2. Belajar jadi baik

Setelah menemani Puti ke kondangan, Quina langsung minta diantar pulang. Tak ada minat lagi untuk jalan-jalan seperti rencana awalnya dan Puti. Quina benar-benar hilang mood setelah melihat sang mantan. Memang mereka tidak bertemu. Karena Quina berhasil menyembunyikan dirinya di dalam mobil VW kodok hijau berkaca transparan milik Puti dengan baik. Namun, melihat dengan mata kepalanya sendiri, sang mantan merangkul mesra pasangannya, membuat dada Quina seperti meledak oleh amarah. Membuat Quina ingat akan kata-kata menyakitkan sang mantan beberapa tahun lalu. Maka dari itu, Quina memutuskan untuk pulang. Ia butuh sedikit ketenangan yang mungkin bisa ia dapatkan ketika berada di dalam kamarnya.

Dan di sinilah Quina sekarang, sedang memarkirkan motornya di samping sebuah mobil putih di pekarangan yang luas di rumah Bosnya. Ya, setelah gelisah tak tentu arah, akhirnya Quina memutuskan ikut pengajian di rumah Bosnya hari ini. Siapa tahu dia bisa dapat ketenangan batin setelahnya, pikir Quina.

Quina yang sedang sibuk mengotak-atik handphonenya menoleh ketika dirasa ada pergerakan di sampingnya.

"Tumben, kemasukan jin apa lo, Quin?" Ucap Rina yang telah mendaratkan pantatnya dengan sukses di samping Quina.

"Maksud lo? Jin, Jintai aku sepenuh hati gitu?" Jawab Quina asal.

"Sa ae lo," Rina menarik ujung jilbab yang dipakai Quina, hingga jilbabnya acak-acakan.

Quina melotot marah. Dasar teman kampret, pikirnya. Butuh perjuangan khusus untuk Quina menata jilbabnya biar terlihat rapi, eh teman resenya ini malah seenak udelnya menarik jilbabnya.

"Lo pada, emang aneh ya! Gue nggak ikut pengajian dipelototin, dianggap makhluk nggak pantas, gue ikut malah dibilang kerasukan jin. Mau lo semua apa sih?" Sunggut Quina.

"Yaelah, mana pernah gue kayak gitu, itu mah kerjaan cewek-cewek solehah." Rina menunjuk rombongan teman mereka yang baru masuk.

Pernah bertemu dengan orang-orang yang merasa ilmu agamanya paling benar. Atau pernah berinteraksi langsung? Nah begitulah teman-tangan Quina. Padahal mereka baru ikut pengajian sekali seminggu ini selama setahun, tapi sudah merasa diri paling benar. Merasa paling pantas masuk surga. Suka mendikte, ini baik dilakukan dan ini tidak baik dilakukan. Menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Setiap berkata selalu mengagungkan kata-kata ustad. Ustad bilang ini boleh, ustad bilang itu nggak boleh.

Helloooowww, Quina itu emang jarang ikut pengajian, tapi bukan berarti ia tak tahu apa-apa tentang agama. Bisa bangkit dari kubur Ayahnya kalau sampai seperti itu. Masa apa-apa harus Ustad bilang. Kayak nggak diajari pendidikan agama di rumah aja.

Iya, pasalnya orangtuanya selalu mengajarkan nilai-nilai agama padanya sedari kecil. Tapi dasar Quinanya aja yang bebal, hingga ia mengabaikan perintah-perintah agama. Lagipula tidak berguna juga ikut pengajian tiap minggu kalau masih hobi ngomongin orang, ghibah. Mending ilmu yang didapat tiap pengajian itu dipake buat hal baik-baik. Untuk kepentingan khalayak ramai. Dapat pahala pasti!

"Apaan cewek-cewek solehah? Orang mereka ikut pengajian ini gara-gara takut dimarahi Big Bos aja." Ucap Quina.

