8. Menghitung hari
Hari masih pagi ketika Fauqa sampai di rumah Quina. Hari ini mereka akan melakukan sidang penataran nikah di Kantor Urusan Agama. Sebagai salah satu tahapan yang harus dilewati sebelum hari pernikahan. Termasuk dengan surat numpang nikah yang telah diserahkan Fauqa ke keluarga Quina beberapa waktu yang lalu. Iya, karena prosesi nikahan akan dilakukan dirumah Quina.
Fauqa duduk di ruang tamu rumah Quina dengan segelas kopi dan beberapa biskuit didepannya. Tinggal mengitung hari lagi mereka akan menikah. Menjadi sepasang suami istri yang sah baik dimata hukum maupun agama.
Fauqa sedang sibuk dengan handphone-nya ketika Quina berdiri didepannya dengan baju kurung warna cyan dengan tenunan telisik di pinggiran baju dan juga lengannya. "Qa, aneh nggak sih, aku pake baju kayak gini?" tanya Quina memamerkan baju yang dipakainya.
"Bagus kok. Cantik!" jawab Fauqa.
"Tapi aneh aja rasanya."
"Perasaan kamu aja. Lagipula, kamu mau pake apa? Jeans?" Fauqa menarik Quina hingga duduk disampingnya.
"Emang boleh?"
"Nggak. Kan dibilangin kalo harus pake baju kurung . Lagian sekali ini pun." ucap Fauqa menggenggam tangan Quina.
Quina menarik nafas dalam. "Iya sih. Tapi, masa peraturannya musti pake baju kurung sih. Pake gamis kek, atau rok kek, kan yang penting sopan. Tapi ini malah pake baju kurung."
"Ya, udah. Kan cuma sekali ini aja. Lagian cantik kok. Aku yang pake baju hitam putih macam anak magang, nyantai aja. Lah, kamu masa pake baju kurung aja sewot. Itung-itung melestarikan budaya bangsa." ucap Fauqa.
Quina hanya tersenyum menanggapi ucapan Fauqa. Benar juga apa yang dikatakan Fauqa, cuma kali ini aja. Lagi pula kalau dipikir-pikir tidak ada salahnya juga pake baju kurung. Hitung-hitung melestarikan budaya bangsa. Apalagi baju kurung nya juga model kekinian. Bukan yang seperti biasa dipake ibu-ibu zaman dulu itu.
"Ya, udah. Ayok berangkat nanti macet." Quina beranjak dari kursinya.
"Kamu nggak pake jilbab?" tanya Fauqa ketika melihat Quina masih mengurai rambut panjangnya.
"Pake kok, tapi nanti di mobil. Ini masih lembab, ntar rambutku ketombean." Quina menunjuk rambutnya yang terlihat sedikit basah.
"Emang bisa rapi kalo dipakai di mobil?" tanya Fauqa.
"Bisalah. Kan aku pakai jilbab yang simple aja."
Sehari-hari Quina memang tidak memakai jilbab. Dia hanya memakai jilbab kalau ikut pengajian atau saat menghadiri acara yang bersifat religi saja. Tapi kalau hanya untuk memakai jilbab model simple, Quina bisalah.
Kalau ditanya adakah keinginan Quina untuk menutup aurat. Pastilah ada. Dan sebagai muslim, Aquina tau kalau menutup aurat adalah kewajiban seorang muslim wanita. Tapi untuk sekarang, Quina belum bisa melaksanakan salah satu kewajiban itu. Butuh proses bukan? Dan semoga proses untuk itu tidak lama.
***
"Untung kamu nggak pake jeep tadi ya, Qa." ucap Quina. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju KUA.
"Kenapa?" tanya Fauqa, melirik Quina yang sedang sibuk dengan jilbabnya.
"Kamu liat dong, aku pake baju kayak gini. Susah kali naik mobilmu yang tinggi itu."
"Gampang kok. Kalo kamu nggak bisa naik kan ada aku. Ntar aku gendong." Fauqa tersenyum lebar ke arah Quina.
"Sabar ya, Pak. Tinggal menghitung hari." Quina mengerlingkan matanya.
"Kamu jago banget ya Quin, mancing-mancing. Padahal aku nggak ada kepikiran ke sana.
