prelude: jeno dan majikan
I love them, they are so nice and selfish.
Dogs are too good and unselfish.
They make me feel uncomfortable, but cats are gloriously human.
—L. M Montgomery—
*
prelude – ezekiel noelish karsa
Hari baru dimulai waktu Jeno dibangunkan oleh sentuhan ekor berbulu milik Bongshik di pipinya. Cowok itu mengernyit, menggeram pelan, mencipta suara rendah khas orang baru bangun tidur, lalu terjebak keheningan sesaat sebelum dia bersin. Hidungnya berkerut dan dia mengusapnya dengan ujung jari. Semua orang yang mengenal seorang Ezekiel Noelish Karsa pasti tahu bagaimana cowok itu punya alergi pada kucing, dan anehnya, malah memeliharanya. Bukan hanya itu, bisa dibilang, jika Jeno terjebak dalam situasi antara hidup dan mati di mana dia mesti memilih antara menyelamatkan dirinya sendiri atau kucingnya, Jeno pasti lebih memilih menyelamatkan kucingnya.
Kucing kesayangan Jeno ada satu. Bongshik namanya. Buat Jeno, pertemuan mereka berdua itu takdir, seperti pertemuan antara Romeo dan Juliet, Galih dan Ratna atau Dilan dan Milea. Jeno pertama kali menemukan Bongshik saat masih kelas satu SMP. Waktu itu dia baru pulang sekolah dan ketika melewati tong sampah besar di depan pos ronda dekat rumahnya, Jeno mendengar suara ngeong lemah. Didorong rasa penasaran, Jeno menelusuri sumber suara, hanya untuk menemukan sepasang anak kucing kurus yang bulunya hitam kelam habis kena oli. Papanya tidak suka hewan peliharaan, tapi Mama tak pernah bilang apa-apa soal larangan membawa kucing ke rumah, jadi Jeno nekat meraih dua anak kucing itu dalam dekapannya dan membawanya pulang—nggak peduli bagaimana oli yang melekat di bulu duo kucing mungil itu bikin seragamnya kotor.
Papa memang tidak suka hewan peliharaan, tapi lelaki itu terlalu jarang ada di rumah untuk bisa menyuarakan keberatan. Mama, awalnya tidak terlalu senang, sebab katanya Jeno punya alergi kucing. Tapi Jeno terus memohon supaya dua kucing mungil—yang katanya tidak punya tempat tinggal—diizinkan jadi peliharaan pertama rumah mereka. Mama luluh, lantas sesederhana itu, Jeno pun punya dua kucing mungil yang dinamainya Bongsai dan Bongshik.
Kenapa namanya Bongsai dan Bongshik?
Sejak kecil, Jeno nggak bisa menyebutkan kata 'bonsai' dengan benar. Dia selalu menyebutnya bongsai, entah kenapa, dan di hari pertamanya di rumah, kucing kecil yang pada akhirnya diberi nama Bongsai itu kelihatan tertarik pada tanaman mini milik Mama yang banyak berjajar di teras depan rumah. Sumber nama Bongshik lain lagi. Kata Jeno, karena ditemukan bersama-sama, besar kemungkinan mereka itu kucing kembar. Jadi biar namanya matching, Jeno menamainya Bongshik.
Sayangnya, Bongsai tidak bertahan hidup untuk waktu yang lama. Kucing itu sakit, lalu mati (Jeno ngotot menyebutnya meninggal dan memaksa Mama membelikan bunga-bungaan beserta air mawar untuk kuburan Bongsai di halaman belakang). Bongshik, untungnya berhasil tumbuh besar dan jadi teman Jeno yang paling setia. Tetangga Jeno selalu berpikir, nama kucing itu aneh, tapi kata teman-teman Jeno, nama kucingnya mirip-mirip nama orang Korea.
Yah, mungkin mereka benar juga sih, Jeno ikut berpikir begitu. Bisa jadi dalam society para kucing komplek, Bongshik itu ada darah Koreanya. Terus kalau Jeno lihat-lihat, mukanya Bongshik tuh lebih oriental dan cakepan dibanding kucing komplek lainnya. Kemungkinan besar, di dunia permeongan, Bongshik sama hitsnya kayak Siwon Super Junior.
