Penutup

"Hanaaann, jangan lari-lari nak!"

Quina segera memegang tangan mungil Hanan yang hendak menghindarinya. Anaknya itu sangat aktif sekali. Membuat Quina yang saat ini memakai kebaya kesusahan mengejarnya.

Saat ini Quina sedang berada di sebuah gedung tempat diadakannya pesta pernikahan Puti, teman dan saudara baginya. Akhirnya setelah lama berpacaran dan bertunangan selama hampir tiga tahun, Rafky akhirnya menikahi Puti juga.

Dan Quina sangat senang sekali karena ajang balas dendamnya akan segera terealisasi. Dulu waktu ia baru menikah, Puti melakukan trik licik padanya. Mulai dari teror malam pertama, lingerie sampai home stay ala Puti. Dan Quina tersenyum mengingat kejahilan yang telah ia siapkan untuk temannya itu. Iya, Quina memberikan kado lingerie untuk Puti tapi dengan motif animal print. Tak sebanding dengan kejahilan Puti dulu, tapi cukup mengobati kekesalannnya. Dan lagi pula Puti itu tidak suka memakai sesuatu yang berbau animal, dan Quina sudah bisa membayangkan betapa kesalnya Puti nanti.

"Kenapa senyam-senyum sendiri sih, Yang?" tanya Fauqa yang baru datang dengan sepiring buah di tangan kanan.  Menghampiri dua orang terkasihnya lalu menyerahkan piring kepada Quina kemudian menggendong Hanan yang masih bergerak ingin lepas dari cekalan Quina.

"Nggak ada." jawab Quina masih dengan senyum yang masih tersisa di bibirnya.

Mengabaikan Quina, Fauqa menatap Hanan yang masih bergerak minta turun dari gendongannya. "Hanan, no no no no!" Fauqa mengoyangkan jari telunjuknya kekiri dan kekanan  tanda larangan untuk anak lelakinya itu.

Itu adalah metode ampuh untuk melarang Hanan yang aktif untuk melakukan aksinya. Just say NO. Karena kalau berkata tidak atau jangan tak akan ada artinya bagi Hanan. Tidak atau jangan, it's mean YES untuk Hanan yang saat ini berumur dua tahun dua bulan.

"No no no!" Hanan menirukan ucapan Fauqa dengan bibir mengerucut lucu. Fauqa mencium pipi gembil Hanan. Anaknya sangat lucu dan menggemaskan.

Quina tersenyum melihat dua jagoannya itu. Tuhan sangat baik padanya memberikan kebahagian yang tak terhingga. Dia yang hanya wanita biasa mendapatkankan Fauqa, pria yang sangat sempurna baginya. Yang membuat kisah hidupnya laksana cinderella. Bukankah setiap kisah punya ciri tersendiri? Dan menurut Quina kisahnya adalah cerita cinderella versinya sendiri.

"Bu, apey," ucapan Hanan membawa Quina kembali ke alam sadarnya.

"Ini bukan apel sayang, ini pepaya." Quina menyuapkan potongan pepaya ke dalam mulut kecil Hanan.

"Mo apey," lagi Hanan bersuara.

"Yaa, tadi ayah nggak ngambil apel. Gimana dong?" Fauqa yang memangku Hanan berucap.

"Apey ndak da? Beyi?" tanya Hanan polos.

"Iya, nanti kita beli."

"Beyi piy, angguy, manyak." Hanan menyebutkan buahan yang ingin dibelinya.

"Iya, nanti kita beli buah banyak. Tapi Abang punya duit nggak?" tanya Quina kepada Hanan. Mereka membiasakan Hanan memanggil dirinya Abang.

"Bang, dak da wit. Yah da." Hanan menunjuk Fauqa.

"Masa sih Ayah punya duit." tanya Quina.

Hanan tak menjawab hanya menganggukan kepala mengiyakan.

**

Sesuai dengan janji mereka tadi. Seusai menghadiri acara pernikahan Puti, Quina dan Fauqa membawa Hanan ke toko buah langganan mereka. Dan benar saja, Hanan memenuhi troly yang didorong Fauqa dengan buahan yang diingikannya.

"Yang, perasaan kita nggak gila buah deh, kok bisa si Abang jadi doyan banget sama buah ya?"  Fauqa mendorong trolly yang sudah penuh ke kasir.

"Ya nggak papa dong, Yang, daripada Hanan doyan snack, bagusan doyan buah lah." Quina membawa Hanan yang duduk di atas troli kedalam gendongannya.

Sebenarnya Quina tidak suka menaruh anaknya didalam troli ketika mereka berbelanja ke supermarket ataupun toko buah seperti ini. Namun si kecil Hanan sering merengek ketika melihat troli dan ingin masuk kedalamnya. Dan Fauqa, si Ayah dengan alasan sayang anak akan mengabulkan permintaan anaknya itu.

Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir mereka sekeluarga beranjak menuju parkiran.

