Bonus Part
Part bonus ini kubikin pov Quina. So happy reading Gaess.
_____❤️_____
"Hanan, nooo!" teriakku dari arah dapur. Namun suara nyaringku tak cukup bagi Hanan. Hingga pangeran kecilku tetap saja menarik adik kecilnya yang baru saja belajar berjalan. Dan pekikkan itu menggema di penjuru rumah. Hanika meraung-raung minta segera diperhatikan.
Segera aku berlari ke arah Hanika. Kugendong gadis kecil itu seraya menepuk-nepuk bokongnya. Dia menyurukkan kepalanya di leherku. " cup, cup, jangan nangis lagi dong sayang. Abang nggak sengaja." bujukku. Si Ratu dramaku ini harus dirayu agar tangisnya tidak berlarut - larut.
"Babang aat," tunjuknya pada abangnya, Hanan. Kepalanya terangkat, airmata mengalir di pipinya.
"Bang, minta maaf sama adiknya." Aku menoleh pada pria kecilku yang masih berdiri di posisinya tadi.
Hanan mendekat, kuposisikan tubuhku setinggi anak lelakiku itu, agar mudah untuknya berbicara pada adiknya. "Adek, abang minta maaf." dikecupnya pipi Hani, "Tapi kan abang mau ajak adek lari-lari. Adek sih lama." lanjut pria kecilku kemudian.
Hanan banget. Tak rela disalahkan.
Aku hanya bisa menghela nafas mendengar pengakuan jujur putraku itu.
Jadi akhir - akhir ini Hanan memang sering membuat adiknya Hani menangis. Dikarenakan dia ingin mengajak adiknya berlari-lari. Padahal Hani baru saja belajar berjalan. Belum mahir. Masih selangkah dua langkah. Kalaupun sampai lima langkah pasti ujung-ujungnya dia akan jatuh. Tapi Hanan yang tak mengerti apa - apa mengira adiknya sudah bisa di ajak berlarian. Hingga tanpa sadar dia menarik adiknya dan mengakibatkan Hani terjatuh lalu menangis.
"Ada apa ini? Kenapa kesayangan ayah nagis?" Priaku, ayah dari anak-anakku menghampiri kami. Dia mengusap kepala jagoannya, kemudian mengambil alih putri kesayangannya dari gendonganku.
"Abang nggak sengaja. Abang mau ajak adik lari-lari. Trus adiknya jatuh." tanpa kuminta Hanan menceritakan kronologis kejadian kepada ayahnya.
"Abang nggak sengaja cantik. Jangan nangis lagi ya." diciumnya pipi Hanika yang lembab karena air mata buayanya.
Hanika melingkarkan tangan mungilnya di leher ayahnya. "Tapi babang aat." ucapnya, belum terima.
"Makan es krim yuk." suamiku yang tampan mengalihkan topik. Hanika walaupun masih setahun dua bulan tapi dia ratu drama. Cengeng kebangetan. Apalagi kalau ada ayahnya. Jadi untuk mengalihkan perhatiannya biasanya Fauqa akan membujuk anaknya itu dengan makanan kesukaanya.
Mereka berdua melangkah menuju lemari pendingin mengambil satu cup besar es krim coklat yang memang selalu tersedia.
Mungkin karena waktu hamil Hanika, aku ngidam es krim coklat sehingga ketika gadis kecilku ini sudah bisa memakan makanan lain selain asi, es krim menjadi salah satu favoritnya.
"Jangan banyak-banyak!" ingatku sebelum melangkah menuju dapur. Melanjutkan kegiatan memasakku.
Waktu memang cepat berlalu. Enam bulan setelah Hanan berhenti menyusu aku hamil. Dan dikehamilan kedua, aku dianugrahi putri yang sangat cantik. Fauqa kecil kalau ibu mertuaku bilang. Semua yang ada di tubuh Hanika adalah jelmaan suamiku itu. Aku sempat protes kenapa dua anak kami semua duplikat dia, dan kalian tahu apa jawaban suamiku itu? Tenang saja pas proses pembuatan yang ketiga nanti aku ngalah deh biar mirip kamu. Dasar mesum memang Fauqa Al Hasan itu.
"Buuuu, nenen." sentuhan dari tangan kecil di bahuku mengembalikanku ke alam nyata. Putri kecilku meminta jatahnya.
"Kan udah tadi," kuambil alih Hanika dari gendongan ayahnya. "Lanjutin dong, Yang." kuserahkan spatula pada suamiku tercinta.
Kucuci tanganku. Lalu kubawa gadis kecilku duduk di kursi yang ada di ruang makan, memberinya jatah asi.
Dari tempat dudukku, aku bisa melihat suamiku berkutat dengan pengorengan dan spatula. Mengangkat lauk yang sudah matang. Dan meniriskannya pada wadah yang sudah kusediakan.
"Abis ini apa lagi?" tanyanya.
"Udah, taruh di meja aja. Jangan lupa tutup pake tudung saji." kataku.
"Oke." Fauqa melakukan apa yang ku instruksikan. Setelahnya ia duduk di sampingku memperhatikan Hanika yang sedang menyusu.