Bongshik hanya mengibaskan ekornya dengan tak peduli saat dia melihat Jeno yang baru selesai membasuh wajah keluar dari kamar mandi dan kelakuannya bikin Jeno tertawa kecil. Bongshik memang suka kayak gitu, sering membuat orang berpikir kalau Bongshik nggak sepeduli itu pada keluarga tempatnya dipelihara, atau pada Jeno yang telah jadi bucin berani matinya. Padahal sebetulnya, Bongshik tuh kucing baik, cuma agak tsundere aja. Buktinya? Seperti mengerti kalau Jeno capek, tiap Jeno pulang sekolah, Bongshik suka melompat ke pangkuannya terus mijit-mijit pahanya Jeno.
"Ma, whiskasnya Bongshik mana ya? Yang baru, yang udah dibuka udah abis." Jeno berkata begitu pada Mama sembari masuk ke dapur. Mama yang tengah sibuk di belakang kompor menoleh.
"Ada di lemari meja depan, paling kanan."
"Oke sip."
Itu juga sudah jadi rutinitas selama bertahun-tahun. Bongshik selalu jadi penghuni rumah yang pertama kali sarapan, sekalipun di hari libur. Semuanya tentu saja gara-gara Jeno, yang ikhlas bangun pagi-pagi buta di akhir pekan hanya untuk mengisi mangkuk whiskas Bongshik.
Setelah mengisi mangkuk whiskas Bongshik—berikut mangkuk air minumnya, soalnya Jeno takut tiba-tiba Bongshik keselek—baru Jeno mandi dan berganti seragam sekolah. Hari ini hari pertamanya di sekolah baru. Bagi mayoritas orang, mungkin terlihat aneh pindah sekolah sewaktu kenaikan ke kelas tiga, apalagi sekolahnya masih satu kota. Jika harus jujur, Jeno juga lebih suka sekolah lamanya. Tapi, dia tidak mau membuat Mama repot, atau sedih.
Orang tuanya bercerai enam bulan lalu, karena alasan yang tidak Jeno tahu. Intinya, mereka berpisah dan Jeno memilih ikut Mama. Papa tidak tampak keberatan, sepertinya sudah cukup puas dengan kehidupan baru yang diam-diam dia bangun di belakang Mama dan Jeno selama bertahun-tahun. Sebetulnya, tidak ada banyak perubahan, sebab sejak dulu, Papa memang jarang ada di rumah. Walau begitu, perpisahan berarti mereka harus pindah rumah. Ini cukup berat buat Jeno, soalnya itu berarti meninggalkan kuburan Bongsai dan pindah sekolah yang lebih dekat dengan rumah baru. Namun Jeno sayang Mama, dan tidak mau jadi beban untuk perempuan itu.
"Sudah tahu jalan ke sekolah baru, Nak?"
Jeno sedang memasang dasi waktu Mama tiba-tiba muncul di ambang pintu kamarnya. Jeno mengangguk, sementara Mama mendekat, lantas berdecak dan memasangkan dasi Jeno supaya tampak lebih rapi.
"Maaf ya, gara-gara Mama kamu harus pindah sekolah."
Jeno menggeleng. "Jangan minta maaf, Ma."
Mama menatap Jeno, menghela napas dan perlahan, senyum lebarnya terkembang. Senyum yang selalu mampu menulari Jeno, bikin dia ikut tersenyum. Pagi itu diteruskan dengan sarapan bersama, lalu begitu selesai dan memastikan tidak ada keperluan sekolah yang tertinggal, Jeno beranjak, mengecup cepat pipi ibunya dan berpamitan pada Bongshik.
Sekolah barunya tidak jauh dari rumah, hanya 15 menit berjalan kaki dan Jeno bukan jenis cowok yang gengsi terlihat berjalan kaki ke sekolah. Mungkin karena dari kecil, Jeno itu anak rumahan dan sangat dekat dengan ibunya, dia punya kecenderungan lebih polos dan lebih lembut dari kebanyakan remaja laki-laki seusianya. Jalanan mulai ramai, namun suasananya menyenangkan, sampai tiba saatnya buat Jeno melewati warung kopi yang berada di sebuah belokan jalan dekat sekolah.
