Answer-ayame_kaizumi

Ujung sepatu diayunkannya ke depan, sengaja dihantamkan ke tiang besi di hadapan. Sudut bibirnya mengapit rokok, tidak peduli dengan asap yang berkeliaran dengan nakalnya untuk mencekik siapa-siapa dengan radius kurang dari 3 meter.

Suasana hati Rivaille memang selalu buruk--namun tidak permah seburuk ini. Kalau dibandingkan, berkali-kali lipat lebih parah daripada emosinya ketika mengurus Jean--atau bahkan Eren--yang level membangkangnya sudah cukup membuat kantong matanya semakin menggelayut.

Semuanya gara-gara dia.

Salahkan bocah yang terus-terusan menginterupsi hidupnya selama beberapa bulan belakangan. Salahkan mulut kecilnya yang entah bagaimana muat menampung ratusan--tidak--ribuan kata untuk berdebat dengannya.

Sebagai komandan kapal yang selalu siap berlaga di pos, Rivaille tidak terlalu banyak berpatroli. Ia adalah keturunan Asia-Eropa yang cukup beruntung mendapatkan jabatan tinggi di badan militer nasional.

Atau setidaknya, agak tidak beruntung.

Dan--sialnya--ia merasa terlalu lembek untuk bersedia meladeni bocah itu--yang akil balig saja baru beberapa minggu terakhir ini. Alih-alih mendepaknya keluar dari markas, ia justru memberikan hak istimewa bagi sang bocah untuk keluar-masuk kantornya. Bukannya menyuruh anak itu menyeret kaki kotornya dari lantai kantor yang sudah ia poles selama sekian jam, ia selalu menanti dentuman kaki yang khas itu melompat di sepanjang koridor.

Sekali lagi, salahkan bocah sialan itu--[fullname]

.

Answer

Rivaille/Levi Ackerman x Reader

I do not gain any profit by writing this fanfiction

Fict ini saya hadiahkan secara khusus untuk negara tercinta. Selamat ulang tahun yang terlambat, Indonesia!

.

"Rivaille, anak itu datang lagi." Farlan--tidak mau repot-repot mengangkat pantat--otomatis melapor ketika pintu diketuk dengan teknik yang sangat tidak profesional. Tepatnya, digedor berkali-kali.

"Suruh saja dia masuk."

Sudah jadi refleks. Kau akan mengetuk--menggedor--pintu, lalu dipersilakan masuk. Kalian berdua akan berdebat macam-macam selama sekian jam dengan diawasi Farlan--yang hanya bisa bersilang lengan dengan ekspresi iba entah pada siapa--sampai akhirnya kau diusir pulang.

Mungkin Rivaille akan terus membiarkanmu bersarang di kantornya--kalau tidak untuk formalitas dan gengsi. Entah karena dia memang senang menyiksamu dengan hinaan verbal, karena suka memancing emosimu dengan sekali sindiran, atau sekadar senang melihatmu duduk di depannya--

--tidak. Abaikan saja poin terakhir itu.

"Yakin kau mau membiarkannya masuk?" ekspresi Farlan berubah prihatin. "Terakhir kali dia datang, kantormu tidak bisa lagi disebut kantor. Ingat?"

Daya ingat Rivaille jauh lebih kuat dibandingkan seekor gajah. Tentu saja ia ingat momen di mana kau pernah mengobrak-abrik kantor yang sudah ia rapikan sedemikian rupa--hanya gara-gara Rivaille keceplosan mengejek nama orangtuamu.

Sang komandan mengangguk sekali. "Aku yang akan memutuskan akan diapakan dia nanti."

Pintu baru dibuka beberapa detik kemudian, mengekspos seorang gadis mungil namun cabe rawit. Ekspresinya seolah siap menelan tuan rumahnya bulat-bulat.

"Rivaille, apa-apaan kau?" tanpa permisi, kau langsung mengomel. "Wilayahku tiba-tiba dihancurkan. Hanya untuk dijadikan lahan latihan perang! Lalu aku dan keluargaku harus tinggal di mana?"

