eleventh note

Because someone doesn't love you

the way you want them to,

doesn't mean they don't love you

with all they have.

—Unknown—

*

Nana sengaja tidak langsung pulang bersama Jeno dan Injun setelah urusan mereka bersih-bersih Markas selesai. Ada canggung yang tiba-tiba terasa diantara mereka setelah dia tetap ngotot menolak turut-serta dalam rencana membentuk band atau tampil di panggung Pensi. Nana ingin membantu Jeno, sungguh, tapi tidak dengan tampil bersama band. Bukan karena dia tidak percaya diri atau merasa ragu dengan kemampuannya sendiri.

Semua tentang musik, entah itu lirik yang dia buat, panggung, gitar bahkan piano mengingatkannya pada mendiang Ayah dan Nana tidak bisa melakukannya. Dia tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Nenek kalau beliau tahu. Juga Kasa, meski Kasa adalah penggemar permainan pianonya nomor satu. Nana masih ingat pesan yang berkali-kali dibisikkan padanya sejak masih kecil, membuat pesan itu tertancap lebih kuat daripada dongeng Kancil si Pencuri Timun atau raksasa hijau yang memburu Timun Emas dalam kepalanya.

Jangan jadi seperti Ayah.

Nana tidak mau jadi seperti Ayah.

Dia masih punya waktu setidaknya satu setengah jam sebelum dia mesti berada di Gerimis dan memainkan piano seperti biasa. Sudah beberapa hari ini Nana tidak muncul di sana—dan untungnya, Kasa mengerti, malah melarang Nana bermain piano jika itu hanya supaya Nana bisa membelikannya mawar. Tentu malam ini, dia harus datang ke sana sebelum mereka mencari pemain piano freelance yang baru. Tapi yah, rasanya tidak apa-apa jika Nana nongkrong sebentar di Warmil milik Bang Horas.

"Wah, saya nggak nyangka bakal ketemu salah satu Sontoloyo di sini!"

Nana langsung terbatuk, membuatnya tersedak seteguk kopi yang baru dia seruput. Cowok itu sontak menoleh ke sumber suara, mendapati Terry berdiri di sana dengan senyum lebar dan keterkejutan yang jelas dibikin-bikin. "Bapak ngapain di sini?!"

"Emang saya nggak boleh di sini?!" Terry malah membalas dengan nyolot.

"Nggak! Ini tuh bukan tempat ngopinya orang kaya!"

"Siapa juga yang mau ngopi?! Orang saya ke sini mau makan mendoan!" Terry berseru sembari matanya jelalatan menyapu ke segala arah seperti tengah mencari alasan, lantas dia mengambil tempat duduk tepat di sebelah Nana. Tangannya mencomot sepotong gorengan, menggigitnya banyak-banyak hanya untuk dibuat mengerutkan dahi tidak lama kemudian. "Tunggu... kenapa mendoannya... rasanya aneh gini..."

"Itu tuh bukan mendoan, ai sia, bapak!"

"Hah, bentuknya kayak mendoan!"

"Itu tuh oncom!"

"Oncom?"

"Bapak nggak tahu yang namanya oncom?"

Terry menggeleng. "Nggak. Tapi lumayan enak, jadi nggak apa-apa."

"Yaudah, makan aja. Habisin, terus cabut."

"Durhaka kamu kalau ngusir saya!"

"Saya nggak mau buang-buang waktu bapak, jadi langsung aja ke intinya ya. Pokoknya, mau bapak bikinin saya seribu candi pun, saya nggak akan tampil di Pensi bareng Injun dan Jeno!"

Terry terbatuk, buru-buru meraih gelas kopi Nana sebagai minuman terdekat. Keputusan yang salah. Pahit yang menjalari mulut Terry bikin batuknya kian heboh. Untung Bang Horas sigap mengisi sebuah gelas dengan air mineral dan memberikannya pada Terry.

"Makanya, Pak, baca bismillah dulu kalau mau minum, biar setannya nggak ngikut minum!"

"Kopi kamu ini ya, dijadiin sesajen ke genderuwo, genderuwonya lebih milih bilang dia lagi puasa daripada kudu minum tuh kopi!" Terry sewot. "Bukan minuman manusia. Parah. Orang sekarat kamu kasih itu, meninggal dua kali dia!"

"Pria punya selera, Pak."

"Pria berpisang muli?"

"Nggak usah songong bahas pisang di sini. Udah ada juara bertahannya."

"Siapa?"

"Bang Horas."

