DLP: ALTERNATE ENDING
Alternate ending:
An alternate ending is an ending of a story that was considered or even written, but ultimately discarded in favor of another resolution. Generally, alternative endings are considered to have no bearing on the canonical narrative.
***
Sesaat sebelum Yeda tiba di pintu depan Gerimis yang terbuat dari kaca, alisnya terangkat heran. Dia tidak berpikir apa-apa waktu Terry mengiriminya sebuah chat singkat, mengajaknya bertemu sore ini. Mereka biasa bertemu di Gerimis. Sesekali mengobrol, namun lebih banyak hanya untuk saling menyapa dengan gestur kaku seakan-akan mereka adalah orang asing yang tak pernah saling kenal, bukannya sepasang saudara kandung. Namun, hari ini ada yang berbeda.
Gerimis nyaris kosong. Tidak ada pengunjung. Tidak ada pekerja yang biasa menerima pesanan dan mengantarkan minuman. Lampu-lampu tetap menyala, mencipta keremangan cahaya kuning yang indah tetapi hampa. Yeda menarik napas, mendorong pintu sampai terbuka dan disambut oleh seseorang yang duduk di belakang piano.
"Lo telat satu menit. Terlalu bingung sampai-sampai harus jadi patung dulu di depan pintu?" Terry bersuara, membuat Yeda berdecak.
"Kemana semua orang?"
"Gue usir."
"Gue serius."
"Gue juga serius." Terry menarikan jari-jarinya dengan asal di atas tuts hitam-putih piano, mendengungkan nada-nada yang meskipun terkesan acak, entah bagaimana tetap terdengar harmonis. "Come here."
"Apa yang lo mau dari gue?"
"I said, come here."
"Soal Jevais—"
"Dalam sepuluh detik, Segara Yeda Senandika, kalau lo nggak kesini, gue bakal anggap lo nggak mau ngomong sama gue dan itu artinya, gue buang-buang waktu doang. Ada banyak urusan yang harus gue selesaikan."
Yeda menyerah, tak membantah lebih jauh dan menghampiri podium tempat dimana Terry sedang duduk menghadapi piano. Sorot lampu menyirami mereka, membuat keduanya terlihat seperti ilusi yang terlampau elok buat jadi nyata. Yeda berdiri di dekat salah satu sudut piano, sementara Terry masih belum memandang padanya.
Laki-laki itu hanya mengenakan kemeja putihnya yang sederhana, menggulung lengannya sampai ke siku, menempatkan kesepuluh jarinya di atas tuts pencipta melodi.
"Apa?"
"Gue nggak tahu sampai kapan gue bisa mendengar. Ada yang bilang, semuanya bisa bertambah parah. Ada yang berkata, segalanya nanti membaik. Tapi denging itu masih sering datang dan gue nggak mau banyak berharap." Yeda mengernyit, terkejut sebab tidak biasanya Terry mau seterbuka itu dengan orang lain tentang dirinya. "Mungkin besok dunia sudah jadi senyap buat gue. Bisa jadi, hari ini hari terakhir gue bisa mendengar permainan gue sendiri."
"Lantas?"
Terry menoleh, ekspresinya ditimpa oleh bayangan yang diciptakan lekuk wajahnya. "Sit and play a song with me?"
"..."
"Kalau lo nggak mau juga nggak apa-apa."
"Gue nggak bilang begitu." Yeda mendengus, bergerak cepat dan duduk di sebelah Terry. Mereka saling diam sejenak, merasa canggung tiba-tiba untuk alasan yang tak bisa Yeda definisikan dengan jelas. Terry jadi yang pertama memecahkan kesunyian dengan dehamannya.
"Any song will do. Your choice."
"Für Elise?"
Terry berdecak, terkesan meremehkan. "Kalau Jevais ada di sini, dia pasti udah ngetawain pilihan lagu lo."
Pipi Yeda memerah. "Terus maunya apa?"
"Für Elise is okay, tho. But let's play it in our own way." Terry mulai melarikan jari-jarinya dengan cepat secara bergantian di tuts hitam-putih piano, mengalunkan rangkaian nada yang tidak terdengar seperti bagian lagu Für Elise pada umumnya. Nada yang dia mainkan terkesan lebih gelap, namun justru membuat suaranya jadi lebih magis.
https://youtu.be/aKPqxo_UnLw
Yeda memandang kakaknya sebentar, kemudian ikut menempatkan jarinya di sisi lain piano. Apa yang dia lakukan menambahkan kedalaman pada musik yang kini menyesaki ruangan. Mereka kehilangan jati diri, lebur dalam musik yang memenuhi telinga. Tidak ada yang bicara selama hampir sepuluh menit lagu itu berdengung.
Meski begitu, ada bagian dari Yeda yang ingin luruh menjadi kepingan tatkala dia menyadari ini adalah kali pertama dia bermain piano bersama Terry.
Akankah ini jadi yang terakhir?