"Mau kemana lagi kita, Bang?" Fauqa yang berada dibalik kemudi menanyai Hanan yang saat ini berada dipangkuan Quina.

Hanan itu paling tidak suka ditaruh di car seat. Jadilah Quina harus memangkunya jikalau mereka hendak bepergian.

"Kayak yang ngerti aja anaknya." ledek Quina.

"Ngertilah, anak ayah kan pintar. Ya kan Bang?" Fauqa meminta pembelaan dari Hanan. Sementara sang anak asyik memakan es krimnya, mengacuhkan Fauqa.

"Udahlah, Yang. Kita pulang aja. Bentar lagi Hanan juga ngantuk. Udah mau masuk jam tidurnya." Quina membersihkan mulut Hanan yang belepotan dengan tisu basah.

Fauqa itu emang suka memanjakan Hanan. Hanan minta apa saja dikabulkan. Kadang anaknya tidak meminta dianya yang menawarkan. Seperti saat sekarang ini. Dan hal seperti itu yang kadang membuat Quina sering kesal dengan suaminya itu.

Dan benar saja belum juga mereka sampai di rumah Hanan sudah tertidur lelap didalam dekapan Quina.

"Kan bener apa yang aku bilang. Udah tidur anaknya." Quina mengusap-usap punggung Hanan yang telah terlelap.

Fauqa hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya. Tangan kirinya mengusap rambut Hanan yang tidur menyandar di dada Quina. Sementara tangan kanannya sibuk dengan kemudi.

"Yang, kasih adik buat Hanan yuk." bisik Fauqa di telinga Quina.

"Sekarang?" goda Quina.

"Nantangin ya kamu? Aku pinggirin nih mobilnya." Fauqa balas tersenyum mengoda. Saat ini mereka masih berada di perjalanan pulang.

Quina hanya tertawa menanggapi godaan Fauqa. Suaminya itu sudah dari beberapa waktu lalu meminta adik buat Hanan. Bahkan Fauqa juga menghasut Hanan yang tidak mengerti apa-apa untuk diberikan adik.

"Bu, bang mau adik." ucap Hanan kala itu.

"Adik?" Quina yang sedang merapikan mainan Hanan yang bertebaran di ruang keluarga hanya membeo mendengar ucapan anaknya itu.

"He em, Dik tantik." ulang Hanan.

"Nanti ya?" jawab Quina.

"Nooo, sekayang kita beyi." lalu Hanan berdiri dan memanggil Ayahnya ke dalam kamar. "Yaaah, ayokk beyi adik tantik sekayang."

Quina tersentak dari lamunannya ketika mendengar pintu pagar dibuka. Ternyata mereka telah sampai di rumah. Menggendong Hanan yang terlelap, Quina melangkahkan kaki memasuki rumah tempat di mana semua kesempatan itu dimulai.

Apa jadinya kalau ia tidak menerima perjodohan waktu itu. Apa jadinya kalau ia tetap menjadi orang yang terkungkung oleh masalalu hingga tidak memberi kesempatan untuk Fauqa memasuki hatinya dengan segala cinta yang pria itu punya.

Karena sejatinya bahagia itu kita yang cipta. Bagaimana Quina bisa bahagia kalau ia menutup pintu hatinya. Bagaimana Quina bisa bahagia kalau ia menolak kesempatan yang Tuhan berikan. Sama halnya dengan rezeki yang bisa datang entah darimana. Begitupun dengan bahagia. Kita tidak tahu pada siapa Tuhan menitipkan bahagia kita. Kalau kita tidak mau memberi kesempatan. Karena bahagia itu hanya untuk orang-orang mau.

"Yang, beneran ya kita ngasih adik buat Hanan." Fauqa yang baru keluar dari kamar mandi menghampiri Quina yang  sedang menyiapkan pakaian tidur untuk suaminya itu.

"Iyaa. Kalau Tuhan ngasih." jawab Quina lalu menyerahkan satu stel piyama ke tangan Fauqa. "Lagi pula aku nggak pernah pasang KB kan?" Quina memang tidak pakai alat kontrasepsi. Karena memang tidak cocok oleh tubuhnya.

Dan mungkin ia belum hamil lagi, karena ia masih menyusui Hanan hingga usia dua tahun ini. Bukankah banyak yang seperti itu, tanpa alat kontrasepsi pun kehamilan akan tertunda selama sang Ibu masih menyusui. Quina tidak tahu pasti kenapa bisa begitu, karena ia mengalami sendiri. Ia belum hamil lagi hingga saat ini padahal ia tidak memakai kontrasepsi.

"Makasih ya, Yang." Fauqa yang telah berpakaian lengkap memeluk Quina. "Jadi kalau datang bulannya sudah siap kita bisa kasih adik Hanan dong?"

"Tentu," Quina balas memeluk Fauqa. "Tapi, aku harus menyapih Hanan  dulu." bisiknya di telinga Fauqa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top