless, hingga rasa terpesona mereka habis dan membuat mereka kompak menekan tombol klakson sambil meneriakkan sepotong kata makian dengan sepenuh hati.
"GOBLOK!"
"Memang terbukti, Komandan Toil betulan lelaki."
Terry tertawa puas, namun rasa senang mereka tidak bertahan lama, sebab suara sirene dari motor polisi yang entah muncul dari mana mendadak terdengar. Berita buruknya, motor polisi itu jelas mengejar mobil mereka. Sesekali, terdengar suara peringatan untuk menepi.
"Anjer, itu polisi muncul dari mana?!"
"Dari alam ghaib kayaknya!"
"Kan udah saya bilang." Jeno menarik napas panjang. "Pak, belum terlambat untuk memperbaiki situasi. Bapak nepi aja, ditilang terus disidang. Daripada kita—"
"Jangan mau kalah, Pak!" Nana membisikkan kata-kata iblis. "Loloskan diri dari polisi itu, Pak! Buktikan kalau bapak layak jadi fanboynya Seyohyun!"
Terry malah jadi sewot pada Nana. "Kamu sebut itu Seohyun sekali lagi, kertas yang kemarin saya kasih ke kamu dan Injun nggak berlaku!"
"Ampun, Pak. Jangan." Nana nyengir. "Yaudah, pokoknya gaskan aja. Nyempil-nyempil, belok dikit ke gang mana, kek! Loloskan diri dari bapak polisi! Jangan mau kalah sama si pembalap botak!"
"Si pembalap botak?"
"Gitu aja nggak tahu! Itu loh yang di Fast and Furious!"
"Hah, Vin Diesel kali, geblek!"
"Nah itulah. Pokoknya si botak!"
"Di Fast and Furious, yang botak bukan cuma Vin Diesel." Jeno lagi-lagi menyela. "Ada si—"
"Pokoknya si botak!"
"Iya, tapi belum tentu namanya dia Vin Diesel—"
Terry melirik ke belakang melalui rear-view mirror dan tidak mengerti mengapa tiga bocah dalam mobilnya malah sibuk berdebat soal jati diri pembalap botak dalam film Fast and Furious, terutama saat mereka terjebak dalam situasi genting seperti sekarang. Ninuninu bunyi khas sirene motor polisi masih terdengar, bikin keringat dingin menuruni punggung Terry. Sebetulnya dipikir pakai logika, seharusnya bukan masalah untuk menepi, menyerahkan SIM-nya dan mengikuti sidang seperti warga negara yang baik. Atau jika dia malas, dia cukup menelepon seseorang dan koneksi yang dia miliki akan menyelesaikan semuanya. Namun kelakuan tiga muridnya bikin Terry tegang dan oleh sebab itu, dia tidak bisa berpikir jernih.
Pada akhirnya, meski memakan banyak waktu dan tenaga, mereka memang berhasil meloloskan diri dari kejaran polisi lalu-lintas dengan berbelok ke gang kecil dan menyamarkan keberadaan mobil mereka di balik sebuah mobil box yang kebetulan sedang parkir.
"SONTOLOYO KALIAN MEMANG!"
"Salah, Pak." Injun mengoreksi. "Yang benar itu, 'kalian memang sontoloyo!'. Hehehe."
"Kamu mau digeplak ya?"
"Pake duit sih boleh kayaknya, Pak."
"Halah, banyak omong!" Terry menarik sehelai tisu dari kotak tisu di dashboard, melap keringat yang menetes di pelipisnya sebelum memundurkan mobil perlahan. "Coba kalau kita nunggu aja di lampu merah, paling cuma nunggu lima menit, nggak nyampe muter-muter hampir sejam untuk menghindari kejaran polisi!"
"Kan saya bilang juga apa, Pak. Bapak sih nggak dengerin saya."
