second note

Some are young people who don't know who they are,

what they can be or even want to be.

They are afraid, but they don't know of what.

They are angry, but the don't know at whom.

They are rejected and they don't know why.

All they want is to be somebody.

—Thomas S. Monson—

*

Saat tiba di depan rumahnya, Jeno tidak bisa menahan diri buat tidak mendesah. Dia bukan anak yang suka berbohong, terutama kepada ibu dan kucingnya. Tapi Jeno tidak berani menebak seperti apa reaksi Mama jika wanita itu tahu bagaimana dia dipaksa jadi pengabdi Pak Terry gara-gara melempar bola golf—yang bikin benjol imut tumbuh di puncak kepala Pak Terry—sampai kaca jendela ruangannya pecah berkeping-keping. Itu baru alasan pertama. Alasan kedua adalah gara-gara Nana dan Injun yang ngotot mengantarnya pulang. Patut diketahui, makna sesungguhnya dari mengantar yang dimaksud Nana dan Injun adalah mengekori Jeno sepanjang jalan hingga mereka tiba di depan pagar.

"Udah sampe. Sekarang, kalian pulang, gih." Jeno berbalik, mengusir Nana dan Injun secara halus.

"Lo nggak nawarin kita masuk?"

"Kalian masuk, emang mau ngapain?"

Nana terkekeh, tapi cepat berubah jadi ringisan sebab memar-memar yang menghiasi wajahnya. "Numpang makan, misalnya."

"Kalian suka makan whiskas?"

"Whiskas tuh apa?"

"Makanan kucing."

"Emang di rumah lo nggak ada makanan manusia apa?"

"Nggak." Jeno menukas cepat, terdengar lebih jutek dari yang seharusnya. "Mama saya belum pulang jam segini. Saya nggak bisa masak. Biasanya kalau lapar, saya ngemilin makanan kucing, sepiring berdua sama Bongshik."

Jeno tidak serius, tapi dua cowok di depannya langsung percaya. "Dih, mending kasbon aja deh gue di Warmil-nya Bang Horas. Gue nggak ada minat bertransformasi jadi catman nomor dua! Bisa berabe kalau gue makan makanan kucing terus tiba-tiba punya dorongan ngacak-ngacak pasir tiap mau buang air."

"Yaudah, kalau gitu kita masuk aja dulu, nunggu sampe nyokap lo balik. Hihiw, cakep nggak ide gue?" Nana bisa berpikir lebih sehat, rupanya.

"Nggak boleh. Mama saya pelit."

"Nyokap lo atau lo yang pelit?"

"Udah ya, saya mau masuk dulu." Jeno mengabaikan tanya Nana, langsung berjalan menuju pintu pagar. Tapi cowok itu belum lagi membuka selot yang terkait dari dalam tatkala Nana berkata santai.

"Oke deh, besok-besok juga bisa. Gue sama Injun kan emang niatnya mau sering main ke sini."

Mata Jeno menyipit curiga. "Mau ngapain? Rumah saya bukan panti sosial."

"Ngajarin lo ninju orang. Tangan lo lemes banget, greget liatnya."

"Saya nggak merasa butuh. Saya nggak mau berantem, juga nggak mau bonyok sampai muka biru-biru di sana-sini kayak kamu."

"Belajar ninju bukan berarti belajar buat berantem." Nana membantah tegas. "Anak cowok tuh ada waktunya harus berantem, bahkan saat dia nggak mau. Bukan cuma untuk melindungi diri sendiri, tapi juga buat melindungi dan membela orang-orang yang lo pedulikan... dan lo sayang."

"Saya melindungi orang yang saya sayang dengan nggak berantem. Mama bisa sedih kalau saya berantem."

"Ck. Lo belum mengerti kayaknya. Selama ini hidup di mana aja? Tiap bubar sekolah, langsung balik ke rumah untuk cuci kaki-cuci tangan-minum susu dan bobo malam?" Nana mengkritik, pedas. Wajah Jeno memerah, namun cowok itu tidak goyah. Dia tidak meladeni ucapan Nana, langsung membuka selot pintu pagar dan masuk, tanpa sekalipun memandang lagi pada Injun dan Nana.

Mereka nakal dan Jeno tidak mau jadi anak nakal, maka Jeno harus menjauhi mereka.

Bongshik langsung berlari menghampiri budaknya begitu Jeno masuk rumah, bikin tawa kecil Jeno pecah. Dia berjongkok di dekat Bongshik, menggelitik bagian bawah rahang kucing itu. Bongshik yang biasanya tsundere kini jadi manja dan menghampiri Jeno dengan inisiatif sendiri. Apa jangan-jangan naluri indigo kucing yang Bongshik miliki membuatnya dapat penglihatan soal apa yang terjadi hari ini?

"Bongshik, aku mau jujur sama kamu."

Seolah-olah mengerti ucapan budaknya, Bongshik berhenti bermanja-manja, kini menatap fokus pada Jeno yang tiba-tiba salah tingkah dibuatnya.

