fourteenth note

Fate is like a strange, unpopular restaurant

filled with odd little waiters who bring you things

you never asked and don't always like.

—Lemony Snicket—

*

"Finally, I found you."

Injun mengerjap, memandang gadis mungil di depannya sejenak sebelum menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sori banget nih, tapi kalau ngomong pake Indonesia atau Sunda aja sekalian, dah! Nilai bahasa Inggris gue tiarap pisan soalnya!"

Gadis itu tertawa, memunculkan lesung pipi di salah satu sisi wajahnya. Dia punya senyum manis. Caranya tergelak lembut, mengingatkan Injun pada adik perempuannya sendiri. Lalu sebelum Injun bisa bicara lagi, gadis itu telah mengulurkan tangannya. "Namaku Adin."

"Um... oke, Adin. Nama gue—"

"Artajuna. Aku udah tahu."

"Maaf sebelumnya, tapi... apa kita pernah ketemu?"

Adin mengangguk. "Satu kali. Mungkin Kak Artajuna nggak ingat. Tapi aku ingat, dan sampai sekarang, aku nggak bisa lupa."

Airmuka Injun berubah sedikit. "Ini... gue nggak punya hutang sama lo, kan?"

"Mungkin punya."

"Hah, masa?! Berapa?! Kalau mau ditagih, tolong jangan sekarang! Gue lagi bokek sampe ke atom soalnya!"

"Kak Artajuna masih selucu waktu itu." Adin tertawa lagi, walau di sela tawanya, diam-diam dia melirik ke belakang Injun—di mana Lala sedang duduk seraya menatapnya dengan sorot mematikan. Ah ya, seharusnya itu bisa dia tebak. Cowok selucu dan sebaik Injun, pasti banyak yang naksir. "Kita ketemu di depan toko mainan. Kak Artajuna lagi menggambar. Aku duduk nunggu dijemput bareng Kak Artajuna. Terus es krimku jatuh dan Kak Artajuna ngasih gambar kakak, bilang kalau itu buat ngehibur aku gara-gara es krim yang jatuh."

"Es krim—ah, lo—cewek yang waktu itu?!"

"Kak Artajuna ingat?"

"Hehe, sama yang imut banget kayak lo, mana bisa gue lupa?" Injun langsung nyengir. "Tapi... dari mana lo tahu nama gue dan sekolah gue?"

"Aku melakukan... riset kecil-kecilan. Dan soal nama, ada tanda-tangan Kak Artajuna di bagian bawah gambar yang kakak kasih."

"Riset kecil-kecilan?"

"Apa pun itu, nggak penting." Adin tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Yang penting adalah, mulai minggu depan, aku bakal sekolah di sini!"

"Emang tadinya kamu sekolah di mana?"

Adin menyebut nama sebuah sekolah yang Injun ketahui sebagai salah satu sekolah elit. Sekolah itu berada tidak jauh dari sekolah Alma. Fakta tersebut bikin Injun heran, sebab buat apa siswi sekolah elit pindah ke sekolahnya—yang barangkali, kualitasnya tidak ada seujung kuku dari sekolah elit tersebut.

"Kenapa malah pindah sekolah ke sini? Kamu lagi nggak kesurupan, kan?"

"Biar bisa lihat Kak Artajuna sering-sering."

"Wah, maap-maap nih, tapi bentar lagi saya lulus."

"Nggak apa-apa. Pokoknya, Kak Artajuna," Adin tiba-tiba meraih tangan Injun, membuat Injun salah tingkah, tapi tetap membiarkan tangannya digenggam dengan sepenuh rasa oleh cewek di depannya. Lala yang menyaksikan pemandangan itu kontan tersedak sampai terbatuk-batuk, buru-buru meraih minumannya dan menenggak isinya banyak-banyak dengan mata penuh dendam kesumat. "Sampai ketemu minggu depan!"

Injun salah tingkah, hanya bisa manggut-manggut, lantas melambai tertahan tatkala Adin berbalik, melangkah riang menjauhinya.