"Jeno, kamu nggak usah ikut-ikutan nyebelin kayak Sontoloyo first dan Sontoloyo second!" Terry malah jadi sensi. "Kita ke sekolah sekarang. Kalian mesti kelar bersih-bersih hari ini. Soalnya saya ogah terjebak dalam situasi kayak gini lagi besok-besok! Harus kelar hari ini! Mau kudu sampai tengah malam kita di sekolah, pokoknya selesai hari ini. Titik!"
"Aamiinnnnn!" Injun dan Nana merespon omelan Terry dengan teriakan lantang, seakan-akan Terry adalah imam shalat berjamaah yang baru selesai membaca Al-Fatihah.
Jeno, sebagai yang paling waras, hanya mampu berdecak prihatin.
*
"Tunggu. Ini sapunya mana?" Terry bertanya dengan dahi terlipat setelah mereka selesai mengangkut semua alat-alat kebersihan dari parkiran sekolah ke bekas laboratorium yang mesti mereka bersihkan—sebagai orang yang sudah cukup berumur, Terry sengaja menyerahkan tugas berat naik-turun tangga pada Injun-Nana-Jeno dan dia yang akan meneruskan membawa peralatan itu ke dalam laboratorium. Keran wastafel keramik di sudut ruangan sudah diperbaiki hingga airnya mengalir kembali, begitupun dengan langit-langit ruangan yang telah diganti, membuatnya bersih dari jejak bocor. Bangku-bangku tak terpakai yang semula menyesaki ruangan tak lagi ada di sana. Untungnya, Iteung masih dibiarkan nongkrong nyaman bersama kaus I love Bandung-nya di pojok ruangan.
"Kayaknya sih nggak saya kantongin, Pak."
"Saya serius." Terry berdecak. "Apa masih di mobil kali ya?"
"Bagasi udah bersih." Nana yang sedang menonton tutorial cara memasang hijab modern yang baik dan benar di Youtube menukas tanpa menoleh. Pandangannya masih terfokus pada layar ponsel di tangannya. Di dekatnya, Jeno sedang berjongkok, memegang bungkusan berisi satu setel gamis dan kerudungnya. Kemarin waktu berbelanja, mereka memang sengaja membeli setelan baju muslim untuk perempuan. Kata Nana sih, berhubung kiamat sudah dekat, kini tiba waktunya buat Iteung hijrah dan jadi tengkorak yang lebih syar'i.
"Ketinggalan di rumah Nana berarti kalau begitu."
"Yaudah, ambil."
"Sama bapak atuh lah! Saya kan nggak bisa nyetir mobil! Bapak mau mobil bapak nyungsep di gorong-gorong kalau saya yang nyetir?"
"Siapa yang nyuruh kamu bawa mobil saya, Otong! Maksud saya tuh, sana kamu ke rumah Nana, ambil sapunya! Naik ojek kek, apa kek, atau lari sekalian. Kalau nggak capek."
"Kenapa nggak pake sapu kelas aja?" Jeno merasa punya ide yang lebih bagus.
"Ketahuan nih belom pernah piket." Nana menanggapi. "Sapu kelas kita tuh udah peyot banget! Ijuknya aja udah rontok parah sampai hampir botak! Belom lagi gagangnya yang ngondoy, dipatahin ama si Injun dulu dan nggak diganti-ganti sampe sekarang! Kelas kita tuh fakir sapu dari jaman baheula!"
"Kenapa nggak diganti?"
"Biarin. Sengaja, jadi ada alasan ke guru buat nggak piket."
"Minjem kelas lain aja kali ya?"
"Sapu anak-anak IPS tuh setipe semua. Kalau nggak botak, patah, ya udah nyelip nggak tahu kemana. Terakhir kemarin aja kelasnya si Tiara nyapu lantai pake kemoceng!"
"Yaudah, kita nyapu pake kemoceng aja. Gimana?"
"Kapan kelarnya, Sontoloyo?!" sekarang ganti Terry yang sewot. "Cari mamang kantin atau siapa kek gitu. Siapa tahu bisa minjam sapu mereka."
"Sekarang kan libur, Pak."
"Tapi tadi di depan saya lihat ada banyak motor terparkir."