"Aku nggak bermaksud melakukan ini, tapi... maafin aku, Bongshik. Aku udah menduakan kamu." Jeno menghela napas, wajahnya pahit, seperti pelaku selingkuh yang sadar dirinya khilaf usai tertangkap basah oleh pasangan sah. "Kamu bukan lagi satu-satunya majikan aku. Aku... sekarang jadi pengabdi Pak Terry."

Bongshik mengeong samar, sukar Jeno terka apa maknanya.

"Tapi aku terpaksa, Bongshik. Aku nggak jadi pengabdi Pak Terry dengan sukarela. Ini juga sementara aja. Jadi... jangan ngambek ya, Bongshik."

Bongshik tidak menjawab—yaiyalah, kalau dia sampai menjawab, kayaknya Jeno juga bakal kaget sampai tertetew-tetew nantinya. Kucing itu berbalik dengan songong, meninggalkan Jeno yang menonton kepergiannya dengan sorot hampa. Jeno ingin menahan Bongshik, tapi dia sadar dia bersalah dalam perkara ini. Sepertinya, Bongshik juga butuh waktu sendirian memikirkan semuanya.

Mood Jeno tetap buruk hingga malam tiba, membuat Mama menyadarinya. Usai menuang air dari teko ke gelas dan meletakkannya di samping piring Jeno, Mama mendadak bertanya. "Gimana sekolah barunya, Nak?"

"Baik, Ma."

"Ada sesuatu yang mau kamu ceritakan ke Mama hari ini?"

Jeno tidak siap menghadapi Mama dan Bongshik yang ngambek di saat bersamaan, jadi cowok itu menggeleng. "Nggak ada. Semuanya baik-baik aja."

"Sudah dapat teman?"

"Sudah, tapi nggak dekat. Ada beberapa yang baik minjemin aku pulpen di kelas."

"Termasuk dua anak cowok yang tadi pulang sama kamu?" Mama bertanya, bikin Jeno berhenti menyendok nasinya. "Kenapa tadi nggak diajak masuk dulu? Boleh banget loh kalau kamu ngenalin Mama sama teman-teman baru kamu. Kayaknya, ini juga kali pertama kamu pulang bareng teman, kan?"

"Mereka bukan temanku."

Mama menatap anaknya sebentar, lalu lanjutnya. "Kenapa begitu?"

"Mereka berandalan, Ma. Anak nakal."

"Tapi kelihatannya mereka baik."

Jeno berpikir sebentar, sempat bimbang, tapi akhirnya bercerita soal insiden yang terjadi di kantin sekolah. Mulai dari anak gembrot yang dinamainya Tomi, persoalan warna cabe rawit gorengan sampai adu jotos yang diakhiri dengan Pak Terry tertinju tanpa sengaja. Namun tentu saja, Jeno tidak menceritakan perihal bola golf dan surat pengabdian yang terpaksa dia tanda tangani. Mama bisa jantungan nantinya jika tahu anak semata wayangnya sudah bikin benjol kepala orang.

"Mereka membela kamu, berarti mereka anak baik."

"Tapi seragam mereka berantakan dan mereka melawan guru." Jeno membantah.

"Tetap nggak mengubah fakta kalau mereka membela kamu dan nggak bisa tinggal diam melihat kamu ditindas. Jeno, Mama mau tanya, deh, apa mereka ngajak kamu merokok?"

"Nggak, Ma."

"Apa mereka ngajak kamu nonton video porno?"

"Nggak, Ma." Jawaban Jeno masih sama, meski diam-diam, dia menyambung dalam hati, tapi Nana nonton video porno sembunyi-sembunyi, Ma. "Tapi mereka kadang nakal."

"Jika nggak pernah nakal, bukan remaja namanya. Jeno, jujur deh, Mama senang selama ini kamu selalu jadi anak baik yang nurut apa kata Mama, tapi Mama nggak tahu, apa kamu betul-betul melakukan itu karena kamu memang beneran mau melakukannya, atau hanya karena kamu nggak mau bikin Mama sedih atau kecewa." Mama menatap anak semata wayangnya lembut. "Kamu itu remaja, Nak. Ini waktu kamu buat mengenal banyak hal tentang dunia. Kamu boleh kritis, kamu boleh mempertanyakan, karena lewat sana, kamu belajar menemukan jati diri kamu. Kalau kamu terlalu penurut dan nggak pernah mempertanyakan, kamu nggak akan pernah belajar. Menurut Mama, temenan sama orang yang berbeda dengan kamu itu bagus."

"Sekalipun mereka nakal?"

"Dari sudut pandang Mama sih, dua teman kamu yang tadi itu nggak nakal, tapi... unik." Mama tertawa. "Berteman dengan orang yang berbeda dari kamu akan bikin kamu terbiasa dengan perbedaan. Dan dalam perbedaan itu, kamu bisa memahami makna toleransi dan menghargai orang lain."

