EXTRA: NANA
(baru ketemu kemaren tapi udah kangen bgt bgt. noona harus gimana TT.TT)
Tentang tangkai-tangkai gladiolus dalam vas di atas meja dan fakta bahwa seorang Jevais Nareshwara pun bisa merasa lelah...
Nana masih fokus pada layar komputernya yang menyala ketika suara pintu yang dikuak membuat perhatiannya terpecah. Sembari menahan dengus, dia menoleh hanya untuk mendapati Injun tengah berdiri di ambang pintu yang kini terbuka setengahnya. Wajah cowok itu dipenuhi titik-titik air, begitupun rambutnya yang agak basah. Dari sarung yang masih melingkari pinggangnya, Nana tahu Injun baru saja selesai melakukan ibadah subuh.
"Jangan bilang kalau lo belum tidur..."
"Gue janji buat ngasih demo untuk lagu ini minggu depan."
"Gue juga tahu." Injun menukas. "Tapi lo manusia, bukan robot. Lo butuh tidur."
"Iya, nanti."
"Nanti kapan? Jam dua belas tadi, gue cek lo bilangnya bentar lagi. Ini udah jam lima pagi, Na. Bentar laginya dari mana?"
"Tanggung." Nana mengabaikan kata-kata Injun, justru meraih pensil dan menulis sebaris-dua baris kalimat baru di lembaran bloknotnya.
"Kalau udah masuk rumah sakit karena drop, masih bisa bilang tanggung?"
"Jun—"
"Gue bilangin nyokap lo dan Kasa, mau?"
Nana berhenti menulis, cemberut. "Ngancemnya gitu terus. Nggak ada yang baru?"
"Ancaman yang mempan cuma itu. Emang ada yang baru?" Injun membalas pedas. "Taro pensilnya. Matiin komputernya. Solat dulu sana, abis itu tidur."
"Tapi—"
"Kalau lo sampai kena marah Pak Tendril, gue yang hadepin dia."
"Bukan gitu—"
"Terus apa?"
Nana menyerah, akhirnya menuruti keinginan Injun. Dia meletakkan pensilnya, menutup bloknotnya dan lanjut mematikan komputer. Injun sengaja menunggu sampai dia masuk ke kamar mandi sebelum kembali menutup pintu dan beralih mengetuk pintu kamar Jeno. Diantara mereka bertiga, Injun adalah yang paling teratur dan bisa bangun tanpa harus menunggu alarmnya berdering dua kali, berbeda dengan Jeno dan Nana yang jika tidur tidak jauh beda dari orang mati.
Selepas solat subuh, Nana hanya bisa tidur tidak lebih dari empat jam. Saat dia bangun, apartemennya sepi. Hanya ada dia seorang diri. Nana tidak kaget, sebab selain jadwal tampil band mereka dari beragam acara on-air dan off-air, mereka juga punya kegiatan masing-masing. Selama tiga bulan belakangan, Injun mengasuh program radio miliknya sendiri. Oleh karena itu, setiap tiga atau dua hari menjelang akhir pekan, Injun akan mendatangi kantor Frasa Entertainment dan meminta pendapat Tendril untuk pembahasan mingguan acara radionya. Jeno beda lagi. Akhir-akhir ini dia sering membuat video youtube, yang kebanyakan sih berkutat di daily vlog serta konten ASMR. Kayaknya hari ini, Jeno memang ada rencana membuat vlog. Entah bersama Giza, Alma atau cewek yang lain lagi, Nana nggak terlalu ngepoin masalah asmara Jeno yang menurutnya lebih rumit dari benang kusut.
Nana membasuh wajah, menyikat gigi dan lanjut mengoleskan roti dengan mentega dan menaburkan gula sebelum memasukkannya ke dalam toaster. Dia menyeduh kopi sembari menunggu roti panggangnya siap, lantas kembali ke kamarnya. Komputer kembali hidup. Nana lagi-lagi tenggelam dalam dunianya sendiri.
Dia baru menelan tiga teguk kopinya saat terdengar suara pintu depan diketuk. Nana mengangkat alis, beranjak sambil menerka siapa yang berkunjung sebab dia, Jeno dan Injun punya kunci masing-masing. Waktu pintu dibuka, yang menyambut Nana adalah seraut wajah tersenyum milik Kasa.
