first note

But it felt that it was my heart which was broken.

Something had broken in me to make me

so cold and so perfectly still and far away.

—James Baldwin—

*

Bisakah seseorang terbiasa dengan sepi?

Jika pertanyaan itu ditujukan pada seorang Tertius Senandika, tentu respon pertamanya adalah tawa. Dia bukan hanya terbiasa, namun telah lama berkarib dengan sepi. Kosong adalah apa yang lumrah menghiasi hari-harinya, meski kerapkali, di keheningan pukul tiga pagi dalam studionya yang disesaki oleh benda mati, Terry bertanya-tanya seperti apa rasanya hidup layaknya kebanyakan orang yang tidur di malam hari, bukannya berkutat dengan pulpen dan tuts piano hingga bikin pegal jari.

Sekarang pukul tujuh-empat-lima malam. Langit Jakarta masih terlihat sama ditatap dari balik salah satu sisi apartemennya yang terbuat dari kaca. Sakit, kotor, sekarat oleh akumulasi polusi harian. Jangankan sorot cahaya bulan, bahkan untuk menampilkan kerlipnya saja gemintang enggan. Kelam nan kelabu, membuatnya disengat gundah yang mengganggu.

Terry memilih mendekati pianonya yang langsung menghadap ke kaca, sadar jika telah ada lapisan debu tipis di bagian penutup tuts hitam-putihnya. Wajar, dia jarang bermain piano akhir-akhir ini, juga hampir lupa jalan menuju studio musik yang tak alpa dikunjunginya saban hari. Bukan berarti dia lelah bermusik. Serupa darah dalam tubuhnya, musik adalah alasan kenapa jantungnya masih bekerja. Tapi keinginan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Musik selalu jadi satu-satunya jawaban untuk segala pertanyaan terkait impian, namun kini, musik turut menjelma jadi sesuatu yang membunuhnya secara perlahan.

https://youtu.be/VaRsK-n1_xw

Ting...

Terry menekan satu tuts, membiarkan suaranya bergema memenuhi seisi apartemen yang senyap-hampa. Bunyi itu seolah-olah teresonansi ke dalam benaknya, mencipta kenang yang menyerbu tanpa permisi seperti banjir bandang. Nama-nama mereka berputar dalam otaknya, tidak mau berhenti, seperti teriakan yang digencarkan oleh kekosongan.

Jevais Nareshwara...

Siapa sebenarnya dia? Terry tidak pernah tahu, juga tidak pernah tertarik. Seharusnya tetap seperti ini, hingga sikap yang adik laki-lakinya tunjukkan pada anak itu membikinnya penasaran. Sampai suatu hari, di tengah perdebatan mereka yang tak diherankan selalu terjadi karena mereka tidak pernah bisa rukun setiap kali ditempatkan dalam ruangan yang sama pada radius kurang dari seratus meter, Yeda membawa nama Jevais Nareshwara dan dengan tololnya, Terry tersulut, terseret untuk membuat perjanjian yang tidak dia sangka, akan agak dia sesali.

Yah, agak.

Lalu, nama lainnya muncul; Artajuna Purnasaman.

Mayoritas mereka yang mengenalnya akan menggambarkannya sebagai sahabat dekat Nana, yang setia menemani cowok itu kemanapun dia pergi, yang tampaknya sama nakalnya dengan Nana. Tetapi, Terry berhasil melihat lebih dari itu. Entah murni ketidaksengajaan, atau memang semesta sengaja mengaturnya untuk menyaksikan semuanya. Injun dan mulutnya yang licin perkara mengatai orang memang menyebalkan, namun sisi rapuhnya yang tampak ketika dia duduk sendirian di halaman parkir sebuah toko mainan kecil sembari menggambar mengusik Terry, mencipta rasa tidak nyaman yang ogah pergi.

Dimulai oleh Jevais Nareshwara, awalnya.

Berubah pikiran sebab Artajuna Purnasaman, akhirnya.

Injun mengingatkan Terry pada ungkapan yang mengatakan jika orang tua membunuh lebih banyak impian daripada siapapun. Injun bisa menjadi apa saja, siapa saja di masa depan. Pelukis, seniman, penyanyi... siapa yang tahu? Ada cahaya dalam dirinya. Terang, mulanya. Tapi kini, kian muram menuju padam.

And it makes me want to save him so bad, that I wouldn't mind to burn myself out, Terry berpikir.