Jeno meraih sendoknya lagi, lalu menghela napas sebelum menjawab pelan. "Oke, Ma."

"Lain kali, kamu bisa ajak mereka mampir."

"Kapan-kapan."

"Mama tunggu loh."

Jeno tidak menyahut, berpura-pura sibuk dengan potongan karage dalam piringnya.

*

Minggu ini berakhir dengan cepat dan tidak terasa. Meski Mama sudah bilang seharusnya tidak apa-apa buat Jeno berteman dengan Injun dan Nana, Jeno masih sering menghindari mereka. Sering, cowok itu ngacir dari kelas seperti maling ayam yang diuber orang sekampung sesaat setelah bel pulang berbunyi. Nana dan Injun heran mulanya, tapi lama-lama sadar kalau Jeno sengaja menghindari mereka. Bagusnya, Pak Terry belum mengambil tindakan lanjutan apa pun pasca penandatanganan surat kesediaan pengabdian tempo hari.

Ini hari Senin, berarti kegiatan di sekolah akan dimulai dengan upacara. Jeno bermain game sampai larut semalam, membuatnya bangun kesiangan dan harus berlari macam Usain Bolt tengah mengikuti turnamen supaya tidak terlambat. Dia berhasil melewati pagar sekolah tepat waktu—berbeda dengan Injun dan Nana yang jika terlambat bakal tangkas memanjat pagar layaknya kera hutan Kalimantan, Jeno tidak punya cukup nyali melakukan itu—tapi tetap terlambat karena begitu tiba di kelas, siswa lainnya sudah tidak ada. Sebagian besar telah berbaris rapi di lapangan.

Cepat-cepat, Jeno masuk kelas, meletakkan tas di atas bangkunya dan bermaksud langsung bergerak menuju halaman ketika dia berpapasan dengan Injun dan Nana di muka tangga.

"Wadoh, anak baik ternyata bisa telat juga!" Injun berseru kegirangan, sementara Nana langsung tertawa penuh arti, seperti ada makna tersembunyi di balik seringai yang dia tampilkan.

"Hampir. Saya mau ke lap—" Jeno terkesiap tatkala sadar Injun dan Nana mengambil posisi menghalangi langkahnya untuk turun tangga.

"Gopek dulu, dong! Baru boleh lewat!"

"Saya mau lewat!"

"Gapak-gopek, mendoan sebiji aja udah kagak dapet di Warmil!" Nana mendengkus sewot pada Injun. "Goban dulu, dong! Baru boleh lewat!"

"Saya nggak punya uang jajan dan—"

Masing-masing pemimpin barisan, harap menyiapkan barisannya...

Suara itu terdengar dari lapangan, membuat Jeno kian panik. "Saya tuh salah apa sih sama kalian?! Saya nih mau upacara, jadi tolong—"

"Nehi-nehi." Injun memotong. "Pagi ini, lo cuti dulu aja upacaranya."

Nana memandang sebentar melewati tepi balkon sekolah yang dibatasi tembok setinggi dada, pada lapangan yang sekarang disesaki oleh barisan peserta upacara. "Lagian mau turun juga udah telat. Lo pasti kena hukum suruh hormat bendera."

Jeno cemberut. "Gara-gara kalian!"

"Nggak usah ngambek, Cing." Injun mengabaikan raut protes Jeno. "Berhubung kita udah sama-sama terlanjur nggak bisa ikut upacara, mending nongki aja di markas. Gimana?"

"Markas?"

Tanya Jeno dijawab Injun dan Nana dengan menariknya ke sebuah ruangan lab biologi di sudut terpencil lantai dua. Lab itu lama tidak digunakan, tapi kondisinya cukup baik karena sepertinya, selalu Injun dan Nana sapu setidaknya seminggu sekali. Langit-langitnya masih bagus, setidaknya lebih baik dari langit-langit kelas mereka yang bolong. Ada bak cuci tangan yang sudah berdebu. Kerannya tidak ada lagi, lenyap digondol entah siapa, menyisakan pipa berlubang yang lama kering. Beberapa kursi dan meja tertumpuk di sudut. Satu-satunya yang menandakan ruangan itu pernah dipakai sebagai lab biologi adalah keberadaan bak cuci tangan, sisa pipet kumal yang sudah pasti tak bisa lagi digunakan dan model tengkorak berkaos 'I love Bandung' yang ada di sudut ruangan.

"Kenalin, namanya Iteung." Nana menunjuk pada tengkorak berkaos itu. "Dia penjaga setia markas kita. gue dan Injun biasa nongki di sini kalau lagi malas di kelas atau nggak bisa ke Warmil."

Jeno memandang sebentar pada tengkorak yang Nana panggil 'Iteung' itu. Ragu, apakah dia mesti bilang 'halo, salam kenal' atau tidak. Tapi yah, akhirnya Jeno tak melakukannya, sebab dia masih terlalu waras.

"Kebeneran karena si catman ada di sini, kenapa kita nggak sekalian briefing-in aja dia?"

