What is Freedom For You? - Vessalius04

Awan meneteskan air hujan dengan derasnya dan menyapu permukaan bumi yang kini sedang kuinjak, genangan darah yang awalnya menghiasi tanah kini perlahan menghilang seiring kedua mata terus menatap kedua mayat orang tuaku.

Kedua pupil mata bergetar seiring ingin berteriak sepuas hati walaupun mulut tak bisa mengeluarkan suara apapun. Menelan kenyataan pahit bahwa kedua orang tuaku sudah tiada, dibunuh oleh prajurit Jepang.

"Kenapa semua ini terjadi?"

.

.

.

What is Freedom For You?

Hetalia Axis Power
Arthur Kirkland x Reader
Genre : Romance, Historical and slight angst.

.

.

.

Kau tidak akan pernah tahu rasanya hidup di jaman perang. Terikat oleh peraturan mereka, membuat hidupmu seperti dipermainkan. Mati atau hidup berada di tangan para prajurit. Hidupmu diperhitungkan oleh jemari mereka.

Namaku, [Full Name], berumur tujuh belas tahun. Dulu hidupku berlangsung baik-baik saja sampai suatu hari para prajurit Jepang menemukan tempat tinggal kami yang berada di tengah hutan dan tak segan-segan menghabisi kedua orang tuaku.

Ayahku dibunuh dengan cara dipenggal. Ibuku dilecehkan lebih dulu sebelum dirinya ditembak mati, sedangkan aku selamat berkat tempat persembunyiaan yang disiapkan oleh kedua orang tuaku, hanya untukku.

Kini aku yatim piatu, mempertahankan hidupku seorang diri dan juga memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta, negara Indonesia. Mengabdi kepada negara sudah menjadi komitmenku semenjak aku kecil. Aku akan terus berjuang sampai mendapatkan kemerdekaan yang utuh.

Tanganku yang sekarang ini memegang bambu runcing telah merengut beberapa prajurit Jepang yang menghalangi pasokan makanan untuk rakyat. Kini diriku menyenderkan punggung pada salah satu tembok yang menghimpit gang kecil, perlahan merosot jatuh sembari memegang pundak yang kini terluka berkat peluru yang sukses menancap dari senapan mereka.

"Jujur saja, aku lelah---"

Itulah yang kuucapkan berulang kali dalam hati. Aku lelah, aku lelah harus terus seperti ini seorang diri---tapi aku belum mau mati. Aku belum mencapai tujuanku, belum sama sekali.

Mendongakkan kepala untuk melihat pemandangan langit, kusadari awan mulai meneteskan air mata seakan memberi rasa prihatin kepadaku.

Kedua pupilkupun bergetar, air mata mulai memudarkan pandanganku dan perlahan terjatuh menghiasi pipi seiring mengingat kejadian yang merengut nyawa kedua orang tuaku.

"A-aku belum mau mati..." gumamku lirih saat menyadari genangan darah yang sudah mulai terbentuk di sekitarku.

"Aku masih ingin hidup, melihat kemerdekaan negara dengan kedua mataku sendiri----"

Isak tangis yang tak didengar oleh siapapun mulai bergema di lorong gang kecil. Perlahan pandanganku semakin memudar, menandakan aku akan menghadapi kematian, cepat atau lama.

"Siapa saja tolong aku..."

Itulah perkataan terakhir yang kukeluarkan sebelum diriku kehilangan kesadaran seiring menyadari eksistensi seseorang yang mendekat ke arahku seakan mendengar panggilank permohonanku.


Lelaki bersurai pirang dan kedua pupil mata berwarna hijau terang menatapku dengan tajam, perlahan kulihat mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu. Tapi, berkat derasnya hujan, aku tidak bisa mendengar ucapannya sama sekali.

---dan akupun kehilangan kesadaran setelah itu.

***

Apakah aku sudah mati?

Apakah kegelapan yang kulihat ini tidak akan ada akhirnya?