"Hah, dari mana kamu tahu?!"

"Dulu waktu saya latihan nonjok ama Bang Horas, saya nggak sengaja—oke, nggak usah diterusin. Bisa-bisa saya dicabik Bang Horas pake cidukan air panas nanti. Intinya, mau bapak nawarin saya setengah Indonesia kalau saya mau tampil bareng Jeno dan Injun, maaf-maaf, saya tetap nolak."

"Kalau saya kasih Kasalira, penghulu dan seperangkat alat shalat dibayar tunai gimana?"

Nana mengusap dagu, berlagak berpikir. "Nah, ini baru berat."

"Semprul!" Terry menggaplok kepala Nana dengan sepenuh perasaan. "Nilai-nilai masih kebakaran, anjlok kayak minyak Venezuela, kamu udah belagak mikirin penghulu, cewek dan mahar. Ngaco!"

"Bapak tuh sering banget loh gampar kepala saya! Kalau saya gegar otak gimana?!"

"Bagus, siapa tahu otak kamu bergeser ke tempat yang semestinya."

"Pak!"

"Tapi apanya yang mau kegeser ya kalau otaknya nggak ada?"

"IH POKOKNYA SAYA NGGAK MAU MANGGUNG AMA JENO DAN INJUN!"

"Kenapa?"

Nana terdiam seketika.

"Karena kamu nggak mau jadi seperti Ayah kamu?"

Nana menyipitkan matanya. "Bapak tuh kalau mau cari tahu soal saya, Injun dan Jeno ke dukun mana sih? Tokcer amat."

"Saya kasih tau juga kamu nggak akan mampu bayar."

"Astagfirullah, orang-orang kayak bapak nih tempatnya di neraka Jahannam."

"Sama kamu, kan? Nggak apa-apa. Sekalian nanti kita bakar jagung di sana." Terry menyahut enteng. "Dulu saya punya teman."

"Loh, bisa punya teman juga?!"

"Kamu mau dengerin cerita saya apa nggak?"

"Nggak."

"Saya bayarin kopi sama gorengan kamu."

"SIAP, NDAN! Waktu dan tempat bercerita dipersilakkan!"

Terry mendengus, namun lanjut bicara. "Saya pernah punya teman. Namanya Aria. Dia cewek dan saya suka sama dia. Lalu, ada teman saya yang satu lagi. Cowok. Kita bertiga bikin band. Namanya Limitless."

"Bapak pasti suka sama Aria tapi Aria malah suka sama teman bapak."

"KOK TAHU?!"

"Kelihatan. Bapak nih tipe yang malang dalam percintaan."

Tangan Terry melayang lagi, kali ini ke bahu Nana, membuat Nana mengerang sambil mengomel sebab dia salah terka. Dia kira, Terry bakal menggaplok kepalanya, makanya tangannya bergerak melindungi kepala. "Bapak tuh kasar banget ya! Saya nggak suka!"

"Sederhananya begitu. Saya sayang Aria. Aria sayang teman saya. Teman saya sayang Aria. Saya sakit hati."

"Terus jadi nggak suka cewek lagi."

"Sekali lagi kamu nyela, saya suapin kamu beling ya?"

"Ampun, Pak. Saya bukan kuda lumping."

"Intinya begitu. Simpel. Tapi selama berbulan-bulan, saya nggak bisa main musik. Saya nggak mau lihat gitar, karena itu ngingetin saya sama Aria. Sama teman saya yang satunya juga. Terus band kami bubar."

"Terus?"

"Lalu kemudian saya sadar, kenapa saya harus menyalahkan dunia untuk sesuatu yang berada di luar kontrol saya? Gitar, musik, panggung, mereka nggak pernah salah. Saya yang salah, karena mengaitkan mereka sama Aria. Saya salah, karena menghubungkan mereka sama sesuatu yang bikin saya sakit, ketika sebetulnya mereka nggak salah apa-apa."

Nana mulai memahami apa maksud Terry dan itu sukses membikin dia kehilangan kata-kata.

"Ayah kamu, sama kayak kita semua, punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Sama kayak kita juga, dia manusia. Dia membuat kesalahan. Tapi apa kamu harus membenci musik dan panggung karena kesalahannya. Menurut saya nggak." Terry merogoh saku jaketnya, mengeluarkan kertas kusut yang terlipat. Dia membuka lipatannya, membentangkan kertas penuh coretan pensil itu di atas meja. Nana tersekat di tempatnya berada. Tentu, dia mengenali coretan itu.

