Dramaturgi
Aku sudah mati.
Di tengah kecamuk penghujan pada penghujung tahun, kehidupanku seharusnya dituliskan dari dunia yang sama halnya gadis berusia dua puluh dua tahun lainnya saksikan. Namun, aku justru mendapati diri ini telah terbunuh dan akhirnya dibiarkan membusuk dalam sepetak dunia senyap yang disebut kamar tidur. Sendirian. Tanpa diketahui siapapun.
Hal pertama yang kusimpulkan setelahnya ialah mati ternyata mudah.
Sebagian orang bahkan telah merenggang nyawa pada usia yang lebih muda dariku. Tapi lebih banyak lagi di antara mereka yang jasadnya tidak terkubur hingga berpuluh tahun berikutnya. Dari luarnya, mereka terlihat masih bernapas, berjalan atau melempar senyum. Tapi itu hanya sebatas topeng palsu. Tiap kali membuka mata, kehidupan akan merengkuh tubuh-tubuh hampa mereka untuk dibujuk agar bersandiwara dalam panggung bernama kenyataan.
Mereka yang telah mati, tidak benar-benar hidup. Selayaknya seonggok mayat yang mengambang. Terombang-ambing dalam arus gelap. Porak-poranda tak tentu arah. Tanpa tujuan. Kosong. Tiada bedanya denganku yang sekarang.
Lantas, apa aku sendiri sudah mati dengan benar? Karena nyatanya, pagi ini aku tetap berhasil membuka mata bersama sebongkah kehampaan yang menyesaki rongga dada. Dengan tubuh lemas, aku mencoba mengingat kembali apa yang salah hingga bisa terbangun dengan perasaan demikian. Namun, tidak ada yang berhasil kuingat hingga celana tidurku yang basah pada bagian selangkangan menjelaskan semuanya.
Semalam aku sudah melakukan hal jorok, lagi.
Sebongkah penyesalan berkecambah seiring jemariku masuk ke sebalik celana dan mendapati sisa cairan lengket di dalamnya. Umpatan pelan tumpah dari bibirku. Bila saja seseorang masuk kemari sekarang, mereka pasti melihat betapa sengsaranya aku karena tak bisa mengendalikan fantasiku sendiri. Sekaligus betapa senangnya aku melampiaskan desiran hasrat yang berpilin pada bawah pusar ketika beragam masalah meledak dalam kepala. Rasanya seperti kecanduan. Aku terus saja melakukannya hingga tiada sisa nikmat kecuali telah menjelma menjadi muak.
Aku benar-benar menjijikkan.
"Rin!"
Ayah mengetuk pintu kamar saat diri ini sibuk berkawan sepi sembari terlentang menatap langit-langit kamar. Beliau memberi tahu kalau fajar telah menyingsing dan menyuruh untuk segera mandi. seperti apa yang mungkin terjadi sepanjang hari nanti.
Dari balik pintu itu, kehidupanku telah menanti. Hari-hari melelahkan. Monoton. Rutinitas jemu tentang setumpuk revisi skripsi tiada akhir, pesanan ilustrasi yang belum tersentuh atau sederet kegiatan yang menyedot habis seluruh daya. Saat kaki ini menapaki dunia luar, aku akan bertemu lagi dengan orang-orang yang sama. Mereka adalah sekelompok manusia yang hadir dalam hidupku tetapi menuntut agar egonya diberi makan juga olehku.
"Rin anak yang baik. Kamu adalah satu-satunya kebangaan keluarga kami."
"Kamu memang teman terbaik, Rin. Kami senang bisa mengenalmu."
"Bersyukurlah, Rin. Kau cantik, pintar dan berkecukupan. Banyak orang yang mendambakan hidupmu."
Ramai kalimat dari mulut mereka bagaikan pasak berantai yang membelenggu tiap jengkal tubuh. Lantas diriku akan bergerak, menari dan berperan sesuai angan, ingin dan harap mereka. Bila harap tak sampai, mereka memperlakukanku sebagai mainan rusak. Tanpa berusaha peduli apa yang mainan itu rasakan. Seolah aku memang bukan seseorang.
"Hiduplah berdasarkan kenyataan, bukan keinginan."
"Tanggungan kami tinggal menjadikanmu pegawai negeri dan mencarikan suami. Jadi cepat selesaikan studimu."
"Lihat sepupumu, mereka sudah punya anak dan hidup mapan!"
Rasanya sesak sekali.
"Memangnya kau bisa cari uang dengan sebatas menggambar?"
"Menangis takkan menyelesaikan perkara. Jangan cengeng!"
Tidak ada satupun yang mau mendengarkanku.
"Hapus pikiran bodoh itu! Kamu merusak jiwamu sendiri."
"Ayah tidak minta macam-macam, cukup jadilah anak baik dan penurut!"
Berisik.
"Jangan gila, Rin!"
Tapi tidak ada pilihan lain bagiku selain menjadi Rin yang mereka inginkan. Rin, gadis pintar yang berperangai santun. Rin, si anak penurut. Rin yang selalu menjadi kawan bercakap yang menyenangkan. Rin yang kuat dan tidak cengeng. Rin yang waras. Rin yang ....