Lelaki itu menarik napas, menekan satu tuts lain. Suara denting khas yang dihasilkan piano menyapa telinganya, diikuti oleh denging yang mendadak muncul. Terry merutuk dalam hati, berhenti memijakkan kaki pada salah satu pedal piano. Denting piano itu lenyap, tapi denging di telinganya tetap tidak mau pergi. Terus terdengar, tak berhenti, sampai pintu apartemen dikuak tanpa diketik tidak lama kemudian.

"What a cry baby." Yeda berkomentar sesaat setelah dia masuk dan membuka jaket yang lantas dia gantungkan di gantungan dekat pintu. Cowok itu berjalan menuju kulkas, mengeluarkan sekaleng soda, membukanya dengan mudah sebelum menenggak isinya. Mata Yeda diam-diam menelusuri seisi ruang tengah apartemen kakaknya. Cukup rapi, selain meja depan sofa yang dipenuhi oleh sekotak piza, beberapa batang rokok dan botol-botol kosong Guinness. Sebatang rokok yang tergeletak di tepi asbak masih menyala. Yeda mengeluh pelan, melangkah mendekati meja dan mematikan ujung api rokok dengan sekali tekan pada asbak.

"Lo tahu, pemandangan kayak gini tuh bukan sesuatu yang patut ditunjukkan kakak manapun pada adiknya."

Terry tidak merasa perlu menoleh, tetap memunggungi Yeda sambil duduk diam menghadapi pianony. "Gue nggak pernah menjadi kakak buat lo dan lo juga nggak pernah menjadi adik buat gue."

"Oh?"

"Kita hanya berbagi nama belakang. Itu aja." Terry menyahut dingin dan meneruskan. "This kid, Jevais Nareshwara... juga temannya itu. Lo kenal mereka di mana?"

"Tertarik?"

"Jawab pertanyaan gue, Segara Yeda Senandika."

"Katanya bakal cuma bertahan seminggu di sekolah bobrok itu?"

"Oke, kalau lo nggak mau ngasih tahu, gue cukup nge-hire detektif khusus buat cari tahu sendiri."

"Jawab dulu, kenapa lo tiba-tiba tertarik?"

"Mereka... mengingatkan gue sama diri gue sendiri... yang dulu."

"Really?"

Terry menekan tuts pianonya sembarangan, menghasilkan komposisi nada yang tanpa struktur walau herannya, tetap terdengar indah. "Sedikit."

"Gue ketemu Jevais di warung kopi."

Terry tertawa kecil, terdengar sarkastik. "Lo pernah bilang, seandainya semua peristiwa brengsek itu nggak terjadi, dia bisa aja jadi anak Om Adjie. Tapi dibayangkan kayak gimanapun, sepertinya mustahil anak Om Adjie punya hobi nongkrong di warung kopi."

"Terserah lo. Ah ya, mau ngasih tahu, gue balik ke Düsseldorf besok."

"Udah tau."

Yeda tersenyum pahit. "Lain kali, jangan biarin rokok yang masih menyala di atas asbak. Bisa kebakaran."

"Hn."

"Masih ada dua slice piza di kotak."

"Buat lo." Terry menjawab sekenanya.

"Sengaja menyisakan buat gue?"

Terry mengedikkan bahu, berusaha terkesan tidak peduli. "Mungkin."

"Kepingin terharu, tapi kayaknya nggak bisa." Kata-kata Yeda bikin Terry menoleh sedikit, dengan salah satu alis terangkat. "Gue alergi keju. Lupa?"

Terry terdiam, tidak tahu harus menjawab apa selain diam-diam mengutuki dirinya sendiri dalam hati. Inilah sebab kenapa dia memilih bersikap tidak pedulian pada orang-orang yang sebetulnya dia pedulikan. Dia tidak pernah bisa melakukannya dengan baik.

"Well, I think its true. Kata-kata lo tadi. Gue nggak pernah menjadi adik seperti yang seharusnya buat lo, sama seperti lo nggak pernah menjadi kakak seperti yang seharusnya buat gue. But it's okay, though. We're so used to being like this, aren't we?" Terry bermaksud menyahut, tapi Yeda sudah lebih dulu memotong ucapannya. "Anyway, tentang Jevais, nggak peduli seaneh apa pun hubungan gue dan dia, buat gue, dia tetap teman gue. Jadi jangan hancurin hidup dia."

"Yeda,"

"Cukup kita aja yang hancur."

"Terserah."

"Schöne träume, bruder." Yeda mengakhiri ucapannya dengan suara pintu kamar yang ditutup, meninggalkan Terry sekali lagi dalam kesendirian.

Dan denging di telinganya masih tidak mau pergi.