Itu tulisan tangannya sendiri.

"Dari mana bapak dapet—oh, oke. Itu nggak penting sekarang."

"Kamu menulis banyak lirik. Kamu berani merangkai nada. Sudah berapa banyak yang kamu buang ke tempat sampah tapi nggak pernah kamu tunjukkan pada dunia?" Itu bukan omong kosong. Hampir setiap hari, saat Nana nongkrong di luar kelas bersama bloknot dan earphonenya dengan alasan tidak suka penjelasan guru yang mengajar, Terry selalu mendapatinya sedang mencorat-coret lembaran bloknot. Lucunya, setelah selesai, Nana akan merobeknya, meremasnya sampai jadi bola dan memasukkannya ke tempat sampah sebelum kembali melenggang masuk ke kelas. Lembaran yang Terry bawa sore ini hanya satu dari banyak lembaran kusut lain yang telah dia kumpulkan dengan rapi.

Wajah Nana memerah. "Itu bukan urusan bapak."

"Apa yang terjadi di masa lalu kamu, nggak seharusnya menentukan masa depan kamu, Jevais. Apa yang kamu lakukan sekarang, itu yang menentukan masa depan kamu."

"Kamu kangen Ayah, tapi nggak mau jadi seperti Ayah. Kamu juga kangen Mama kamu, walau kamu nggak pernah sekalipun ketemu. Saya tahu itu dari setiap lirik yang kamu tulis." Terry tersenyum tipis. "Memang, bisa tanpa kamu. Tapi saya yakin, Jeno dan Injun pasti lebih baik kalau dengan kamu."

"Kemampuan saya nggak sebagus itu."

"Sesuatu yang nggak seharusnya dikatakan oleh seseorang yang berbakat seperti kamu. Have confidence. You gotta be your number one supporter, you know."

"Misi, boleh minta subtitlenya?"

"Kamu kira saya Pein Akatsuki?!"

"Oh, ternyata orang kaya juga nanti LK21." Nana menyindir.

"Intinya, kamu mesti percaya sama diri kamu sendiri."

Nana menggigit bibir. "Tetap nggak."

"Kamu yakin tetap bilang nggak?"

"Yakin."

"Seyakin apa?"

"Yakin seyakin-yakin-nya yakin!"

"Yaudah, kopi sama gorengannya bayar sendii."

Nana melotot. "PAK?!"

Terry mengambil beberapa potong oncom goreng sekaligus, memasukannya ke kantung plastik dan menambahkan beberapa buah cabe rawit. "Yang membedakan saya sama kamu, Injun dan Jeno adalah, saya ini orangnya bisa jahat. Makanya nggak akan tuh saya terlibat problem traktir-mentraktir kayak gimana kalian kena jebakan Batmannya Jarot!"

"Pak, ini saya makan gorengannya banyak loh dan saya cuma bawa uang—"

"Nggak mau tampil, nggak jadi dibayarin."

"PAK?!"

Terry mengabaikan Nana.

"PAK!!?"

"Three words, eight letters, say that and I'll pay for your coffee..."

Nana mengerjap. "I... love you?"

"I will join, elah!"

"ITU SEMBILAN HURUF, PAK!"

"Oh, berarti saya salah hitung."

"PAK!"

Terry melenggang pergi begitu saja dari Warmil Bang Horas tanpa mempedulikan Nana yang kini mengacak rambutnya frustrasi.

*

Untungnya, Nana minum kopi di Warmil Bang Horas, bukan kafe mahal berlogo putri duyung yang segelas kopinya bisa setara sepuluh gelas kopi di warkop biasa. Sebagai guru tinju Nana sejak dini, Bang Horas berbaik hati memberi Nana kasbon—yang nanti dibayar kalau dia sudah dapat honor main piano dari Gerimis malam ini. Sayangnya, kejutan buat Nana belum selesai. Saat dia tiba di Gerimis, sudah ada orang lain yang duduk di belakang piano. Dia mengenakan setelan yang rapi. Nana tersekat dan saat dia mendekat, dia dibuat betul-betul kehilangan kata.

Orang itu adalah Terry.

Namun apa yang membuat Nana tidak bisa bersuara bukan hanya karena hadirnya yang tiba-tiba, tapi juga permainan pianonya. Laki-laki itu memainkan pianonya seperti tanpa arah. Tidak ada partitur. Tidak ada lagu baku. Dia mengubah lagu sekehendaknya, bermain dalam ritme sesukanya. Jemarinya menari seperti pedansa yang lepas kontrol, bergerak lincah hingga Nana nyaris tidak bisa melihat tuts mana saja yang dia tekan. Tak hanya Nana, permainan Terry juga berhasil menyihir seisi ruangan. Mereka semua berhenti mengobrol, berhenti melihat pada layar ponsel, berhenti melakukan apa yang tadinya mereka lakukan.