Selama ini, belum pernah ada cewek yang bersikap semanis itu padanya selain Alma. Tubuhnya yang mungil dan cara bicaranya yang terkesan innocent membuat Injun tak berkutik, tidak bisa memberi reaksi selain mengangguk atau menjawab ucapan Adin dengan kata-kata manis. Dia berdiri di sana sebentar, memandangi punggung Adin yang kian menjauh, hingga dia merasakan hawa tidak enak melingkupinya. Mengikuti naluri, Injun menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati Lala sedang melotot padanya.

Bukan hanya sampai di sana, cewek itu menusuk baksonya dengan garpu, menggunakan tenaga yang tidak main-main, membuat Injun merasa diserang ngilu tiba-tiba.

Kenapa Lala memandangnya seakan-akan cewek itu ingin mencincangnya jadi bahan campuran perkedel saat itu juga?

*

Hari ini, rencananya pertemuan perdana mereka buat diskusi soal penampilan nanti ketika Pensi bakal dilakukan setelah jam belajar selesai. Seperti biasa, mereka ketemuan di Markas dengan disaksikan oleh maskot tercinta, si Iteung yang sekarang udah punya teman, Euis Robinson binti Robinson—untung, Injun masih cukup waras untuk nggak mengadakan selamatan bubur merah-bubur putih atau potong kambing sekalian guna meresmikan namanya si Euis. Nana jadi yang pertama sampai di Markas—soalnya Jeno bilang mau beli es krim Aice mochi rasa cokelat dulu di warung depan sekolah (ini bukan endorse, tapi kalau pihak Aice tertarik nyari brand ambassador, Jeno dan Bongshik siap syuting kapanpun dan di mana pun). Injun nggak jauh beda, katanya mau makan siomay dulu. Terry sih masih nggak jelas keberadaannya. Mungkin lagi nongkrong sambil sebat-sebat asyik di ruangannya—yang memang terpisah dari ruangan guru lainnya.

Yah, namanya juga guru selundupan, pasti ada keistimewaan-keistimewaan tersendiri.

Nana menyapa Iteung dan Euis dengan satu elusan di dagu masing-masing, terus menjatuhkan tasnya di bangku terdekat sebelum pergi ke luar lagi. Niatnya mau ke toilet, buat cek rambut—rambut Nana tuh harus selalu tampil prima karena nggak peduli mau seganteng apa mukanya, kalau rambutnya jelek, otomatis ketampanan di wajah pun akan berkurang jauh. Haha, nggak deng, bercanda. Nana cuma mau memastikan penampilannya masih oke punya, siapa tau abis dari toilet, dia berpapasan sama Kasa di koridor sekolah gitu, kan.

Ternyata betulan, dia memang berpapasan dengan Kasa, walau bukan di koridor sekolah. Nana lagi jalan di salah satu sisi lapangan, bermaksud kembali ke Markas ketika dia melihat Kasa di seberang tempat dia berada. Cewek itu jalan sendirian, kelihatan pucat. Nana memanggilnya, namun diabaikan, bikin alis Nana terangkat satu. Keheranannya berganti jadi kecemasan saat Kasa berhenti berjalan dan berpegangan di pilar terdekat, sementara tangannya yang lain memegang perutnya. Refleks, Nana langsung berlari sekencang yang dia bisa, melintasi lapangan di bawah terik matahari yang mulai condong ke arah barat.

Dia tiba di dekat Kasa pada saat yang tepat, sebelum Kasa terhuyung kehilangan keseimbangan dan terkapar di lantai. Cowok itu langsung meraih salah satu lengan Kasa, menahan badannya supaya tidak jatuh. Kasa mengerjap, menoleh dan mencoba tersenyum waktu dia mengenali Nana.

"Nana?"

"Kamu sakit?" Nana mengernyit, kekhawatiran di matanya kian menjadi ketika dia melihat keringat dingin yang bermunculan di dahi Kasa. "Kasa, kamu bisa denger aku?"

Kasa mengangguk. "Aku... cuma sakit perut."

"Ini nggak cuma!" Nana membantah, membiarkan Kasa bersandar padanya sepenuhnya. Bukan hanya tangan Kasa yang dingin, tapi juga sekujur badannya. Bagian punggungnya basah oleh keringat. Dari sorot matanya, Nana tahu cewek itu sedang kesakitan. "Aku antar ke UKS."