Farlan cepat menoleh ke Rivaille. Ekspresinya penuh tanda tanya. "Penggusuran mendadak lagi?"

"Hmm. Daerah itu terlalu jorok kalau dibiarkan saja."

Farlan tergelak, namun tidak denganmu.

Tidak terima, kau spontan menghantamkan tinju ke meja kayu. Sudah dihancurkan, masih dikata-katai. Siapa yang tidak kesal? "Kau bukan pemilik teritorial ini, tahu! Jangan seenaknya main perintah!"

Yang dimarahi hanya merokok dengan tenang. Kalimat demi kalimat yang kaulontarkan hanya masuk telinga kanan, keluar di telinga kiri. Atau bahkan tidak didengar sama sekali. "Kau ini memang lambat berpikir, ya? Kalau mau marah ya, saat proses. Bukannya pasca kejadian."

Kedua tanganmu mengepal. "Sialan--"

"Sudah kubilang kan, bocah?" ujung rokok diketukkan ke bibir asbak. "Bicara itu pakai filter. Bukan asal menyerocos seperti mobil kebanyakan oli yang remnya sudah jebol."

Kau mengerucutkan bibir. Tidak terima dikatai seperti itu, padahal lawan bicaranya sendiri suka main maki. "Jangan panggil aku 'bocah'! Aku sudah tahu mana yang benar dan mana yang tidak."

"Tetap saja, usiamu tidak cukup tua untuk membantahku. Belum pernah diajari tata krama?"

Niatnya ingin memprotes, namun langsung ditangkis. "Anak-anaknya saja seperti ini--buat apa dipertahankan?"

Sekalipun menyandang gelar 'bocah', kau tidak segitu bodohnya untuk tidak memahami makna kalimat itu--yang terus terang saja membuat emosimu terpacu.

Bahkan Farlan yang sedari tadi jadi sider refleks menyikut rekannya. Diam-diam tentu saja--siapa yang semurah hati itu untuk membela pihak musuh secara terang-terangan?

"...bukan..."

Alis Rivaille terangkat satu. "Apa? Bicara itu yang jelas."

"Aku bilang bukan urusanmu!" kau membentak sengit. "Mana kau tahu soal usaha yang selama ini dilakukan oleh teman-temanku--hanya untuk bertemu dengan orangtua mereka kembali? Mana kau tahu kalau kami berusaha keras mengumpulkan orang untuk dijadikan kawan? Yang ada malah ditembaki oleh pasukanmu."

Farlan sudah bersiap memanggil Erwin, jaga-jaga kalau kau berakhir menciptakan kerusuhan lagi.

Dalam hitungan detik, Rivaille sudah beranjak dari kursi lebarnya. Sengaja menyejajarkan kontak mata denganmu yang nyaris meledak tangisnya.

"Sori bocah"--nadanya sama sekali tidak terdengar menyesal--"tapi ini kenyataan. Kau--dan semua orang di negaramu--tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan usaha yang sudah dilakukan oleh pihakku. Jangan kira kami kuat semata-mata karena kelebihan materi."

Kau menggigit bibir. Hatimu terasa diremas-remas. "Lalu kaukira perjuangan kami ini apa? Sudah cukup kami ditindas selama berpuluh-puluh tahun--"

"Umurmu saja belum ada seperlima abad--jangan sok," ujarnya meremehkan. "Dengar nak--apa yang kaudengar selama ini tidak valid. Banyak orang cenderung melebihkan fakta."

Irismu melebar, namun tetap mendengarkan.

"Dari caramu marah, kesannya seolah-olah aku dan rombonganku adalah tim antagonis. Padahal kau--" jari telunjuk ditudingkan tepat di depan dahimu. "--tidak kalah kejamnya."

Dahimu berkerut tidak mengerti. "Apa maksudmu? Kami hanya ingin bebas. Apa itu tidak cukup?"

"Karena itulah kau masih kusebut 'bocah'." Rivaille cukup toleran untuk tidak meniupkan asap rokoknya ke wajahmu. "Ingin saja tidak cukup--harus ada usaha juga. Kalau mau menangis juga semua orang bisa."