"Hai!"
Nana tercengang, butuh beberapa detik untuk memroses apa yang ada di depannya itu nyata sebelum kemudian tangannya bergerak menarik Kasa dalam pelukan erat. Kebiasaannya tidak pernah hilang; Nana selalu menunduk, mengubur hidungnya diantara rambut Kasa dan menghirup wangi gadis itu sepuas yang dia mau.
"Nana—orang mah kalau ada tamu tuh disuruh masuk dulu—"
"Kangen." Nana melepas dekapannya, tersenyum lebar pada Kasa lalu ganti meraih tangan cewek itu. "Kamu ke sini dari Bandung naik apa? Kok nggak bilang-bilang? Terus emang nggak kerja? Atau ada urusan ke Jakarta?"
"Satu-satu dong nanyanya." Kasa tertawa kecil.
"Abisnya kaget tiba-tiba kamu ada di sini, padahal kan udah aku bilang, habis aku ngumpulin demo, biarin aku aja yang ke Bandung."
"Aku ke sini naik kereta. Nggak bilang-bilang soalnya lagi pengen aja, lagian biar gantian, kamu juga suka nyamperin aku ke Bandung nggak bilang-bilang! Aku cuti dua hari."
"Loh, kenapa cuti?"
"Soalnya kangen ama kamu, emangnya cuma kamu aja yang boleh kangen?"
"Atuhlah sayang geh kalau cutinya dipake sekarang!"
"Emang kenapa?"
"Aku masih kudu nyelesein demo, janjinya kukasih minggu depan. Nggak ada waktu nemenin kamu jalan-jalan."
"Yaudah, aku jalan-jalan sama Juna atau sama Jeno aja."
"NGGAK BOLEH!"
"Kok gitu?" Kasa bertanya geli. "Mereka kan teman kamu."
"Bodo, aku orangnya cemburuan!" Nana tetap ngotot. "Kasa mau minum apa? Teh, kopi, susu, sirup, semua ada sok tinggal milih."
"Mau Nana."
"Loh, kan kamu udah punya aku."
"Kalau gitu, mau lihatin Nana aja." Kasa berujar. "Injun sama Jeno bilang, kamu lagi sibuk mau nyelesein demo. Aku nggak mau ganggu kamu. Kamu kerjain aja demonya. Nanti aku lihatin."
"Masa jauh-jauh dari Bandung cuma buat lihatin aku?"
"Nanti sekalian buat bikinin kamu mi instan."
Nana tertawa, tetapi dia tahu dia mesti lanjut meneruskan pekerjaannya. Waktu terus berjalan dan waktu pengumpulan yang dia janjikan telah semakin dekat. Tak berapa lama, Nana kembali duduk menghadapi komputernya, sementara Kasa menontonnya sambil rebahan di kasur. Awalnya, Kasa membuang waktu dengan membaca buku hingga dia ketiduran. Suatu waktu, Nana menoleh dan membuang napas tatkala menyadari bagaimana pacarnya sudah terlelap.
Dia beranjak dari kursinya, beralih mendekati kasur dan memperbaiki posisi tidur Kasa sebelum menyelimutinya agar tidak kedinginan terkena terpa udara sejuk air conditioner. Setelahnya, dia kembali bekerja. Berjam-jam terlewati. Nana tenggelam kian dalam di dunianya sendiri. Dia tidak menyadari berapa lama masa yang telah dilunaskan oleh hari saat Kasa terbangun.
"Sayang, udah bangun?"
Kasa menguap, lalu bertanya. "Kamu masih ngerjain demo kamu?"
Nana mengangguk tanpa menoleh.
"Udah lewat jam enam sore, loh."
"Oh ya?" Nana merespon tapi matanya tetap pada layar.
"Iya. Badan kamu nggak sakit gitu terus selama berjam-jam?"
"Udah biasa."
Kasa menghela napas, ingin bilang pada Nana jika itu tidak sehat tetapi akhirnya dia memilih bungkam. Gadis itu bergerak menuju luar kamar Nana. Bikin Nana bertanya walau cowok itu tidak sampai melihat padanya.
"Mau ke mana?"
"Bikin makan malam."