Yeda tidak menginginkannya jadi yang terakhir, namun apakah dia punya kuasa untuk menentukan itu? Tidak. Selama bertahun-tahun, Terry mengurung diri dalam cangkangnya. Dia membuka cangkang itu hanya untuk beberapa orang dan Yeda tidak pernah termasuk di dalamnya. Yeda hanya bisa menonton dengan iri, menyaksikan bagaimana Om Adjie jadi orang yang sangat berarti buat Terry.
Lalu Jevais.
Tidak pernah dirinya.
Terry diam sejenak usai lagu mereka berakhir. Sunyi yang terasa menyekap, membuat dada Yeda sesak. Jadi dia bicara lebih dulu. "Gue yakin lo nggak meminta gue datang kesini hanya untuk main piano sama lo."
"Permainan lo bagus."
"Come on, big brother."
"Gue mau minta tolong sama lo. Bisa?"
"... apa?"
"Jaga Jevais ketika gue nggak ada."
"Jevais nggak akan suka apa yang mau lo lakukan dan gue juga nggak akan membiarkan itu terjadi." Yeda menggigit bagian dalam bibirnya, berupaya keras agar suaranya keluar tanpa getar sarat gentar. "Lo sendiri yang bilang. Hidup adalah sebuah keberanian. Maka beranilah. Kalau nggak bisa buat gue, seenggaknya buat Jevais. Buat Artajuna. Buat Ezekiel. Itu sudah cukup."
"Yeda—"
"Gue nggak bisa membantu lo."
"See? Ini yang membuat gue sebal sama lo." Terry memutar bola mata sembari merogoh saku kemejanya, mengeluarkan selembar kartu nama hitam dengan tinta emas yang mengilap menerakan serentetan kata di atasnya. Kartu nama yang begitu mewah, mudah menebak jika itu bukan kartu nama orang sembarangan. "Ini."
Mata Yeda bergerak membaca kata-kata yang tertulis di sana.
Tendril Lucio Randajawan.
"Ini apa?"
"Dia teman gue. Besok, dia akan menemui lo dan menjelaskan semuanya. Gue nggak akan membebankan tanggung jawab yang terlalu berat untuk lo pegang sendirian. Ten bakal bantu lo—dan lagi, tiga anak itu juga terlalu bawel dan merepotkan. Bisa-bisa, malah lo yang balik ter-bully sama mereka."
"Gue... nggak ngerti."
"Nanti, Tendril bakal bikin lo mengerti."
"Tapi—"
"Dan lo nggak perlu balik ke Jerman. Lo bisa pulang. Sebab kali ini, gue yang akan pergi."
"Pergi ke mana?"
"Tempat yang jauh."
"Kalau lo berpikir lo bisa semudah itu mengakhiri hidup lo sendiri, lo—"
Terry tertawa sumbang. "Gue nggak akan melakukannya."
"Maksud lo?"
"Gue berjanji pada Jevais, gue akan berani buat dia, Artajuna dan Ezekiel. Janji itu harus gue tepati, karena kalau nggak, Jevais pasti bakal mengejar gue sampai ke dasar neraka yang paling dalam." Terry bergurau sedikit, tapi Yeda tidak tertawa. "Baru-baru ini, gue menyadari sesuatu yang gue butuhkan untuk bertahan, bahkan jika sesuatu yang paling buruk terjadi dan gue nggak bisa mendengar lagi."
"Apa?"
"Mimpi."
"Mimpi?"
"Sesuatu yang sangat lo inginkan di dunia ini. Sesuatu yang nggak mudah dicapai. Sesuatu yang lo tahu untuk memilikinya, butuh perjuangan dan waktu yang nggak sebentar. Mimpi nggak harus selalu besar. Kadang, kita hanya butuh mimpi kecil untuk bantu kita bertahan di masa-masa sulit. Mimpi yang meski terkesan sepele, tapi berarti. Mimpi yang bikin kita bisa tetap kuat." Terry tersenyum sedikit, kelihatan pahit.
"Dulu, ada sesuatu yang bikin gue tetap bertahan meski gue kehilangan orang-orang yang berarti buat gue. Om Adjie. Aria. Sahabat gue sendiri. Gue ingin membuktikan bahwa dengan jalan hidup yang gue pilih, gue bisa hidup lebih baik daripada orang tua kita. Gue berhasil mencapainya. Lalu setelah itu apa? Gue nggak tahu. Gue kehilangan arah. Sampai lo mengingatkan tujuan gue yang berikutnya; membantu Jevais menemukan dirinya sendiri."
"Kak—"
"Dia sudah berhasil menemukan dirinya sendiri. Dia mendapatkan lagi kasih dari orang tuanya. Dia punya teman-teman yang baik. Apa yang harus gue lakukan sudah selesai. Kemudian setelah itu apa?"
"Lo bisa—lo bisa bertahan buat gue."
"Kita berdua sama-sama tahu itu nggak cukup, Yeda." Terry menggeleng. "Dan lagi, gue nggak pernah jadi kakak yang baik buat lo."