"UKS... UKS... udah tutup, Nana."

"Oke. Aku antar kamu ke dokter sekarang."

"Nana—" Kasa mencengkeram lengan Nana. "—nggak usah."

"Nggak. Pokoknya kamu harus ke dokter! Sekarang, naik ke punggung aku!"

"—nggak perlu—aku bisa jalan—sendiri."

"Kasalira, untuk hari ini, dengerin aku. Oke? Kamu naik ke punggung aku atau aku gendong kamu di depan?"

Kasa menghela napas dalam-dalam—yang dibarengi ringisan karena sakit di perutnya—lalu akhirnya dia mengangguk, menurut dan naik ke punggung Nana. Nana membawanya ke kantin, di mana dia meminjam sepeda motor milik salah satu pedagang untuk mengantar Kasa ke dokter. Pada situasi normal, Kasa akan mengomel jika melihat Nana mengendarai sepeda motor (soalnya dia belum punya SIM), tapi kelihatannya, tidak untuk hari ini.

Sepanjang perjalanan menuju klinik terdekat dari sekolah mereka, Nana membiarkan Kasa menyandarkan kepala di punggungnya. Satu tangannya memegang stang sepeda motor, sementara tangan lainnya menggenggam jari-jari Kasa yang berada di atas perutnya, memastikan kedua lengan gadis itu tetap melingkar di pinggangnya sambil terus mengajak Kasa bicara. Karena kalau Kasa sampai pingsan lalu terjatuh, itu akan jadi masalah baru.

Cewek itu sudah hampir tidak bisa berjalan saat mereka tiba di pelataran depan klinik, membuat Nana hampir kembali menggendongnya. Tapi Kasa menolak, malah berhenti, merunduk sebelum kemudian muntah. Nana kian panik, tapi masih sempat mengumpulkan rambut Kasa, memegang rambut itu di belakang punggung supaya tidak terkena muntahannya sendiri. Untungnya, petugas berseragam putih yang berjaga di balik meja melihat mereka dari balik pintu kaca. Petugas itu langsung keluar, membantu Nana membawa Kasa ke dalam. Klinik tersebut cukup lengang, sehingga hanya butuh waktu singkat bagi Kasa mendapat penanganan dokter.

Kekalutan Nana yang sempat memuncak pelan-pelan kembali normal setelah kondisi Kasa mulai membaik. Entah apa yang dokter berikan padanya, dia tidak lagi kesakitan, walau hanya bisa terbaring tanpa tenaga. Setelah menjelaskan sedikit soal magh Kasa yang tiba-tiba kambuh, dokter itu menuliskan resep obat yang mesti ditebus, lantas meninggalkan ruangan, membuat mereka hanya berdua di dalam sana.

Nana meraih tangan Kasa, menggenggam jari-jarinya erat. "Kamu hampir bikin aku nggak punya jantung lagi, tau nggak?"

Kasa menjawab lirih, masih terlihat pucat tapi jelas sudah lebih baik dari sebelumnya. "Tadinya nggak tau. Tapi sekarang tau."

"Jangan gitu lagi ya? Kalau jantung aku copot beneran, gimana?"

"Nanti nggak punya jantung lagi."

Nana mengangguk. "Kalau nggak punya jantung lagi, nanti aku mati. Kalau aku mati, nanti kamu sedih."

"Masa iya?"

"Iya, soalnya kalau nggak ada aku, siapa lagi yang bakal sesayang ini sama kamu?"

Kasa tertawa kecil, namun perlahan, ekspresinya berubah muram. "Nana... maaf..."

Nana mengulurkan tangannya yang lain, menyingkirkan helai-helai rambut yang menempel di tepi wajah Kasa. "Mmm... kenapa minta maaf?"

"Seragam kamu... kotor dan lecek gara-gara aku..."

Kata-kata Kasa membuat Nana menunduk, melihat pada seragamnya sendiri. Bagian depan seragamnya memang sudah kusut karena remasan tangan Kasa waktu dia menahan sakit. Di tepi bawah, ada noda bekas muntahan yang baru Nana sadari. Satu kancing teratas seragam sekolahnya terlepas dari jahitannya, membuatnya menggantung dan tak lagi berfungsi.