*

Hari ini, untuk pertama kalinya sejak pindah sekolah, Jeno diberi uang jajan oleh Mama, bukannya bekal seperti biasa. Bukan apa-apa sih, pagi ini Mama bangun kesiangan karena jam bekernya habis batre, jadi beliau tidak sempat membuatkan Jeno bekal makan siang. Jeno senang-senang saja. Akhirnya dia punya kesempatan ngebakso di kantin seperti anak-anak lain. Walau begitu, Jeno menekankan dalam hati—juga berjanji pada Bongshik—untuk menghindari Injun dan Nana. Mereka tergolong ke dalam anak-anak berandal berpenampilan serampangan dengan potensi masa depan suram yang mesti Jeno hindari mati-matian. Bagaimanapun juga, Jeno itu anak satu-satunya. Mama hanya punya dia dan kalau dia sampai terbawa pergaulan yang salah terus jadi anak nakal, Mama pasti sedih. Lagipula, Bongshik pun sepertinya ogah punya budak yang hobi pamer dada dan selalu lupa pakai dasi.

Tapi yah, mencari teman ternyata sama sulitnya dengan menemukan tempat tinggal ayam merah besar dalam petualangan Dora The Explorer. Jeno berusaha menyapa beberapa siswa di sepanjang koridor, juga duduk di dekat sekelompok anak cowok berbaju rapi di kantin, namun mereka semua menanggapinya dengan kaku. Sebagian malah bisik-bisik, bilang kalau Jeno sepatutnya dijauhi gara-gara dia disinyalir berafiliasi dengan Nana dan Injun dari kelas XII IPS 1. Jeno sedih, tapi tidak menangis karena Bongshik juga anti punya budak yang cengeng.

Jadilah akhirnya dia duduk sendirian di sudut lain kantin, seraya menghindari kontak mati dari Injun dan Nana yang lagi sibuk memperdebatkan perbedaan rasa es teajus rasa gula batu dan es teajus rasa melati di bangku kantin yang tidak seberapa jauh.

Sayang, siang damainya tidak bertahan lama. Dari sisi lain kantin, sekelompok anak-anak jangkung berdandan tidak kalah serampangan dengan Injun dan Nana muncul. Jeno tidak kenal siapa mereka, namun salah satu diantaranya, dengan badan menjulang dan berat berlebihan yang bikin dia tampak seperti tong minyak berjalan mendekati Jeno tanpa berpikir dua kali.

"Oy, anak baru ya lo?"

"Iya. Kamu pasti anak lama ya?"

Tomi—Jeno memutuskan menamainya Tomi, kependekan dari tong minyak—mendengus, kemudian tertawa merendahkan. "Berarti lo nggak tahu ini meja gue?"

"Setahu saya sih ini meja kantin, tapi kalau kamu mau makan bakso bareng di sini, nggak apa-apa. Kebetulan saya juga nggak suka makan sendiri."

"Anak baru harus tahu gimana caranya menghormati anak lama."

"Maksudnya?"

"Beliin gue gorengan di warungnya Bi Yuyun."

"Boleh. Mana uangnya?"

"Pake uang lo dulu. Nanti gue ganti."

Jeno manggut-manggut. "Oke, tunggu di sini."

Cowok itu bergerak menuju warung salah satu penjual di kantin yang dimaksud oleh Tomi, tidak sadar jika tindakannya mencuri perhatian Nana dan Injun yang sekarang mengamatinya. Jeno kembali lagi ke meja tempat baksonya berada. Tomi masih di sana, dikelilingi oleh antek-anteknya.

"Nih, gorengannya."

"Kok cabe rawitnya yang warna hijau, sih?"

"Hah, emangnya harusnya warna apa?"

"Merah. Gue pantang makan cabe rawit hijau."

"Masa?" Jeno terhenyak.

"Oy!" Tomi belum sempat bicara lagi ketika tiba-tiba, Nana beranjak dari duduknya diikuti Injun. Siswa kantin yang mulanya sibuk ketawa-ketiwi sambil bergosip mendadak diam secara kompak. Mereka kini punya tontonan yang menarik. Lagian, nakal-nakal begitu, siapa juga yang bisa menyangkal pesona Nana jika sudah melangkah gagah dengan muka tegas sok galak yang tak dikondisikan. "Apa maksud lo begitu sama temen gue?"

"Kenapa?" Tomi malah tertantang. "Nggak suka?"

Nana mendesis geram, menoleh ke sembarang arah dan sempat membeku sejenak tatkala dia sadar Kasa sedang duduk di salah satu bangku kantin bersama dengan beberapa temannya. Nana tahu, Kasa paling tidak suka lihat orang berantem. Namun dia juga tahu, dia tidak bisa membiarkan Jeno si catman itu dibully dan dipermainkan.