"Gue—"
"Kota ini juga bukan tempat yang gue suka. Gue kehilangan banyak orang di sini."
"Tapi lo juga menemukan banyak orang di sini. Orang yang lo pedulikan dan juga peduli sama lo." Yeda membantah.
"Tetap, itu nggak cukup."
"Lo betul-betul akan pergi jauh?"
"Cukup jauh, tapi masih di planet ini."
"Gue harus bilang apa ke Jevais?"
"Beritahu dia, kalau gue akan menunggu dia datang pada gue untuk menjawab satu pertanyaan. Nggak peduli selama apapun waktu yang dia butuhkan untuk menemukan jawaban itu. Gue janji."
"Pertanyaan?"
"Tanyakan ke Jevais." Terry membungkuk sedikit untuk berbisik pada Yeda. "Seberapa besar harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi?"
*
"DOR!"
Nana mengerjap kaget saat Injun tiba-tiba berseru, namun reaksinya masih lebih baik daripada Jeno yang tersedak lalu terbatuk sampai hampir terjengkang dari kursi tempatnya duduk. Jeno berpaling, melotot pada Injun yang kini tertawa terbahak-bahak.
"Kamu tuh ngaget-ngagetin, nggak tahu apa kalau Nana lagi masa pemulihan?! Kalau jantungnya dia copot gimana, hayo?!"
"Lagian, kalian berdua tuh ngelamun aja ih jiga chicken hayang paeh! Kesel liatnya! Udah ngumpul gini tuh ngobrol kek apa kek!" Injun melipat tangan di dada, berusaha membela diri.
"Nana-nya lagi malas ngomong." Jeno menukas, jelas cari alasan.
"Bukan malas ngomong, tapi sengaja ngediemin kalian! Ini tuh namanya gue ngambek loh! Masa gitu aja nggak tahu?!" Nana sewot.
Akhir-akhir ini moodnya buruk. Sudah lewat seminggu sejak dia tersadar usai kecelakaan yang mengharuskannya menjalani operasi besar. Kasa tetap datang setiap hari. Begitu juga Injun dan Jeno. Ryona tidak pernah meninggalkan rumah sakit sampai Nana menyuruhnya pulang untuk beristirahat dan membersihkan diri. Nenek juga begitu. Tapi Terry tidak pernah datang dan kala Nana bertanya, tidak ada seorangpun yang mau menjawab.
Mereka pasti membelokkan pembicaraan dan hari ini, kesabaran Nana sudah mencapai batasnya.
"Ngambek kenapa sih ih kayak anak gadis aja!"
"Komandan Toil kenapa belum kesini?!"
"Nggak tahu."
"Dia nggak kenapa-napa, kan?"
"Kata Yeda sih nggak."
"Terus kenapa nggak kesini?!" Nana hampir merajuk.
"Mager meureun—he anying, Jeno, sakit tau!" Injun marah-marah saat Jeno menggaplok punggungnya keras-keras agar dia diam.
"Jeno, lo tahu sesuatu kan?!" Mata tajam Nana berpindah ke Jeno yang langsung gelagapan. "Kenapa Komandan Toil belom kesini?!"
"Kata Yeda, nggak boleh bilang."
"Jeno!"
"Maaf, Nana." Jeno menggeser mundur kursinya sedikit, merasa takut pada bagaimana sekarang Nana menatapnya dengan horor. "Kita semua udah janji sama Yeda. Kata Yeda, nanti dia sendiri yang nemuin kamu. Dia yang ngasih tahu."
"Tapi Komandan Toil baik-baik aja, kan?!" Nana masih ngotot, memburu untuk memastikan.
"Iya." Injun yang menyahut.
"Lo nggak bohong kan?!"
"Nggak! Suer ini mah!" Injun mengacungkan dua jarinya ke udara.
"DEMI APA?!" Nana menyodorkan tangannya sambil melotot untuk Injun jabat agar menegaskan sumpahnya.
"DEMI ALLAH!" Injun tidak mau kalah, juga melotot sambil menggenggam tangan Nana kuat-kuat sampai Nana meringis kesakitan. Jeno memandang bergantian pada dua temannya, sebelum dia melepaskan tangan Injun dan Nana yang saling menggenggam diringi dengusan.
"Jangan keras-keras dong, Injun! Tau kan Nana belum sembuh?! Kamu tuh salaman sama orang sakit kayak salaman sama preman!"
"Abis suruh siapa Nana nge-gas?! Udah tahu belum sembuh!"
"Tapi dari mana lo seyakin itu kalau Komandan Toil baik-baik aja?"
"Berapa hari yang lalu dia kirim selfie ke gue lewat WhatsApp. Geli sih berasa lihat om-om selfie kan. Yah walaupun Komandan Toil belom tua-tua amat, tapi auranya tua. Paham lah kalian. Terus yaudah, pas gue tanya dia kemana, dia nggak ngasih tahu, malah gue disuruh belajar yang bener kalau nggak mau gambar Moomin gue cuma berakhir jadi bungkus gorengan."
