Dream

Lagi, aku berada di sini lagi. Apakah aku kembali stress seperti biasanya? Padahal aku sudah keluar dari pekerjaan hampir sebulan yang lalu, tapi kenapa masih seperti ini? Lagi-lagi aku masuk ke alam mimpi seperti ini.

Kali ini aku menghadapi siapa dan bertemu siapa? Kenapa aku masuk ke bagian kantor dari gedung ini? Dan, kenapa pula aku harus memakai seragam pelayan hotel?! Demi Tuhan, kenapa aku harus masuk mimpi di tengah-tengah kejadian sih, kenapa tidak dari awal?

Namun, tiba-tiba kepalaku berdenyut-denyut, ini sedikit aneh mengingat aku jarang merasakan sakit ketika sedang bermimpi. Kemudian, sebuah ingatan masuk ke dalam kepalaku, sepertinya aku sedang menjalani misi pengintaian dan menyamar menjadi pelayan hotel.

Di tengah-tengah ingatan yang mengalir, ada seorang lelaki mendekatiku sambil membawa secarik kertas dan berbisik, "Kamar nomor 303, lantai sepuluh, awasi seperti biasanya."

Segera aku mendorong troli berisi makanan menuju tempat yang disebutkan. Ah, aku ingat, lelaki tadi bernama Albhie, rekan sekaligus mentor dalam misi pengintaian kali ini. Dia bukanlah orang yang ramah, mengingat kami menjadi satu tim karena keegoisan sosok yang sedang kujalankan ini.

Dalam sosok tersebut, 'aku' melihat seorang anak laki-laki terbunuh oleh beberapa komplotan tidak dikenal. Namun, mereka mengatakan untuk tidak mengganggu atasannya apabila ingin hidup damai.

"Sial, aku bahkan tidak kenal mereka," gumamku sambil memasuki pintu lift yang telah terbuka.

Setelah bertemu dengan komplotan tidak dikenal itu, sosok 'aku' mencari tahu siapa mereka. Bahkan, sampai hampir mati di tangan Albhie karena pernah menganggu misi pengintaiannya. Ternyata komplotan tersebut merupakan anak buah dari mafia kelas kakap.

Oh ya, perlu dicatat, ternyata anak laki-laki yang terbunuh tadi adalah polisi baru dengan pangkat seorang Bharaka dan adik dari sosok 'aku'. Sayangnya, tidak ada informasi lebih lanjut kenapa dia bisa mati mengenaskan seperti itu sehingga tidak heran sosok 'aku' menyimpan dendam begitu dalam.

Namun, lagi-lagi kenapa aku bermimpi seperti ini sih?! Aku tidak mau adu tembak karena sesungguhnya aku tidak bisa melakukannya!

Ah, tekanan ini membuatku semakin frustasi. Pasti setelah bangun nanti tubuhku akan mengalami nyeri hebat seperti sebelumnya. Mimpi sialan!

Padahal hanya lantai sepuluh, tapi kenapa rasanya sangat lambat ya. Aku benar-benar merasa gelisah sampai lift berbunyi dan ada seorang wanita yang masuk dari lantai empat. Ketika melihat tombol lift berada di angka sepuluh, wanita tadi hanya menekan tombol penutup pintu saja. "Wah, kita satu tujuan rupanya," ujarnya ringan.

Aku hanya mengangguk saja, terlebih pakaiannya tidak biasa. Wanita tadi mengenakan dress dengan belahan tinggi sampai paha. Belum lagi stiletto yang digunakan, rasanya seperti akan patah.

Tidak lama ada ponsel berbunyi, lalu wanita tadi mengangkatnya. Mungkin karena hanya ada kami, suaranya tidak dipelankan sama sekali. "Kenapa, Babe? Aku akan segera sampai kok. Iya, tenang aja, kamar 303, kan? Udah sampai di lift ini. Iya, sampai nanti."

Begitu lift kembali berdenting, aku keluar mengikutinya. Tujuan kami sama, di kamar 303. Entah apa yang akan menungguku, jantungku terus bertalu-talu seperti genderang perang. Tenang, tenangkan dirimu, ini hanya mimpi, ini hanya mimpi.

Ketika wanita tadi sudah sampai di kamar yang dimaksud dan pintunya terbuka, aku segera menyapanya. "Permisi Nona, pesanan makanan untuk kamar 303 sudah datang."

