15. Mencintaimu seperti aku uji nyali

Warning!!! And be wise, ya gaess👌👌👌

Fauqa menghela nafasnya entah untuk yang keberapa kali. Ia menatap punggung rapuh istrinya dengan miris.

Akhir-akhir ini begitu banyak perubahan yang terjadi pada istrinya itu. Sering melamun, tidak fokus kalau diajak bicara. Seolah-olah dia hidup di dunia nya sendiri. Dan itu terjadi sejak kisah masa lalu istrinya itu datang dalam bentuk mimpi.

Hampir tiap malam istrinya terjaga karena mimpi buruk. Berteriak histeris dan meronta-ronta seolah yang dihadapinya adalah nyata. Dan setelahnya Quina, istrinya itu tak akan bisa memejamkan matanya lagi hingga pagi menjelang. Seolah ketika ia memejamkan mata, mimpi itu akan kembali datang.

Fauqa telah berulang kali bertanya, namun jawaban yang didapatnya tetap sama 'Aku nggak pa-pa'. Ingin ia memaksa membawa Quina ke psikiater namun Fauqa takut reaksi Quina nantinya. Ia tak mau istrinya menyangka yang tidak-tidak. Ia tak mau Quina berpikir kalau Fauqa menganggapnya gila.

Orang-orang dengan emosi seperti Quina sering kali berpikiran negatif ketika mendengar nama psikiater. Dan Fauqa tidak mau menambah beban pikiran istrinya itu. Butuh kesabaran dan waktu yang tepat untuk menyampaikan niatnya ini.

"Quin."

"Quin."

Diam tak ada jawaban.

"Quin." Fauqa menyentuh bahu Quina, menyadarkannya dari lamunannya.

"Y ya," jawab Quina terbata, karena kaget.

"Mikirin apa sih, Yang?" tanya Fauqa membelai lengan Quina. "Dari tadi aku panggil-panggil loh." ucap Fauqa. Quina hanya tersenyum, tak menjawab pertanyaan suaminya.

Quina sadar akhir-akhir ini ia abai terhadap suaminya. Sering melamun dan tak fokus ketika diajak bicara. Memang ia seperti ini karena mimpinya beberapa waktu lalu. Mimpi yang membuat ia sadar bahwa ia bukanlah wanita yang baik untuk Fauqa.

"Kamu bahagia nggak nikah sama aku?" tanya Quina tiba-tiba.

"Pertanyaan kamu aneh deh, Yang." Fauqa kesal dengan pertanyaan Quina yang menurutnya tak penting sama sekali itu.

"Kamu bahagia nggak?" Quina mengulangi pertanyaannya.

"Perlu ya aku jawab, ya?"

"Iya, perlu." jawab Quina mantap. Entah setan dari mana yang melintas hingga Quina bertanya hal seperti itu.

"Mencintai kamu itu, seperti aku sedang uji nyali. Beruntung aku menang. Kalah aku malang. Mencintai kamu seperti aku mati. Mati karena aku benar-benar mencintai. Itu jawaban aku." ucap Fauqa.

Quina hanya diam mendengar jawaban Fauqa. Dia tak mengerti.

"Makanya jangan kamu tanyain lagi pertanyaan seperti itu. Kalau kamu ingin aku bahagia, jangan buat aku kalah. Jangan buat nyaliku ciut karena kamu terpuruk dengan masa lalumu."

Fauqa diam sesaat untuk melihat reaksi Quina. Lalu melanjutkan kata-katanya. "Kalau aku boleh jahat, maka aku akan berterima kasih pada masa lalumu yang yang membuatku sempurna. Pada kurangmu yang membuatku berguna. Aku akan berterima kasih atas masalalu yang telah kamu alami. Karena dengannya aku jadi berarti."

Dengar Quin, Fauqa menatap Quina" Aku menerima semua yang ada pada dirimu tanpa syarat. Dan Aku bersyukur pada takdir yang menghadirkanmu dalam nyata. Sehingga kamu ada disini. Dalam pelukanku."

Lalu Fauqa memeluk Quina, "Aku nggak mau lagi kamu kayak gini. Tidak menjadi dirimu. Tidak menjadi Quinaku."

Kemudian Fauqa melepaskan pelukannya, memberi jarak antara mereka lalu kembali menatap Quina tepat dimatanya. "Jadi Quin, kalau kamu ingin aku bahagia, dan juga mencintai aku. Berhenti terpuruk karena dia yang tak pantas untuk diingat. Kamu harus berdamai dengan masa lalumu. Ingat, ada aku yang tersakiti ketika kamu bertahan dengan semua kenangan itu."

"Maaf." ucap Quina dengan suara yang begitu pelan. Ia tak tau apakah Fauqa mendengar kata-katanya itu yang seolah seperti bisikan.

"Maaf." ulang Quina dalam pelukan Fauqa. Ia menangis tergugu mendengar semua ucapan Fauqa. Kenapa ia begitu bodoh. Terpuruk hanya karena sesuatu yang sudah lalu. Bukankah sekarang ia sedang berada dimasa depan, bersama seseorang yang begitu baik, yang mau menerima ia apa adanya. Mungkin benar ia harus berdamai dengan masa lalunya. Memaafkan semua yang telah terjadi. Toh, Tuhan telah menunjukkan KuasaNya hingga tak patut bagi Quina untuk menuntut lebih.

***

Enam tahun yang lalu.

Quina terbangun di kamarnya dengan kondisi mengenaskan. Bugil tanpa sehelai benangpun melekat ditubuhnya. Perih hampir disekujur tubuh terutama di area kewanitaanya. Tergesa, Quina menarik selimut yang berada diujung kasur lalu menutup tubuh polosnya.

