4. Langkah awal

Dalam masa keterpurukannya dulu, Quina bersyukur Tuhan masih berbaik hati menyisakan orang-orang yang benar-benar tulus menyayanginya. Kalau tidak, Quina tak tau apa yang akan terjadi pada hidupnya saat itu. Ia benar-benar hancur. Rasanya ia ingin mati saja. Ia berpikir Tuhan tak adil padanya. Namun kehadiran orang-orang yang tulus menyayanginya, membuat Quina sadar bahwa hidup itu seperti gelap dan terang. Tak selalu gelap itu mengerikan, dan tak selamanya terang itu menenangkan. Quina yakin ada rahasia Tuhan, di balik semua hal yang dialaminya.

Quina merebahkan tubuh di kasurnya. Pikirannya menerawang, ia memikirkan omongan mama Puti padanya tadi, "Oqa itu serius loh Quin, dia nggak ada niat main-main. Jadi Mama harap, kamu pikirin masak-masak apa keputusan mu. Dan Mama berdoa semoga kalian bisa berjodoh."

Akhirnya setelah mendapat banyak rentetan omelan dari Puti, Quina menemui pria itu, dengan syarat ia harus ditemani dan mama Puti-lah yang jadi tumbalnya. Sedangkan Puti, tidak mau menemaninya dengan alasan akan bertelepon ria dengan kekasihnya.

Fauqa Al Hasan, nama pria itu. Usianya dua puluh delapan tahun, berkulit sawo matang dan berkacamata. Tampan dan tinggi lagi. Kalau di beri nilai, bolehlah angka delapan setengah buat si Fauqa. Fauqa hanya seorang petani, dan ia memiliki usaha kecil-kecilan, itu katanya tadi. Tapi menurut cerita Puti, Fauqa itu adalah seorang pengusaha. Entahlah, untuk saat ini, Quina tidak begitu memikirkan apa pekerjaan Fauqa. Benar materi itu penting, namun yang penting bagi Quina saat ini adalah kejujuran. Quina, berharap kalau Fauqa adalah lelaki yang jujur dan dapat dipercaya.

Quina masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar nada notifikasi pesan masuk di handpone-nya. Dan saat Quina, membuka ternyata pesan itu dari Fauqa. Memang tadi mereka sempat bertukar nomor, tapi Quina tak menyangka saja kalau Fauqa mengirimkan pesan padanya. "Gercep juga nih laki," pikir Quina.

Fauqa
Quin

Me
Ya

Fauqa
Udah tidur?

Me
Blm

Fauqa
Tidur!

Me
Nanti

Fauqa
Buruan!

"Apa-apaan sih si Fauqa ini, baru juga tadi kenalan, udah berani ngatur-ngatur, dikirannya dia siapa." Quina malas membalasnya, dia kesal dengan si Fauqa ini.

Fauqa
Iya, buruan tidurnya, biar kita cepet ketemu di dalam mimpi. 😄😄

Quina asli blussing dibuatnya. Bisaan banget ini si Fauqa. Baru juga kenal udah berani sepik-sepik. Atau Quinanya yang HBKS (Haus Belaian Kasih Sayang) sampe blussing gitu, padahal cuma gombalan receh.

Mengabaikan handphone-nya, Quina berjalan keluar kamar, menuju kamar mandi. Ia harus segera tidur, namun sebelumnya ia harus melakukan ritual sebelum tidurnya terlebih dahulu.

Quina kembali ke kamarnya setelah menghabiskan waktu lima belas menit di kamar mandi. Namun sebelumnya, Quina mengintip Ibunya, yang telah tertidur lelap di kamar yang bersebelahan dengan kamarnya. Satu-satunya orang tua yang ia punya.

***

Azan subuh baru saja berkumandang, ketika Quina keluar dari kamar mandi. Quina bergegas masuk kamar untuk melaksanakan shalat subuh. Setelahnya, ia beranjak menuju dapur untuk membantu Ibunya menyiapkan sarapan mereka.

"Ibu, jadi ke Batam?" tanya Quina sambil menata piring di atas meja makan. Ibunya ini jago memasak, dan sering di panggil untuk menjadi koki dadakan, acara kondangan.

"Iya, nanti siang berangkatnya. Kamu hati-hati di rumah, pulang kerja langsung pulang, jangan keluyuran!" ucap Ibunya, lalu menaruh sepiring nasi goreng yang masih mengepul di hadapan Quina.

"Jadi seminggu, Ibu di sana?" tanya Quina, lalu mulai menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya. Quina paling suka masakan ibunya. Apapun yang dimasak Ibunya, akan Quina habiskan dengan senang hati.Masakan Ibu, emang yang terenak di seluruh dunia.

"Iya, kan tiketnya PP."

"Hati-hati aja Ibu di sana ya."

"Kamu ini, kayak Ibu baru ke sana aja. Semalam jadi ketemuan sama si Fauqa?" tanya Ibu Quina.

"Loh, kok ibu tau."

"Ya, taulah. Kan mamanya Puti udah ngasih tau Ibu." terang ibu Quina.

"Jadi, menurut Ibu, Quin harus gimana?" Untuk masalah sebesar ini, Quina butuh dukungan dari orang-orang terdekatnya. Ia tak mau melakukan kesalahan yang sama.