Ada dua cowok sedang duduk di bangku kayu panjang bagian depan warung kopi. Dari seragam yang mereka pakai, Jeno tahu mereka satu sekolah dengannya. Salah satu dari mereka yang lebih tinggi punya rambut berwarna cokelat kemerahan, sepertinya diwarnai. Seragamnya tidak dimasukkan dengan rapi dan dia tidak memakai dasi, dengan dua kancing teratas seragam yang tidak dikaitkan. Ada segelas kopi hitam di depannya, juga piring kecil berisi tumpukan mendoan goreng. Gayanya persis bapak-bapak. Satu yang lain kelihatan lebih kalem, juga agak sedikit lebih pendek. Seragamnya lebih rapi, namun wajahnya tampak masam. Dia tidak minum kopi, hanya segelas air putih untuk menemani beberapa potong gorengan dalam piring kecil di dekat sikunya.
Jeno menelan ludah, tiba-tiba saja merasa gentar karena dua cowok itu kelihatan seperti berandalan. Ternyata kekhawatirannya terbukti. Salah satu dari mereka, si anak yang rambutnya cokelat kemerahan, mendadak memanggilnya.
"Oy, lo yang di sana!"
Spontan, Jeno menunjuk dirinya sendiri dengan wajah cengo. "Eh? Saya?"
"Iya. Sini lo!"
Takut-takut, Jeno mendekat. "Ada apa ya, Kak?"
"Gue belum pernah lihat lo, tapi seragam kita sama. Lo anak baru ya?"
"I—iya, Kak."
"Kelas berapa lo?"
"Kelas tiga, Kak."
"Yeuuu," kali ini anak lainnya yang menyahut. "Si Toil, itu artinya kita seumuran! Ngapain lo manggil-manggil 'kak'?! Udah jelas seragamnya sama! Jangan mentang-mentang suka banyak yang nggak lulus, dikiranya sekolah kita kelasnya ada enam kayak sekolahan SD!"
Jeno mengerjap, sementara si cowok berambut cokelat kemerahan mendelik pada temannya. "Masih kepagian, Jun. Jangan merepet kayak bajaj gitu. Kesian nih dia jadi kaget."
Jeno bingung harus berkata apa dan dua cowok itu belum sempat bicara lagi ketika tiba-tiba, suara ngeong seekor kucing terdengar. Refleks, Jeno menoleh dan mendapati Bongshik tengah berjalan cepat ke arahnya. Kucing itu tidak kelihatan senang, agaknya bisa menebak kalau budaknya—iya, Jeno itu budaknya dan Bongshik majikannya—sedang dalam bahaya.
"Buset, kucing siapa tuh?"
Jeno malah panik, kontan berbalik untuk menutupi Bongshik dari pandangan dua cowok berandal di depannya. "Ampun, Kak—eh, Bro—jangan sakiti kucing saya! Kalau mau palak, palak saya aja nggak apa-apa! Tapi saya nggak bawa uang jajan, punyanya cuma nasi capcay mentega!"
Dua cowok di depan Jeno berpandangan. "Hah?"
"Bongshik—" Jeno menoleh pada Bongshik yang kini menatap polos, berkebalikan dengan Jeno yang kelihatan gusar. Cowok itu kian cemas tatkala merasakan tali tasnya tertarik. "—lari, Bongshik! Lari!"
Bongshik malah duduk, memiringkan kepalanya dan menatap tidak mengerti pada budaknya yang mendadak panik.
"Ampun, Kak—eh, Bro—biarin kucing saya pergi—"
"Eh, Toil,"
"—hajar saya aja nggak apa-apa, Kak—eh, Bro—"
"Siapa yang mau ngehajar lo, sih?"
"Buktinya tas saya ditarik dan—"
"KAGAK ADA YANG NARIK, ITU TALI TAS LO NYANGKUT DI TEPI MEJA, BANGSYUL!"