"Hm, boleh juga. Pertama-tama, jangan lupa, ritual pembuka!" Nana berseru, bikin Injun mengacungkan jempol seraya membuka tasnya.

Jeno yang khawatir Injun bermaksud mengeluarkan rokok langsung menyela. "Saya nggak merok—itu... apa-apa?"

"Cokelat Beng-beng." Injun memberi satu untuk Nana, satu untuk Jeno dan satu untuknya sendiri. "Ritual pembuka kita adalah makan cokelat beng-beng sebelum meeting, briefing, atau ngobrol biasa aja."

"Oh, kirain—"

"—rokok?" Injun memotong, lalu tertawa. "Gue sama Nana nggak ngerokok. Iya, gue pernah jajal, tapi cuma coba-coba doang. Adik cewek gue nggak suka gue merokok. Begitu juga Kasa."

"Hng, oke."

Mereka menghabiskan semenit pertama duduk bersebelahan di meja reot penuh coretan sambil makan Beng-beng. Nana yang pertama selesai, langsung melompat turun dan memulai sesi briefing yang dia dan Injun maksud sebelumnya.

"Oke, briefing ini bakal singkat, seenggaknya untuk membantu lo selaku anak baru, mengenal sekolah kita. Berhubung sekolah kita jarang kedatangan anak baru, terutama yang polos dan baik-baik kayak si catman, maka gue pikir ini kayaknya perlu. Pertama-tama adalah, deskripsi singkat tentang sekolah ini—"

"Saya udah tahu, kok. Jadi nggak perlu briefing."

"Kalau lo udah sepaham itu sama sekolah ini, lo nggak akan ngabisin beberapa hari belakang ngejedok sendirian di kelas buat makan bekal dan nggak punya teman untuk diajak ngobrol selama beberapa hari belakangan. Lo juga nggak bakal mesti diperalat sama si Gembrot—"

"—si Gembrot tuh maksudnya si Tomi?"

"Tomi?" Dahi Nana berlipat.

"Tong Minyak. Soalnya dia gede banget, kayak tong minyak."

"Bujubuset, jago juga lo ngasih julukan buat ngatain orang." Injun tertawa, diikuti tepuk tangan. "Gini loh, gue nggak tahu lo dari sekolah mana sebelumnya, juga nggak ngerti kenapa lo menghindari gue dan Nana terus-terusan ketika sebetulnya, cuma kita yang mau temenan sama lo di sekolah, tapi sekolah ini tuh bukan sembarang sekolah, brur!"

"Maksudnya?"

"Nah kan, nggak tau! Makanya, lo butuh briefing. Udah, biarin gue ngomong. Awas kalau dipotong, lo kudu jajanin gue es teh sisri di kantin!" Nana jadi sewot. "Sekolah kita adalah SMA 21 Cendekia Kebangsaan dengan motto utama mencetak generasi muda yang cerdas dan bertakwa—dan sayangnya, kebalikannya, malah dikenal sebagai sekolah dengan tingkat siswa tidak lulus Ujian Nasional paling tinggi se-Jakarta setiap tahunnya. Pak Kepala Sekolah yang memimpin bernama Agung Sulaeman, yang biar lebih enak, kita singkat saja jadi Pak Asu, dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan peranakan asli Bali-Sunda bernama Jajan Cokorda yang bisa kita singkat jadi Pak Jancok. Sampai di sini, clear?"

Jeno mengangguk terpatah dengan Beng-beng yang masih tersisa setengah. "Clear."

"Totalnya, ada enam kelas untuk masing-masing angkatan. Enam kelas buat anak kelas sepuluh, enam kelas buat anak kelas sebelas dan enam kelas buat anak kelas dua belas dengan rincian tiga kelas IPA dan tiga kelas IPS. Nah, sudah jadi rahasia umum yang terus diwariskan secara turun-temurun bahwasannya, anak kelas dua belas IPA Ceka—singkatan buat Cendekia Kebangsaan—dan anak kelas dua belas IPS itu nggak pernah akur. Ibarat kata ceritanya William Shakespeare, IPA dan IPS itu seperti Keluarga Capulet dan Keluarga Montague."

"William Seksprite? Dia yang punya pabrik soda apa gimana nih?"

"Saudara Injunie, saya tahu kamu memang tidak berbudaya, tapi tolonglah kebarbaran kamu itu jangan ditunjukkan terang-terangan kayak gitu." Nana mendengkus. "Keluarga Capulet dan Keluarga Montague itu keluarga yang bermusuhan dalam cerita Romeo dan Juliet."

"Oh, kalau gitu kamu sama Kasa yang anak IPA itu kayak Romeo dan Juliet dong?" Jeno menyela.