"KOK SAYA NGGAK DIKIRIMIN SELFIE JUGA SIH?!" Sekarang gantian Jeno yang nge-gas.
"Wah, apa-apaan ini?!" Nana berdecak. "Mana selfienya, kirimin ke gue ama Jeno!"
"Embung."
"Maksud lo apa?"
Injun menggeleng. "Nggak mau. Komandan kan ngirimnya ke gue. Itu artinya buat gue doang! Kalian minta aja sana ke dia!"
"Jeno, hajar Injun!"
Jeno melongo, menuding pada dirinya sendiri dengan jari telunjuk. "Kok saya?"
"YA MENURUT LO APAKAH KELIHATANNYA GUE SUDAH CUKUP KUAT BUAT MENGHAJAR INJUN?!"
"Daripada menghajar, gimana kalau kita colong aja HP-nya?" Jeno menawar.
Nana mengusap rahangnya. "Hm, bisa juga, sih. Tapi ya mana ada maling yang kalau mau maling bilang-bilang, Bucing?!"
Jeno manggut-manggut, menyadari ketololannya sementara Injun langsung melompat gesit dari kursi, menjauh sebelum Jeno bisa melakukan tindakan radikal seperti menggrepe-grepe badannya buat mencari ponsel. Nana mengerucutkan bibirnya, jelas sebal. Namun dia tidak bisa melakukan apapun. Ryona bilang, Nana tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Operasi yang baru saja dia jalani adalah operasi besar sehingga dibutuhkan waktu panjang sampai berbulan-bulan untuk benar-benar pulih.
Perhatian mereka bertiga mendadak tersita oleh suara ketukan di pintu yang lalu terbuka, disusul kemunculan seseorang.
"Lo?!" Injun memekik dramatis.
"Halo." Yeda tersenyum sedikit. "Boleh gue ngomong sebentar sama Jevais?"
"Di sini nggak ada Jevais, adanya Nana." Injun menjawab, sengaja soalnya lagi pengen nyebelin aja.
"Injun." Nana memanggil Injun, menggeleng pelan kala Injun menoleh padanya. "Tinggalin gue sama Yeda berdua ya? Sebentar aja."
"Ck. Yaudah."
Injun dan Jeno menurut, meski mereka keluar dari ruang perawatan Nana sambil bersungut-sungut. Nana menghela napas, menonton bagaimana dua temannya menutup pintu perlahan. Dalam sekejap, dia dan Yeda ditinggalkan hanya berdua saja di sana.
Yeda berjalan mendekat, menarik kursi yang tadi diduduki Injun dan duduk di dekat Nana. "Apa kabar?"
"Seperti yang lo lihat."
"Lo marah?"
"Pak Terry... dia di mana?" Nana tidak mau berbasa-basi.
Yeda tidak langsung menyahut, malah menggeser kursinya mundur sedikit sehingga dia bisa meletakkan kotak hadiah yang dia bawa di atas nakas.
"Gue iri."
"Iri?"
"Kelihatannya bukan hanya lo yang sepenting itu buat dia, tapi dia juga sepenting itu buat lo. Hubungan gue dan kakak gue nggak pernah sebagus itu. Dulu. Sekarang. Yah meskipun kelihatannya semuanya mulai membaik."
"Yeda—"
"Lo pernah bertanya pada gue, apa makna S di belakang nama gue. Segara Yeda Senandika. Itu nama gue."
Nana tidak bisa berkata-kata.
"Tapi gue nggak datang ke sini untuk menunjukkan rasa iri gue sama lo. Gue berharap lo cepat sembuh. Semoga lo bisa kembali ke sekolah lagi setelah ini. Nggak pernah ada kata terlambat untuk mengejar masa depan dan mimpi, iya kan?"
Nana masih terdiam.
"Kakak gue baik-baik aja."
"Dia nggak melakukan—"
"Apa? Mengorbankan dirinya sendiri buat lo? Well, harus gue akui, gue sempat khawatir dia akan melakukan tindakan itu. Tapi untungnya nggak."
"Lantas siapa yang—"
"Ada orang lain yang mungkin menemui lo setelah ini. Mungkin agak aneh, tapi ya dia baik. Dia teman kakak gue."
"Kalau gitu, kenapa Pak Toi—kenapa Pak Terry nggak kesini?"
"Dia nggak bisa."
"Kenapa?" Nana masih mendesak, kini terlihat seperti anak kecil yang tengah hampir menangis.
"Dia punya alasannya sendiri, yang gue rasa harus kita semua hormati? Apapun itu, yang jelas dia bilang dia akan memenuhi janjinya sama lo. Dia akan jadi berani buat lo, sekalipun hidup merenggut apa yang berarti dari dia." Yeda meraih lagi kotak hadiah yang tadi sempat dia letakkan di atas nakas, memberikannya pada Nana. "Ini dari dia. Hadiah buat lo. Katanya, semoga lo cepat sembuh."
"Kapan... kapan..." Nana berdeham, berusaha membersihkan tenggorokannya agar suaranya bisa keluar tanpa pecah atau ditunggangi oleh tangis. "Kapan gue bisa ketemu dia?"
