5. Aku...

Setelah memarkir motor Scoopy-nya, Quina bergegas masuk ke dalam kantor, menuju ruangannya. Kemudian, ia meletakkan tas dan mengganti high hells-nya dengan sendal yang biasanya ia taruh dikolong meja. Lalu, Quina berjalan menuju pantry, tempat biasa teman-temannya berkumpul sebelum jam kerja di mulai.

Kebiasaan buruk anak-anak kantornya memang seperti itu. Mereka akan kembali ke ruangan, ketika waktu menunjukkan pukul delapan tepat. Padahal SOP-nya mereka harus melakukan line clearance dan briefing sepuluh menit sebelum jam kerja di mulai. Jadi ketika jam menunjukkan pukul delapan, otomatis mereka start untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan jobdesk masing-masing.

"Nah, ini si curut yang nggak mau ikut kita karaoke-an kemaren." celetuk Lela, ketika melihat Quina memasuki pantry.

"Iya, nggak asik banget sih lo, Quin. Sekarang udah jarang nongkrong ama kita-kita,"  Mega yang tengah menyeduh teh, ikut menimpali.

Quina, hanya tersenyum mendengar omelan teman-temannya. Mau gimana lagi, sejak dia dan Fauqa mencoba untuk berkomitmen, dua minggu yang lalu, Quina selalu menghabiskan hari-harinya dengan pria itu.

"Iya, Quina mah sekarang sombong. Mentang-mentang udah taken. Udah nggak jones lagi. Jadi nggak mau main ama kita-kita." celetuk Rina.

"Bener banget." ucap teman-temannya kompak.

"Lo, nemu di mana sih Quin, cowok model si Uqa-Uqa itu? Gue mau juga dong, satu. Atau kalau lo udah nggak doyan, gue mau kok nerima bekasan lo!" ucap Lela.

"Huuuu," seketika terdengar suara mengejek di pantry

"Lo, mah liat cowok pake kolor ijo juga doyan, Le! Apalagi yang model si Fauqa, ngences pasti lo!" Adra ikut menimpali.

"Udah ngapain aja Lo ama si Uqa, Quin? Tanya Mega kepo.

"Menurut Lo?" Quina balik bertanya. Teman-temannya ini memang  pengidap kepo akut.

"Yaelah, Quin. Lo mah gitu, cerita dong. Kita-kita kan suka share-share juga ke Lo."

Quina hanya diam menanggapi ocehan teman-temannya. Emang sih, mereka suka share tentang segala hal. Termasuk gaya berpacaran. Iya, teman-temannya itu adalah orang-orang dengan pikiran terbuka. Mereka nggak bakal ngejudge orang ini itu. Nggak suka nyari lawan. Makanya Quina betah dua tahun temenan sama mereka.

"Udahlah, ngapain juga lo kepo sama hubungan orang. Ntar kalau saatnya tiba si Quina juga bakal cerita." Adra angkat suara.

"Nah, bener banget itu. Quina itu 'kan nggak kayak lo, Rin. Kalau habis kencan lo pasti cerita bagian apa yang udah di explore sama laki lo." ucap Mega.

"Sialan lo pada, macam diri sendiri nggak kayak gitu."

Quina hanya bisa menggeleng, melihat tingkah absurd teman-temannya. Kalau orang lain melihat, mereka akan berpikir teman-temannya ini sedang bertengkar. Padahal bukan, kadang gaya mereka bercanda itu seperti orang yang sedang bertengkar. Main toyor, ngebentak kadang saling ngejelekin. Tapi itu hanya candaan. Nggak ada yang serius. Dan nggak boleh dimasukkan ke hati. Bisa gawat. Serius!

"Tapi, Quin ini pertanyaan yang udah beberapa hari ini, bikin gue susah tidur. Pake pelet apa si Fauqa ampe lo yang biasanya cuek sama cowok, mau aja nerima dia. Tolong tanyain, please. Gue mau melet si Didan kostumer kita. Sebel aja gue, udah enam bulan gue pepet, tapi tuh orang nggak juga ngerti." ucap Adra lesu.

Seketika ruangan pantry ramai oleh tawa Quina dan teman-temannya. "Hahaha, taik lo Dra. Kalau mau melet milih-milih napa? Si Didan kan doyan batangan." celetuk Rina.

"Nggak usah pelet-pelet, ibadah aja yang rajin. Minta sama Tuhan. Karena nggak ada yang nggak mungkin kalau udah tangan Tuhan yang bekerja." ucap Quina.

Tapi memang benar. Nggak ada pelet-peletan. Quina hanya menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Sekeras apapun Quina menolak, kalau Sang Pemilik hati berkata yes, Quina cuma bisa ngikut.

"Aisshh Quin, sejak lo ikut pengajian waktu itu udah banyak kemajuan lo, ya. Besok, Jum'at lo yang kasih kultum di mesjid key." ucap Lela.

"Eh. Tapi bener juga yang di bilang si Quina. Buktinya dia sendiri. Dia deket sama si Fauqa kan setelah ikut pengajian."