"Itu anak-anak OSIS yang lagi rapat. Sekarang kan udah deket-deket pensi tahunan. Paling mau rapatin itu." Injun menjawab. "Mayoritas anak OSIS tuh anak IPA, Pak. Emang sih, ada anak IPS-nya juga, tapi beda spesies ama kita. Mereka mah anak IPS budiman."
"Yaudah, pinjam sapu ke mereka aja."
"Bapak nggak tahu kalau di sekolah ini, derajat anak IPA sama anak IPS tuh ibarat kata langit dan bumi?!"
"Atau Romeo dan Juliet." Nana terkekeh, seperti tengah menertawakan dirinya sendiri.
"Saya nggak mau tahu. Pokoknya kamu cari sapu. Kalau kamu nggak bisa dapet minjem dari anak-anak atau mamang-mamang di sekolah, mau nggak mau kamu kudu balik ke rumah Nana. Oh ya, saya ogah nganter. Titik. Minta anter aja sama Jeno atau Nana."
"Saya nggak bisa. Mau lap kaca." Jeno beralasan, menunjukkan kanebo di tangannya.
"Gue juga nggak bisa. Mohon maaf nih, tapi demi lancarnya hijrah Iteung, gue harus khatam cara memasang hijab modern yang baik dan benar."
"Dih, nggak setia kawan banget!" Injun cemberut.
"Atau nggak samperin si Medusa aja sana! Dia kan ketua OSIS. Dia pasti ikut rapat hari ini. Gue lihat-lihat, akhir-akhir ini kalian mulai mesra."
"Amit-amit!" Injun bergidik.
"Jangan gitu. Nanti kalau tahu-tahu jodoh gimana?" Terry malah terpicu untuk menggoda.
"Lebih amit-amit lagi!"
"Kayak Lala-nya juga mau ama kamu aja." Jeno menukas, polos tapi menohok. "Lala tuh pintar, cantik, ketua OSIS lagi."
"Kalau lo sesuka itu sama dia, kenapa nggak lo pacarin aja dia?" Injun justru jadi dongkol.
"Udah, udah! Kok malah berantem! Injun, sana pinjam sapu! Mau kemana kek, kemana kek. Nanti nggak selesai-selesai ini urusan bersih-bersih kita!"
Terry sudah bertitah dan karena baik Nana apalagi Jeno tidak menunjukkan tanda-tanda bakal membela atau menemaninya, maka Injun tidak punya pilihan selain berbalik dan mencari sapu sesuai perintah Terry. Dia sempat berputar-putar di seantero sekolah, mencari kelas bersapu yang tidak dikunci, namun tidak membuahkan hasil. Seluruh kelas IPA terkunci—untuk menghindari tercurinya aset kelas mereka oleh anak-anak IPS yang kelasnya serupa kelas kaum dhuafa. Terakhir, sempat ada keributan besar gara-gara ada kelas IPA yang lupa mengunci kelasnya, kemudian kehilangan penghapus papan tulis beserta spidolnya. Setelah diusut, dalang di balik raibnya penghapus papan tulis dan spidol tersebut adalah anak IPS. Situasi memanas dan sejak saat itu, anak IPA makin getol melindungi harta-benda duniawi kelas masing-masing.
Ada sih beberapa kelas IPS yang tidak dikunci, tetapi boro-boro sapu, sebatang spidol atau kemoceng saja belum tentu bisa ditemukan di sana. Pada akhirnya, lelah mencari, Injun memutuskan membuang jauh-jauh seluruh harga diri dan gengsi. Dia bergerak menuju ruang OSIS. Kebetulan, tampaknya mereka baru saja selesai rapat, sebab Injun melihat Lala yang sedang buru-buru melangkah menuju pagar depan sekolah.
"Med—eh, Shavela!" Injun sengaja memanggil Lala menggunakan nama depannya, soalnya sepertinya cewek itu jadi lebih 'santai' setiap kali Injun memanggilnya begitu.