"Di sekolah doang. Di rumah, kita kayak Raden Inu Kertapati dan Galuh Chandra Kirana, alias ditakdirkan bersama selamanya." Nana nyengir. "Intinya begitu. IPA dan IPS nggak pernah akur. Anak IPA berasa pinter padahal mah nggak paham juga tuh teori Newton kayak apa, anak IPS direndahkan melulu ampe gumoh. Di sekolah, ada banyak geng-geng. Mau cowok, mau cewek. Lo nggak masuk ke satupun geng, ya siap-siap aja nggak punya teman alias jadi misfit. Macem keadaan lo sekarang."

"Kok temenannya geng-geng-an sih?!"

"Udah ada dari dulu, jadi kagak usah protes. Lo butuh geng di Ceka. Intinya begitu. Selain berguna buat bikin lo nggak menyedihkan-menyedihkan banget di sekolah, juga jadi backup biar lo nggak bonyok di luar sekolah."

"Bonyok?"

"Udah jadi rahasia umum kalau Ceka itu musuhan sama sekolah sebelah."

Jeno melotot. "Hah?"

"Lo bisa aja jadi korban jotos sampai nggak berbentuk lagi kalau lo nongol di teritori anak sekolah sebelah. Makanya kemarin-kemarin gue bilang, seenggaknya lo mesti paham gimana caranya nonjok orang biar bisa melindungi diri sendiri."

Mendadak, Jeno kepingin pulang terus membujuk Mama buat memindahkannya ke sekolah lain.

"Sudah mengerti sekarang?"

Jeno menghela napas, memandang pada Beng-bengnya yang tersisa sedikit. "... ngerti."

"Berhubung kita sama-sama terikat dengan Pak Toil gara-gara surat pengabdiannya itu, seenggaknya selama sebulan ke depan, kita bakal sepaket. Bagusnya sih lo berhenti menghindari gue dan Injun, karena kita satu-satunya yang lo punya."

Jeno mau membantah, tapi dia tidak punya teman lain dan menyangkal hanya akan membuatnya terlihat lebih menyedihkan.

"Oh ya, satu tambahan lagi, lo tahu Medusanya Ceka?"

"Medusa?"

Injun menyambar, membisikkan sebaris nama dengan sepenuh nuansa horor. "Shavela Vladivia. Biasa dipanggil Lala, tapi gue dan Nana menyebutnya Medusa."

"Kenapa Medusa?"

"Karena lo bisa tewas kalau lo sampai bertatapan mata sama dia!" Injun menarik lengan Jeno, membawanya ke tepi balkon sambil merunduk sembunyi-sembunyi, lantas mengeluarkan sebuah teropong dari tasnya. Dia memberikan teropong itu pada Jeno sambil menerangkan serangkaian deskripsi. "Shavela Vladivia. Pemimpin barisan anak kelas XI IPA 1. Rambutnya sebahu, dikuncir satu. Pake jam tangan merah muda. Udah lihat?"

Jeno manggut-manggut.

"Dia ketua OSIS. Pokoknya, hindari berurusan dengan dia. Kalau berpapasan, mending muter, deh! Lo bisa tewas betulan kalau bertatapan mata sama Lala. Sekiranya dia tersinggung, bisa digeprek lo di koridor."

"Digeprek?"

"Dia juara pertama kejuaraan taekwondo tingkat provinsi. Sekolah di sini karena sahabat dekatnya juga sekolah di sini."

"Injun pernah kena geprek dia tuh, sampe lengannya retak dan masuk rumah sakit. Lala kena detensi, tapi nggak lama. Hehehe."

"Itu gue mengalah aja!" Injun menukas dengan muka merah. "Gue pantang mukul cewek apa pun alasannya, bro."

"Halah, alasan."

"Jadi di sini ya kalian."

Punggung Jeno, Injun dan Nana serasa dituruni oleh bongkahan es batu saat suara Pak Terry tiba-tiba terdengar di belakang mereka. Refleks, ketiganya menoleh dengan leher kaku. Pak Terry memang betulan ada di sana, sedang berkacak pinggang dengan ekspresi wajah tak terkesan.

"Dasar para sontoloyo." Pak Terry mencerca, berpaling pada Jeno. "Dan Jeno, saya kecewa sama kamu."

Jeno menelan ludah.

"Pak, jangan dramatis gitu, please. Kita nggak lagi syuting Katakan Pegat."

"By the way, benjol di kepala bapak estetik juga. Muehehe."

Pak Terry tidak menyahut, tapi yang jelas, suara jerit kesakitan Nana dan Injun langsung menggema di koridor tatkala Pak Terry menyeret mereka turun ke lantai satu dengan menarik rambut di dekat bagian depan telinga. Jeno paham seberapa menyakitkannya itu buat para cowok, hanya mampu mengikuti dengan wajah takut-takut.

"Komandan! Ampun, Komandan! Sakit, Komandan—" Rintihan kesakitan Injun tidak berlanjut ketika seruannya justru disudahi oleh suara tut-tut-tut-tut yang lebih bombastis dari lirik lagu Blackpink.

Pak Terry melotot, sementara Nana meringis sebab rambutnya masih ditarik. "KAMU KENTUT BARUSAN?"