"Ini cuma seragam. Kamu lebih penting." Nana mengusap puncak kepala Kasa, lantas menunduk untuk mencium keningnya. "Pasti nggak makan siang ya hari ini?"

"Tadi gurunya telat keluar. Waktu aku mau ke kantin, udah keburu bel masuk lagi."

"Lain kali bilang aku."

"Emang kenapa kalau bilang kamu?"

"Nanti aku jemput ke kelas."

"Emang berani berhadapan sama guru aku?"

"Berani." Nana menjawab tanpa berpikir. "Aku bakal bilang, 'bapak, ini waktunya istirahat dan pacar saya udah kelaparan. Kalau bapak nggak mau udahan ngajarnya, saya mau culik dia buat makan siang di kantin'. Gitu."

"Nggak boleh culik-culikan, nanti masuk penjara!"

"Penjaranya hati kamu ya? Mau kalau penjaranya gitu."

"Nana!" Kasa memukul tangan Nana pelan.

"Udah bisa mukul, berarti udah mulai sehat lagi." Nana ikut tergelak. "Tapi aku serius, Kasa. Jangan sakit-sakit. Sehat terus. Bahagia terus. Aku seneng kalau lihat kamu bahagia."

"Gombalnya makin jago ya..."

"Jago lah, soalnya belajar. Buat kamu."

Obrolan mereka terhenti oleh Nana yang tak sengaja melihat pada layar ponselnya dan mendapati ada panggilan yang masuk. Dia sengaja mengatur ponselnya dalam mode silent. Telepon itu mengingatkannya bahwa siang menjelang sore ini, mereka harus berkumpul untuk berdiskusi. Nana memandang pada Kasa yang mengangkat alis, menarik segaris senyum sebelum melangkah keluar dari ruangan untuk menjawab telepon yang masuk.

"Halo, Jeno—"

"Kamu di mana?!" suara Jeno terdengar tidak senang, lebih emosional dari pembawaannya yang biasanya datar nan lugu.

"Gue—"

"Apa pun itu nggak penting, kayaknya. Intinya, kamu menghilang mendadak dan nggak baca chat di grup sama sekali!" Jeno menyembur pedas.

Nana menghela napas. "Lo masih di sekolah?"

"Diskusinya dibatalin. Tas kamu di bawa Injun."

"Jeno, gue minta—"

Jeno tidak memberi kesempatan pada Nana untuk menyelesaikan ucapannya. Cowok itu menyudahi panggilan telepon begitu saja. Nana mencoba meneleponnya lagi, namun tidak diangkat. Dia juga mengirim chat di grup, tapi tidak ada yang membaca. Cowok itu lagi-lagi menarik napas dalam-dalam, hanya mampu menatap penuh rasa bersalah pada layar ponselnya yang kini gelap.

*

Malam kembali menjemput dan Terry lagi-lagi terjebak dalam kesunyian apartemennya sendiri. Dia tidak berdiam di depan piano seperti biasa, namun duduk di tepi kasur dalam kamar tidurnya sembari menatap pada kalender dengan salah satu tanggal yang telingkari oleh coretan spidol merah. Itu tanggal ulang tahun Yeda—pasti Yeda sendiri yang melingkarinya. Sekian tahun berlalu dan cowok itu masih tak menyerah mendekati Terry, berharap mereka bisa saling memperlakukan satu sama lain seperti kakak-adik pada umumnya. Sayangnya, Terry tetap bersikeras menolak.

Bukan, bukan karena dia membenci seorang Segara Yeda Senandika.

Mereka berbagi ikatan darah—juga wajah yang mirip, layaknya kebanyakan saudara. Siapapun yang melihat keduanya pasti akan tahu jika Yeda adalah adik Terry dan Terry adalah kakak Yeda. Well, tapi hanya sampai di sana kesamaan mereka.

Atau Terry berharap hanya sampai di sana kesamaan mereka.

Tidak sepertinya, Yeda adalah pribadi yang penuh energi positif. Kehadirannya selalu bisa membuat siapapun merasa nyaman, merasa senang. Dia mudah berteman dengan siapa saja, suka membantu mereka yang memang membutuhkan pertolongannya. Dia hanya perlu beberapa jam dan bahkan seorang Jevais Nareshwara mempercayainya. Sedangkan Terry?