"Oh, oke."
Di luar, Kasa membuka totebag berukuran besar yang dia bawa, mengeluarkan sebuah kotak bersusun yang berisi masakan rumahan favorit Nana. Gadis itu memanaskannya sebentar di microwave sebelum menghidangkannya di piring. Kemudian dia ganti membuka kulkas untuk mengeluarkan kue tart mini dalam kardus kecil yang telah Jeno dan Injun siapkan, menancapkan sebatang lilin di atasnya dan meletakkannya bersama makanan di atas meja ruang tengah. Tidak hanya sampai di sana, Kasa juga mengeluarkan buket bunga gladiolus yang sengaja dia beli sebelum tiba di apartemen Nana, mengisi sebuah gelas ramping dan tinggi dengan air sebelum meletakkan bertangkai-tangkai bunga itu di sana.
Hari ini, Nana ulang tahun. Cowok itu tidak menyadarinya karena terlalu sibuk. Injun, Jeno, Nenek dan Mama Nana sepakat membiarkan Kasa jadi orang pertama yang memberi kejutan buat Nana. Baru esok hari, mereka akan makan siang bersama di restoran favorit yang sering didatangi Injun, Jeno dan Nana.
"Nana!"
"Iya?" Nana menjawab dari dalam kamar.
"Sini, makan dulu!" Kasa berseru sambil menyulut sumbu lilin dengan api dari korek.
"Iya, nanti."
"Nana!"
"Iya, Kasa. Nanti!"
"Nantinya kapan?"
"Bentar lagi, kalau ini udah selesai..."
"Pasti bakal lama. Ditinggalin dulu, nanti bisa dilanjutin."
"Kalau ditinggalin, nanti aku nggak fokus lagi!"
"Nana!" Kasa mulai gusar, bukan karena dia kesal, tapi karena dia takut lilinnya bakal meleleh jika Nana tidak kunjung keluar.
"Nanti, Kasa!"
"Sekarang aja, dong!"
Nada suara Nana meninggi sewaktu dia berseru lagi. "Kalau aku bilang nanti tuh nanti, Kasa! Kan dibilang, aku harus selesain ini secepatnya! Kamu tuh coba deh ngertiin aku sekali ini aja, bisa nggak? Lagian aku belum laper!"
Kasa terbungkam oleh kata-kata itu. Dia menelan saliva, lalu merunduk dan meniup mati lilin yang tertancap di atas kue ulang tahun Nana. Gadis itu beranjak dari sofa, menghampiri kamar Nana dan berhenti ambang pintunya. Dia tidak bilang apa-apa, hanya memandang nanar pada Nana yang duduk di belakang komputer, yang dengan sendirinya memicu cowok itu balik menatap Kasa.
"Apa?" Nana bertanya, nadanya menohok, seperti tengah menantang.
"Nggak bisa ditinggal sebentar aja?" Kasa bertolak pinggang.
"Nggak bisa."
"Yaudah!" Kasa tidak marah, hanya jengkel. Sebagai tipe orang yang mudah menangis saat emosinya memuncak, Kasa buru-buru berbalik, memilih melangkah keluar dari apartemen Nana sebelum isaknya pecah. Nana terperangah, tidak mengira Kasa akan bereaksi begitu. Selama ini, Kasa sangat sabar menghadapinya. Diantara semua orang terdekatnya, Kasa paling memahami kesibukannya.
Nana menelan ludah, membuat jakunnya naik-turun. Dia mencoba melanjutkan tugasnya, namun rasa bersalah telah terlanjur menyekapnya. Nana tidak bisa fokus sampai-sampai dia memutuskan beranjak dan keluar dari kamarnya, bermaksud menyusul Kasa ke luar. Tetapi, Nana justru dikejutkan oleh makanan, vas dan kue tart mini bertuliskan sebaris kalimat; happy birthday, Jevais Na.
Nana menggigit bibir seraya menatap pada meja ruang tengah, merutuki kebodohannya sendiri.
[selanjutnya ada di extras khusus untuk PO yah. jadi saat PO, email kalian akan didata dan extra akan segera dikirimkan serentak setelah semua buku PO sampai]
info po [instagram]:
(at)rennozaria
(at)bukune
(at)retrorias
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top