"Kebiasaan saya kalau kesakitan gitu, Pak! Makanya atuh, jangan diginiin! Bapak mau kita denger paduan suara brebet-brebet nggak putus-putus sampai bawah?"

"Mending jangan ditarik, Pak." Nana mendukung. "Masih bagus kalau cuma brebet-brebet doang, kalau ampasnya ngikut gimana?"

Pak Terry berdecak, akhirnya melepaskan jarinya dari rambut Nana dan Injun. Keduanya sontak bernapas lega, sempat bermaksud melarikan diri dengan licik, tapi tertahan kala Pak Terry mengeluarkan titah ampuh yang tak bisa dibantah.

"Kalian ikuti saya ke lapangan. Kalau ada yang kabur, siap-siap aja adik, nenek dan ibu kalian jantungan menerima fakta soal rahasia gelap kalian!"

Jeno tersekat, sementara Injun dan Nana saling melempar senyum kecut. Ketiganya dipaksa ke lapangan, dijadikan tontonan anak-anak lain sesekolah—yang bikin Jeno salah tingkah karena tatapan adik-adik kelas terutama yang perempuan banyak tertuju padanya—lalu dihukum hormat bendera hingga jam istirahat pertama. Sialnya, hari itu, matahari bersinar terik.

Jeno menjalani hukumannya dengan patuh, tanpa banyak membantah, berbeda dengan Injun dan Nana yang malah main tebak-tebakan sambil hormat.

"Na, cicak-cicak apa yang bisa bikin mati?"

"Mmm... nyerah!"

"Cicak napas!"

"Kampret. Hahaha." Tawa Nana menggelegar. "Sekarang gantian gue. Shawn Mendes kalau nongkrongnya di belakang panggung, jadinya apa hayo?"

"Ah, itu sih gampang!"

"Apa coba?"

"Shawn system!"

"Sound system, ege. Hahaha."

"Ada lagi nggak?"

"Bentar. Hm, ada nih. Siwon, kalau pindah ke Jepang namanya jadi apa dan kalau pindah ke Indonesia, namanya jadi apa?"

"Aduh, kalau udah kokoreaan dan suju-sujuan, nyerah aja deh gue!"

"Siwon kalau pindah ke Jepang jadi Siyen!"

"Hah, terus kalau pindah ke Indonesia?"

"Jadi Sirupiah."

"RECEH ANYENG!"

"HAHAHAHA!"

"Lo itu nggak ada kapok-kapoknya ya?"

Ajang tebak-tebakan receh antara Nana dan Injun terhenti ketika sesosok cewek mendekati mereka dengan buku absensi di tangan. Itu cewek yang tadi ditunjukkan Injun pada Jeno lewat teropong. Siapa tadi namanya? Medusa?

"Halo, Medusa."

Lala mendengus. "Udah kelas tiga, bukannya tobat, kelakuan masih aja belangsak."

"Nanti aja tobatnya, buat jadi mahar sebelum ijab kabulan sama kamu."

"Sangat sampah."

"Nggak apa-apa sampah, asal kamu mau jadi tempatnya." Injun malah makin gencar meledek, lalu matanya tertuju pada sebotol air mineral dingin yang Lala bawa. "Bagi dong, minumnya! Haus nih!"

Lala memutar bola matanya, buang muka dan melangkah meninggalkan Injun begitu saja dengan lagak jumawa. Geraknya terkesan angkuh, membuat Nana mendengkus. "Songong banget, gila."

"Bukan Shavela namanya kalau nggak gitu."

"Tapi kuat juga dia ya, diledekin gitu sama lo masih flat aja mukanya."

"Justru itu, enak ngeledekin dia." Injun menukas santai. "Gue rasa sih dia nggak suka sama cowok. Selama ini nggak punya pacar. Yah, siapa juga coba yang mau pacaran sama dia? Cakep, sih. Pintar, sih. Tapi sombongnya kebangetan. Tadi gue minta minum aja nggak dikasih. Pelit."

Injun dan Nana kembali meneruskan obrolan nirfaedah mereka, tidak mengetahui bagaimana diam-diam, Lala tidak langsung kembali ke kelasnya. Cewek itu malah mampir di koperasi sekolah untuk membeli sebotol air mineral dingin, lalu menitipkannya pada anak kelas sepuluh yang sedang melintas agar memberikan sebotol air itu pada Injun yang masih jadi terhukum.

Iya, sebetulnya, Lala sudah lama naksir Injun.

Dia kakak kelas yang menurut Lala lucu. Konyol sekali, tapi sebetulnya baik. Belum lagi, gambar-gambarnya bagus dan pernah beberapa kali dipajang di mading sekolah. Namun, Injun terlalu tidak beraturan untuk disukai terang-terangan. Dirinya menyukai seseorang seperti Artajuna Purnasaman hanya akan membuatnya malu dan jadi bahan ledekan.

Bagaimana tidak, rasanya aneh kan jika ketua OSIS yang masuk sepuluh besar ranking paralel menyukai tukang bikin onar dari kelas IPS seperti Injun?