Kalau mau melakukan sesuatu itu harus dari diri sendiri 'kan ya? Bukan karena orang lain. Bukan karena mau cari muka. Bukan karena takut. Atau alasan apapun yang bukan berasal dari diri sendiri. Kalau Quina ikut pengajian karena emang niat dari dalam diri sendiri. Biar tenang batin, biar nggak kepikiran masa lalu yang seharusnya emang harus ditaruh di belakang. Tidak seperti temen-temennya. Ikut pengajian karena takut sama Bos, biar dibilang beriman, pengen cari muka. Ngapain juga takut ama Bos. Takut itu ama Tuhan. Ngapain juga cari muka. Ya kali, carmuknya bisa bikin gaji naik, bisa bikin naik jabatan. Nah kalo nggak? Gaji tidak naik tapi dibenci teman karena suka bikin kesal. Kalau Quina  sorry-sorry aja kayak gitu. Melakukan sesuatu karena ingin dianggap baik. Quina itu mah apa adanya. Bukan ada apanya.

***

Setengah sepuluh malam acara pengajian mingguan itu akhirnya selesai juga. Karena jalanan yang di tempuh cukup sepi, membuat Quina memacu motornya dengan kecepatan lebih tinggi. Sehingga dalam waktu lima belas menit ia telah sampai di rumahnya.

Setelah memasukkan motor dan memastikan pintu depan telah terkunci rapat, Quina melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang ada di samping dapur. Iya, rumah dengan tiga kamar tidur ini hanya mempunyai satu kamar mandi.

Quina melakukan ritual sebelum tidurnya dengan cepat. Kemudian ia beranjak ke kamar tidurnya, yang menjadi saksi betapa hidupnya tak lagi sama sejak hari itu. Mencoba menghapus ingatan, Quina merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Bukan lelah karena ia telah bekerja seharian tapi lebih kepada lelah hati dan pikiran.

Quina menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Mencoba untuk memejamkan mata agar cepat terlelap hingga menggapai mimpi. Karena hanya dengan tertidur Quina merasa bisa terbebas dari peliknya hidup. Dan dengan bermimpi Quina bisa merasakan sedikit kebahagiaan yang akhir-akhir ini sulit rasanya untuk ia raih.

Sewaktu kecil dulu, semasa masih mengaji di TPA, Quina dan teman-temannya suka menyingkat Isya, Subuh, Lohor, Ashar, Magrib menjadi ISLAM, dan kemudian berteriak-teriak kesenangan karena mereka adalah ISLAM dan telah mengerjakan sholat secara komplit. Lalu mengolok-olok teman mereka yang tidak mengerjakan shalat hingga keesokan harinya mereka kembali bertemu dan mengatakan kalau mereka telah ISLAM karena telah melaksanakan shalat lima waktu.

Dan kalau Quina ingat masa-masa itu, berarti sekarang ia hanya memiliki LAM sebagai agamanya, karena hanya 3 waktu itu yang rutin dilakukannya. Kalau kewajiban shalat itu ada lima waktu, maka Quina hanya menjalankannya tiga waktu dan itupun hanya ketika ia kerja yang berarti setiap sabtu minggu Quina akan absen melaksanakan shalatnya. Iya, itulah Libra Aquina, gadis 26 tahun yang jauh dari agama.

Kalau ditanya apakah orangtuanya tidak pernah mengingatkan? Uh, jangan ditanya lagi, mungkin orangtuanya sudah sampai di tahap biarkan saja toh dia sudah dewasa.

Pernah dengar kata-kata kalo iman itu tidak dapat diwariskan? Nah, itulah Quina. Walaupun ia memiliki orang tua yang taat tapi ketaatan itu tidak menurun kepadanya. Quina selalu abai akan kewajibannya sebagai muslim. Yah, walaupun ia tak pernah pelit untuk sedekah dan bahkan Quina juga ikut berqorban tapi untuk shalat lima waktu jangan ditanya, Quina jarang melakukannya.

Tapi itu dulu, sekarang Quina selalu melaksanakan kewajibannya. Bangun subuh, lalu shalat dan kemudian membantu ibunya berbenah. Bukankah tidur sehabis subuh tidak baik bagi kesehatan juga rezeki. Maka dari itu, Quina tak mau rezekinya yang sudah seret akan bertambah seret. Dan ia tidak ingin menjadi sakit, karena sakit itu ternyata lebih mahal dari sehat.