"Iya, gue nggak suk—"

"Yaiyalah nggak suka. Kalau lo berdua saling suka, udah gonjang-ganjing ni sekolah dan lo berdua diseret ke mushola buat dirukyah." Injun nyeletuk.

"Siapa suruh lo ngomong?"

Nana jadi berang. "Siapa suruh lo sengak gitu sama temen gue?"

"Ini tuh kalian mau berantem apa gimana?" Jeno menyela.

"Iyalah, kalau udah kayak gini tuh biasanya endingnya tonjok-tonjokkan." Injun menimpali, berpaling pada Nana. "Tunggu bentar, brother."

"Tunggu buat ngap—" tanya Nana tidak terteruskan, malah berubah jadi kerutan dahi saat Injun mengeluarkan botol semprot berisi cairan pembersih kaca yang didapatnya entah dari mana. Tanpa mukadimah apa pun, cowok itu menyemprotkan isinya yang kebiruan ke depan muka Tomi serta centeng-centengnya, hingga ke baju seragam mereka. Tomi heran, namun rahangnya mengeras marah tidak lama kemudian.

"LO NGAPAIN?!"

"Silakan kalau mau berantem. Sudah gue sterilkan barusan."

"Hah?"

"Soalnya lo—" Injun menunjuk muka Tomi, juga para dayang-dayangnya. "—dan lo—dan lo—dan lo penuh dengan kuman mematikan. Gue nggak mau teman gue terinfeksi. Lihat nih di botolnya, cairan pembersih anti kuman, efektif untuk—"

Tomi mengepalkan tinju, berniat menjotos Injun namun tangan Nana cekatan menahan kepalan tangannya. Jeno tercengang, mulutnya terbuka lebar sebab dia merasa Nana kelihatan begitu keren, dengan dandanan serampakan, jidat yang terekspos jelas gara-gara rambutnya disisir sedimikian rupa layaknya vokalis band hits dengan poni comma yang amboy menawan dan satu tangan yang menahan kepalan tinju Tomi yang kini tampak kian geram.

"Kalau nggak mau bonyok, gue saranin lo cari meja lain dan berhenti gangguin temen gue."

"Yakin temenan sama anak kayak dia? Lo lihat seragamnya. Kaku banget kayak kanebo. Tingkahnya kikuk, aneh. Kuper." Tomi berujar dengan suara lirih penuh penekanan yang terkesan merendahkan. "Tapi yah, harusnya gue nggak heran sih ya. Cewek yang lo suka juga aneh. Autis nggak sih? Atau—"

Nana tidak merasa harus menunggu lebih lama, dia langsung melayangkan satu tinjuan ke rahang Tomi, diikuti oleh jerit tertahan anak-anak cewek yang ada di kantin.

Dalam waktu singkat, konfrontasi itu pun berubah jadi ajang adu jotos betulan. Anak-anak cowok yang lain sibuk jadi penonton merangkap tim hore, meneriakkan nama jagoan mereka masing-masing sekaligus memberi semangat. Anak-anak cewek tercengang, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kasa sendiri menolak melihat, tapi diam-diam tangannya terkepal dan wajahnya diwarnai oleh kekhawatiran. Injun masih tercengang, walau tetap siaga menyemprot isi botol cairan pembersih kaca di tangannya setiap kali dia melihat anak buah Tomi berniat mendekatinya. Jeno? Terkaget-kaget sampai terheran-heran sembari masih tetap memegang plastik es berisi beberapa potong gorengan yang tadi Tomi minta dia belikan.

Perkelahian antar siswa telah sering terjadi, terutama di kantin, sehingga bukannya melerai, tukang bakso, tukang batagor dan penjual di kantin lainnya malah mengamankan piring dan botol saos-kecap mereka, berusaha meminimalisir kemungkinan piring-piring dan botol itu jadi korban kebrutalan para remaja yang tengah emosi.

"Hei!"

Sejenak, pertarungan terjeda oleh seruan Pak Terry yang muncul dari ujung koridor sekolah. Serentak, Tomi, Nana, Injun, Jeno dan anak buah Tomi kompak menoleh. Hening menyergap, meski hanya sejenak, sampai Injun berinisiatif mencipta suara, yang sesungguhnya tak ada faedahnya.

"—yamko rambe yamkoooo! Aronawaaaaaa! Kombeeeee!"

Nana dan Tomi kompak mendengkus, lantas lanjut berebutan bikin lawan masing-masing babak-belur sebonyok-bonyoknya.