Jeno tersekat, langsung menatap pada tali tasnya dan benar saja, tali tasnya tersangkut di ujung lancip meja. "Hng... oh... kirain..."
Cowok berambut cokelat kemerahan berdecak. "Nama lo siapa?"
"Jeno."
"Bemo?"
"Jeno."
"Jono?"
"Ezekiel Noelish Karsa." Jeno akhirnya menyerah dan menyebutkan nama lengkapnya. "Biasa dipanggil Jeno."
"Jevais Nareshwara, nama bekennya. Nama pendeknya Naresh." Cowok berambut cokelat kemerahan itu turut membalasnya dengan perkenalan diri.
"Kalau siang. Kalau malem, namanya Nana."
"Ah, bacot. Nih si boncel namanya Injun."
"Juna!" Injun kelihatan tidak terima dengan nickname yang digunakan Naresh untuk memanggilnya.
"Cakepan juga Injun kemana-mana." Naresh mengabaikan protes Injun. "Lo anak baru di kelas mana?"
"XII IPS 1."
"Sama, dong! Takdir banget kita ketemu di sini..."
"Terus kenapa kalian ada di sini?" Jeno mengernyit heran seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Bentar lagi kan masuk kelas..."
"Selow aja, yang punya sekolahan tuh kita. Hahaha. Sayang banget lo baru masuk awal semester ini, nggak dari semester sebelum kenaikan kelas kemaren. Kelas kita sempat nggak punya wali kelas selama empat bulan, tau!"
"Hah, kok bisa?"
Injun nyengir. "Butuh ketahanan mental buat jadi wali kelas di kelas kita. Wali kelas yang terakhir nyerahnya dramatis banget, konon sih sampai nangis-nangis ke Kepala Sekolah minta dikasih kelas baru, atau gimana caranya biar nggak jadi wali kelas kita lagi."
"... Kok kalian bangga, sih?"
"Oh ya jelas! Dengan begini, kelas XII IPS 1 terkenal sebagai kelas paling legend sesekolah, zona merah dan cuma guru bermental baja aja yang kuat ngajar di kelas kita." Naresh menyambar. "Di luaran sana, di sekolah lain, mungkin guru yang berkuasa, guru yang seenaknya, mau ngajarnya bener kek, mau nggak kek, suka-suka mereka dan ujung-ujungnya, nilai juga terserah mereka mau ngasihnya gimana. Di kelas kita nggak. Di kelas kita, guru yang harus dengerin siswa, bukan siswa yang dengerin guru."
Jeno menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Yah tapi kan—"
"Udah, daripada heran gitu, mending duduk sini, ngopi dulu bareng gue dan Injun. Di sini kopinya enak, Bro. Lo pasti suka."
"Heh, jangan ngeracunin anak orang! Semua juga tahu, formula kopi lo tuh bukan jenis kopi yang bisa diminum manusia." Injun menukas, lalu melirik pada Jeno yang kelihatan salah tingkah. "Tapi kayaknya kita kudu ke kelas tepat waktu deh, Na. Jeno nih kan anak baru ya, mesti deh ada sepik-sepik dikit dari Pak Kepala Sekolah, ngenalin dia di kelas."
"Oiya, bener. Yaudahlah, yuk. Sekali-kali jadi anak baik nggak dosa."
"Tunggu... ini, kucing saya gimana?"
Naresh menatap sejenak pada Bongshik yang memandang polos. "Bawa aja udah. Paling juga jadi korban grepe anak cewek sekelas."
Jeno melotot, langsung khawatir lagi. "MASA?"
"Becanda, elah. Posesif banget lo sama kucing, udah kayak sama pacar aja."
"Soalnya Bongshik sensitif, nggak bisa sembarangan dielus orang."
"Iye-iye, suka-suka lo dah."