... palsu? Juga munafik? Seberkas suara imajiner dari dalam otakku berbisik.
Benar. Aku merasa tak punya banyak kuasa atas diri. Entah sampai kapan sandiwara ini akan terus berlangsung. Bersebab karenanya, aku tidak pernah bisa eksis menjadi diriku sendiri. Mereka yang sedang menunggu dari balik pintu, menantikan Rin yang diinginkan segera muncul. Dan aku tak sanggup berbuat banyak terhadapnya.
Kau sungguh menyedihkan.
Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah duduk sejenak menatap pintu kamar setiap pagi, memikirkan berbagai asumsi yang mungkin terjadi. Semisal hari ini mereka semua berubah, lantas menerima diriku apa adanya atau sebaiknya mereka semua lenyap saja dari kehidupanku. Pasti akan menyenangkan, karena artinya aku akhirnya bisa hidup.
Apakah hari ini akan berubah? Apakah aku bisa melaluinya dengan normal?
Sepertinya tidak, karena kau memulai hari dengan serangkaian pikiran buruk. Suara dalam kepalaku berseru nyaring.
Benar. Itu mustahil. Aku akan kembali berpura-pura.
Selayaknya badai, gelombang putus asa sekejap datang menghajarku hingga merasakan kegetiran. Ujung jemariku mencengkram seprai kuat-kuat, sementara tangan lainnya memukul kasur berulang-ulang. Mulutku terbuka, melepaskan teriakan tanpa suara. Kulampiaskan semua sesak yang terakumulasi dalam dada dengan mengacak seisi ranjang dengan liar.
Sialan, untuk apa aku ada? Kenapa aku kini harus berakhir menjadi aku? Gadis yang tak bisa menjadi apapun, kecuali menuruti kemauan orang lain. Aku terpojok, tersudut sebagai sosok asing. Selayaknya boneka pertunjukan dengan gemerlap rupa tanpa nyawa.
Memangnya sampai titik mana aku bisa bertahan tanpa menjadi diriku sendiri?
Pada ujung tanya, aku malah tersengal beberapa kali, merasakan paru-paru berusaha menghalau masuknya udara. Makian kembali buncah dari bibirku. Sesak. Aku tak bisa bernapas. Aku harus keluar.
Aku butuh obatku.
Setelah berhasil meraihnya, Jemariku memutar tutupnya yang licin untuk kemudian hanya mendapati delapan butir pil tersisa. Tanpa keraguan, aku nekat menjejalkan tiga pil pahit sekaligus dengan bantuan segelas air putih sebelum suara-suara itu datang kembali. Awalnya kukira akan ada gelayar yang mengiringi hilangnya pil berwarna putih itu dari dalam mulut.
Namun, tidak ada sesuatu yang terjadi.
Berbekal kecewa, aku menumpahkan satu pil lagi dan segera menegaknya. Lantas pada sepuluh detik berselang, lidah ini kembali mendorong paksa pil berikutnya menuju lambung. Sembari terus menyemai harap yang mewujud dalam benak, aku menyuapkan sebutir lagi. Kemudian lagi dan lagi hingga menyisakan satu butir.
Gerakan tanganku seketika terhenti begitu menyadari kejang aneh yang bersumber dari ulu hati. Aku segera merangkak naik ke tempat tidur, memejamkan mata, lantas menantikan apa yang terjadi selanjutnya.
Satu menit pertama, aku belum merasakan apa-apa. Namun, menit-menit berikutnya bagaikan neraka.
Dalam dera pusing yang menghujam seisi kepala, kurasakan nyeri dan mual mulai menjalar dari dada bagian bawah. Aku menggeliat, meracau dan berusaha tetap sadar. Perutku bergejolak, seolah seisi lambung berusaha melontarkan balik benda asing yang masih setengah tercerna dari kediaman mereka. Mulutku sontak terkatup saat perutku mulai mengejang. Cairan itu bergerak cepat hingga menyentuh rongga mulut dan siap dimuntahkan. Kakiku berlari secepat mungkin menuju kamar mandi tepat saat semburan asam lambung itu meleleh pada ujung bibir.
Aku muntah. Kubiarkan isi perut yang beraneka rupa tumpah ruah membasahi lantai dengan iringan suara memilukan. Siksaan ini perlahan mereda setelah tidak ada lagi yang bisa perutku keluarkan selain cairan keruh yang pahit. Pada menit berikutnya, kakiku hanya bisa tersimpuh lemah pada ubin yang dingin bersama aroma anyir. Mataku berkunang-kunang. Gelap segera memenuhiku bersama perut yang membara, seolah ini akan berlangsung selamanya.
Detik demi detik berjalan lambat, Kepalaku terdongak demi memandang bohlam lampu yang berpijar, membayangkan apa yang terjadi jika masih nekat menelan pil berikutnya. Mungkin leher ini akan tercekik dan seluruh daksa terasa tercerabut. Lantas nyawaku sungguhan melayang. Seketika aku dirisak oleh ketakutan karena membayangkan bila itu benar nyata terjadi.