Pak Terry terkejut, tapi cepat beraksi. Gesit, dia mempercepat langkah menghampiri siswa-siswa yang sedang bertikai, berusaha memisahkan mereka. Sayang, bukannya berhasil membuat Nana dan Tomi sadar akan perilaku mereka yang sangat tidak berbudi pekerti dan mencoreng ke-tut wuri handayani-an sekolah, Pak Terry justru jadi korban sasaran gebuk nyasar. Satu tinjuan entah milik siapa mendarat di wajah lelaki itu, membuatnya terhuyung dan harus berpegangan pada pilar penyangga atap kantin selama beberapa saat. Tapi bagusnya, menyaksikan Pak Terry yang hampir semaput membuat Nana dan Tomi tersekat, lalu kompak melongo tidak percaya.

"Sori, Pak Toil—salahnya sih, bapak ada di lintasan tinju saya—"

Pak Terry mengatur napas dan memandang galak pada Nana, berusaha keras mengabaikan denyut sakit yang menjalari tulang rahangnya. "Kalian semua—termasuk kamu—Ezekiel—dan kamu, Injunie—ke ruangan saya. Sekarang."

*

Usai melewati persidangan selama dua jam lamanya oleh Pak Terry yang mengomel habis-habisan seraya mengompres rahangnya dengan es batu berbungkus sapu tangan, Tomi dan antek-anteknya dipersilakan keluar lebih dulu. Nana tidak terima, sebab menurutnya, semua kekacauan ini dimulai oleh Tomi, tapi satu delikan mata galak dari Pak Terry memaksa ketiga cowok itu tetap duduk diam berdempetan di sofa. Pak Kepala Sekolah dan beberapa guru lain sempat mengintip dari jendela, namun tidak bisa mengatakan apa-apa. Bagaimanapun juga, Pak Terry itu guru istimewa dan keberadaannya di sekolah mereka melalui cara yang sangat tidak biasa.

"Ezekiel Noelish Karsa." Pak Terry berujar sambil menatap Jeno setelah pintu ruangan ditutup dan mereka ditinggalkan hanya berempat saja di sana. "Biasa dipanggil apa? Iyel?"

Wajah Jeno memerah. "Jeno, Pak."

"Jeno?"

"Dulu saya cadel dan nama saya ribet, tapi nggak mau dipanggil 'iyel'. Akhirnya dipanggil 'jeno'." Jeno menjelaskan.

"Kamu anak pindahan?"

"Iya, Pak."

"Tapi kamu sudah berteman lama sama dua cecunguk ini?"

"Nggak, Pak. Kita bukan tem—hng—maksud saya, kita nggak seakrab itu." Jeno kontan meralat ucapannya dengan gugup kala Injun dan Nana kompak menoleh padanya dengan muka sewot berlagak terluka.

"Belum, bukan nggak." Nana meralat. "Nggak usah banyak cang-cing-cung-ceng-cong, Komandan. Langsung aja, apa maksud nih Komandan Toil menahan kita di sini?"

"Ini terkait dengan detensi yang mau saya berikan pada kalian, tapi berhubung kebeneran kalian udah ada di sini tanpa mesti saya panggil, jadi yaudah, sekarang aja." Pak Terry beranjak dari duduknya, meraih setumpuk berkas dalam wadah map bening di atas mejanya, kemudian mengambil beberapa lembar. "Saya tahu beberapa rahasia gelap yang kalian punya."

"Kalau gelap mah tinggal nyalain aja atuh, Pak, lampunya—"

"Artajuna Purnasaman, pernah diam-diam ngerokok di belakang sekolah sekitar dua minggu yang lalu."

Injun tersekat. "Anjay, bapak—tahu dariman—hng, maksudnya nggak! Itu bohong! Saya nggak pernah ngerokok!"

"Ada barang bukti berupa foto, kalau kamu masih mau ngelak."

"Itu tuh cuma nebak aja, Pak! Isinya tuh beneran tembakau atau daun singkong dikeringin!"

"Nggak usah ngeles ya kamu." Pak Terry menyipitkan matanya, lanjut pada lembaran baru. "Jevais Nareshwara, sekitar sepuluh hari yang lalu, ngumpet-ngumpet nonton video porno waktu nenek kamu lagi nggak ada di rumah."

"TUNGGU—PAK, SAYA BISA JELASIN—"

"Nggak usah ngeles. Saya juga punya bukti."

"Iya, tapi itu cuma sebatas—"

"Sebatas apa?"

Nana buang muka, menghindari tatapan Pak Terry. "—cuma riset."