Lala menoleh, kontan melotot dan itu bikin Injun deg-degan. Dalam hati, Injun bermunajat kepada Tuhan yang maha Esa, meminta agar Lala dibuat lupa pada insiden tepuk-pantat yang tak sengaja Injun lakukan kemarin. "Ngapain lo di sekolah hari gini?!"
"Mau mastiin, kamu masih secantik kemarin atau nggak."
"Sampah."
Senyum ganjen Injun lenyap, berganti ringisan. Satu lagi yang bikin dia suka bingung harus bersikap seperti apa di depan Lala, cewek ini tidak mempan dirayu dengan kalimat semanis madu. Berbeda dengan cewek lain yang setidaknya bakal tersipu malu kalau Injun gombali, Lala malah memasang tampak makin galak. Padahal kalau dilihat-lihat, betul apa yang Jeno bilang. Lala itu cantik juga.
"Mau ke mana nih?"
"Balik."
"Ihiw, rapatnya udah selesai ya?"
"Belom."
Loh, tumben dia memperlakukan gue seperti manusia?! Injun malah jadi speechless sendiri, karena tidak biasanya Lala seramah ini. "Terus mau kemana kok buru-buru?"
"Bukan urusan lo."
"Kalau kesusahan, bilang aja. Nanti gue bantu."
Mata Lala menyipit. "Lo ada maunya ya?"
"Nggak. Cuma sebagai laki-laki yang gentleman, gue merasa salah membiarkan cewek yang udah nyuciin dan nyetrikain jaket gue kesusahan tanpa gue bantu."
Lala terdiam.
"Ampun. Jangan gebuk gue."
"Dompet gue ketinggalan di rumah dan sekarang gue haus." Lala membalas tanpa nada manis sama sekali. "Rapatnya lagi jeda. Istirahat bentar."
"Kasian banget sih adik kelasku yang paling cantik ini," Injun kembali pada mode merayu. "Mau dibeliin es kepala muda di depan sekolah nggak?"
"Kepala lo aja yang gue jadiin es, gimana?"
"Eits, saking gugupnya ngomong di depan orang cantik, sampai salah kan gue." Injun nyengir, tapi malah membuatnya kelihatan manis. "Maksud gue, es kelapa muda. Mau nggak?"
"Jujur aja, lo mau apa dari gue?"
"Peka banget, deh. Bisa naksir nih lama-lama gue." Injun terkekeh, sebelum akhirnya dia meneruskan. "Boleh pinjam sapu nggak? Bentaaaaaaar aja. Buat nyapu laboratorium. Disuruh Pak Terry."
"Lo sama Pak Terry di sini?"
"Sama Nana dan Jeno juga."
"Jeno—maksud lo anak baru itu?"
"Kenapa? Naksir ya? Lala, jangan naksir sama dia!" Injun tidak tahu kenapa kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. "Kalau mau naksir sama anak IPS, naksirnya ama gue aja. Muehehe. Naksir Jeno berarti lo bakal diduain sama kucingnya. Mending naksir sama gue, nggak akan gue duain sampai kapanpun."
"Bacot." Lala memutar bola matanya, lantas berbalik dan tanpa menatap Injun, dia menyambung. "Ikuti gue."
Injun cengo, tidak mengira akan semudah itu membujuk Lala yang biasanya berkepala batu. Mereka berjalan beriringan di koridor, menerima tatapan heran dari beberapa anak OSIS yang kebetulan berpapasan dengan mereka, tapi Lala tidak mengatakan apa-apa. Cewek itu menghilang sebentar ke dalam ruang OSIS, lalu kembali dengan dua sapu di tangan.
"Nih!"
"Makasih, loh. Mau dibeliin es kelapa? Kalau iya, tunggu sini—"
"Nggak usah."
"La—"
"Gue takut diracun kalau lo yang beliin."
Senyum Injun lenyap, malah terganti oleh cengiran yang terkesan jenaka dan menggoda. "Ih, baik banget sih, Lala! Jangan sering-sering! Nanti gue naksir beneran, emang lo mau tanggung jawab?"