Lima menit berikutnya, mereka telah berjalan beriringan bertiga menuju sekolah, dengan Jeno mendekap Bongshik dalam pelukannya. Kucing itu diam saja, tidak melawan dan tidak berisik. Dipikir-pikir, sepanjang jalan, Jeno masih tidak mengerti kenapa dia bisa-bisanya melangkah menuju sekolah bersama orang-orang seperti Injun dan Naresh. Di sekolah lamanya, anak-anak dengan penampilan seperti itu sudah bisa dipastikan langganan keluar-masuk ruang BK, punya sederet angka merah dalam raport dan dianggap tak punya masa depan cerah. Mereka terpinggirkan, dipandang sebelah mata bukan hanya oleh guru-guru, namun juga kalangan anak pintar langganan juara kelas. Anehnya, di sekolah barunya, kenapa anak-anak seperti Injun dan Naresh terlihat berkuasa?
Jeno ikut bersama Mama waktu mendaftar di sekolah ini dan dia sudah tahu, secara fisik, bangunan sekolah ini tidak sebagus bangunan sekolah lamanya. Akan tetapi, dia tidak menebak kalau sekolah ini... semenyedihkan itu. Kala tiba di kelas, Jeno langsung disambut oleh deretan bangku kayu penuh coretan tipp-ex. Bukan hanya itu, salah satu bagian langit-langit ruang kelas tampak bolong, seakan-akan ada bocah jumbo yang pernah jatuh tidak terduga dari sana.
Penghuni kelas yang awalnya ribut, tiba-tiba saja jadi diam waktu Jeno masuk bersama Injun dan Naresh. Naresh sih langsung sibuk tebar kissbye sana-sini, seolah-olah dia adalah penyebab untuk kesenyapan yang mendadak menyesaki ruangan. Jeno tetap diam, malah mempererat dekapannya pada Bongshik. Cewek-cewek berbisik-bisik, bikin Jeno tidak nyaman. Untungnya, dia bisa segera duduk di dekat jendela, tepat di sebelah meja Injun dan Naresh.
"Itu kucing mau terus dikekep apa gimana? Nanti tau-tau anget tangan lo, dipipisin ama dia."
Jeno terperangah oleh kata-kata Naresh, ingin membantah, bilang kalau Bongshik itu kucing berbudi luhur yang nggak akan mengencingi budaknya sendiir, namun menyerah dan malah meletakkan Bongshik dengan hati-hati di atas meja. Jeno lanjut memeriksa bagian bawah mejanya. Bersih, tanpa sampah, tapi ada bekas permen karet yang sudah berkerak dan komik Siksa Kubur.
Tidak sampai setengah menit kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kelas yang sengaja dibiarkan terbuka, disusul oleh kehadiran Kepala Sekolah. Hanya saja, pagi ini beliau tidak datang sendiri. Seorang laki-laki tegap bersetelan licin nan mahal menyertainya. Rambutnya ditata seperti gaya tokoh konglomerat yang pernah Jeno lihat di film. Penampilan laki-laki itu kian mencolok dengan sunglasses hitam yang bertengger di batang hidungnya, juga piercing di salah satu telinganya.
"Weits, tumben Pak Kepala—wedeeewww, siapa nih? Anyonghaseyo, Oppa!" mulut jahil Injun tentu tidak bisa tinggal diam.
"Artajuna, duduknya yang benar! Kamu sekarang ada di kelas, bukan di warteg!"
"Pegel, Pak! Kesemutan saya, makanya duduknya kayak gini!"
"Kamu juga, Jevais, berapa kali bapak bilang kalau di sekolah itu, bajunya harus dikancingkan sampai kancing teratas!"
"Nggak mau, Pak! Culun!"
Pak Kepala Sekolah memijat batang hidungnya dengan frustrasi, tampak luar biasa pening, berkebalikan dengan laki-laki di sebelahnya yang masih memasang wajah datar. Lantas, laki-laki itu mencondongkan badan sedikit ke Pak Kepala Sekolah, membisikkan sesuatu yang membuat Pak Kepala Sekolah berdeham.
"Oke, lupakan soal Artajuna dan Jevais yang dari dulu memang nggak bisa dibilangin. Jadi anak-anak, berhubung Bu Dwi sudah tidak bisa jadi wali kelas kalian sejak beberapa bulan lalu, pagi ini bapak datang untuk memperkenalkan wali kelas kalian yang baru."