"Rasat-riset, ndasmu. Kamu kira kamu lagi bikin penelitian apa? Ngaco." Pak Terry berdecak, berpaling pada Jeno yang kini memandangnya innocent. "Dan Jeno... um... saya nggak punya rahasia gelap tentang kamu, karena sepertinya kamu anak baik-baik. Tapi coba bayangkan, seperti apa perasaan Mama kamu kalau tahu kamu berantem di sekolah hari ini?"

"Saya kan nggak berantem, Pak! Yang berantem Nana!"

"Heh, gue berantem karena belain lo ya, Cing!"

"Cukup." Pak Terry menutup lembaran berkas di tangannya. "Untuk Injun dan Nana, coba bayangkan, gimana perasaan adik dan nenek kalian kalau tahu kalian melakukan tindakan tidak terpuji seperti merokok di belakang sekolah atau nyetel video terlarang ketika sendirian di rumah?"

"Udah, kita main cepet aja ini mah. Bapak mau apa dari kita?"

Senyum Pak Terry terkembang. "Kamu pintar dan cepat tanggap. Saya suka."

"Tapi saya nggak suka sama bapak."

Pak Terry mengabaikan balasan Injun. "Saya nggak akan minta kalian jadi siswa yang baik, rajin belajar, lulus Ujian Nasional dengan nilai tinggi dan pake seragam yang rapi, karena itu kayaknya mustahil, sama aja seperti Roro Jonggrang minta dibikinin seribu candi dalam satu malam sama Bandung Bondowoso. Satu syarat dari saya adalah, kalian tanda tangan surat perjanjian ini—sori, Jeno, saya tahu kamu anak baik-baik, jadi kamu nggak mesti tanda tangan juga."

"Surat apaan?"

"Surat ini." Pak Terry mengeluarkan dua lembar surat. "Kalian harus tanda tangan atau nenek dan adik kalian akan tahu gimana kelakuan kalian yang—begitulah."

Nana dan Injun berpandangan, lalu sepercik kepanikan muncul di mata mereka. Keduanya sudah dikenal sebagai anak-anak nakal yang kerap terlambat masuk kelas, hobi cabut dan tidak berprestasi dalam pelajaran. Semua orang sudah tahu itu, termasuk penampilan mereka yang berandalan. Tapi Injun tidak pernah sekalipun merokok, minum atau melakukan sesuatu yang kelewat batas. Soal penampilan dan kenakalan kecilnya, Alma memakluminya, dan menurutnya, penampilan juga kenakalan Injun bukan masalah besar yang patut dipermasalahkan. Hanya saja, jika Alma sampai tahu Injun coba-coba merokok... Injun tidak berani membayangkan seperti apa respon gadis itu. Alma benci asap rokok, juga tidak suka pada orang yang merokok. Soal Nana dan videonya lain lagi. Seharusnya wajar buat anak-anak seumur mereka untuk penasaran dan bereksperimen, tapi latar belakang ayah Nana yang hobi bergonta-ganti cewek sejak masih remaja... juga sikapnya... tentu, fakta soal Nana yang diam-diam menonton video terlarang itu bakal memicu reaksi yang luar biasa.

Keduanya... merasa tidak punya pilihan selain mengambil lembar surat yang diletakkan Pak Terry di atas meja, tepat di depan mereka.

SURAT PERNYATAAN

KESEDIAAN PENGABDIAN

No. 422/0718/SMAN21CK/D.Dik/2019

Bahwa saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama: Jevais Nareshwara

NISN: 00024319995

Kelas: XII IPS 1

Alamat: Jalan Angsa Nomor 84

Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.

Nama: Tertius Senandika

No. KTP: 01678764421199494

Alamat: Jl. KH Mas Mansyur Karet Tengsin

Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

Pihak Pertama setuju untuk mengabdi kepada Pihak Kedua selama satu bulan mulai dari tanggal surat ini ditanda-tangani dan dalam pelaksanaannya, Pihak Kedua sepakat untuk tidak membebankan tugas yang melanggar hukum dan kehormatan Pihak Pertama selama masa pengabdian dijalankan. Demikian surat ini dibuat tanpa paksaan, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.

"Tanpa paksaan." Nana menyindir.

"Loh, saya kan tidak memaksa, tapi memberi kalian pilihan. Kalian tanda tangan, atau adik dan nenek kalian bakal tahu soal rahasia gelap kalian. Simple, iya kan?"

"Apa yang dimaksud masa pengabdian?"

"Saya berhak menyuruh kalian untuk melakukan apa pun yang saya mau, dengan catatan itu tidak melanggar hukum dan kehormatan kalian." Pak Terry menjawab. "Tenang, saya juga nggak akan menyuruh kalian untuk jadi siswa yang baik, berseragam rapi, nggak pernah mabal, silakan. Saya nggak mau dituduh merampas kehormatan kalian. Tapi, untuk yang lainnya, kalian harus mendengarkan saya."