"Ah, pelayan tadi ya, silakan masuk. Saya kira cuma lantainya aja yang sama." Wanita tadi tersenyum sambil membuka pintu kamar lebar-lebar. Aku hanya mengangguk saja.

Ternyata begitu masuk, terlihat seorang ajudan memeriksa makanan dan diriku dari atas sampai bawah. Ketika menurutnya sudah aman, aku segera meletakkan beberapa hidangan di atas meja.

Ternyata kamar yang dipesan merupakan ruangan khusus cukup besar dengan meja bundar di tengahnya. Ada beberapa orang tengah berbincang, sepertinya baru datang. Mereka juga memintaku menuangkan wine yang sudah dipesan juga sebelumnya.

"Kita benar-benar memerlukan bijih sihir itu jika ingin mendapatkan senjata dengan efektivitas tinggi," ujar seorang lelaki berambut pirang. Menurut informasi, dia adalah kepala daerah yang nantinya digunakan sebagai tempat untuk memasok bijih sihir.

"Tapi, kalian tahu sendiri kalau masuk ke ranah legal, maka kita tidak bisa mendapatkannya untuk urusan pribadi," sahut yang lain, pria berambut panjang berwarna gelap.

"Kalau mau, kalian bisa memasoknya bersama bahan-bahan dari restoran milikku, tapi tentu tidak gratis. Kalian cukup menerima kesepakatan denganku sebelumnya." Aura wanita tadi mulai terasa mencekam di leherku. Ternyata ambisinya cukup besar.

"Liu, kau tahu kalau pernikahan dengan 'Putra Mahkota' bukanlah hal mudah. Cukup sulit untuk mendekatkanmu dengannya, apalagi dia sudah menutup akses masuk untukku ke istana." Lelaki berambut pirang tadi mengacak rambutnya kasar, frustasi dengan permintaan Liu, si wanita tadi.

"Aku hanya menawarkan kemudahan untukmu, apa salahnya, Babe?" Liu hanya menaikkan sebelah sudut bibirnya sambil memainkan gelas wine yang sudah aku isi sebelumnya.

Setelah selesai menuang minuman, aku segera menunduk untuk berpamitan. Namun, belum juga kembali ke postur tegap, leherku terasa merinding, ada potongan besi yang menempel di leher belakangku. Meski kaget sebentar, anehnya tubuhku tidak terasa kaku, pelan-pelan aku mencoba tegap seperti sebelumnya.

"Bisa–bisanya kalian mengobrol bersama seorang tikus di sini? Apa kalian ingin segera tertangkap oleh pihak pemerintah?"

Suara berat ini, kukira dia tidak akan datang. Dari penjelasan data yang buru-buru kubaca sebelumnya, sepertinya dia Javier sang 'Pangeran Kedua'. Dia adalah salah satu dari empat petinggi komplotan yang kami intai.

Aku segera menarik napas, lalu berkata, "Maafkan saya Tuan, saya hanya pelayan di sini. Kebetulan Tuan yang lain ingin saya menuangkan minuman, sehingga saya harus lebih lama di sini."

"Oh, begitu? Tapi, kenapa kau tidak gemetar sama sekali?"

Siapa bilang nggak gemetar, Bego?! Gila aja, ini pisau di leher woi! Ih, rasanya aku ingin menendang kepalanya itu, udah tahu pake nanya pula!

Belum lagi dari tiga orang yang lain cuma diam aja. Yah, nggak heran sih pemimpin sebenarnya memang si Javier ini.

Karena aku sendiri sudah tidak tahan, dengan gerakan cepat aku menggerakkan kaki ke belakang, menendang kemaluannya sekeras mungkin dengan sepatu hak yang kukenakan.

Begitu melepas sepatu dan lari ke arah pintu, aku segera mengeluarkan belati dari balik paha dan menusuk pria penjaga sebelumnya. Untung belati tadi sudah kuoles racun pomai, jadi si penjaga tidak mungkin mengejar.

Sayangnya kali ini aku harus lari menuju tangga darurat karena tidak akan keburu kalau harus naik lift. Ah, cukup gila aku harus turun dari lantai sepuluh. Sialan memang si Pangeran Kedua itu.

Untungnya lantai bawah dari hotel ini adalah sebuah pusat perbelanjaan besar dengan berbagai macam barang sihir dan makanan. Ini memudahkanku untuk menyelinap di balik orang-orang dan segera mengganti pakaian di kamar mandi.