"Saat lo sudah menemukan jawaban untuk pertanyaannya."
"Pertanyaan apa?"
"Satu pertanyaan dari dia." Yeda menyunggingkan senyum yang tampak seperti ingin menguatkan. "Menurut lo, seberapa besar harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi?"
Nana tersekat sebentar. "Apa?"
"Seberapa besar harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi?"
"Gue... gue nggak tahu."
"Dan karenanya, lo harus mencari tahu."
Nana menghela napas, merasa dadanya sesak tiba-tiba, tapi dia tetap menganggukkan kepala.
"Lo boleh buka kotak itu kalau lo mau."
"Boleh?"
Yeda tertawa. "Gue juga penasaran apa isinya."
Nana meneguk saliva, membuka kotak itu dan mendapati ada kotak musik tersimpan di dalamnya. Warnanya hitam, mirip kotak kayu dengan ukiran yang membunyikan sesuatu di atasnya; to live, is an act of courage.
Air mata Nana jatuh begitu saja tanpa permisi, membasahi pipinya. "Gue... akan ketemu dia lagi, kan?"
"Dia bilang dia akan menunggu lo mendatanginya suatu hari, ketika lo bisa kasih jawaban untuk semua pertanyaan. Nggak peduli selama apapun itu, dia akan menunggu lo."
Nana menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Jika gue bisa menjawabnya... dia nggak akan pergi lagi kan?"
"Itu... lo harus tanyakan sendiri ke dia."
Nana menarik napas, sengaja supaya tidak ada air mengalir keluar dari hidungnya. "Kenapa dia harus begini?"
"Sebab dia butuh alasan baru untuk tetap hidup, Jevais. Menunggu lo, itu alasan barunya."
"Lalu setelah itu apa?"
"Gue nggak tahu, mungkin nanti, lo bisa memberi dia alasan baru untuk tetap bertahan dan nggak menyerah sekalipun hidup udah merampas semua yang dia anggap berharga?"
Nana mengangguk, membiarkan saja saat Yeda beranjak dan berjalan menuju pintu. Tetapi, tangan Yeda belum lagi sempat menyentuh kenop pintu ketika Nana memutar tuas pada kotak musik tersebut. Nada-nada indah terdengar, mengambang di udara, membius suasana seketika.
https://youtu.be/SoJvgZV502s
Apa yang Nana dengar membuatnya menunduk dalam-dalam. Tangannya menggenggam erat kotak itu, sementara air matanya menetes deras seperti hujan, melekat pada bulu matanya seperti embun pada pucuk-pucuk dedaunan di pagi buta. Yeda berbalik, melihat pada cowok itu.
"Jevais, cuma karena lo belum tahu apa jawabannya sekarang, bukan berarti lo nggak akan menemukannya. Lo hanya butuh waktu. Tapi saran dari gue... untuk tahu seberapa besar harga yang harus lo bayar untuk sebuah mimpi... bukankah itu artinya... lo harus meraih mimpi itu sendiri lebih dulu? Hanya dengan begitu, baru lo bisa tahu."
*
Lima tahun kemudian.
Berapa lama seseorang bisa menunggu?
Nana tidak pernah tahu, tapi yang jelas, ini sudah lima tahun berlalu sejak terakhir kali dia melihat Terry. Ada masa-masa dimana dia punya begitu banyak cerita yang ingin dia beritahukan pada lelaki itu, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa selain memandang langit dan berharap di suatu tempat, entah di mana, Terry juga sedang melihat pada taburan bintang yang sama. Bukannya Nana tidak berusaha. Dia sering mengirim pesan ke WhatsApp Terry. Tak terhitung sesering apa Nana mencoba meneleponnya. Atau menghubunginya lewat email. Namun hasilnya nihil. Terry menghilang, seakan lenyap ditelan Bumi. Dan mulut Yeda tetap terkunci, tak mengatakan apa-apa meski pernah suatu kali, Nana bersama Jeno dan Injun menyudutkannya di kamar Nana untuk memaksanya bicara.
Selama lima tahun ini, ada banyak yang terjadi. Nana mengenal seseorang bernama Tendril. Benar kata Yeda, lelaki itu memang aneh, dengan dandanan macam casanova, tindik bertebaran serupa anak punk tetapi ego yang menjulang tinggi mengalahkan Burj Khalifa. Kata Injun sih tidak apa-apa, termaafkan, soalnya dompet Tendril lebih tebal dari batu-bata.
Tendril adalah teman Terry, juga orang yang berjasa karena tanpa koneksinya yang seakan tanpa batas, mustahil mereka bisa menemukan donor untuk Nana dalam waktu singkat. Ada yang berkata, Tendril punya teman-teman yang berkecimpung di pasar gelap penjualan organ—walau Yeda menegaskan, itu hanya gosip saja. Entahlah, Nana tidak terlalu peduli. Dia justru lega, sebab menebak dari sifat Terry, jika tidak ada Tendril, bukan mustahil lelaki itu sudah mengorbankan dirinya sendiri.