"Berarti kita cuma perlu melakukan apa yang bapak suruh dan bapak nggak akan nyuruh kita untuk berseragam rapi, rajin belajar dan semacamnya?"

"Tepat sekali."

"Saya curiga." Injun menyipitkan matanya. "Nanti tau-tau kita disuruh loncat dari pucuk Patung Pancoran, gimana?"

"Satu tambahan lagi, saya nggak akan nyuruh kalian bunuh diri, be it mau loncat dari Patung Pancoran atau menenggelamkan diri di Sungai Ciliwung."

"Terus ini maksudnya apa?"

"Cuma untuk memastikan... kalian bisa... terkontrol dalam beberapa hal."

"Firasat gue nggak enak."

"Tapi kita nggak punya pilihan lain." Injun meraih pulpen. "Pokoknya adik saya nggak boleh tahu kalau saya coba-coba merokok. Kalau sampai tahu, bapak bakal tanggung akibatnya!"

"Jun, nggak gini juga—"

"Lo mau nenek lo atau Kasa tau kalau lo diam-diam ngebokep? Lagian nggak ahli amat sih, ngebokep tuh kudu pake siasat dan taktik biar nggak ketauan!"

Nana mengkeret, menoleh pada Pak Terry. "Kalau saya minta didampingi pengacara selama tanda tangan ini, bisa nggak? Kita semua masih SMA, nggak ngerti hukum dan nggak paham surat perjanjian kayak gini boleh atau nggak."

"Kamu mampu bayar pengacara nggak?"

Nana meringis, menggaruk lehernya yang tidak gatal.

"Nggak, kan? Tanda tangan aja udah."

Berat hati, Nana meraih pulpen dan Pak Terry langsung tersenyum lebar tatkala kedua surat sudah ditanda-tangani. Dalam hati, laki-laki itu tertawa jahat. Ada bagusnya dia berurusan dengan anak-anak SMA yang clueless dan hanya tahu masalah ngopi-ngopi di Warmil milik Bang Horas. Mereka bahkan tidak paham apa maksud surat itu dan fakta tentang kekuatan hukum yang sebenarnya tidak surat itu miliki.

Tapi yah, sedikit kebohongan tidak akan melukai siapapun.

"Sekarang, kalian boleh keluar. Memar kamu harus dikompres, Nana."

"Nggak usah sok peduli." Nana berdecak dan bangkit dari kursi, memimpin jalan keluar diikuti oleh Jeno dan Injun. Tapi wajah kesalnya tidak bertahan lama, sebab ternyata Kasa sudah menunggu kedatangannya.

"Nana..." Kasa memanggil, menatap cemas pada memar di wajah Nana. "... sakit?"

"Aku nggak apa-apa, Kasa."

"Tapi memarnya... kelihatan parah."

Nana tertawa, walau kemudian meringis karena itu bikin sakit wajahnya yang dihiasi memar. "Aku nggak apa-apa. Ini bakal sembuh nanti. Kamu ngapain ke sini?"

"Aku mau bilang... buat besok..." Kasa kelihatan ragu, membuat Nana memandangnya lembut seraya berusaha keras untuk tidak menyentuh bahu gadis di depannya.

"Em-hm? Ngomong aja, Kasa."

"Besok, kamu nggak perlu kasih aku mawar."

"... Kasa, aku tahu kamu nggak suka—"

"Aku mau ngambek sama kamu. Besok."

"Kasa,"

"Aku nggak suka lihat kamu berantem."

Nana diam, tidak mampu berkata-kata saat Kasa memandangnya sebelum bicara lagi. "Jangan lupa obatin luka kamu. Maaf, Nana, tapi kalau nggak gini, aku takut nanti kamu berantem lagi."

Lantas hanya begitu saja, Kasa berbalik, melangkah menjauhi Nana yang meremas rambut disusul mengepalkan tangan, mati-matian menahan diri agar tidak meninju tembok bangunan sekolah di dekatnya. Jeno dan Injun berpandangan, kelihatan prihatin namun tidak mengatakan apa-apa. Jam istirahat sudah selesai beberapa lama, tetapi ketiganya sepakat bahwa mereka terlalu syok dan bete untuk kembali ke kelas. Jadi mereka memilih duduk di bawah pohon yang berada tidak jauh dari muka pintu ruangan Pak Terry. Mereka tidak mengobrol, sebab kentara sekali, Nana terlalu emosi untuk bicara.