Terry merampas perhatian mereka tanpa terkecuali.

Tanpa sadar, kaki Nana bergerak kian dekat ke panggung. Mulutnya ternganga. Lalu seperti ingin mengejeknya, di sela permainannya, Terry menatap pada siswanya. Ada seringai tertarik di wajahnya.

Permainan itu berlangsung hampir lima menit. Lima menit yang tak terasa. Lima menit yang penuh decak kagum. Lima menit yang sarat hela napas tertahan. Nana tidak tahu bagaimana waktu berlalu, tapi begitu Terry mengakhiri permainannya, ada senyap sejenak sebelum semua orang beranjak dan bertepuk tangan.

Full standing ovation.

Terry membungkuk ke arah yang berbeda beberapa kali, lantas turun dari panggung untuk menghampiri Nana yang masih membatu di tempatnya berdiri.

"Gimana?"

"Bapak nggak pernah bilang kalau bapak sejago itu."

"Kamu sudah lihat permainan saya. Saya tahu kamu ini orangnya ngotot. Saya juga. Soal penampilan Pensi Injun dan Jeno, saya nggak akan ganggu kamu dengan satu syarat."

"Apa?"

"Kita sama-sama nunjukkin permainan piano. Kamu dan saya. Di waktu yang berurutan. Di sini. Biar penonton yang memutuskan. Pemenangnya, dia yang mesti tampil bareng Injun dan Jeno di Pensi."

"Kalau yang menang bapak?"

"Berarti saya yang tampil sama mereka."

Nana menelan ludah. "Tapi—"

"Kamu takut?"

Harga diri Nana tertohok. "Nggak!"

"Besok." Terry berkata sebelum berjalan meninggalkan Nana. "Besok. Now, do your job. Play the piano."

Nana terdiam, tidak mengerti apa yang baru saja dia lakukan.

*

Keesokan harinya, sekolah dipulangkan lebih awal karena guru-guru mereka mau ke acara kondangan anaknya Pak Janc—maksudnya Pak Jajan yang lagi menikah. Terry sempat diajak, namun menolak halus. Sudah bisa ditebak. Tadinya, Injun mau mengusulkan ke Terry supaya dia, Jeno dan Nana saja yang datang kondangan mewakili Terry—hitung-hitung bisa dapat bihun dan rendang gratis gitu loh—tapi Terry malah melotot dan bilang jika Nana perlu latihan buat event besar yang menunggunya nanti malam. Mereka tidak tahu apa itu, sempat ngambek karena Nana dan Terry menyimpan rahasia di belakang mereka, namun tidak bertanya lebih jauh setelah Terry mentraktir ketiganya es krim cone dari minimarket dekat sekolah.

Alma belum pulang sekolah kala Injun tiba di rumah. Mama sedang sibuk di dapur, entah membuat apa. Papa di tempat kerja, tak jauh berbeda dengan Bang Ali. Injun bosan, akhirnya keliling komplek tidak tentu arah sampai dia menemukan rumah tetangga yang pohon mangganya sedang berbuah.

Hanya perlu hitungan menit untuk mengubah Injun, seorang anak yang sedang bosan, menjadi maling mangga tidak terduga.

Dia beruntung, si Chiko, anjing tetangga yang berjaga di halaman sedang tidur. Dikarenakan Injun itu maling budiman, jadi dia hanya mengambil seperlunya—toh kalau masih kepingin mangga, besok bisa nyolong lagi. Barang curian tersebut dibawa ke pos ronda, karena kalau ke rumah, pasti auto dijewer Mama.

Injun masih sibuk menggerogoti mangga berkulit seolah-olah mangga itu apel waktu Lala yang baru balik dari warung lewat. Lala syok. Injun malah melambaikan tangan, terus kembali fokus menggerogoti mangga di tangannya macam tikus lagi makan sabun.

"HEH!"

Injun kaget, mengerjap lalu memandang Lala tanpa melepaskan gigi dari kulit mangga. "Hng?"

"ITU TUH BUKAN APEL!"

Injun manggut-manggut. "Emang. Nenek-nenek juga tahu ini mangga, Lala."

"Ck!"