"Kenapa nggak di kamar sih?" tanyanya. Tangan usilnya menoel pipi tembem anaknya.
Kutepuk tangan jahilnya. "Jangan ganggu deh." gerutuku. "Kebiasaan baru anak kamu nih, nyusuin harus duduk. Marah dia kalau dibawa tiduran." beritahuku.
"Kok gitu?" tanya suamiku heran.
"Taulah, ada keahlian baru yang bakal dikasih lihat mungkin." kuusap alis Hanika. Matanya terbenam karenanya. Namun beberapa saat kemudian dia menepis tanganku. Takut terlelap karena elusanku pasti.
Anak-anak ada saja kepandaiannya kan ya? Kayak Hanika ini. Ketika ada kebiasaan baru yang dibawanya maka akan ada keahlian baru yang dia bisa setelah itu. Aku hanya tinggal menunggu saja apa keahlian baru itu. Dan pastinya harus ekstra sabar. Karena dia akan bertambah drama ketika mendapatkan keahlian itu.
Beberapa saat sedotan Hanika di putingku terlepas. Kepalanya telah ditegakkan. Kemudian dengan brutalnya dia mendorong tubuhku minta diturunkan dari pangkuan. "Uyun," ucapnya diantara usaha untuk melompat dari pangkuanku.
Kutahan tubuhnya. "Hei, hati-hati, nanti jatuh." ucapku. Lalu memenuhi permintaanya. Menurunkannya. Setelah kakinya terjejak di lantai kulepas peganganku diantara bawah ketiaknya. Membiarkannya kembali melakukan apa yang dia ingin lakukan.
"Liatkan kelakuan anak kamu." ucapku pada Fauqa yang tengah menatap Hanika yang saat ini sedang tertatih-tatih melangkah.
"Anak aku emang harus gitu, harus punya semangat yang tinggi." jawabnya tanpa memandangku. Masih fokus memperhatikan putri kesayangannya.
Fauqa hendak berdiri ketika melihat Hanika terjatuh. "Biarin aja." Aku menahan tangannya. "Siapa bilang aku mau ngomongin tentang semangatnya. Dia nggak sabaran kayak kamu." kataku.
Fauqa langsung menoleh. "Oh aku ngerti." ucapnya dengan senyuman mesum.
"Udah ah, aku mau lihat si Abang dulu." ucapku beranjak dari kursi.
"Tadi mancing-mancing, sekarang kabur." kuabaikan ledekan Fauqa. Suamiku itu suka nyebelin kalau senyum mesum sudah terbit di wajahnya. Tak pandang tempat kalau dia ingin menggodaku.
***
"Udah tidur?"
"Udah." Fauqa menghampiriku di ranjang. "Ini mau dipindah sekarang?" dia mengusap pelan rambut Hanika yang sudah terlelap di sampingku. Mulut gadis kecilku bergerak seperti tengah mencecap sesuatu.
"Boleh." kugeser tubuhku agar Fauqa bisa memindahkan Hanika ke box bayinya.
Fauqa kembali bergabung denganku di ranjang setelah melakukan tugasnya. Ditariknya tubuhku lebih dekat padanya. Kemudian dilingakarkannya tangannya dipinggangku.
"Capek?" tanyanya di puncak kepalaku. Lengannya menjadi bantalan untuk kepalaku.
"Kan ada kamu yang bantuin." jawabku. Kusurukkan kepalaku ke dadanya. Menghidu aroma tubuhnya. Dia hanya memakai kaos tipis untuk tidur. Tak bisa tidur topless kecuali saat kami berhubungan intim.
"Tetep kamu yang paling capek," tangannya mengusap lenganku.
Memang menjadi ibu dari dua bocah aktif itu menguras tenaga. Tapi, semua terbalas dengan melihat senyum mereka setiap harinya. Setiap lelah yang datang akan sirna dengan sendiri, ketika dua orang kesayanganku bermanja-manja dipelukkanku.
"Namanya jadi Ibu." jawabku. Mataku tiba-tiba terasa berat mungkin karena usapan-usapan yang diberikan di lenganku.
"Yang," samar kudengar dia memanggilku.
"Udah tidur kamu, Yang."
"Hmmm," aku bergumam sebagai jawaban.
"Aku nggak dapat jatah sayang malam ini ya?" tanyanya.
"Hmmm," Lagi aku hanya bisa menggumam sebagai jawaban. Mataku ini benar-benar tak bisa untuk dibuka lagi.
"Yahhh," desah kecewa keluar dari mulutnya.
Aku mengeliat dalam pelukannya, "Nanti aku mau tidur dulu." jawabku kemudian.
"Bener ya." ucapnya. Menarikku lebih dekat dipelukannya lalu mengecup puncak kepalaku.
"Sayang kamu istriku." kudengar ucapannya diantara rasa kantukku.
"Sayang kamu juga, suamiku." Aku menjawab ucapannya. Namun hanya berupa gumaman yang kurasa tak dapat di mengerti olehnya.
____ ❤️ ____
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top