Dasar sampah, Bisikan di kepalaku terdengar mengejek, Kau takut mati tetapi terlalu pengecut untuk terus hidup. Lantas maumu apa?
Aku memukul-mukul kepalaku sendiri supaya diam. Ini kacau. Tidak seharusnya aku nekat melakukannya. Tak terbayang seperti apa ekspresi bunda dan ayah ketika menemukan putri semata wayangnya tergeletak dengan menyedihkan layaknya sekarang. Keduanya mungkin marah besar, atau bisa saja khawatir. Tapi akan lebih mungkin lagi kalau mereka abai, bersikap tidak peduli karena mengira aku sudah dewasa.
Mereka tidak mau paham, tetapi aku juga tak ingin membuat keduanya khawatir.
Ayah dan Bunda telah melakukan banyak hal untuk memberiku kehidupan yang normal. Rumah yang nyaman, pendidikan terbaik dan makanan bergizi. Mereka telah menyiapkan masa depan yang dianggap terbaik bagiku. Aku sungguh tidak mau mengacaukan semua pemberian itu dan menyulut emosi mereka seperti beberapa hari lalu.
Hari dimana Bunda mendiamkanku sepanjang hari setelah mengatakan, "Itu salah pikiranmu. Jika terus seperti itu, kamu akan menghancurkan dirimu dan menjadi tidak waras. Apa yang dikatakan semua orang nanti? berhentilah menambah masalah baru lagi, Rin."
Jangan membantah. Jangan menyusahkan. Jangan jadi beban. Jangan menjadi tidak berguna. Itulah yang otakku terjemahkan saat meringkuk dengan rasa bersalah dalam kamar. Sejak saat itulah aku percaya bahwa tidak ada gunanya lagi meluapkan gundah pikiranku pada mereka. Tiap kali derita itu tersulut, gigiku hanya mengatup rapat di sebalik bibir yang saling menekan satu sama lain. Lantas aku berusaha menyeringai datar, bukti pada dunia bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Suara hatiku hanya bisa membisu. Terdiam retak sembari menunggu diri ini lengah agar bisa berontak. Tapi tidak seorang pun yang peduli. Aku tak bisa membagikan perasaan ini pada siapapun, bahkan kepada mereka yang ringan hati membuka jasa konseling di laman internet. Aku hanya akan menghancurkan hati kedua orang tuaku jika ketahuan mendatangi psikolog. Mereka pasti akan kecewa, malu dan menganggapku anak gagal.
Pada akhir kata, tiada yang akan bisa mendengar teriakanku. Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku yang sekarang hanya bisa menderita diam-diam dan berharap ada yang sadar kalau diri ini sedang tidak normal.
"Rin! Rinai!" gema suara bunda terdengar dari balik pintu, bersamaan dengan ketuk pintu yang memecahkan lamunan, "Kau tidak apa-apa, sayang?"
Wajahku sontak terangkat, tersuruk keluar kamar mandi untuk mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Mulutku berbohong kalau diri ini sedang mulas dan membutuhkan sedikit waktu. Kalimat itu kututup dengan tawa serak yang terdengar buruk. Bunda ikut tertawa tanpa curiga, lantas mengingatkan untuk segera sarapan.
Mereka telah menanti.
Bagus, ayo ulangi lagi kehidupanmu yang membosankan ini.
Aku kembali berjalan ke kamar mandi dan membersihkan badan, berusaha menghalau segala resah yang barusan menghinggapi. Ketika selesai, mataku tanpa sengaja disajikan bayangan wajah berkulit putih pucat dengan rambut hitam panjang dari balik cermin buram. Sebuah pantulan sempurna seorang pesakitan. Tanpa ekspresi. Pucat pasi seolah tanpa nyawa.
Dia berusaha mengguratkan senyum lebar dengan bantuan dua jemari telunjuk. Gadis itu menyakinkanku agar keluar dengan topeng terbaik. Aku akan tersenyum, memasang wajah bahagia dan menjalani hari dengan harapan baru. Dia bilang aku bisa melewati hari ini.
Kedua pasang mata kami saling menatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya aku memalingkan muka karena muak. Rasa muak karena melihat sosok gadis dari balik cermin masih berusaha hidup. Aku benci melihat wajahnya. Aku benci pada diriku sendiri. Diriku yang lemah, bodoh dan tidak bisa melakukan apapun.
Nah, kalau begitu nanti kita coba mati lagi, yuk!
Setelah mengganti pakaian, jemariku meraih ganggang pintu. Hela napas berat berhembus berulang kali. Aku mengigit ujung bibir, kemudian mengulum senyum yang biasa kulatih. Perlahan pintu kamar terbuka. Begitu satu langkah menapak keluar, pandanganku menemukan bunda terlihat sibuk dengan masakannya dan ayah yang serius menonton berita.
Mereka menyadari kehadiranku. Kami bertiga saling tatap selama beberapa saat hingga seringaiku mencairkan suasana.
"Selamat pagi."
***
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top