Terry jelas berbeda.

Dia lebih suka menyendiri. Dia tidak punya rekan dekat, paling hanya Aria—yang lantas meninggalkannya untuk bersama temannya yang lain. Atau Om Adjie—yang sekarang sudah tidak mungkin bisa menemaninya, sekeras apa pun dia meminta. Jika dipikir lagi, alasan kenapa Terry masih berada di dunia ini sederhana: hanya karena sebuah janji.

Sebuah janji yang sempat terlupa, sampai suatu malam yang emosional, di depan pil-pil yang berceceran di lantai, Yeda berteriak frustrasi di depan wajahnya, mengingatkannya pada janji yang belum dia tepati.

Sebuah janji.

Janji pada dirinya sendiri. Janji pada Om Adjie. Dan janji pada Jevais Nareshwara.

Hari ini, seusai jam belajar, seharusnya mereka berkumpul di Markas untuk berdiskusi soal penampilan pada Pensi sekolah yang akan datang—termasuk di dalamnya lagu apa yang akan mereka bawakan, konsep macam apa yang bakal mereka gunakan, kostum hingga cara ketiganya membawa diri agar mampu menghipnotis penonton. Tapi Nana menghilang, walau tasnya tertinggal di salah satu bangku Markas. Terry mencoba menghubunginya. Masih tidak ada jawaban. Namun dia mengerti, betul-betul bukan Nana untuk ingkar janji, apalagi meninggalkan tas sekolahnya begitu saja. Ekspresi wajah Injun penuh tanya, sedangkan Jeno jelas memendam kekesalan yang tidak terhingga kala Terry membubarkan pertemuan mereka, mengatakan mereka akan berdiskusi di lain hari.

Jelas, jarang sekali bisa melihat seorang Jeno merasa kesal, tetapi tampaknya, Jeno memang sekesal itu hingga dia memaksa Terry bicara berdua saja setelah Injun meninggalkan ruangan bersama tas Nana.

"Kenapa bapak ngenalin Nana sama Mama saya?!"

Terry mengangkat alis. "Emang nggak boleh?"

Jeno tidak menjawab, malah cemberut. Terry memiringkan wajah, mengamati wajah Jeno sejenak sebelum tawanya pecah—yang bikin bibir Jeno lebih maju lima sentimeter. "Kamu cemburu?"

"Nggak gitu!"

"Kamu cemburu."

"Nggak!"

"Memang, meski kelihatannya yang paling lugu diantara kalian bertiga, kamu tetap seorang sontoloyo sejati." Terry menahan senyum. "Jangan cemburu gitu. Nana udah mau membantu kamu, walau dia sempat ragu tampil karena nggak mau bikin orang-orang yang dia sayang sedih. Lagipula, berbagi sedikit nggak apa-apa, kan? Selama ini, dia nggak pernah tahu gimana rasanya punya ibu."

Selama ini, dia nggak pernah tahu gimana rasanya punya ibu.

Sebuah kalimat yang punya kemampuan magis laksana portal waktu, mampu melempar Terry kembali ke masa lalu, pada suatu hari di mana dia duduk bersebelahan dengan Om Adjie, menatap pada sesosok anak kecil yang sedang bermain. Tidak seperti anak-anak lainnya yang datang bermain di sana bersama ibunya, anak kecil itu diawasi oleh sesosok laki-laki muda. Siapapun akan tahu lelaki muda itu adalah ayah si anak kecil, sebab kemiripan wajah mereka sudah terlihat jelas.

"Namanya Jevais Nareshwara."

"Aku tau. Om Adjie udah sering menyebut namanya setiap kita ke sini."

"Nama yang—"

"—bagus kan?" Terry menyelesaikan ucapan Om Adjie, membuat lelaki itu menoleh padanya. "Om Adjie pasti mau bilang gitu."

"Iya."

"Dia hanya anak kecil biasa."

"Anak kecil yang lebih malang dari kebanyakan anak kecil." Om Adjie tersenyum, tapi ada kegetiran membayang di matanya. "Tertius Senandika,"

Terry mengernyit, sebab tidak biasanya Om Adjie memanggil nama lengkapnya. "... ya?"