Kelas hening, seakan-akan Pak Kepala Sekolah baru saja bicara dalam bahasa Swahili.
"Mangga, Pak." Pak Kepala Sekolah beralih pada laki-laki di sebelahnya.
Laki-laki itu kelihatan rikuh, tapi di saat yang sama, ada keyakinan di wajahnya. Dia melepas kacamatanya, membuat anak-anak cewek di kelas berdecak. Jeno tahu kenapa. Bapak itu masih sangat muda, juga tampan. Daripada jadi wali kelas di sekolah bobrok seperti ini, kayaknya bapak itu lebih cocok jadi bintang FTV.
"Nama saya Tertius Senandika. Kalian bisa panggil saya Pak Terry. Mulai hari ini, saya akan jadi guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas kalian yang baru."
"Saya nggak tahu Pak Terry, tapi kalau pepes teri, saya tahu, Pak!" Itu jelas masih seruan Injun.
Pak Terry mengernyit, lantas menunjuk pada Injun dan menyahut dengan gaya casual yang terkesan sombong. "Kamu baru boleh ngomong begitu kalau sudah tumbuh seenggaknya lima senti lebih tinggi. Oke?"
Injun kicep, mukanya kontan memerah, terutama karena anak-anak sekelas langsung kompak menyorakinya.
"Artajuna Purnasaman, sepuluh poin."
"Hah?"
"Ah sori, itu tadi refleks. Tapi bagus, saya bisa sekalian menyampaikan ketentuan dan aturan main saya, baik sebagai guru dan wali kelas. Untuk setiap pelanggaran tata-tertib ringan yang dilakukan, saya akan memberi siswa yang bersangkutan poin. Sepuluh poin untuk pelanggaran ringan seperti lupa membawa PR dan bersikap tidak sopan di kelas, tiga puluh poin untuk pelanggaran menengah seperti bolos dan ke kantin waktu guru tidak ada di kelas dan lima puluh poin untuk pelanggaran berat. Poin-poin yang didapat akan diakumulasikan setiap akhir minggu. Jika kalian dapat lima puluh poin, kalian akan dipanggil ke kantor dan menerima detensi dari saya."
"De—apa katanya tadi?" Naresh berbisik pada Injun yang langsung mengedikkan bahu.
"Nggak tau. Gue taunya Desi Ratnasari."
Pak Terry tampak puas karena ucapannya menciptakan kesunyian panjang di kelas yang telah terkenal sebagai kelas ternakal sesekolahan, lalu matanya jatuh pada Jeno, Injun dan Nana yang duduk berdekatan. Dia menatap mereka beberapa lama. Lantas, tanpa seorang pun sadari, bibirnya menarik senyum penuh arti.
bersambung ke prelude: nana bukan anak kopi senja
***
Catatan dari Renita:
tadinya, gue berencana untuk memposting prelude setelah side story di work guardiationship selesai haha tapi entah kenapa gue kepengen cerita ini dimulai tanggal 1 maret.
so yah, inilah.
prelude pertama adalah sedikit tentang jeno, yang dalam cerita ini memang bakal jadi yang paling pendiam, tapi sebenarnya paling peduli dan paling soft dalam trio jeno-injun-nana. gue merasa, karakter norenmin itu enak untuk dipadukan haha, renjun dengan mulut savagenya yang kalau ngomong kayak nggak pake bismillah dan jaemin yang carefree, semau gue dan rada konyol haha.
gue sempat bimbang memilih antara kun dan taeil untuk memerankan peran sebagai 'guru' mereka but... karena taeil lebih cocok dengan karakter 'guru' buat trio ini, jadi gue memilih taeil.
cerita ini bakal berputar dalam hubungan injun-jeno-nana dengan pak terry, tapi kemungkinan bakal ada minor romance.
from both of them. dari injun-jeno-nana dan dari pak terry sendiri, meski mereka bukan poin utama dari cerita ini.
kayaknya so far itu dulu. semoga kalian suka preludenya jeno dan sampai ketemu di preludenya nana.
ciao.
Semarang, March 1st 2019
16.55
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top