Akupun mulai mencari jawaban, tak lama setelah itu kusadari diriku masih bernapas. Aku masih hidup!

Akupun perlahan membuka kelopak mata seiring kedua bola mata menyesuaikan cahaya yang tidak begitu menusuk, lalu langit-langit tembok adalah hal yang kulihat pertama kali.

Menyadari diriku sedang berbaring di atas kasur empuk, akupun perlahan bangkit sembari memijat kepalaku yang entah kenapa sedikit merasa pusing, tak lama setelah itu kedua mataku mengamati ruangan yang sangat asing bagiku.

Menyadari seluruh perabotan memiliki model klasik khas eropa, membuatku sadar---bahwa sekarang ini, aku sedang berada di tempat yang amat jauh.

Refleks, akupun turun dari kasur. Kedua kakiku menyentuh permukaan keramik dan berjalan cepat menuju pintu kamar. Langkah kakipun membawaku keluar ruangan seiring kedua mataku dengan panik melihat ke sekeliling.

Lalu tak memakan waktu lama, kudapati sosok lelaki yang sedang duduk di dekat jendela yang berembun berkat perbedaan suhu dari dalam dan luar rumah.


Butuh beberapa saat sampai kedua pupil hijau terangnya menyadari keberadaanku, terlihat iapun berhenti membaca koran yang berada di atas meja dan beralih pandang untuk menatapku.

"Oh? Kau sudah bangun rupanya---" Dengan nada datar, diapun membuang pandangan dan kembali membaca koran dengan cuek.

Akupun otomatis melangkah mendekat ke arahnya, "Apa yang terjadi? Kenapa aku berada disini? Lalu di mana aku sekarang?"

Melontarkan tiga pertanyaan sekaligus ke arah lelaki di hadapanku, membuatnya kembali melirik ke arahku lalu menutup koran miliknya, "Kau terlalu banyak bertanya, nona."

Kedua telapak tanganku menyentuh permukaan meja, "Aku butuh penjelasan, tuan."

Iapun menghela napas kecil, merasa sedikit kesal dengan sifat keras kepalaku, "Namaku Arthur Kirkland, nona---tetapi bukan artinya aku ingin kau memanggilku hanya dengan nama saja."

"Baiklah, tuan Arthur. Aku meminta penjelasan darimu."

Arthur mendengus saat mendengar ucapanku, "Bukankah sudah jelas? Aku menyelamatkanmu dari ambang kematian dan membawamu ke sini."

Belum puas mendengar penjelasannya, akupun melontarkan pertanyaan yang sama dari salah satu ketiga pertanyaan tadi, "Lalu sekarang ini, aku ada di mana?"

Dengan nada santai, ia menjawab, "Sekarang ini kau berada di Inggris, tepat di kota London."

Mataku membelak kagetsaat mendengar jawabannya, aku tidak percaya ia bisa mengatakan itu dengan santainya, "APA MAKSUDMU?!"

Arthur kembali mendengus, kali ini terdapat rasa kesal yang tersirat, "Sudah kuduga akan terjadi seperti ini----"

Akupun memotong ucapannya, "Tentu saja! Kenapa kau membawaku ke sini?!"

Arthur yang mendengar pertanyaanku langsung mengangkat salah satu alisnya sambil mendecih pelan, "Ck, tentu saja aku membawamu ke sini karena ingin menyelamatkanmu, bukan?"

Akupun hanya bisa diam sesaat mengetahui mulutnya masih terbuka untuk memberiku informasi lebih.

"Dengar, nona. Aku adalah salah satu dari pemimpin negara ini yang memiliki tugas rahasia di negaramu itu, katakan saja kau sedang beruntung karena saat kau sekarat, aku ada di sana dan berniat membantumu. Aku tidak ingin mendengar banyak keluhan dari orang yang telah menerima bantuan dariku, mengerti?"

Akupun menggigit bawah bibir saat mendengar pernyataannya yang cukup menusuk hatiku, perlahan akupun menundukkan kepala dan menatap lantai keramik.