Quina mengedarkan pandangan keseluruh ruangan kamarnya. Tak ada tanda-tanda kehadiran Nando diruang yang berukuran 3X4 m² itu. Dengan tertatih, Quina melangkahkan kakinya ke meja rias dimana ia melihat sebuah post it tertempel di kaca.

Quina menangis membaca tulisan tersebut. Setelah semua usahanya untuk tidak kalah semalam, akhirnya Nando mendapatkan keinginannya. Pria sialan itu memperkosanya. Tidak hanya sekali ketika kesadaranya hilang, tetapi lelaki bajingan itu memperkosanya lagi ketika ia dipindah ke kamarnya.

Kala itu, Quina kembali meronta, berusaha lepas dari kungkungan Nando yang berada diatas tubuh polosnya. Namun lagi-lagi Quina kalah. Tenaganya tak cukup untuk melawan Nando yang seperti kesetanan dirasuki hawa nafsu.

Quina menyeret kakinya menuju kamar mandi yang rasanya begitu jauh kali ini. Ia harus membersihkan semua noda yang melekat ditubuhnya. Membersihkan bekas-bekas ke keberadaan Nando. Ia harus menggosok bersih tubuhnya, berharap dengan begitu bekas yang melekat bisa hilang.

Quina melepas balutan selimut ditubuhnya. Ia menyiram tubuhnya dengan air lalu menyabuni seluruh tubuhnya. Dan menggosok tubuhnya dengan spons mandi sekuat tenaganya. Ia mengulangi hingga berulang kali. Merasa tak cukup Quina melangkah keluar kamar mandi dengan tubuh polosnya, ia mengambil spons besi yang biasa digunakan Ibunya untuk menggosok pantat panci. Lalu kembali ke kamar mandi. Quina menggosokkan sponge tersebut ke tubuhnya hingga kulitnya lecet dan terasa perih.

**

"Quin"

Terdengar ketukan pintu diikuti suara teriakan Puti.

"Quinaaa, buka pintunya!"

Dengan langkah pelan Quina berjalan menuju pintu. Memungut kunci yang berada di lantai. Quina ingat kemaren setelah menutup paksa pintu rumahnya. Pria tersebut menyimpannya dikantong celana. Dan sepertinya Nando sengaja melempar kembali kunci rumah Quina ketika meninggalkan rumahnya.

"Astagaaaa, apa yang dilakukan pria sialan itu sama lo?" Puti histeris ketika melihat kondisi Quina.

Tadi ketika selesai mandi Quina langsung menghubungi Puti. Ia butuh seseorang saat ini. Ia tidak mau berbuat nekat dengan membunuh dirinya sendiri.

Quina kembali menangis dipelukan Puti setelah menyelesaikan ceritanya.

"Kita musti lapor polisi. Bajingan itu harus diberi hukuman. Gue nggak mau dia bebas berkeliaran setelah semua yang dilakukannya sama lo."

Quina hanya meringkuk di pelukan Puti mendengarkan kemarahan temannya itu. Ia tak tau harus berbuat apa.

"Lo mau kan kita lapor polisi?" tanya Puti. Quina hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawabannya.

Puti mengusap pelan punggung Quina. Takut menambah rasa perih di tubuh temannya itu.

"Pu, hape gue bunyi, tolong lo ambilin ya?" pinta Quina ketika ia mendengar lagu Tik Tok berbunyi nyaring di kamarnya.

"Dimana?"

"Di kamar gue." Saat ini Quina sedang bereda di kamar Ibunya. Dia takut berada di kamarnya. Trauma lebih tepatnya.

"Siapa?" tanya Quina ketika Puti telah kembali.

"Ibu. Miscall aja. Kasih tau nggak?" Puti menyerahkan hape Quina.

"Pas pulang aja. Gue nggak mau nyokap shock. Lo tau kan nyokap gue punya riwayat jantung."

Quina tidak mau membuat Ibunya shock melihat keadaannya sekarang. Keadaannya amat sangat memprihatinkan, lecet diseluruh tubuh. Lebih baik nanti saja, ketika Ibunya pulang, empat hari lagi. Paling tidak lecet yang ada ditubuhnya tidak separah ini lagi.

Kembali handphone Quina berbunyi dan kali ini dari nomor tak dikenal.

Dengan cepat Puti merebut handphone tersebut dari tangan Quina dan mengaktifkan mode speaker.

"Hi wifey, udah bangun?" ucap suara diujung sana.

Quina langsung menutup kepalanya dengan bantal begitu mendengar suara Nando.

"Sialan lo setan, apa yang udah lo lakuin haaah??" Puti langsung emosi begitu tau yang menelpon adalah Nando.

"Hai, Pu! Istri gue udah bangun belum? Atau masih tidur? Keenakan pasti, ampe jam segini belum bangun."

"Nggak usah banyak bacot deh lo, Njing! Emang iblis lo, ya?" maki Puti. "Tega lo ya perkosa Quina."

"Mana ada sih, suami perkosa istri. Kita ngelakuin suka sama suka. Kalo masalah cara itu emang beda-beda tiap orang. Lo kayak nggak tau aja." jawab Nando santai.

"Taik lo, tungguin aja. Gue bakal laporin perbuatan bejat lo ke polisi."

"Ha ha ha," terdengar tawa membahan Nando diujung telepon. "Laporin aja, ntar gue kasih buktinya ke polisi kalo yang gue lakuin ke si Quina itu bukan paksaan. Atau perlu gue kasih liat ke orang-orang gimana suara desahan si Quina ketika dia orgasme." ucap Nando. Lalu mematikan teleponnya.

"Bangsat lo, Ndo!!!"

Quina menangis histeris dibalik bantal yang menutup kepalanya.

Mengapa hidupnya bisa seperti ini.

Typo berserakan ya gaess.

With love,

Libra

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top