Quina melirik jam di dinding, jam delapan kurang dua menit. Sudah waktunya kembali ke ruangan. Dan dia harus menghentikan percakapan yang tidak akan ada habisnya ini. " Gaes, it's time to work. Acara ngegosipnya musti di akhiri." ucap Quina. Kemudian berjalan meninggalkan pantry.

**

Quina termenung di depan  komputer, memandangi layar yang penuh dengan angka-angka. Dia sedang memasukkan data penjualan minggu ini. Hari ini dia harus lembur sampai pukul delapan. Benar-benar sial pikir Quina. Padahal dia benar-benar lapar dan juga lelah. Rencananya sepulang kerja tadi, ia akan ke mall yang ada didekat kantornya, makan lalu ke salon untuk creambath, kan lumayan bisa dipijat-pijat sedikit agar pegal dipundaknya bisa hilang.  Namun, Quina harus mengubur mimpi indahnya. Karena tadi sebelum pukul lima, Pak Boss menitahkan kalau ia harus menyerahkan data pejualan esok pagi. Dan di sinilah ia berakhir, di depan komputer-nya dengan perut kelaparan.

Quina meraih handphone-nya, bermaksud hendak memesan makanan secara online. Namun diurungkannya niat tersebut, ketika melihat postingan Puti di BBM-nya.

Salahkan dia, kalo dietku gagal. 🍴🍝🍷

Tanpa membuang waktu, Quina langsung membuka ruang  obroan dengan Puti.

Quina
Nyeet

Puti
Apa?

Quina
Dimana???
Laparrr😭😭

Puti
HAU's TEA
Makan!

Quina
Mauuu

Puti
Apa??
Steak
Sate

Quina
Terserah
Yg penting knyang
Lama?

Puti
Gak

Quina
2 ya

Puti
Okey
Tunggu

Dua puluh menit kemudian, Quina menerima telepon dari Puti yang mengatakan bahwa dia telah sampai diparkiran.

Quina masuk ke ruangannya dengan dua porsi sate di tangannya.

"Wuih ada makanan. Dari Siapa? Pacar?" Mega menarik kursinya, mendekati Quina yang tengah menyingkirkan kertas-kertas di atas meja.

Quina mendelik ke arah Mega, "Emang cuma pacar yang bisa ngasih makan. Si Puti yang ngantar."

"Ini jatah gue sama Lela, kan?" Adra menghampiri Quina dan Mega lalu mengambil satu bungkus sate yang ada diatas meja.

"Kalau gue bilang enggak, lo mau?" tanya Quina balik.

"Hahaha, so pasti nggak mau. Btw, thanks ya, Quin. Lo, emang paling baik. Nggak kayak Pak Bos yang pelitnya minta ampun. Bikin gue, makin cinta ama lo." Lela mengecup pipi Quina, kemudian melangakah menuju mejanya.

"Udah, makan aja deh. Nggak usah banyak omong. Habis makan, langsung lanjut ngerodi biar laporannya cepet selesai, trus kita bisa cepet pulang." ucap Quina.

**

Quina memasuki kamarnya, menyalakan lampu dan menaruh tasnya di atas kasur. Setelah itu dia berjalan menuju lemari dan mengambil satu stel pakaian layak pakai. Lalu bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Quina harus melakukannya dengan cepat. Karena ada Fauqa yang menunggunya di ruang tamu.

Tadi, begitu Quina sampai di rumah, ia melihat Fauqa tengah duduk di ruang tamu ditemani oleh Ibunya. Setelah berbasa basi sebentar dengan Fauqa dan menyalami Ibunya, Quina bergegas menuju kamar untuk bersih-bersih.

"Maaf ya, kamu nunggu lama?" ucap Quina, ketika ia duduk di sofa single di depan Fauqa.

"Nggak pa-pa. Kamu sering lembur?" tanya Fauqa.

"Sekali-kali aja. Kalau urgent."

"Aku ngeri, ngebayangin kamu pulang malam, pake motor lagi."

"Jam delapan itu masih rame kali, belum malam."

"Tapi kamu 'kan cewek. Ntar, kalau terjadi apa-apa di jalan, gimana?"

Quina menahan tawanya saat mendengar omongan dari Fauqa. "Parno-an banget sih. Tenang aja, dari kantor ke rumah itu cuma lima belas menit. Apalagi jam segitu, jalanan yang aku lewati masih rame. Malah, akhir-akhir ini sering macet lagi." ucap Quina, lalu menyandarkan punggungnya disandaran kursi.

"Tapi tetep aja, kamu itu perempuan."

"Ya, ya, aku perempuan. Tapi bukan berarti aku nggak bisa jaga diri."

"Aku percaya kamu bisa jaga diri. Tapi yang nggak aku percaya itu, pria-pria diluar sana yang nggak bisa jaga diri mereka dari hawa nafsu."

Quina cuma bisa melongo, mendengar omongan Fauqa. Itu omongan bukan gombalan 'kan ya? Itu cuma sebentuk perhatiaan 'kan? Asli, ini cowok bisaan banget bikin jantung Quina berdetak lebih cepat. Dua minggu mereka bareng-bareng. Ada aja model gombalan receh atau perhatian yang terlontar dari mulutnya. Yang bikin pipi Quina merona kayak pantat bayi. Yang bikin jantung Quina bekerja lebih cepat. Aisshh, Quina yang udah lama ngejomblo ini kan belum imun ya, dikasih gombalan ataupun perhatian gitu.

