Study Hard - Radif_Chan


STUDY HARD

The Basketball which Kuroko Plays© Fujimaki Tadatoshi

Copyright © 2016 by  Radif_Chan

Genre: Drama, fluff

Rate: General, Teen

Aomine Daiki x Reader

###'

##

#

Meski sudah untuk ke-17 kalinya Aomine menguap, namun itu tidak menggoyahkan pertahananmu untuk tidak membiarkannya bermalas-malasan. Lelaki berkulit tan itu selalu berdecih tiap menemukan soal-soal yang menurutnya susah, sesekali ia melirikmu dengan mata berairnya – efek mengantuk – seakan memohon agar ujian perbaikan ini disudahi saja. Bibirnya bergumam tak jelas sambil menggoyang-goyangkan kakinya tanda bosan, diiringi suara khas ketukan pulpen di meja yang tentu saja terdengar cukup berisik di dalam ruangan yang hanya ada kau dan murid urakan itu.

"Kau jahat sekali sensei, hari ini aku ada pertandingan." Keluhnya sambil menompang dagu malas dan menatap jijik pada dua lembar soal yang ada di hadapannya.

Kau tersenyum sinis dan memukul kepalanya dengan kipas lipat, "Aku takkan mau mendengar apapun alasanmu."

"Tapi bagaimana kalau tim basket kalah?"

Hampir saja kau tertawa mendengar sangkalannya barusan, kali ini kau menatapnya lekat-lekat dan menunjuk hidungnya, "Kau pikir aku tidak tahu kalau tim-mu itu hebat? Lagi pula kalau kau bisa menyelesaikan semua ini, kau masih bisa ikut pertandingannya di quarter 4, dan kurasa itu sudah cukup untukmu mengobrak-abrik pertahanan lawan."

Mendengar kalimatmu – yang terdengar baginya mirip dengan pujian – barusan, membuat mantan power forward Teiko itu tersenyum, "Kau tahu sekali tentangku, sensei. Jangan-jangan kau su – ittai!!!"

Kali ini kau memukulnya lebih keras, cukup sudah, murid ini benar-benar tidak bisa ditolerir dan terlalu banyak bicara, "Hentikan omong kosongmu. Rampungkan soal matematika dan bahasa Inggris ini, atau kau tidak akan pergi ke pertandingan sama sekali." Ancammu yang kemudian kembali duduk ke meja guru sambil menghela nafas panjang.

Benar-benar bukan murid terpuji.

Aomine mengumpat kesal dan kembali mengerjakan soalnya kembali, tapi meski pun ia berkonsentrasi pada soalnya, matanya tak pernah lepas mencuri pandang darimu. Ia sedikit kesal mengapa kau – yang menurutnya adalah tipenya – harus menjadi gurunya selama 3 bulan ke depan, walau pada kenyataannya kau 4 tahun lebih tua darinya, tapi umur hanyalah sebuah angka, sama sekali bukan halangan bagi seorang Aomine, dan itu tidak langsung menyurutkan rasa ketertarikannya padamu. Buktinya, sampai detik ini ia masih betah menatapmu secara intens begini meski kau sudah 'menyiksanya' dari tadi.

"Bagaimana bisa orang sepertimu tidak tahu sama sekali dengan trigonometri sedasar ini?" Keluhmu saat melihat kertas jawaban milik Aomine pada ujian lusa kemarin, ia yang sedang melamun itu pun terhenyak.

Sejenak kau menatapnya dan menggeleng pelan seolah merasa usahamu mengajarinya seperti hal yang sia-sia, "Padahal kau harus menguasai teknik triangulasi kalau kau ingin menjadi astronom. Bahkan dengan trigonometri kau pun bisa memahami pasar financial, arsitektur, grafik computer dan lain-lain." Lanjutmu sambil melihat-lihat lagi hasil pre-test Aomine yang kau punya dari guru tetap yang saat ini sedang kau gantikan posisinya olehmu karena sedang cuti.

"Kami-sama... kepalamu itu isinya benar-benar hanya basket, tidur, dan majalah tak senonoh." Kau bergumam kesal membuat wajah pemuda navy itu sedikit cemberut seolah tak terima dengan ucapanmu barusan, "Aku berterimakasih sekali pada Satsuki yang telah memberitahukan semua kejelekanmu itu. Mau jadi apa Negara ini jika generasinya saja tidak becus mengerjakan soal semudah ini? Suram sekali masa depannya."