Beberapa saat, bisa kudengar dia kembali menghela napas kecil, "Sebentar lagi Jepang akan jatuh dan kalah dalam perperangan dengan blok kami, dan negaramu itu akan meraih kemerdekaan cepat atau lama."

Ekspresi terkejut terpasang di wajahku, akupun kembali mendongakkan kepala dan menatapnya, "Benarkah?!"

Arthur yang melihat unsur bahagia di wajahku hanya mengangguk pelan, "Apakah aku terlihat berbohong sampai-sampai kau harus meyakini perkataanku lagi, nona?"

"Namaku [Full Name], tuan Arthur. Tidak perlu memanggilku dengan sebutan nona."

Terlihat ia memasang senyuman yang amat kecil, "Baiklah, [Name]. Terserah kau saja."

Mendengar ucapannya itu membuatku memasang senyuman lebar seiring merasa bahagia saat mengetahui negara kelahiranku akan mendapatkan kebebasan.

"Kalau begitu, kapan aku bisa kembali ke negara asalku?"

Arthur yang sedang menopang dagu, sempat berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaanku, "Yang pasti tidak dalam jangka waktu dekat, aku yakin segala jalur transportasi menuju negaramu akan ditutup dalam jangka waktu cukup lama."

"---Jika ingin tahu spesifiknya, kau harus menunggu dua sampai tiga bulan setelah negaramu merdeka."

Akupun memasang tatapan kecewa saat mendengar penjelasannya itu, dua bahkan tiga bulan bukanlah waktu yang cepat, apalagi harus tinggal di tempat asing seperti ini.

"Apa yang perlu kau khawatirkan sekarang? Untuk masalah tempat tinggal, aku sudah membiarkanmu menumpang di sini 'bukan?"

Selayaknya bisa membaca pikiranku, ia berucap dengan nada sedikit cetus, aku yang tak memasalahkannya langsung membungkuk badan guna untuk berterima kasih padanya.

"Terima kasih, terima kasih banyak!"

Bisa kuketahui ia membuang wajah saat melihat dan mendengar ucapan terima kasihku, pura-pura tidak peduli walaupun kutahu dia merasa tidak nyaman dengan kelakuanku saat ini.

Aku rasa tidak buruk merasakan kemerdekaan negara walaupun dari jarak yang terpaut jauh.

***

Satu bulan terlewat dengan cepat. Walaupun berada di negara orang, aku cukup merasa senang di sini. Harus kuakui Arthur adalah orang yang memiliki sifat tsundere, tetapi ia melebihi kata baik saat bersamaku.

Dia memang kadang suka melontarkan ucapan tajam yang spontan, tetapi aku bisa memaklumi itu. Hampir setiap hari, ia meluangkan waktu dari pekerjaannya untuk mengajakku berkeliling kota London.

Dia juga membelikanku beberapa baju untuk kupakai sebagai baju sehari-hari. Awalnya aku merasa tidak enak, tetapi saat dilontarkan kalimat cetus nan tajam khasnya, akupun hanya bisa mengalah.

Kini kami berada di halaman belakang rumah atau bisa kubilang mansion karena ukuran rumah ini yang melewati batas wajar dan duduk berhadapab di meja taman menikmati langit sore sembari meminum teh.

"Arthur," entah sejak kapan juga, aku telah berani memanggilnya hanya dengan nama---dan dia tampak tidak memasalahkan itu sama sekali.

Arthur yang sedang memegang secangkir teh dan meminumnya, hanya melirik ke arahku sebagai balasan singkat.

"Kenapa kau baik terhadapku?"

Arthur menaikkan salah satu alisnya seiring tangannya menaruh cangkir kembali ke atas meja, "Apakah ada alasan untuk jahat terhadapmu?"

Akupun menggeleng pelan, "Tidak 'sih, tapi bukan jawaban itu yang kuharapkan darimu."

Arthur mendengus untuk kesekian kalinya, "Aku tidak pernah tahu jalan pikiranmu, [Name]. Apakah baik terhadap seseorang harus disertai oleh alasan yang jelas?"