Jeno diam beberapa lama, mengamati Nana, hingga akhirnya sesuatu terlintas di benaknya. Cowok itu merogoh saku celana panjangnya, menemukan satu strip Hansaplast dari dalam sana. Kemasan luarnya telah kisut sebab tidak pernah dikeluarkan saat celananya dicuci, tapi kondisi pembalut luka di dalamnya cukup baik dan masih bisa digunakan. Jeno menyobek tepinya, pelan-pelan menempelkannya pada luka lecet bekas cakaran Tomi di punggung tangan Nana. Nana tersentak, tak mengatakan apa-apa dan membiarkan Jeno meniup permukaan Hansaplast yang sekarang menempel di punggung tangannya tiga kali.

"Ngapain lo?" Injun akhirnya bertanya.

"Nempelin plester luka."

"Harus banget ditiup?"

"Kata Mama, kalau ditiup tiga kali, lukanya bisa lebih cepat sembuh." Jeno membalas, sejenak ragu tapi akhirnya menyambung. "Buat yang tadi di kantin... Nana... makasih ya."

"Nggak apa-apa." Nana menyahut sekenanya tanpa memandang Jeno.

"Bete ya? Nih kalau bete." Injun merogoh sakunya, mengeluarkan bola golf yang sudah dekil. "Biasanya kalau lagi bete, gue suka lempar bola golf ini sembarangan. Tapi jangan jauh-jauh ya, hehe. Nanti susah dicari."

"Gue nggak bete. Gue sedih." Nana berkilah. "Kasa... mau ngambek ama gue. Besok."

"Elah, bucin banget."

"... kalau bola golfnya kena orang gimana?"

"Paling benjol." Injun membalas ringan. "Mau coba lempar? Terlalu lempeng juga nggak bagus tau. Dipikir-pikir, sejak awal ketemu lo, gue belum pernah lihat lo nunjukkin emosi."

"... boleh?"

"Nih."

Jeno sempat bimbang, namun akhirnya dia menerima bola golf yang disodorkan Injun. "Lempar ke mana?"

"Ke mana aja, tapi jangan jauh-jauh, biar gampang diambilnya."

"Oke." Jeno mengangguk, lalu melempar bola golf itu, tanpa mengontrol kekuatan lemparannya. Alhasil, bukannya berakhir di rerumputan atau membentur tembok, bola itu malah menghantam kaca ruangan Pak Terry sampai pecah berkeping-keping.

Jeno, Injun dan Nana berpandangan, clueless selama sepersekian detik sampai pintu ruangan Pak Terry menjeblak terbuka, menampilkan sosok Pak Terry yang melotot emosi. Tangan kanannya memegang bola golf dan tangan kirinya memegang bagian kepalanya. Sepertinya, tanpa sengaja bola golf yang Jeno lemparkan berakhir mengenai kepala Pak Terry.

"BOCAH SONTOLOYO MANA YANG NGELEMPAR INI!?"

Injun dan Nana kompak menunjuk Jeno, yang kebalikannya, justru memasang ekspresi cengo.

"Ezekiel Noelish Karsa, lima puluh poin!"

"..."

"KAMU HARUS TANDA TANGAN SURAT PENGABDIAN YANG SAMA JUGA!!!"

"..."

Sontak, tawa Injun dan Nana pecah tanpa bisa dikendalikan.






bersambung ke second note 

***

Catatan dari Renita: 

tadinya bimbang, arkais dulu apa DLP dulu, tapi karena ternyata komentar di chapter sebelumnya banyakan DLP, jadi DLP dulu lah ya hahaha. 

komentar yang ditinggalkan oleh kalian masih berpengaruh untuk menentukan mana cerita yang duluan dilanjut dan mana yang nggak wkwkwk 

anyway, halo, kita ketemu lagi di cerita ini. buat yang bertanya-tanya apakah pak terry sudah tau siapa injun dan nana sebelum dia ke sekolah, dia emang udah tau wkwk yang nggak terduga itu jeno, karena dia murid baru. nanti kita akan lihat lah ya. cerita ini simpel kok, nggak banyak teori yang aneh-aneh ea wkwkwk 

sebenernya gue agak hesitant ngeposting jam segini karena kalian lagi pada musim ujian, entah ada yang mau UTBK, UNBK dan segala macem ujian lainnya. semangat semuanya. semoga hasil ujiannya baik dan sesuai harapan. 

karena udah kemaleman juga, kayaknya cukup itu aja dari gue. semoga suka dengan chapter ini dan sampai ketemu di chapter berikutnya. 

ciao. 

Semarang, March 13th 2019 

20.27

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top