Dan lagipula, mencintai seseorang dalam diam, konon katanya lebih sarat ketulusan.

*

"Saya nggak paham, apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan sampai anak-anak itu mau nurut sama kamu? Guru-guru di sini aja udah menyerah, terutama sama Jevais dan Artajuna." Pak Kepala Sekolah berkata begitu usai menyaksikan bagaimana tidak ada satupun dari sosok-sosok terhukum yang meninggalkan depan tiang bendera sebelum masa hukuman mereka selesai. Padahal biasanya, Injun dan Nana itu selicin belut. Mereka jago dalam masalah raib-raib-an, bikin guru yang menangani mereka kewalahan hingga memilih membiarkan saja apa yang ingin Injun dan Nana lakukan.

"Saya punya trik khusus."

"Kalau begini, saya berharap kamu bakal ngajar selamanya di sini. Meski kayaknya nggak mungkin."

Terry tidak menyahut, hanya tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan Pak Kepala Sekolah yang masih geleng-geleng kepala sambil memandang lurus ke arah tiang bendera. Lelaki itu sengaja menunggu hingga bel tanda istirahat pertama berbunyi sebelum mengeluarkan ponselnya. Jemarinya menari di layar beberapa lama, membuat grup LINE baru dan mengirimkan invitation untuk tiga anggota lainnya.

Pengabdi Tertius (1)

Jeno has joined the chat.

T. Senandika: sontoloyo nomor satu sudah join.

Jeno: ???

Artajuna has joined the chat.

T. Senandika: sontoloyo nomor dua menyusul.

Artajuna: wassup komandan toil yang picik hatinya.

Jae has joined the chat.

T. Senandika: dan sontoloyo terbesar dari seluruh sontoloyo yang ada juga sudah masuk.

Jae changed the group name to Pengabdi Sontoloyo

T. Senandika: heh, bocah gendeng, apa maksudnya ya ngeganti nama grup?!

Jae: untuk menghargai bapak sebagai panglima tertinggi dari para sontoloyo

T. Senandika: terdengar seperti pujian yang merendahkan

Jae: Siiiƿº°˚˚°º (ʃ°͡▿▿▿▿▿▿°)͡ʃ

Artajuna: ini grup maksudnya apa ya?

Artajuna: apakah modus komandan toil untuk selalu chat dengan kita?

T. Senandika: kurang-lebih seperti itu

Artajuna: ƪ(°;◦)ʃ Ϛ(°..˚)Ϟ ƪ(°;◦)ʃ

Artajuna: ampun, pak. saya tahu bapak jomblo kesepian, tapi tolong jangan rusak kami

Jae: betul, kami masih murni, pak〴⋋_⋌ 〵

Jeno: pak... jangan pak... mama saya bisa kecewa...

T. Senandika: sori, saya bukan pedofil dan masih straight

T. Senandika: lagian kalau saya mau jadi pedofil dan gay, saya juga pilih-pilih kali. kalian nggak bakal masuk kualifikasi.

Jae: hamdallah bapak nggak termasuk kalangan homolita.

T. Senandika: pokoknya ini group nggak boleh ada yang leave ya.

T. Senandika: tugas kalian sebagai pengabdi saya akan saya infokan dari sini.

T. Senandika: sekian.

Artajuna: тι∂ααααααккккккккк..........!!!

Jae: ヽ(д`ヽ)。。オロオロ。。(ノ'д)ノ

*

Berbeda dengan kemarin-kemarin, hari ini Jeno tidak pulang sendiri. Nana dan Injun menyertainya. Jeno membiarkan saja, masih ragu apakah berteman dengan dua cowok itu tidak akan jadi keputusan yang bakal dia sesali. Mereka berjalan kaki bersama hingga mendadak, Jeno menghentikan langkah di belokan yang tidak jauh dari sekolah, tepat di dekat Warmil Bang Horas yang masih buka.

Bukan, Jeno bukan tiba-tiba melihat Bongshik atau kucing sejenis yang kecantikannya berhasil membuatnya terpesona. Semuanya bermula dari sesosok cowok bermotor Ninja yang membonceng seorang cewek berambut panjang. Dari seragamnya, terlihat jelas kalau cewek itu anak sekolah tetangga. Cowok yang memboncengnya turun dengan helm full-face masih bertengger di kepala, langsung berjalan ke Warmil Bang Horas. Mungkin mau beli kopi. Berbeda dengan cewek itu yang malah melipir ke sisi lain jalan sambil membuka tas ranselnya, ternyata mengeluarkan sebungkus kecil whiskas yang digunakannya untuk memberi makan kucing liar di seberang jalan.

Selama sebentar, Jeno tersesat dalam pikirannya sendiri, sampai Nana menjentikkan jari di depan matanya seraya bilang. "Dan dalam hitungan tiga... dua... satu... kamu akan bangun!"