"Seandainya suatu hari Om Adjie udah nggak bisa lagi memperhatikan dia... boleh om minta tolong sesuatu sama kamu?"

"Minta tolong apa?"

"Tolong pastikan Jevais baik-baik saja."

"Kenapa Om Adjie sepeduli itu sama dia?"

Om Adjie berdecak, menatap ke kejauhan, tertawa saat anak kecil yang dia perhatikan tersandung, kemudian jatuh di rerumputan. "Sebab selama ini, dia nggak pernah tahu gimana rasanya punya ibu."

Ekspresi wajah Om Adjie hari itu membuat Terry mengerti bahwa cinta adalah sesuatu yang tanpa tepi. Bisa diberikan oleh siapa saja kepada siapa saja. Tanpa syarat. Setulusnya. Bahkan dari seorang pria yang terpenjara dalam sepi pada anak kecil tanpa ibu yang tak mengenalnya sama sekali.

Terry berdeham, melegakan tenggorokannya yang serasa tiba-tiba tersumbat oleh gumpalan pahit tak kasat mata, lantas meraih ponsel dan mengetikkan sebaris pesan pendek untuk Yeda.

Wir wünschen dir einen wunderschönen tag. (selamat ulang tahun, semoga harimu indah).

Sebelum keraguan mengubah niatnya, Terry mengirim pesan itu. Tidak langsung terbuka. Tidak apa-apa. Terry meletakkan ponselnya kembali ke atas kasur, beralih menarik laci nakas di sisi tempat tidur, mengeluarkan sebuah bloknot lama yang diberikan Om Adjie padanya bertahun-tahun lalu. Tidak banyak yang tertulis dalam bloknot itu. Hanya lagu terakhir Om Adjie yang belum sempat lelaki itu selesaikan. Terry membuka lembar-lembarnya, berhenti pada salah satu halaman dengan tulisan dalam huruf kapital yang terbaca: DREAM LAUNCH. Hanya ada dua baris lirik yang telah Om Adjie tulis.

We don't have the courage.

The words we couldn't speak, the words we couldn't deliver.

Diikuti sebuah tulisan lain di bawahnya:

Dear, Dream.

*

Terry mengatur ulang jadwal mereka untuk diskusi ke akhir minggu, sengaja mengajak mereka ketemuan di mal dengan alasan sekalian berbelanja pakaian baru untuk kostum panggung mereka kala Pensi nanti. Jeno masih kesal gara-gara Nana menghilang mendadak berhari-hari lalu—dari laporan Injun, Terry tahu Jeno menolak bicara dengan Nana. Entah disengaja atau tidak, cowok itu bahkan salah memberi Nana wadah minumannya yang berisi susu—dan tidak terlihat, karena wadah tersebut memiliki warna. Untung, Injun bisa mengamankan wadah minum itu sebelum Nana sempat menenggak isinya. Ada alasan tersendiri kenapa Nana tidak bisa minum susu sapi. Cowok itu punya alergi sejak lahir, sehingga jika dia sampai meminum susu, bukan hanya pencernaannya yang akan bermasalah, tapi juga bisa muncul ruam merah di kulitnya atau sesak akibat penyempitan saluran napas.

Nana dan Injun datang lebih dulu dan bersama-sama di titik kumpul mereka—lobi mal, tidak jauh dari coffee shop yang berada di sana. Terry menelepon Jeno setelah cowok itu tak kunjung muncul dalam dua puluh menit berikutnya dan Jeno menjawab, mengatakan Bongshik lagi manja, jadi dia butuh waktu lebih untuk berpamitan. Terry berdecak, menyuruh Jeno agar secepatnya tiba—diiringi cercaan 'sudah sontoloyo, budak kocheng pula'—lalu usai telepon diputus, dia membebaskan Nana dan Injun untuk berkeliling asal tidak terlalu jauh.

Nana dan Injun sih senang-senang saja. Mereka berjalan menyusuri mal tak tentu arah, sampai perhatian Injun disita oleh totebag bergambar Moomin yang dipajang di salah satu toko aksesoris dan pernak-pernik keperempuanan. Tanpa malu, dia mengajak Nana masuk ke sana, yang Nana setujui. Soalnya diam-diam Nana berpikir, siapa tahu dia bisa menemukan jepit unyu-unyu yang lagi trend buat Kasa.