Lala tidak menyahut, sedangkan Injun lanjut merogoh saku jaketnya—yang semalam Lala kembalikan—mengeluarkan selembar uang dan memberikannya pada Lala. "Nih, buat beli es kelapa muda. Kalau lo yang beli sendiri, lo nggak perlu takut gue racun, kan?"
"Nggak usah."
"Terima aja."
"Nggak perlu."
"Ini bukan karena lo minjemin gue sapu, tapi karena gue nggak bisa lihat cewek kayak lo kehausan. Jadi harus diambil." Tanpa pikir panjang, Injun meraih tangan Lala, membuka jemarinya dan memaksa Lala menggenggam uang pemberian. "Pokoknya harus diterima."
Lala membatu di tempat, ada keterkejutan membayang di matanya dan itu membuat Injun sadar bahwa sekarang, dia sedang menggenggam tangan Lala lebih erat daripada yang seharusnya. Spontan, cowok itu melepaskan tangannya. Wajah lagi-lagi menyiratkan horor dan rasa tidak percaya yang nyata.
"Ampun! Sumpah! Gue bukan mencuri kesempatan dalam kesempitan!"
"Lo punya lima detik."
"Apa?"
"Lo punya lima detik buat pergi dari hadapan gue sebelum gue kehilangan akal sehat dan menghajar lo di sini."
Injun melotot kaget, tapi kemudian tangkas berbalik dan ngibrit sekencang-kencangnya dari sana bersama dua buah sapu milik ruang OSIS yang baru dia pinjam. Lala menonton punggungnya yang menjauh dengan cepat sampai Injun menghilang di belokan koridor menuju tangga. Kemudian, gadis itu memandang tangannya sendiri, yang baru dipegang Injun. Ada yang bergetar di hatinya.
Lala menghela napas, menyandarkan punggungnya di tembok dan masih terus memandangi tangannya sendiri.
Sumpah, pokoknya gue nggak bakal cuci tangan deh sampai besok!
*
Di luar perkiraan sebelumnya, ternyata agenda bersih-bersih mereka selesai sejenak menjelang petang. Sebetulnya, itu lebih karena Terry yang memaksa Jeno-Injun-Nana bekerja cepat setelah mendengar cerita Nana soal hantu siswi bunuh diri yang kerap bergentayangan di sekolah mereka kala malam tiba. Memang terasa melelahkan, namun mereka dibuat puas ketika menatap ke seisi ruangan dan sadar tempat itu boleh jadi sudah bertransformasi jadi salah satu ruangan paling rapi sejagad raya sekolah. Injun sempat sesumbar, markas mereka kini sudah jadi lebih rapi dari beberapa kelas anak IPA, ditambah kehadiran Iteung, maskot tengkorak yang kini sudah hijrah dan jadi potret maskot bertakwa.
Terry tidak langsung mengantar ketiga anak itu pulang, melainkan membawa mereka ke sebuah restoran fine dining di salah satu mal ibukota. Injun sempat syok, bahkan nyeletuk waktu mereka tiba di depan pintu restoran. "Pak, ini tuh kita nggak harus lepas sendal kan masuknya?"
Terry membalasnya dengan menjitak pelan kepala Injun. Kelihatannya, dia memang pengunjung regular di restoran itu, karena pramusaji restoran tampak sudah paham di mana letak meja yang dia sukai. Salah satunya bahkan sempat menyapa Terry dengan wajah dihiasi senyum cerah.
"Wah, sudah lama juga ya bapak tidak kesini. Saya juga baru tahu kalau bapak punya adik-adik selain Mas Gara."
"Oh, mereka bukan adik saya."
"Kita anaknya, Mbak." Nana membalas asal. "Biasa, Papa nih dulu pas muda petualang ulung. Pas remaja sempat kecelakaan gitu deh, terus lahir-lahir kembar tig—" ucapan Nana tidak terteruskan karena Terry sudah membekap mulutnya menggunakan telapak tangan. Lelaki itu menyunggingkan senyum lebar yang terkesan dipaksakan pada pramusaji restoran di depan mereka.