Ia melirik ke arah sudut, mendapati Farlan yang terus-terusan menoleh ke arah jendela. Tidak mau repot-repot menegur koleganya, ia terus mengoceh. "Kau tahu apa yang membuat kami senang melahap orang-orang sepertimu?" tanyanya.

"Kenapa?" kau balik bertanya.

"Karena kalian cuma takut disiksa. Kalian takut apa yang menjadi milik kalian direbut. Cuma itu. Ketakutan kalian lebih payah daripada anak ayam yang ditinggal mati induknya." Tatapannya menghujam lurus-lurus ke arahmu tanpa ampun. "Kalau mau bebas itu jangan hanya segelintir orang. Percuma."

Pipimu kembali menggembung. "Jawabanmu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku--"

Tahu-tahu kau mendapati tanganmu diremas dengan lembut--tidak seperti biasanya. Untuk pertama kalinya, kau bisa merasakan kehangatan yang menjalar dari sela-sela jari ke dadamu.

"Sekarang pulang, dan temukan jawabannya sendiri. Jangan jadi orang dewasa yang sok tahu, tapi jadi bocah yang banyak pengetahuan."

Baru beberapa waktu kemudian ia akan menyesali pintu yang berayun menutup itu.

Kira-kira sudah berapa lama sejak momen itu terjadi?

Entah. Otak Rivaille sudah tidak bisa menghitung lompatan waktu. Sudah kepalang kacau. Rasanya baru kemarin kau muncul di kantornya, dan hari ini sudah menandai 1 tahun lamanya kau absen dari pandangan.

"Dasar bocah."

Alih-alih dirimu, tiang malang tanpa dosa malah dijadikan korban amarah. Hanya wajah Rivaille yang terlihat di pantulan besinya--tanpa ada wajahmu menyembul dari sisi manapun.

Pertanyaannya, bukankah seharusnya ia senang karena tidak perlu meladeni interupsi tak berguna darimu?

Tidak.

Tidak kalau ia harus kehilangan sosokmu tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal--padahal masih banyak materi yang ingin ia jadikan topik perdebatan.

Untuk yang kesekian ratus kalinya, ia kembali menyalahkanmu. Ia mengkambinghitamkan dirimu karena sudah seenaknya menyusup ke dalam kehidupannya, dan menghilang begitu saja.

Ia merutuki dirimu yang datang tanpa diundang, namun juga pergi tanpa disuruh.

"...kenapa justru sekarang?"

Di saat baling-baling pesawat memecah sunyi, Rivaille tidak bisa mendengar apa-apa. Ketika air laut seharusnya menghiasi pemandangan, yang ada di depan Rivaille hanyalah kegelapan.

Pasukan dan penduduk yang tewas dalam perang: ....., ...., ...., [fullname], .....

"Hei bocah," suaranya dingin, namun menyimpan rasa getir tersembunyi. "Apa kau sudah bebas?"

Dan Rivaille tidak akan pernah mendengar jawaban mantap itu keluar dari mulutmu.

a/n

Halooo maaf baru sempet publish sekarang :"""")))
Aya lagi sibuk banget //alesan jadi tolong dimaklumi ya. Sekalinya senggang, malah nge-drop. Yha, memang badan ini susah diajak kompromi. X"D

Cerita ini terinspirasi dari otak ngawur Aya yang mikir soal orang-orang yang waktu itu cuma bisa ngerengek, protes terus soal kepengin bebas tanpa ada usaha. Apalagi mereka yang waktu itu masih nge-geng per daerah.
Dan bukannya membela pihak penjajah, tapi mereka juga manusia. Juga punya perjuangan di balik kekejaman mereka. Di sini Aya kepengin bikin karakter yang nggak terlalu hitam-putih. Yang jahat ada baiknya, dan yang baik juga ada jahatnya. //apasih

Semoga kalian bisa menikmati ceritanya ya. :") selamat membaca, dan selamat belajar!

Xoxo,
Ayame

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top