Dan Quina selalu shalat isya tepat waktu, karena menunda-nunda akan membuat ia malas untuk shalat. Satu lagi peningkatan dalam hidupnya, Quina rajin melakukan shalat malam. Ya, Libra Aquina sekarang telah menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari Libra Aquina dua bulan yang lalu.

****

"Percuma lo ikut pengajian tiap minggu kalo kelakuan lo nggak berubah." Quina sedang bersantai di mejanya ketika Mega teman satu divisinya datang dengan marah-marah.

"Apaan sih lo, datang-datang ngamuk kayak macan nggak dapet jatah."

"Gimana gue nggak emosi coba, denger omongan si Biber sialan itu!"

"Biber siapa sih? Trus ngomong apa?" Quina menarik kursi yang ada disebelanya, lalu menarik Mega untuk duduk. Kan katanya kalau kita lagi emosi itu harus dibawa duduk biar emosinya reda, kalau nggak ya, dibawa rebahan, kalau masih belum juga dibawa wudhu trus shalat biar setan dalam diri pada kabur.

"Ya si Yani lah, siapa lagi di tempat ini yang bibirnya ember. Tadi itu kan gue ada perlu sama bang Mar, otomatis gue lewat di depan di divisi-nya si Biber, trus gue denger dia ngomong kayak gini,  'Eh Ganks, tadi gue dititipin bungkusan ini sama si Bos, buat dibagi-bagi, yang banyak isinya ini buat team kita yang sering ikut pengajian, dan ini buat team yang ono.' Kampret nggak tuh menurut lo, masa si Bos ngomong kayak gitu."

"Ya, nggak mungkin lah si Bos ngomong kayak gitu. Si Yani aja yang mulutnya alay." Quina yakin Bosnya nggak mungkin ngomong kayak gitu. Walaupun kadang suka pilih kasih juga sih.

"Ya sebel aja gue denger omongan si Biber. Kalo dia mau tuh bungkusan ambil aja, nggak usah ngomong macam-macam." Mega masih saja mengomel panjang lebar saking keselnya.

"Udah-udah doain aja orang kayak gitu cepet tobatnya." Quina hanya geleng-geleng kepala melihat Mega yang terus mengoceh. Temannya itu kalau lagi emosi memang susah diam. Emosi emang bikin otak nggak sinkron sama hati. Jadi walupun hati udah bilang stop, tapi otak terus memberi perintah ke mulut untuk mengoceh. Jadinya harus banyak-banyakin istighfar biar otak cepat adem hingga mulut berhenti mengoceh.

"Oh ya Quin, ntar pulang kerja lo ikut nggak?" ajak Mega. Sepertinya dia sudah lupa dengan kekesalannya.

"Kemana?"

"Nongkrong aja bareng anak-anak."

"Nggak bisa, tadi temen gue SMS, minta gue ke rumahnya." tolak Quina.

"Ngapain?" Mega kepo ingin tahu.

"Ra-ha-si-a." Ucap Quina menekan kata-katanya.

"Alah sok rahasia-rahasiaan lo ama gue." sewot Mega.

Memang benar nanti Quina ada perlu dengan sahabat sablengnya Puti. Tadi dia mendapat pesan dari Puti yang isinya membuat dia berdecak kesal ketika sedang membacanya.

Quin, ntar lo ke rumah gue ya. Nyokap gue ada perlu sama lo. Nyokap mau ngenalin seseorang ke lo, datang dan kenalan aja dulu. Awas lo kalo nggak datang, durhaka lo namanya. Dan pastinya lo bakal gue pecat jadi teman.

Dasar teman curut! Nyuruh ke rumahnya aja pake ngancem-ngancem segala. Untung gue nggak baperan, kalau nggak udah sakit hati baca kata-kata durhakanya, Batin Quina.







With love,

Libra

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top