Butuh setahun bagi Nana untuk benar-benar pulih dan kembali ke sekolah. Dia harus lulus lebih lambat setahun daripada Injun dan Jeno. Jeno jadi yang pertama kuliah, sedangkan Injun menunda, mengambil waktu jeda. Injun bilang dia hanya butuh waktu memikirkan hidupnya mau dibawa kemana, tetapi Nana tahu, Injun menunggunya.
Mereka pernah berjanji kalau mereka akan masuk kampus bersama-sama.
Nana memilih Sastra Inggris sebagai program studi yang dia tempuh di bangku kuliah. Alasannya sederhana; Ryona bilang, ada kemungkinan Terry berada di suatu tempat, tapi yang jelas bukan di Indonesia. Nana berpikir, tentu saja dia harus bisa berbahasa Inggris jika dia mau menemui Terry suatu hari nanti—setelah dia mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang lelaki itu ajukan. Nana sudah fasih bahasa Sunda, tapi sepertinya tidak akan berguna jika dipakai berkomunikasi dengan bule-bule yang jangankan kumaha damang, pepes tahu saja mungkin mereka tidak tahu.
Takutnya Nana tersasar dan butuh bertanya soal arah dan jalan.
Injun tetap dengan Lala. Mereka sering bertengkar, namun cepat baikan lagi. Nana tahu, Lala punya posisi penting dalam hidup Injun, begitupun sebaliknya. Jeno bersama dengan Giza, sempat putus-nyambung karena ternyata Giza bisa sangat menyeramkan ketika cemburu dan Jeno, dengan tampangnya yang seperti itu, jelas langsung jadi idola sejak hari pertama dia menyandang status mahasiswa. Nana tidak tahu lagi perkembangan hubungan Jeno dengan Giza. Buat apa juga? Paling pentingnya adalah, dia dan Kasa baik-baik saja.
Nana juga masih menyimpan kotak musik pemberian Terry, selalu memutarnya setiap kali dia diterkam sepi, atau setiap kali dia disekap rindu. Kasa mengerti perasaannya, selalu menemaninya dan menyemangatinya ketika Nana putus asa.
Di awal perkuliahan, segala sesuatu tentang Dream Launch Project sempat terlupa, sampai Tendril mendatangi mereka bertiga di suatu hari, mengingatkan Nana soal pertanyaan Terry dan mimpi mereka.
Maka, keduanya kembali berusaha menghidupkan lagi pendar itu, menyalakan bara yang hampir terkubur dalam sekam, bukan hanya untuk menghormati keinginan guru yang mereka sayangi, tapi juga mencari tahu jawaban dari sebuah pertanyaan.
Seberapa besar harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi?
Tentu saja, segalanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada saat-saat di mana hujan lebat membubarkan semua penonton yang datang untuk menyaksikan penampilan mereka. Ada kalanya mereka saling bertengkar satu sama lain hingga tidak bicara berkali-kali—rekor ribut terlama mereka dipersembahkan oleh Jeno dan Injun. Injun kalap saat tahu Jeno diam-diam jalan dengan Alma, adik perempuannya dan mereka sempat adu jotos di dalam studio. Tendril marah besar, langsung menunda proses pembuatan full album pertama mereka dan berkata dia tidak akan membuka studio sampai Injun dan Jeno berbaikan.
Tetapi katanya, Tuhan itu ada. Dia tidak pernah tidur. Dan Dia akan memeluk erat semua mimpi yang terajut oleh tenaga, harap dan air mata.
Lima tahun berlalu dan mereka bukan lagi tiga anak laki-laki berseragam SMA yang pernah berurusan dengan sekelompok berandal serta para banci.
Bukan lagi orang-orang yang dianggap tidak bisa apa-apa.
Hari ini, di tanggal empat belas—tanggal yang penuh makna sebab ia yang membawa Terry kepada mereka—Nana berdiri di ujung podium, pada gelaran konser tunggal pertamanya bersama Injun dan Jeno sebagai bagian dari Dream Launch Project, memandang pada Injun yang memegang mic dan berbicara.
"Lima tahun yang lalu, saya pernah bicara dengan seseorang. Dia bertanya tentang apa yang saya bayangkan akan saya lakukan dalam lima tahun yang akan datang. Saya jawab, saya nggak tahu. Tapi mungkin dia lebih tahu daripada saya. Dia bilang, kayaknya mimpi saya cuma satu—yang nanti akan saya sadari ketika hari itu tiba. Lalu dia akan berada di sana dan bilang 'anak ini pernah clueless dengan hidupnya, sampai saya datang dan ngasih tahu dia arah yang benar'. Saya bilang itu nggak mungkin, tapi hari ini saya sadar, apa yang dia bilang benar."