Setelahnya aku keluar dengan jubah khusus sambil menghubungi Albhie agar segera keluar persembunyian karena misi pengintaian gagal. Namun, begitu hampir menuju pintu keluar, aku melihat istri dari salah satu komplotan tadi tengah masuk di area spa dekat dengan pintu. Sialnya dia adalah ahli sihir yang bisa merasakan aura jubah penyamaran yang aku kenakan ini. Kalau lewat di depannya sekarang, matilah aku!

Namun, yang di belakang juga tidak bisa menunggu. Aku harus tetap turun sekarang atau tertangkap oleh mereka. Jika hanya satu wanita, sepertinya aku masih bisa melewatinya. Lagi pula, masih ada satu senjata tersimpan di balik jubah apabila dia menyerang.

Aku segera bergegas, menuruni satu escalator dengan tergesa-gesa dan hampir menabrak beberapa orang. Yah, walau akhirnya tetap nabrak juga karena yang di belakang sudah hampir mencapai escalator ini.

"Ke arah pintu! Dia di sana!"

Ah, sial! Mimpi sialan! Ayo, buruan bangun dong! Masa harus sampai di scene kejar-kejaran kayak maling gini sih. Mana kalau ketemu wanita di depan tadi harus menghindar juga. Ribet, ribet, ribet!!!

Ketika langkahku hampir sampai di pintu masuk, aku segera mengambil senapan di kantung depan jubah. Sialnya senapan berjenis revolver ini ternyata hanya memiliki satu peluru. Belum lagi, aku nggak tahu cara menggunakannya. Ini gimana ya Tuhan?! Tolong bangunin aku aja, aku nggak mau kejar-kejaran kayak maling begini!

Untungnya ketika aku sampai di depan pintu, wanita dari istri salah satu komplotan tersebut ternyata tidak menyadari langkahku. Aku selamat dan berusaha terus berlari. Namun, nahas ternyata ada sebuah mobil menghantam tubuhku hingga terpelanting ke aspal.

Saat itu juga, aku pingsan di dalam mimpi dan terbangun di dunia nyata. Hah, gila! Masa aku harus mati duluan di mimpi baru bisa bangun? Badanku juga sakit semua seakan mengalaminya secara nyata.

Aku mencari–cari ponsel dan botol minum yang selalu tersedia di meja samping tempat tidur. Ternyata sudah pukul delapan pagi, untungnya tidak ada kerjaan yang diberikan oleh kakak saat ini. Ah, tapi tetap saja, kepalaku sakit!

Kira-kira sudah berapa kali ya aku mimpi aneh seperti ini? Kalau dipikirkan rasanya ingin segera menjedotkan kepala ke dinding. Kenapa tidurku tidak pernah nyenyak, Ya Tuhan?! Sudahlah, sekarang aku harus segera mandi dan bersih-bersih atau nanti mama akan mengomel karena tidak dibantu lagi.

Seperti biasa sehabis mandi aku akan membantu mama dengan berbagai macam pekerjaan rumah. Namun, kali ini rasanya berbeda karena aku terlalu merasa was–was. Ada apa sebenarnya sih? Padahal aku juga sudah terbebas dari mimpi semalam. Toh, seperti malam-malam sebelumnya, aku tidak akan lagi memimpikannya.

Ah, tapi perasaanku tetap aneh, aneh sekali. Aku seperti tidak ingin tidur lagi. Hingga tanpa terasa waktu kembali berputar pada pukul 00.00 dan aku harus segera tidur. Aku tidak bisa gelisah terus hanya karena satu mimpi random yang memang biasanya seperti itu.

Namun, begitu aku menutup mata dan terlelap, aku terbangun di sebuah ruangan cukup gelap. Kepala dan tanganku dibebat oleh perban dengan kerongkongan yang terasa kering kerontang. Mimpi aneh apa lagi kali ini?

Saat berusaha mengambil minum di meja nakas, seseorang membuka pintu dan membuatku terkejut. Hah, apa ini? Sebelumnya tidak pernah terjadi yang seperti ini.

"Oh, sudah bangun rupanya tawanan kita ini?" ujar suara yang kukenal dan tidak lain adalah Javier.

Aku tidak bisa menjawab dan hanya berdecak. Sialan, bisa–bisanya aku kembali ke mimpi yang sama!

===

Semarang, 31 Jan 2023

Catatan: 

Referensi dari cerita ini adalah mimpi random yang sering dialami penulis. Salah satunya scene kejar-kejaran seperti mafia ini. Mungkin dulu penulis pernah jadi detektif kali ya di past lifenya hahaha.

Selamat menikmati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top