Ruang kelas yang hanya ada kau dan Aomine itu kini mendadak senyap ditelan angin, dahi remaja 16 tahun itu berkedut, ia sudah kesal dengan komentar pedasmu.

Ingin rasanya memaki, namun ia tidak bisa melakukan hal itu, cukup Momoi saja ia pernah berteriak kasar pada perempuan. Kalau waktu itu ia dilempari buku oleh Momoi, entah barang apa yang akan kau lempar pada si gangguro ini jika ia berani memakimu. Meja, mungkin.

Sambil berdecih pelan, ia membuang muka darimu dan menatap deretan soal tanpa minat, "Aku sama sekali tidak pintar, sen-sei." Ucapnya penuh tekanan diakhir.

Kau menghela nafas, "Dengar, aku tidak menuntutmu untuk menjadi orang yang pintar, tapi aku memintamu untuk berusaha dalam belajar. Aku akan menghargai semua usahamu kalau kau menuruti nasihatku yang satu ini. Tidak ada orang yang terlahir dengan cerdas begitu saja, tapi mereka 'ada' karena mereka berusaha."

Mendengar perkataanmu barusan, lelaki itu mendadak tersenyum penuh arti, sepertinya ia tidak salah menilai orang. Di mata Aomine, sekarang kau terlihat benar-benar sudah sempurna secara fisik maupun hati. Kini kau mengambil sebuah buku dari dalam tas, "Aku akan meminjamimu novel Shisho Taikoki agar kau cepat paham dengan pelajaran sejarah Jepang, nilaimu yang satu ini terlalu biasa."

Manik lautnya kini mengikuti pergerakanmu, sampai akhirnya kau berada dihadapannya dan meletakkan novel tersebut diatas mejanya. Aomine pun membalasnya dengan mengulurkan lembar jawabannya padamu dengan wajah lesu, "Aku sudah mengerjakan semuanya, boleh aku pergi sekarang?"

Kau menerima kertas jawaban milik Aomine dan mengangguk pelan, "Umm, kau boleh pergi."

Ia bernafas lega, kemudian ia bangkit dari duduknya seraya merenggangkan otot dan membereskan mejanya, termasuk novel milikmu yang kini ia masukkan ke dalam tas miliknya. "Rasanya seperti neraka mengerjakan soal-soal itu hanya dalam waktu 90 menit." Kesalnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Bagaimana bisa Satsuki dan Sakurai tahan mengerjakan itu semua? Menyebalkan."

Kau hanya tersenyum simpul dan menepuk bahunya. "Saa, pergilah ke pertandingan. Aku akan menyusul nanti."

Aomine menghela nafas, "Apa kita orang terakhir yang ada di sekolah?"

Kau mengangguk, "Tentu saja, itulah sebabnya aku harus mengunci kelas ini, aku tidak mau diomeli penjaga sekolah."

Bibir Aomine tersenyum penuh arti, tangannya pun langsung memberi tepukan sayang di kepalamu, "Kau benar-benar professional, [f/n]. Itu yang membuatku sangat menyukaimu, akh tidak, tepatnya mencintaimu."

Semburat merah pun muncul di pipimu, kau menepis tangan Aomine dan menatapnya tak santai, "Hentikan, Daiki. Disini aku adalah gurumu, bagaimana kalau ada yang lihat?"

"Tapi orang-orang tahu kalau kau itu kekasihku sejak aku lulus SMP, lagi pula saat ini sepi."

"Yang tahu hal ini hanya orang tuaku, Kisedai dan Satsuki." Ingatmu pada si rambut navy, "Jangan melakukan tindakan aneh selama aku menjadi gurumu disini, hormati aku."

Bahkan seorang Aomine yang sifatnya angkuh dan urakan itu pun menurut padamu, "Haik haik, itulah mengapa aku kesal saat kau magang disini, ingin bicara saja harus di tempat sepi, mendokusai." Gerutunya yang kemudian melangkah menjauhimu setelah mendekapmu dan memberikan kecupan singkat di dahi.