"Bisa tunjukkan saya ke meja saya, Winda?"
"Oh, siap, Pak."
Pramusaji yang ternyata bernama Winda itu mengarahkan Terry dan ketiga siswanya untuk duduk di sebuah meja yang berada agak di sudut. Interior restorannya sangat cantik, didominasi oleh warna merah dan keemasan. Lampu-lampu kristal yang menguarkan cahaya kekuningan menghiasi langit-langit. Winda membagikan empat buku menu, lalu meninggalkan mereka sejenak supaya bisa memilih menu makanan dengan nyaman. Injun membolak-balik buku menunya sebentar, kemudian menyerah.
"Saya nggak tahu mau pesan apa."
"Ada banyak pilihan di sini."
"Boro-boro tahu apa jenis makanannya, baca menunya aja saya nggak bisa." Injun menyahut lagi. "Kalau gini sih pak ya, mending ajak kita ke Pizza Hut atau sekalian aja makan Bakso Lapangan Tembak. Lebih masuk akal."
"Bener." Nana ikut menutup buku menunya. "Saya nggak tahu di sini jualan kopi atau nggak. Mending nih kalau bapak mau beramal, bayarin aja jatah sebulan saya ngopi di Warmil-nya Bang Horas."
"Memang anak-anak sontoloyo yang nggak tahu cara bersyukur, kalian ini. Yaudah, saya yang pesenin. Buat minumannya, mau apa?"
"Es teh ada?" Jeno menyela.
"Jauh-jauh ke sini cuma minum es teh. Selain es teh, kek." Terry membalik buku menu ke halaman selanjutnya. "Gimana kalau kalian coba cookies and cream di sini? Enak. Nggak terlalu manis. Adik saya suka itu."
"Ada susunya?"
"Ada."
"Saya nggak minum susu." Nana berujar. "Kopi hitam, nggak pake gula, ada nggak?"
"Iced Americano?"
"Iya. Itulah. Eh, bentar. Saya tanya teman saya dulu. Cuma dia yang tahu racikan kopi bule kesukaan saya." Nana mengecek ponselnya. "Sekarang jam setengah tujuh malam, berarti di sana masih siang. Oke, harusnya dia cepat balas."
"Hah, lo punya teman bule?!"
"Bukan bule. Tapi orang Indonesia yang tinggal di Jerman."
Ekspresi wajah Terry berubah sedikit, tak cukup kentara untuk bisa disadari oleh Injun dan Jeno yang kini dibuat terkejut. "BENERAN?! Kok bisa?! Lo temenan sama TKI apa gimana?"
"Dia seumuran kita, biasa dari kecil sekolah di luar negeri. Jarang balik ke Indonesia." Nana menyahut sekenanya. "Ah ya, nih. Iced Americano with no water and four extra espresso shots. Saya mau yang kayak gitu. Di sini ada?"
"Bisa dibilang nanti ke Winda." Terry membalas, berusaha kelihatan santai, walau fakta terbaru tentang Nana membuatnya teringat pada sosok yang lain. Bukan gadis itu, atau temannya yang lama tak berkabar. Melainkan paman terdekat yang pernah dia punya.
Om Adjie.
Om Adjie juga tidak bisa minum susu. Bukan hanya susu sebetulnya, lelaki itu juga dulu menghindari beragam olahan dairy, mulai dari keju, mentega bahkan es krim. Katanya, dia punya kecenderungan tidak mampu mencerna produk dairy dengan baik. Karenanya, Om Adjie lebih sering minum kopi hitam. Seringkali tanpa gula.
"Ayah kamu juga nggak minum susu ya?" Jeno bertanya penasaran, sesuatu yang tidak terduga dari orang sepertinya. "Kata Mama, biasanya yang kayak gitu turunan. Papa saya juga alergi kucing, terus saya ikutan alergi."
"Tapi miara kucing." Injun berdecak. "Kekuatan cinta memang luar biasa."
"Idih, geli banget dengernya."