Lala melengos, meneruskan langkahnya cepat-cepat, membuat Injun hanya mampu melongo hingga punggungnya menghilang di belokan jalan. Dia sedang mengunyah mangga berkulit seperti sapi sedang memamah rumput ketika Lala kembali dengan pisau dan baskom di tangannya. Spontan, Injun terloncat dari tempatnya duduk. Dia tersaruk mundur sampai punggungnya membentur papan karambol yang biasa dimainkan bapak-bapak kalau lagi ngeronda. Papan itu roboh dari posisinya yang semula bersandar. Kapurnya menodai bagian belakang baju dan celana Injun.

"AMPUN, LA! AMPUN! JANGAN GOROK GUE!"

Lala berdecak, meletakkan baskom di atas lantai kayu pos ronda dan meraih sebuah mangga yang masih suci dari liur Injun. Cewek itu mengupasnya tanpa mengatakan apa-apa. "Ngenes banget liat lo ngemut-ngemut mangga berkulit kayak gitu."

"Ini tuh ngegigit, bukan ngemut! Lihat, ada bekas gigi gue!"

Lala menoleh, rasanya kepingin ketawa keras-keras kala melihat jejak gompel bekas gigi Injun di permukaan mangga yang cowok itu pegang tapi ya GENGSI LAH, SHAY! "Bodo."

Injun nyengir, mengabaikan separuh pakaiannya yang bernoda kapur. "Kenapa nggak sekalian bawa ulekan, garam, gula merah sama cabe?"

"Lo mau gue tusuk?!"

"Nggak. Ampun."

"Diam."

Injun pun mengunci mulut, menonton Lala mengupas dan mengiris barang hasil curiannya siang ini. Akan tetapi, sesaat sebelum Lala beralih ke buah mangga berikutnya, dia menatap pada Injun dan mendapati ada semut merah tengah merayap di garis rahang cowok itu. Berjalan menuju lehernya.

"Itu... ada... semut..."

"Hah, mana?"

"DI LEHER—BUKAN YANG SEBELAH SITU, GEBLEK!" Lala jadi gregetan, apalagi saat semut itu masuk ke bagian belakang baju Injun, bikin dia menggeliat macam cacing kepanasan.

"HAH, MAN—ANJIR SEMUTNYA GIGIT—" Injun mulai setengah kelojotan.

Lala panik. Secepat kilat, dia meletakkan pisau dalam baskom, bergeser mendekati Injun dan refleks mengangkat bagian belakang baju cowok itu. Punggung Injun kontan terpampang, menampakkan seekor semut kecil yang bercokol di salah satu bagian—menimbulkan titik merah. Lala meraihnya, memencet semut malang itu sampai tewas.

"Anjir, mati kepenyet dia!"

"Lagian, lo banyak tingkah!" Lala mendengus, sejenak lupa pada punggung Injun yang masih terbuka di depan mata.

"La..."

"Hng?"

"Gimana punggung gue? Mulus?"

Kalau ini dalam komik, kayaknya Lala sudah mimisan setinggi Monas sekarang.

"BODO!"

***

Seumur hidupnya, Nana tidak pernah merasa segugup ini ketika akan bermain piano. Pengunjung Gerimis hari ini pun ramai, tidak seperti biasanya. Bisa jadi karena Terry mengundang mereka—yang kelihatannya tidak mungkin karena menurut Nana, orang seperti Terry pastinya tidak punya banyak teman. Atau kemungkinan karena permainan piano Terry sehari sebelumnya sempat jadi perbincangan hangat di dunia maya dan mereka jadi penasaran, siapa sesungguhnya Tertius Senandika yang beraksi menyihir seisi bar dengan permainan jarinya.

Terry sengaja maju lebih dulu. Entah kenapa. Di sela permainannya, seringai itu kembali muncul. Penuh percaya diri dan kesombongan, membuat Nana merasa Terry tengah menertawakannya. Jenis lagu yang dibawakan Terry jauh lebih kompleks dari kemarin, juga dengan durasi yang lebih lama. Kali ini, makin banyak orang mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam penampilan itu.

Harus Nana akui, level permainan Terry bukan hanya sebatas 'pemain piano biasa'. Ada sesuatu dalam gerakan tangan lelaki itu. Juga caranya memandang pada udara kosong seolah-olah dia tengah terjebak dalam fatamorgananya sendiri. Halusinasi yang penuh dengan kesedihan, tercermin dalam nada-nada rendah yang sarat kesuraman.

https://youtu.be/zucBfXpCA6s

Seperti kemarin, ketika Terry mengakhiri permainannya, orang-orang yang menyesaki Gerimis kembali memberikan standing ovation.