Jeno mengerjap, tersadar dan saat dia melihat ke arah cewek itu lagi, cewek itu tengah menyahut panggilan cowok yang memboncengnya.

"Yang, ngapain sih elah mainan kucing melulu! Bulu mereka tuh bikin penyakit!"

"Cuma ngasih makan aja."

"Ngaco. Udah, buruan naik!"

"Iya."

Mesin motor kembali dihidupkan, mencipta gerungan yang memecah kesenyapan dan motor itu pun melaju, meninggalkan Jeno yang terpana, menatap rambut panjang si cewek yang dihempas embusan angin.

"Oy, masih sadar nggak lo!?"

"... tadi itu siapa?"

"Kenapa? Lo naksir?"

Jeno tidak bisa menjawab.

"Baiknya jangan, deh." Nana menepuk bahu Jeno. "Gue nggak kenal ceweknya, tapi gue kenal siapa yang bonceng dia. Namanya Sariffudin, tapi biasa dipanggil Dean. Nama bule gitu, sengaja kayaknya."

"Iya, macem Sumiati yang tiba-tiba berubah jadi Selena kalau udah nongkrong di ibukota." Injun menimpali.

"Terus kenapa sama Sarif—maksudnya, sama Dean?"

"Itu cewek pacarnya Dean. Seragam mereka seragam sekolah tetangga. Di sekolah sana, Dean tuh paling berkuasa. Ketua geng paling berpengaruh. Temannya di mana-mana. Salah langkah sedikit, bukan cuma lo bisa bonyok kayak combro baru kepenyet roda becak, tapi sekolah kita juga bisa porak-poranda. Mainan Dean udah sadis. Kayaknya cuma dia anggota geng-geng-an sekolah yang udah punya tato."

"Saya nggak naksir."

"Tapi lo ngelihatin tuh cewek kayak ngelihatin bidadari baru jatuh dari genteng."

"Dia kelihatannya suka kucing. Dia nggak takut ngegendong dan ngelus kucing jalanan."

"Nggak boleh naksir, Jeno."

Jeno mengangguk, meski entah kenapa, bayangan cewek itu tidak bisa hilang dari benaknya. 






bersambung ke third note 

***

Catatan dari Renita: 

ea kaget nggak 

seharusnya ini dilanjut masih dua hari mendatang (karena sekarang gue lagi sibuk ngurus tugas akhir dan penelitian lain) cuma karena kalian udah spam comment di chapter sebelumnya, jadi gue cepetin. semuanya bilang makasih sama yang udah comment wkwkwk 

ini malam banget, gue tahu. 

anyway, diantara kalian ada yang minta penyemangat ujian dari gue, entah itu di instagram ataupun di wattpad. pertama-tama, semangat ya. jangan terlalu khawatir soal ujian. 

kebetulan, dulu waktu ujian, gue juga pernah panik, terus nyontek. iya, pas UN SMA dan mau tahu, setelahnya gue menyesal banget. itu pertama dan terakhir kali gue nyontek (karena gue selalu jujur ketika ujian dari kecil). 

kalian pernah denger nggak ungkapan yang bilang kalau orang pinter akan kalah dengan orang beruntung? so far gue membuktikan, ungkapan itu benar. gini, lo pernah liat nggak, ada orang yang kayaknya pinter banget, tapi dia kurang beruntung dan malah yang dapet banyak opportunity itu orang-orang yang biasa aja. yang suksesnya kebangetan, malah orang-orang yang biasa aja. 

kita tahu, di dunia ini, kalau kita nggak mau menyakiti orang, maka kita nggak boleh menyakiti orang. sama aja dengan katakanlah lo berbuat curang, dalam banyak kesempatan, nggak hanya ujian. bisa jadi, lo mengambil hak orang lain. lo mencurangi, kelak, dengan cara yang lain, dalam bentuk yang nggak sama, di waktu yang berbeda, lo akan dicurangi. bukan sama orang lain, tapi sama dunia. 

jadi untuk ujian, semangat. gue kasih tahu, di dunia yang sebenarnya, di dunia perkuliahan atau dunia kerjaan yang nyata (gue bisa ngomong gini karena gue pernah jadi intern) yang menentukan bagaimana lo ke depannya adalah karakter dan kemampuan lo di dunia nyata, bukan nilai-nilai di atas kertas. memang, nilai penting untuk lulus. nilai penting untuk 'pembuktian' lo di awal, tapi itu nggak berarti lo harus dapet nilai sempurna. 

gue yakin, kalian pasti bisa lulus dengan kemampuan kalian yang sebenar-benarnya. 

kalian nggak harus jadi sempurna, jadi jangan terlalu takut dan khawatir. yang penting udah belajar dan sudah berusaha. itu aja. 

sounds like a bullshit? memang. tapi gue sudah membuktikan itu. nggak ada yang nanyain nilai UN gue berapa, sampai sekarang. 

semangat selalu ya, semoga kalian sukses dan segalanya lancar. 

and as always, have a great night. 

Semarang, March 18th 2019 

22.56

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top