Tanganku mengambil satu buah macaron dan memakannya sekali lahap, "Pasti merepotkan membawaku dari Indonesia sampai ke sini 'bukan?"

Arthur terdiam, terlihat ia membuang wajah ke samping, "Tidak terlalu, pada saat itu aku juga membawa beberapa anak buah bersamaku."

Akupun ber'oh' pelan, memutuskan tidak melanjutkan percakapan dan menikmati waktu minum teh bersama dengan damai.

***

Tidak kusadari dua bulan sudah terlewati dan Arthur telah memberi kabar bahwa jalur transportasi menuju negaraku sudah dibuka kembali.

Entah kenapa, aku tidak merasa senang saat mendengar kabar itu saat mengingat aku akan berpisah dengan Arthur sebentar lagi.

"Kau harus kembali, [Name]." Sekali lagi, Arthur yang tampak bisa membaca pikiranku---mengeluarkan pendapatnya.

"Aku tahu, Arthur. Aku juga ingin menjenguk makam kedua orang tuaku."

Akupun memasang senyuman terpaksa yang tentu saja bisa disadari oleh siapapun, bahwa senyumanku adalah senyuman palsu.

Tapi Arthur hanya diam dan menatapku dengan raut datar seakan tidak peduli dengan apa yang sedang kurasakan saat ini.

"Besok, aku akan kembali ke negara asalku."

***

Hari esok tiba sangat cepat, setelah menyiapkan segala keperluan---kini aku sudah berjalan keluar rumah. Arthur yang menyempatkan diri sebelum melaksanakan tugasnya, ikut keluar bersamaku.

Akupun tersenyum kecil ke arahnya, "Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya, Arthur."

Arthur sedikit menunduk dan menutup kedua matanya sebentar lalu membukanya kembali, "Kau tidak perlu berterima kasih."

"Aku tidak bisa membalas kebaikanmu, Arthur. Setidaknya biarkan aku berterima kasih."

Akupun membungkukkan badan sebentar lalu menegakkannya kembali, "Selamat tinggal, Arthur."

Dengan cepat, akupun membalikkan badan dan mulai berjalan menjauh darinya---sesekali menahan diri agar tak mengeluarkan tangisan.

"Tunggu."

Langkahku terhenti saat mendengar suaranya, akupun diam tanpa menoleh ke belakang untuk melihat wajahnya.

"Kau tahu alasan mengapa aku terlihat tidak peduli saat mengetahui kau akan kembali ke negaramu hari ini, [Name]?"

Aku hanya diam, menunggu jawabannya dengan ketakutan yang amat sangat dalam. Apakah dia akan mengeluarkan perkataan tajam yang sama seperti dulu?

"Karena aku yakin, kita akan bertemu lagi nanti. Jangan pernah berpikir kau tidak akan pernah melihatku lagi, [Name]."

Akupun menoleh ke belakang dengan raut terkejut saat mendengar perkataannya itu, "Bloody hell, kenapa aku bisa mengucapkan kalimat seperti itu?" Bisa kudengar ia bergumam pelan sambil mengacak rambutnya kasar.

Lalu terlihat salah satu tangannya beralih fungsi untuk menutup setengah wajahnya yang tampak sedikit merona dan membuang pandangan ke samping, "Maka dari itu, tunggu aku di sana, [Name]."

"---Jadi, sampai jumpa."

Kini sebuah senyuman tulus terlukis di kedua sudut bibirku, pernyataannya itu sukses membuatku memasang ekspresi yang penuh dengan rasa kebahagiaan.

"Sampai jumpa juga, Arthur!"

-END-

"Nothing is more precious than independence and liberty."
- Ho Chi Minh

"Independence doesn't mean you decide the way you want."
- Stephen Breyher

"The beauty of independence, departure, actions that rely on themselves."
- Walt Whitman

"Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country."
- John F. Kennedy

~Thanks for reading until the end!~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top