Terry tidak membungkuk, langsung bergerak menuruni tangga dan melempar tatapan menantang pada Nana yang menunggu di bawah. "Your turn, boy."

Nana berpikir, mustahil bisa menandingi permainan yang baru saja Terry tunjukkan. Dia sudah kalah, bahkan sebelum bertanding. Apa yang Terry mainkan terlalu spektakuler. Jarinya menari kelewat cepat hingga hampir tidak terlihat. Tidak sepertinya, yang memainkan piano hanya agar dia bisa mencipta suara guna mengusir sepi.

Hening menyelimuti ketika Nana naik ke panggung. Dia tertunduk, memandang pada kesepuluh jemarinya yang kini diletakkan di atas tuts. Ada beberapa lagu yang melintas dalam pikirannya, tapi kemudian kata-kata Terry kemarin bergema dalam benaknya.

Kamu kangen Ayah, tapi nggak mau jadi seperti Ayah. Kamu juga kangen Mama kamu, walau kamu nggak pernah sekalipun ketemu.

Nana menarik napas, mencoba melupakan berpasang-pasang mata yang kini memandangnya. Dia tidak boleh melihat pada mereka. Jika dia menatap pada mereka, dia akan merasa salah karena sudah duduk di balik piano ini.

Sebab, dia tidak seharusnya seperti ini.

Karena, dia tidak seharusnya jadi seperti Ayah.

https://youtu.be/9E6b3swbnWg

Surprised by a call that suddenly makes me cry.

My mother's voice, worrying if I've eaten.

Those words that used to sound annoying are different today.

All those forgotten promises are coming back to me.

Tidak ada suara selain denting pianonya, namun rindu yang menyesaki dada membuat Nana harus menggigit bibirnya kuat-kuat supaya dia tidak menangis. Apa yang Terry katakan benar. Dia merindukan ibunya. Aneh, sebab dia tidak pernah bertemu perempuan itu. Dia tidak tahu seperti apa ibunya terlihat. Dia tidak tahu seperti apa suara ibunya terdengar.

I'll become a good person.

I'll become a person who thinks of others first.

I'll protect my mom's hopes of love.

Dia tidak lagi bisa menahannya. Air mata itu jatuh, menetes begitu saja, berkejaran di pipinya. Siapa yang sangka jika rindu bisa begitu menyakitkan? Terutama jika itu rindu untuk seseorang yang tak pernah dia kenal. Kangen pada rumah yang tidak tahu berada di mana.

What should I do?

My heart is still small.

I don't know if I could make it without my mom.

I'm still lacking.

I'm scared.

Bahunya berguncang, namun dia tahu permainan harus tetap berlanjut. Masih tidak ada seorang pun yang bicara. Dan Nana tetap meneruskan permainannya sampai akhir. Setelah tuts terakhir ditekan, yang ada hanya kesenyapan. Tak ada yang bereaksi. Nana tertunduk, masih larut dalam sedu-sedan.

Ketika itu, seseorang tiba-tiba berjalan dari kumpulan keramaian. Perempuan setengah baya yang tidak pernah Nana kenal. Perempuan itu menapaki satu demi satu anak tangga, kemudian mendekatinya. Matanya menatap lembut, hingga begitu saja, segalanya terjadi tak terduga.

Perempuan itu meraih Nana dalam dekapannya. 





bersambung ke twelfth note 

***

Catatan dari Renita: 

ea kita bertemu lagi. 

tidak ada jeno di chapter ini tapi next chapter dia akan muncul lagi. 

chapter ini jadi rada emosional gimanaaaaaa gitu buat nana haha btw kemaren ada yang komen, katanya jeno udah pernah nangis di pelukan terry, injun juga udah. terus nana kapan? 

wkwkwk nana dan pelukan terry bakal jadi yang paling emosional karena.... ada deh. 

wkwkwkwk btw kenapa pada protes sih wkwkwkwkwkwk 

di sinopsisnya kan jelas tuh, the art of dying is the art of living. 

berarti??????? 

someone's dying. 

WKWKWKWKWKWKWKWKWKWKWKWWK 

yaAllah yaudah deh ya, makasih buat komentar dan vote di chapter sebelumnya. seneng akutu jadi semangat kan. selamat puasa dan sampai ketemu di chapter selanjutnya! 

ciao. 

Semarang, May 11th 2019 

22.00

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top