Nana mengelilingi rak demi rak sendiri kala Injun sibuk dengan benda-benda berbau Moomin yang ada di toko itu. Langkahnya terhenti tiba-tiba saat dia melihat kilau dari sebuah gelang yang ditimpa cahaya lampu. Gelang itu jelas didesain untuk perempuan setengah baya, terlihat dari pilihan warna dan liukan bentuknya yang agak tebal. Nana tersenyum sendiri ketika dia berpikir gelang itu pasti bakal sangat cocok untuk Mama Jeno. Tangannya terulur, berniat menyentuh salah satu gelang, bertepatan dengan tangan lain yang juga bermaksud meraih gelang yang sama.

Refleks, Nana menoleh, mendapati seorang wanita setengah baya berambut sebahu yang balik memandangnya dengan nanar, seakan-akan dia baru melihat hantu bangkit dari kubur.

"... kamu..."

Nana mengerjap, memiringkan wajahnya dan kelihatan bingung. Perempuan itu cantik. Bahkan usia tidak bisa menyembunyikan jejak pesona masa muda yang masih tersisa di wajahnya. Dia mengenakan setelan berwarna pastel yang membuatnya terkesan lembut. Sesuatu dalam auranya mengingatkan Nana pada Mama Jeno. Kelembutan dan kesan keibuan mereka mirip.

"Ah, maaf."

Perempuan itu tidak menjawab, malah memandang Nana lebih lekat. Nana heran, namun tidak tahu harus berbuat apa. Dia tetap berdiri di sana hingga suara Injun terdengar memanggilnya.

"Na, Jeno udah nyampe. Komandan Toil barusan nge-chat di grup!"

Bukan hanya Nana, tapi perempuan itu juga ikut tersentak. "Ah ya. Ayo!"

Nana mengiakan kata-kata Injun, mengikuti temannya keluar dari toko aksesoris menuju titik kumpul tanpa sadar, perempuan itu terus menatap punggungnya. Kemudian bukan hanya sampai di sana, dalam resah yang kentara melingkupinya, perempuan itu ikut berjalan keluar dari toko aksesoris, lalu mematung tidak jauh dari muka pintu. Dari tempatnya berada, dia bisa melihat Nana dan Injun bergabung dengan Terry dan Jeno yang sudah menunggu.

Semesta memang seringkali tidak terduga. Pada satu momen, tiba-tiba saja, Terry memandang ke arahnya. Tidak lama, hanya kontak mata dari jarak super jauh yang berlangsung kurang dari dua detik. Tetapi kelihatannya, itu sudah cukup bagi Terry. Tanpa mengatakan apa-apa, senyum samar lelaki itu tertarik.

Well, Jevais, kelihatannya takdir memang suka bermain-main dengan kamu. 





bersambung ke fifteenth note 

***

Catatan dari Renita: 

halo semuanya. jadi keliatannya, ini adalah update pertama setelah lebaran ya haha mohon maap lama, soalnya kemaren sibuk dengan urusan ini dan itu, terus baru balik ke rumah juga. makasih buat yang udah setia menunggu, yang udah rajin share segala sesuatu tentang dream launch project, yang udah rajin komentar dan vote (terutama komentar yang bikin gue ngakak sekaligus semangat wkwkw) 

jadi, sepertinya gue sudah pernah bilang bahwa di cerita ini, silakan tertawa selama kalian masih bisa tertawa wkwkwk karena nggak seperti guardiationship yang di depan langsung dikasih konflik... di cerita ini... ga gitu wkwkwkwkwkkwk 

yah, intinya kita lihat nanti lah ya. 

mari berdoa aja semoga injun selamat sentosa dan tidak terjebak diantara dua dedek lala dan adin wkwkwk 

yak, kayaknya udah itu aja dulu. 

makasih buat semua yang rajin meninggalkan jejak dan menyemangati gue, baik di wattpad maupun di instagram. 

sampai ketemu lagi di chapter berikutnya. 

ciao. 

Bandar Lampung, June 10th 2019 

19.00

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top