"Nggak ada salahnya mencoba kan, Quin. Siapa tau dia jodohmu." Ibu mengusap kepala Quina dengan sayang, ia berharap kebahagian itu segera menghampiri anak gadisnya. Sudah cukup semua kesedihan yang dialami Quina selama ini.

Quina tersenyum, ia mengenggam tangan ibunya lalu mengecupnya. Benar kata ibunya, tak ada salahnya ia mencoba. Kita nggak bakalan tau seberapa tingginya tebing, seberapa dalamnya jurang, sebelum kita mencoba untuk memanjatnya, sebelum kita turun untuk mengukurnya. Begitu halnya dengan hubungan, kita tak bisa menerka-nerka bagaimana kelanjutannya tanpa kita berani untuk mencoba memulainya.

***

Akhir Oktober, enam tahun lalu.

Quina segera keluar dari ruang kelasnya begitu dosen-nya yang menyebalkan itu pergi. Ia langsung menuju parkiran untuk menemui Nando, pacarnya itu telah menunggunya dari tadi.

Dua minggu setelah menumpang mobil Nando waktu itu, Quina jadian dengan pria itu. Awalnya Quina menolak mentah-mentah ajakan Nando untuk berpacaran. Karena Quina ingin serius kuliah. Quina tidak mau mengecewakan oranga tuanya. Kuliah di sini itu mahal, dan sebagai anak yang baik, Quina ingin membuat orang tuanya bangga dengan memberikan nilai-nilai yang bagus. Namun entah mengapa lama-kelamaan Quina luluh juga, dan ia bersedia jadi pacar Nando.

"Yuk, cabut sekarang!" ajak Nando, begitu Quina berdiri disampingnya. Lalu mengiring Quina menuju mobil.

"Mau kemana sih?" tanya Quina, ketika sedan yang dikendarai Nando meninggalkan parkiran kampus.

Nando melirik Quina, lalu menjawab, "Rumah aku!"

Quina merubah posisi duduknya menghadap, Nando, "Ngapain ke rumah kamu?" Quina heran aja setiap kali mereka jalan, si Nando ini ngebet banget bawa dia ke rumahnya. Kalau di rumahnya ada orang lain, Quina tidak masalah. Nah, di rumah itu tidak ada siapa-siapa. Yang artinya cuma ada mereka berdua nantinya, dan hal itu membuat Quina takut.

"Ya, nggak ngapa-ngapain. Emang kamu mau kita ngapain di rumah aku?" Nando malah balik bertanya.

"Aku nggak mau ya, Ndo, kita ke rumah kamu." Quina mengalihkan pandangannya, menatap jalanan di sampingnya.

"Kenapa sih, kamu takut banget aku bawa ke rumah. Aku janji nggak bakal macam-macam." Nando menggenggam tangan Quina yang ia taruh dipahanya.

"Ya, itukan kata kamu. Kemaren aja kamu paksa nyium aku didepan teman-temanmu. Nah, ini kita cuma berdua di rumahmu, siapa yang tau apa isi kepalamu."

Quina ingat, kemarin Nando ini maksa-maksa nyium dia di depan teman-temannya. Untung Quina bisa berkelit, kalau nggak hilanglah perawan bibirnya ini.

"Lagian cium ini, Quin. Masa kita pacaran macam anak SD yang cuma pegang-pegang tangan." ucap Nando enteng.

Sialan banget kan si Nando Ini. Quina nggak bakal terprovokasi sama omongannya. Persetanlah dibilang belum dewasa. Dikatai anak SD, karena bagi Quina yang first-first itu cuma buat lakinya doang. Iya rugi banyak dong Quina kalau ia dengan suka rela ngasih bibirnya buat orang lain.

"Enak banget kamu bilang cuma! Ntar kalau kamu udah dapat bibirku, kamu mau minta apalagi."

Manusia itu kan makhluk yang nggak ada puasnya. Udah dikasih A, habis itu minta B, dikasih B, Minta C, gitu aja terus sampe telur puyuh sebesar telur angsa. Penasaran! Dan nggak pernah puas.

"Itu namanya nggak dewasa, Quin." ucap Nando dengan suara tinggi.

What the hell, "Jadi, menurut kamu, aku nggak dewasa karena nggak mau kamu cium, gitu? Siapa orang pintar yang nemuin rumus kayak gitu, kasih tau aku! Yang ada itu tindakan gila tau! Kalau orang itu benar-benar dewasa, dia nggak bakal ngelakuin hal-hal yang belum pantas dilakukan." Quina balas membentak Nando.

"Jadi, mau kamu apa Quin?" tanya Nando ketika ia telah menepikan mobilnya.

"Kita putus aja. Kamu bisa cari cewek yang bisa ngasih apa yang kamu minta. Kamu bisa nyari cewek yang menurut kamu dewasa. Karena aku, nggak bakalan dewasa, sampai aku ketemu sama calon suami aku. Karena apa yang kamu mau, hanya akan aku kasih buat suami aku." ucap Quina mantap.

Quina keluar dari mobil Nando, lalu menyetop angkot yang kebetulan lewat. Biar aja Nando atau siapapun itu berpikiran Quina itu sok suci atau apalah. Tapi ini masalah prinsip. Dan Quina paling tidak suka kalau prinsipnya dipertanyakan.

Quina merasakan handphone-nya bergetar. Dan ketika ia melihat ternyata itu pesan dari Nando.

I will get you, Quin.

****

Maaf ya gaees kalau typo-nya bertebaran.

With love,

Libra







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top