"Ini martabak, kamu yang bawa?" Quina mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan asal-muasal martabak pisang keju yang ada didepannya.

"Iya, tadi aku beli di gerai yang ada di depan ATM dekat komplek. Trus kata Ibu, itu martabak kesukaan kamu, bener?"

"Iya," jawab Quina.

"Untung tadi aku nggak pilih yang pisang coklat. Trus kamu suka rasa apa aja, selain pisang keju?"

"Sebenarnya aku suka semua rasa sih, asal jangan yang terlalu manis, bikin eneg."

"Aku juga nggak suka yang terlalu manis, tapi kalau  manisnya seperti kamu, aku suka."

"Haaa,"

"Iya, aku nggak masalah kalau tiap hari, seumur hidup aku, disuguhi yang manis-manis seperti kamu, nggak bakalan bikin aku eneg. Bikin semangat malah." jawab Fauqa.

"Hahaha, kamu bisa aja. Udah biasa ngegombal ya?"

"Nggak." jawab Fauqa singkat. "Tapi, aku serius buat ngabisin hari-hari aku sama kamu. Sampai kita menua. Sampai salah satu dari kita menutup mata. Kalau kamu, mau nggak menghabisan waktu seumur hidup sama cowok kayak aku?"

"Haaa..."

Fauqa berdiri dari kursinya, lalu menghampiri Quina. Dan berlutut didepan Quina yang tengah kehilangan kemampuan berfikirnya. "Iya, aku tanya sama kamu. Mau nggak kamu menghabiskan sisa hidupmu dengan ku?" Fauqa menangkup kedua tangan Quina yang diletakkan diatas pahanya.

"Tapi aku kan udah ... " saat Quina hendak menjelaskan, Fauqa langsung menghentikan dengan sopan. "Nggak perlu kamu jelasin, aku menerima kamu dengan segala kekuranganmu. "So, kamu mau kan?"

Quina menarik nafas dalam, ini keputusan yang berat. Tak mungkin ia menunda-nunda. Sekarang atau nanti jawaban itu harus tetap diberikan. Toh, matahari akan tetap terbenam, walaupun malam belum siap untuk menyambutnya. Begitupun ia, sampai kapanpun akan tetap sama. Akan datang masa, dimana ia tak boleh lagi menginggat masa lalu dan menjemput masa depan. Memantapkan hati Quina menjawab, "Aku ..."

***

November, enam tahun yang lalu.

Dinginnya cuaca tidak menyurutkan semangat Quina untuk menikmati pemandangan dikala hujan. Ditemani dengan secangkir teh dan sebuah buku yang berada dipangkuannya Quina duduk di teras rumahnya. Pemandangan ketika hujan selalu menjadi favoritnya. Melihat anak-anak kecik berlarian, saling berkejaran sambil mandi hujan. Membuat Quina iri pada mereka. Andai saja masa lalu bisa diulang. Ingin rasanya Quina, mengulang masa kecilnya bermain hujan bersama teman-temannya dilapangan yang ada disamping kompleknya. Masa kecil memang paling menyenangkan.

Sebuah mobil sedan yang berhenti didepan rumahnya membuat khayalan Quina akan masa lalunya terhenti seketika.

"Hai, Quin." sapa Nando dengan rambut basah terkena air hujan.

"Ngapain kamu kesini?" tanya Quina jutek.

Memang sejak mereka putus kemaren. Ini kali pertama, ia dan Nando bertemu. Tepatnya, Quina sengaja menghindari Nando. Nando itu gila, kalau menurut Quina. Mungkin karena Quina  memutuskannya, membuat ego laki-laki itu terluka. Oh, bukan, mungkin membuat Nando tersinggung, lebih tepatnya. Nando itu, pria yang selalu mendapatkan segala yang ia mau. Jadi ketika Quina, selaku mangsanya lepas, membuat Nando dengan segala cara, berupaya untuk menangkapnya kembali. Termasuk dengan menyebar gosip kalau Quina itu adalah wanita murahan.

"Aku mau ngomong sebentar."

"Kayaknya nggak ada lagi yang harus kita omongin."

"Please, Quin..."

"Udah deh, Ndo. Mending kamu pergi sekarang.

"Aku nggak bakalan pergi sebelum kita selesain masalah kita."

"Nggak ada lagi kita, ya Ndo. Kamu itu cuma penasaran aja, kenapa cewek biasa seperti aku berani mutusin kamu. Just it."

"No, i really love you, Quin." Nando berjalan mendekati Quina, menipiskan jarak diantara mereka. Lalu mencium Quina dengan paksa. Diantara ciuman mereka Nando berkata, "Now i get you."

Sorry ya gaes typonya bertebaran.
Sampai jumpa tahun depan.
Happy weekend, happy newyear🎆🎇🎉🎉

With love,

Libra



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top