Nana menghela napas, lantas melanjutkan kata-kata Injun. "Dia seharusnya ada di sini. Tapi sayangnya, belum bisa. Untuk seseorang yang menitipkan sebuah pertanyaan pada saya tentang sebuah mimpi, untuk seseorang yang tanpanya, Dream Launch Project nggak akan pernah ada, rasa terimakasih kita nggak akan pernah cukup."
Gemuruh tepuk tangan yang ditingkahi oleh suara seruan perempuan di sana-sini terdengar, meredam segala bunyi hingga nyaris tak ada yang sadar ketika Nana berbisik samar pada mic yang berada di depannya.
"See you soon."
*
Di suatu tempat yang lain, sebulan kemudian.
Desember tidak pernah sedingin ini.
Itu yang terlintas di benak Terry ketika dia melintasi jalanan Hongdae yang ramai di awal musim dingin. Salju belum turun, tapi udara telah begitu menusuk, membuat sekujur tubuh Terry gemetar. Dia membuang napas, mengeratkan dekapan kedua tangan pada tubuhnya sendiri. Padded coat yang melekat di tubuhnya seakan tidak banyak berguna. Wajahnya terasa kaku. Terry menyesal tidak membawa sarung tangannya.
Dia mempercepat langkah, ingin segera tiba di apartemennya ketika tiba-tiba saja, suara denging yang samar menyerang telinganya.
Lima tahun telah terlewati, tapi denging itu tetap tidak mau pergi. Sesuatu yang awalnya Terry benci setengah mati, tapi faktanya, kini mampu dia syukuri. Bukankah hadir denging itu adalah tanda jika dia masih bisa mendengar? Harus diakui, ada saatnya dimana pendengarannya betul-betul hilang, namun mereka selalu kembali. Terapisnya mengatakan itu sesuatu yang normal—dan lagi, obat-obatan anti-depressan yang sempat dia konsumsi juga cukup mampu membantu masalah tinnitus yang dia miliki.
Denging itu memang tidak nyaman, namun Terry selalu bisa membuatnya jadi lebih tertahankan dengan memasang earphone dan mendengarkan musik-musik bernada rendah. Terkadang, dia mendengarkan music box, berusaha fokus pada sesuatu yang lain hingga denging di telinganya perlahan lenyap.
Benar apa kata Yeda, bisa jadi, ada beberapa solusi yang lebih baik dari mati.
Lagipula, dia sudah berjanji. Dia tidak bisa mati tanpa permisi. Nana tidak akan pernah memaafkannya jika itu sampai terjadi.
Terry merogoh saku mantelnya, mendapati dia lupa membawa earphone. Lelaki itu merutuk, memegang tiang lampu terdekat sambil menunduk. Dia menunggu agar denging di telinganya reda, namun suara mengganggu itu tak kunjung pergi. Satu-dua orang berhenti, menanyainya apakah dia baik-baik saja dalam bahasa Inggris beraksen Korea yang kental. Terry memaksakan senyum, berkata kalau dia tidak apa-apa.
Ini sudah lima tahun, dia mulai tahu bagaimana caranya terbiasa.
Dan lagi, bukankah hidup ini selalu memberi luka? Manusia tidak pernah betul-betul sembuh dari luka yang mereka peroleh, hanya saja waktu mengajari mereka untuk terbiasa.
Kemudian tiba-tiba, Terry mendengar suara piano yang familiar.
Sejenak, laki-laki lupa pada denging yang masih menggedor-gedor gendang telinganya. Kedua alisnya hampir bertaut, sementara kakinya bergerak mencari tahu dari mana sumber suara piano itu berasal. Lagu yang dimainkan adalah intro dari lagu dalam music box yang ditinggalkannya untuk Nana lima tahun lagu. Ditambah lagi, ada sesuatu dalam permainan piano itu yang mengingatkannya pada Nana. Dia sendiri tidak tahu kenapa.
Akhirnya, dia menemukan sumber suara itu.
Bunyinya datang dari dalam sebuah kafe yang cukup ramai karena udara sedang dingin-dinginnya. Kebanyakan pejalan kaki memilih mampir sejenak untuk menghangatkan badan, atau mungkin mengobrol dengan taman. Terry menghela napas, sempat ragu sejenak, tapi akhirnya dia menggeser pintu sampai terbuka, disambut oleh ruangan kafe yang terkesan majestic karena untaian bebungaan yang tergantung di langit-langit.
Pada salah satu bagian kafe, terdapat sebuah piano dan seseorang sedang memainkannya.
https://youtu.be/-jJVb0xvbdg
Terry terperangah, tersekat bertepatan dengan orang itu mengangkat wajah dan menatapnya. Mata mereka bertemu. Tidak ada yang bicara. Lantas, senyum orang itu merekah.
Senyum milik Jevais Nareshwara.
Terry masih terpaku, bahkan setelah Nana menyelesaikan permainannya. Lima tahun telah membawa pergi bocah sontoloyo yang dia kenal. Nana sudah lebih tinggi. Rambutnya sudah dipotong lebih baik, menampilkan garis wajahnya yang menyenangkan dipandang. Sejumput rambut jatuh di dahinya, kontras dengan warna kulitnya.