"Sama aja kayak bapak dan Mbak Seyohyun." Injun membalas kalem, dengan tawa tertahan yang bikin Nana ikut berdecak geli.
"Berhenti bawa-bawa Seohyun atau kertas yang saya kasih kemarin expired."
"Ampun, Komandan!" Injun dan Nana berseru serentak.
"By the way, kamu kok nggak jawab pertanyaan saya yang tadi?" Jeno mengingatkan, lantas mengulang kata-katanya. "Ayah kamu juga nggak minum susu ya?"
"Minum. Ayah bahkan suka kopi susu." Nana menyahut, pendek dan seperlunya. "Kadang kalau nggak minum minuman beralkohol, Ayah suka minum susu. Mungkin yang nggak bisa minum susu itu ibu saya."
Dalam sekejap, Jeno menyesali pertanyaannya, karena suasananya mendadak berubah muram. Ada mendung di mata Nana setiap kali mereka membicarakan figur ibu. Jeno tidak menduga pertanyaan sesederhana soal tidak bisa minum susu bakal terhubung dengan masalah ibu. Injun ikut menatapnya. Cowok itu berpikir cepat untuk menyelamatkan suasana, kemudian berlagak minta ditemani Jeno menuju toilet dengan alasan takut tersasar. Jelas, itu alasan paling konyol sedunia. Namun Terry membiarkannya, menjadikan dia ditinggal hanya berdua dengan Nana.
"Ibu kamu... apa kabar?" Terry merasa tolol sebab pura-pura tidak tahu.
Nana tertawa kecil. "Saya nggak tahu seperti apa wajah ibu saya. Kayak... kadang saya berharap saya nggak terlahir semirip itu dengan Ayah. Kalau aja saya lebih mirip ibu saya... mungkin dengan bercermin, saya bisa nebak-nebak, seperti apa wajah ibu saya."
"Saya merasa dia pasti cantik banget."
"Mungkin." Nana mengangkat bahu, lantas menatap lurus pada Terry. "Tapi kenapa bapak peduli?"
"Nggak apa-apa. Cuma... kamu mengingatkan saya sama seseorang yang lama nggak saya lihat."
"Bapak juga ngingetin saya sama seseorang yang saya nggak tahu pernah lihat di mana."
"Ngaco."
"Rasanya bapak nggak asing."
"Saya kan sama gantengnya sama artis-artis muda yang suka nongol di sinetron itu."
Nana mencibir, tapi tidak sempat balas meledek Terry sebab perhatiannya tiba-tiba tersita oleh ponselnya yang mendadak bergetar. Ada satu pesan singkat baru. Dari Bang Horas, dan membacanya membuat perut Nana serasa ditonjok.
From: Bang Horas
hoy, jevais, ada urusan apa kau sama saripudean dan kengkawannya? tadi dia ke warmil, cari-cari kau sambil tanya-tanya aku soal temanmu—siapa itu namanya aku lupa. anak bertas biru yang suka pulang sama kau.
Nana tahu siapa anak bertas biru yang dimaksud.
Itu Jeno.
bersambung ke seventh note
***
Catatan dari Renita:
yak, kembali lagi dengan saya yang lagi jarang update mbikos dunia nyata meminta perhatian lebih hahaha
apa kabar semuanya?
thankyou sudah setia menuggu kehadiran trio injun-jeno-nana dan guru mereka haha
jujur ini pada gatel minta ditulis banget, terutama nana yang rambutnya balik item dan adegan dramanya super sekali... bikin aku pengen lebih muda biar bisa sepantaran sama dek nana hahaha
jadi gimana buat kalian yang ujian?
zaki dan safira aman?
WKWKWKWKWKK
apa pun itu, semangat selalu dalam menjalani aktivitas. noceur bentaran ya, gue belom bikin cover soalnya. kayaknya up malam ini di work baru, tapi mungkin rada malam.
sepertinya udah deh itu aja.
sampai ketemu lagi di chapter berikutnya.
ciao
Semarang, April 7th 2019
19.04
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top