"Ahomine!"

"Anggaplah itu sebagai asupan energy sebelum aku bertanding." Katanya dengan senyum nakalnya, "Akh ya satu lagi, aku benar-benar tidak tertarik matematika dan tidak pernah bercita-cita ingin menjadi astronom atau pun arsitek. Aku ingin menjadi polisi, kau tidak keberatan kan punya suami yang berprofesi keras seperti itu?"

Mendengar ucapannya barusan, tentu saja membuat wajahmu makin memerah. Terkadang, laki-laki itu selalu berhasil membuat darahmu menghangat hanya dengan mengatakan hal yang terdengar seperti gurauan, "T-tapi aku tidak mau punya suami aho."

"Kalau begitu aku akan berusaha seperti nasehatmu tadi. Jangan lupa, kau hanya boleh melihatku saja."

Dan setelah ia mengucapkan kalimat itu, ia pun pergi keluar kelas menyisakan debaran di dadamu. "Ganbatte ne, a-ho."

OMAKE:

"Kenapa aku harus mengikutimu dengan cara seperti ini, Midorima teme!!!" Kesal Aomine saat Midorima membawanya ke pusat kota dengan tangan yang diikat oleh tali, ia tak menyangka kalau shooting guard Kisedai akan melakukan hal semacam ini disaat dirinya sedang tidur diatap sekolah, "Ini memalukan!"

Si rambut hijau itu membenarkan letak kacamatanya dan berdehem, "Aku melakukan ini agar kau tidak kabur seenaknya, nanodayo."

Aomine berdecih, namun ia pasrah dengan keadaannya yang tidak memungkinkan untuk kabur, "Memang kau mau membawaku kemana?"

"Tempat privat."

"He? Apa katamu barusan?!!"

"Ujian kali ini kau harus mendapat nilai bagus atau Akashi takkan mengizinkanmu untuk mengikuti kejuaraan nasional, nanodayo." Jelasnya dingin. "Apa gunanya punya tim hebat kalau isinya ada orang yang tidak mau berusaha dalam belajar yang jelas-jelas menjadi prioritas utama dalam sekolah. Kau ingin di skors?"

Si navy itu bungkam, mau bagaimana pun ia protes pada Akashi, tetap saja hasilnya takkan berubah, yang ada justru keadaan malah makin memanas, tuan berambut crimson itu tidak suka dibantah. Apalagi ditambah ucapan dahsyat bak pukulan tak kasat mata dari Midorima barusan, Aomine benar-benar pasrah.

Tidak terasa sudah hampir 20 menit berjalan, si megane pun menghentikan langkahnya di depan sebuah toko bunga yang tentu saja mengundang tanda tanya di kepala Aomine. "Oii teme, katanya ke tempat privat. Kenapa malah ke toko bunga?"

Midorima mengecek notes yang diberikan Akashi dan mencocokkan alamat tokonya, "Memang ini alamatnya, nanodayo."

"Masa'?!!"

Kedua pelajar SMP tahun terakhir itu pun masuk kedalam toko kecil yang berhawa sejuk itu, aroma khas dari berbagai macam bunga pun menyapa indera penciuman mereka. Mata mereka melirik-lirik mencari seseorang karena keadaan sedang sepi.

"Sumimasen." Midorima angkat suara sampai muncul sosokmu dari balik pintu pantry.

"Ada yang bisa kubantu?" Tanyamu sambil memicing heran pada kedua remaja yang datang dengan cara yang aneh, kenapa yang satunya diikat begitu? Pikirmu, sambil menoleh pada si navy yang kini tercengang menatapmu.

"Kami kemari untuk mencari [your name], nanodayo."

"Akh, pasti kalian teman Sei-kun. Konnichiwa, aku [your name], Sei-kun pasti sudah cerita saat aku lulus dari Teiko dulu, aku pernah menjadi guru privatnya yang saat itu masih SD." Midorima pun menjawabnya dengan anggukan pelan, kau menoleh pada Aomine yang ada di belakang si hijau itu dan tersenyum, "Jadi kau yang bernama Aomine? Senang bertemu denganmu."

Dan saat melihat senyum ramahmu itulah, jantung remaja 15 tahun itu pun mulai berdegup tidak santai

.

######'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top