Tapi caranya menatap Terry... senyumnya... masih sama.
Dia masih seperti anak yang lima tahun lalu Terry lihat nongkrong di warung kopi milik Bang Horas dengan kaki terangkat dan dua kancing teratas baju seragam yang sengaja dibuka.
Tepuk tangan datang dari para pengunjung kafe usai Nana mengakhiri lagu yang dia mainkan—musik, tentu saja selalu jadi bahasa paling universal. Nana tersenyum kian lebar, membungkuk untuk memberi penghormatan sebelum dia berdeham dan mulai bicara dalam bahasa Inggris.
"Lima tahun yang lalu, seseorang meninggalkan pertanyaan untuk saya. Guru terbaik yang pernah saya punya. Seseorang yang tanpanya, saya nggak akan jadi saya yang sekarang. Katanya, seberapa besar harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi? Hanya setelah saya menemukan jawaban itu, baru saja bisa ketemu lagi sama dia. Sangat jahat, kan?"
Seisi kafe tergelak, tapi ada air mata hangat yang menyapa pipi Terry.
"Saya rasa, saya baru bisa tahu jawabannya jika setidaknya, saya sudah berhasil menggapai mimpi saya. Dan saya sudah melakukannya. Jadi... Tertius Senandika..." Nana berjalan melintasi kafe untuk menghampiri Terry, melenyapkan gelak yang sempat terdengar. "Seberapa besar harga yang harus dibayar untuk semua mimpi? Jawabannya adalah... tak terhingga. Iya, infinity. Setiap orang bisa saja punya mimpi yang berbeda-beda. Ada yang ingin menjadi pilot, maka untuk menggapainya dia harus sekolah pilot. Harga yang harus dia bayar adalah segala yang diperlukan untuk bisa lulus dari sekolah pilot tersebut. Ada yang ingin memiliki rumah kecil sederhana, maka harga mimpinya seharga dengan rumah kecil sederhana itu. Ada yang mimpinya sesederhana ingin membelikan kursi pijat untuk orang tuanya, maka harga mimpinya seharga dengan kursi pijat. Buat saya sendiri, harga yang harus saya bayar untuk mimpi saya adalah lima tahun penuh harap, kekecewaan, air mata, usaha dan doa sambil terus merindukan seseorang."
Nana berhenti tepat di depan Terry, masih tersenyum.
"Tapi kenapa lantas saya katakan jawabannya adalah tak terhingga? Memang, ada harga yang berbeda untuk setiap mimpi. Namun, saya rasa harga itu tidak bisa diukur dengan apapun. Mimpi seseorang bisa saja seharga kursi pijat. Atau seharga rumah kecil sederhana. Atau seharga biaya sekolah pilot. Walau begitu, ada sesuatu yang sama dari itu semua; untuk meraih mimpi kita, kita selalu memberikan segalanya, semua yang kita miliki, bukan hanya sebatas harga yang kita lihat. Semurah apapun harga mimpi seseorang, dia tetap harus memberikan segalanya untuk mimpi itu. Sebab mimpi itu baru bisa menjadi mimpi yang sebenarnya jika untuk meraihnya, kita perlu berkorban dan berusaha sekuat yang kita bisa. Jika kita perlu memberikan segalanya. Seandainya kita bisa memperolehnya dengan mudah tanpa harus memberikan segalanya, bukankah kita akan menganggap keinginan itu terlampau sederhana untuk disebut mimpi?"
Terry menunduk, membuat air mata meleleh melewati garis rahangnya sementara pengunjung kafe yang lain bertepuk tangan lagi.
"Jadi menurut Bapak," Nana berbisik dalam bahasa Indonesia. "Jawaban saya masih perlu remedial atau sudah lulus KKM?"
Terry malah terisak dan saat itulah, Nana meraihnya, mendekapnya erat sambil diam-diam, matanya menatap ke luar kaca jendela kafe. Salju pertama mulai berjatuhan. Udara kian dingin, tapi sebaliknya hati Nana justru terasa hangat.
Ada mitos yang dipercaya di Korea, konon jika seseorang bersama seseorang ketika salju pertama turun, mereka akan terus bersama-sama untuk waktu yang sangat lama.
Pelukan antara Nana dan Terry baru terlepas tatkala ponsel Nana bergetar, membuatnya harus merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan ponsel tersebut. Ada satu pesan baru yang masuk.
From: Pawang Anjing Galak
He, anying, Hongdae tah sebelah mana?!
Gua ama Jeno nyasar ini, mana tiris pisan anyeng beku
badan aing kenapa si Komandan kaburnya nggak ke tempat yang
angetan gitu ih sebel.
***
Before I held you, I didn't know
That the world I was in
Was this bright
Before I let go of you, I didn't know
That the world I am in
Was this lonely
All of those moments that you gave to me
Some day, we'll meet again
It'll be the happiest day
I will go to you like the first snow
***
happy new year, everyone :-)
anyway, #DLPBook2020 will come soon <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top