"Mana ada aku mancing-mancing. Emang kamu ikan?"
"Kamu kan emang gitu. Omongan apa aja bisa jadi berubah jadi topik terlarang itu."
Quina tertawa menanggapi ucapan Fauqa. Iya sih, Quina suka usil. Suka membelokkan kata. Efek bergaul dengan teman-teman error di kantor. Jadi sejak Fauqa mencuri ciumnya waktu itu. Quina sering menggodanya. Karena setelah kejadian itu Fauqa sesumbar akan menahan keinginannya hingga hari H. Dan walaupun Quina suka mengusilinya, memang tak pernah lagi pria itu berani menciumnya. Takut kelepasan katanya suatu hari.
"Ini kita berdua aja yang pergi. Nggak pake saksi-saksi gitu." tanya Quina mengalihkan topik.
"Nggak pa-pa, kita aja. Lagian emang kita keliatan kayak ABG yang mau kawin lari, musti pake saksi. Ngomong-ngomon kamu tambah cantik kalo pake jilbab gini. Lebih anggun." Fauqa membelai kepala Quina yang sudah tertutup kerudung.
Quina tersipu mendengar pujian, Fauqa. "Makasih." ucapnya tulus.
***
Karena banyaknya pasangan yang akan melakukan sidang. Akhirnya lokasi sidang pra nikah dipindah ke mesjid yang berada di dekat Kantor Urusan Agama. Ada sekitar lima belas pasangan yang akan melakukan sidang penataran nikah kali ini.
"Lagi musim kawin kayaknya, rame banget." Quina berbisik kepada Fauqa.
"Huusss, kamu ini. Dengerin tuh ceramah didepan." ucap Fauqa mengingatkan.
Ternyata sidang tak seperti yang dipikiran Quina selama ini. Hanya tanya jawab dasar tentang agama, kenapa menikah dan beberapa pertanyaan sederhana lainnya. Tapi tetap saja menghabiskan waktu lebih kurang tiga jam. Pasti akan lebih lama lagi kalau ada sesi mengaji.
Iya. Quina pernah mendengar dari beberapa orang temannya yang pernah ikut penataran pra nikah. Masing-masing mereka ditest kemampuan mengajinya. Walaupun cuma ayat-ayat pendek. Kan malu, apalagi kalau bacaannya nggak kayak qoriah gitu. Udah gitu kalau salah. Malunya itu loh.
"Mau makan dimana kita?" tanya Fauqa. Mobil yang dikendarainya baru saja keluar dari parkiran KUA.
"Terserah aja deh. Yang penting enak dan nggak rame." jawab Quina dengan tampang yang sudah kelaparan tingkat dewa.
Fauqa tersenyum kearah Quina, mengusap kepalanya sayang. "Laper banget ya?"
"Iya ih, laper banget. Padahal tadi udah sarapan. Kayaknya aku cacingan deh." Quina mengusap perutnya.
Fauqa tertawa mendengar ucapan Quina. Satu hal yang membuat Fauqa suka sama Quina itu karena dia nggak jaim. Nggak malu untuk berekspresi ketika dia tidak menyukai sesuatu. "Kamu lucu banget sih." Fauqa menjawil hidung Quina.
"Beneran deh. Akhir-akhir ini aku sering kelaparan gitu. Nggak bisa ditahan sedikitpun. Harus cepet diisi. Kalo nggak, aku bisa ngamuk gitu."
"Mungkin karena sibuk ngurus ini itu makanya nafsu makanmu jadi naik. Tiap orang kan beda-beda. Ada yang nggak nafsu makan. Ada yang kayak kamu ini, bawaanya lapar aja. Tapi aku lebih seneng kalo kamu rajin makan, biar lebih semok. Nggak cungkring kayak sekarang."
"Seriusan aku cungkring? Padahal udah 45kg loh. Kalo aku gemukan dikit biasanya sering sakit. Jadi mending kayak gini. Tapi temen-temenku bilang aku seksi kok, ya walaupun cuma 34 lingkar 75 ." terang Quina.
Untung saja mobil yang dikendarai Fauqa sudah berhenti di parkiran sebuah restoran. Jadi Fauqa yang sedari tadi menahan tawanya bisa tertawa lepas. Karena Quina dengan gamblangnya menyebut ukuran bra yang biasa dia pakai.
**
"Yakin lo, kita nggak bakal dimarahi." Puti meyakinkan Quina sekali lagi. Hari ini, H -2 hari pernikahan temen sablengnya ini. Namun temennya ini ngotot minta ditemani ke sebuah Mall, alasannya ada yang ingin dicarinya disana. Tapi Puti yakin itu hanya akal-akalan Quina saja.
"Iya, tenang aja. Nggak ada yang bakal marah-marah." jawab Quina santai.
Jangan tanyakan tentang pinggitan. Karena tradisi itu tak berlaku bagi Quina. Keluarga Quina bukanlah keluarga yang taat adat. Jadi Quina tak takut akan ada yang memarahinya kalau dia pergi dengan Puti. Toh, dia hanya ingin keliling Mall untuk menghilangkan suntuknya saja. Dan kalau nanti ada film yang bagus mungkin ia akan menonton film tersebut.
"Gue nggak tanggung jawab ya kalo terjadi apa-apa." ucap Puti yang masih marah-marah.
"Iya. Iya. Bawel banget sih lo, Nyet. Udah nyetir aja yang bener. Ntar gue traktir lo eskrim goceng."
"Sompret, lo. Beraninya cuma goceng. Percuma aja lo punya laki kaya, tapi masih kere. Ntar gue palak si Uqa aja." Puti melajukan mobilnya ke sebuah Mall yang dipinta Quina.
Quina melirik sebal ke arah Puti. "Miskin banget sih laki lo, ampe bininya malakin laki orang."
"Ini kan beda, Nyet. Ini pajak jodoh. Kan lo berdua berjodoh karena ada campur tangan gue." ucap Puti jumawa.
"Apaan. Perasaan gue, lo nggak ngapa-ngapain deh. Cuma ngasih petuah sok bijak. Dan itu lo bilang ngejodohin? Pret banget lah gaya lo."
"Suka-suka gue dong. Dan suka-suka si Uqa juga. Kalo dia mau ngasih lo diam aja. Nggak usah comel. Jangan pelit lo jadi bini."
"Astaga, kenapa gue bisa punya temen matre bin perhitungan kayak lo ya." Quina menggeleng-gelengkan kepalanya sok dramatis.
Puti tertawa terbahak-bahak melihat gaya Quina. "Njiiir, ntar kalo lo punya laki, kita masih bebas kayak gini nggak, Nyet? Kita masih bisa nginap-nginapan gitu nggak ya? Ah pasti gue kesepian, lo tinggal kawin."
"Yaelah, yang kayak gitu lo pikirin. Tenang aja. Ntar gue atur schedule jatah buat laki ama selingkuhan. Jadi lo nggak bakal kesepian. Lagian minta halalin gih, biar kalian bisa check full body, nggak postcard melulu."
"Njiiir, udah ngerti istilah full body lo ya? Ngapain aja lo selama ini sama si Fauqa? Udah sampe mana penjelajahannya? Udah mendaki bukit sama menuruni lembah?" tanya Puti frontal.
"Hahaha, mana mau si Uqa DP. Ini aja selama jalan dia cuma cium gue cuma sekali. Nggak pake grepe-grepe. Katanya biar surprise."
"Ah, gue nggak yakin dia masih polos. Pasti udah mahir." ucap Puti.
"Let we see ya, Nyet."
"Ya, gue bakal nunggu cerita malam pertama lo."
Kemudian mereka tertawa hingga mobil yang mereka naiki memasuki parkiran Mall.
Quina bersyukur Tuhan mengirimkannya Teman seperti Puti. Yang walaupun kadang menyebalkan tapi tau cara membuatnya senang. Yang walaupun sibuk, tetapi selalu punya waktu mendengarkan keluh kesahnya. Ya, cukup satu Puti yang menjadi temannya. Quina tak butuh yang lain. Puti itu paket komplit bestfriend forevernya.
Typo bertebaran ya gaesss, coz gue adalah miss typo 😁😁😁
😁
With love,
Libra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top