14. Masa lalu untuk menghadapi masa depan.
Quina berlari disepanjang koridor kampus, ia harus segera ke parkiran tempat dimana Puti tengah menunggunya. Tadi ia mendapat telepon dari temannya itu, yang memberitahu bahwa Puti melihat keberadaan, Nando.
Bukan. Quina bukan ingin menemui Nando. Melainkan ia ingin menghindari lelaki sialan itu. Tingkat kegilaan Nando sudah semakin parah. Ia benar-benar terobsesi pada tubuh Quina.
Beberapa hari yang lalu Nando menyambangi Quina di rumahnya. Karena memang mereka tidak tinggal satu atap. Benar mereka telah menikah, tapi toh itu hanya siri. Lagipula Quina memang sengaja atau lebih tepatnya sengaja menghindar demi keselamatan dirinya. Katakanlah dia durhaka karena tidak memberikan hak Nando sebagai suami. Tapi Quina juga harus memikirkan masa depannya.
Mungkin kalau Nando tulus menikahinya, bukan karena obsesi, Quina akan berpikir ulang. Dan mau melaksanakan kewajibannya. Tapi selama pernikahan ini, tak terlihat niatan baik Nando. Jadi sebagai wanita, Quina harus melindungi dirinya sendiri. Salah satunya dengan memberi jarak hubungannya dan Nando.
Dan hampir sebulan pernikahan mereka tak sekalipun Nando bisa menyentuh Quina, kecuali hari itu.
Quina baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ada bunyi ketukan di pintu depan. Hari itu hanya Quina yang ada di rumah. Karena Ibunya ada urusan diluar kota.
Setelah memakai pakaian rumahnya, Quina berjalan ke ruang tamu, guna membukakan pintu untuk sang tamu. Alangkah kagetnya Quina, ketika pintu terbuka wajah Nando lah yang ia lihat. Quina hendak menutup kembali pintu rumahnya, namun dengan cepat Nando menghalangi dan langsung menerobos masuk.
Quina berusaha mengusir Nando. Ia mendorong tubuh besar Nando. Tapi apalah daya tubuh kecil Quina tak sebanding dengan Nando yang mempunyai tubuh tinggi besar yang pastinya, memiliki tenaga yang jauh dibandingkan Quina.
"Udahlah, Quin. Nggak ada gunanya kamu dorong-dorong aku. Bikin capek kamu aja!" Nando menyeringai lalu duduk dikursi ruang tamu dengan santai.
"Mau apa sih lo, Ndo." Quina bersedekap berdiri diambang pintu. Dia tak boleh lengah, atau sesuatu yang buruk akan menimpanya.
"Ngunjungin istrilah, mau apalagi emang? Kalau yang dikunjungi berbaik hati dan memberikan apa yang gue mau, itu artinya gue lagi beruntung."
"Mimpi aja lo sana! Udah deh, mending lo balik sana, gue mau istirahat!"
"Tau nggak Quin. Makin lo jutek ke gue, makin gue pengen bekap mulut lo itu pake bibir gue." ucap Nando.
"Please, Ndo hentikan permainan lo, karena gue bukan lawan yang cocok buat lo. Main sama gue nggak akan pernah asyik. Mending lo cari orang yang mau main-main sama lo. Yang bisa ngasih apa yang lo mau."
"Nah, disitu tantangan buat gue. Ketika lo bilang enggak, bikin gue makin tertantang. Dan pengen jadi in lo milik gue seutuhnya." ucap Nando dengan senyum liciknya.
"Apa sih salah gue, Ndo? Sampe lo ngelakuin hal gila ini. Ingat ya Ndo karma itu berlaku."
"Lo itu munafik, terlalu jual mahal. Lo berlagak seolah-olah lo itu cewek suci. Yang nggak boleh disentuh sama cowok kayak gue."
Quina hanya diam menanggapi ocehan Nando yang menurutnya aneh itu. Tak pernah Quina berlagak suci seperti yang Nando katakan. Quina memang menjaga sentuhan fisik dengan teman-teman prianya. Aneh aja menurutnya kalau peluk-pelukan dengan cowok.
Dan lagi seumur hidupnya, Quina belum pernah pacaran. Menurut Quina tak ada untungnya dia menghabiskan waktu dengan berpacaran. Quina bukannya sok suci atau bersikap munafik. Itu adaah pilihannya. Menjaga sesuatu yang mestinya dia jaga. Jadi tak ada yang salahkan dengan pilihannya, bukan?
"Bukan hanya sama lo, gue nggak mau disentuh. Dengan cowok manapun juga kayak gitu. Jika, itu yang menurut lo sok suci. Gue minta maaf aja. Karena itu prinsip gue. Dan gue nggak bisa merubah sesuatu yang udah gue yakini, hanya karena lelaki."
"Alah, lagak lo. Buktinya gue pernah liat lo jalan sama cowok rangkulan. Itu lo bilang prinsip? Munafik lo!"
Quina menarik nafas dalam, percuma memberi penjelasan pada orang yang otaknya sudah diisi prasangka buruk. Quina ingat, beberapa waktu yang lalu ia memang pernah jalan dengan sepupunya, Derryl yang baru pulang dari Natuna.
"Terserah lo deh, Ndo. Nggak guna juga gue ngasih penjelasan panjang lebar sama lo. Sekarang mending lo pulang. Udah malam juga, gue mau tidur."
Nando mendekat kearah Quina. "Nah, kebetulan banget. Mumpung gue ada disini. Gue mau kok ngelonin lo. Yang pake plus-plus juga gue kasih." bisik Nando di telinga Quina.
Quina langsung mendorong tubuh Nando. "Lo gila ya? Mending lo balik sana, atau gue teriak."
Nando tertawa mendengar ucapan Quina. "Coba aja lo teriak, dan gue yakin orang-orang nggak akan peduli." Nando kembali mendekati Quina, memeluknya paksa.
"Nando, lo apa-apaan sih. Lepasin gue, nggak!" Quina meronta dipelukan Nando.
"Ingat Quin, gue ini suami lo. Suka atau nggak, lo musti nurut sama gue."
"Lepasin gue, Ndo. Lo itu cuma suami siri gue. Gue nggak mau ngelakuin apa yang lo mau. Biar aja gue berdosa. Daripada gue nyesel seumur hidup gue karena ngikutin kemauan gila lo." teriak Quina.
Nando tidak peduli dengan teriakan Quina. Dia menarik Quina, hendak menuju kamarnya.
"Nando, lo gila. Lepasin gue!" Quina meronta, menggapai apa saja yang bisa digapainya untuk menghambat langkahnya.
Nando menghentikan langkahnya, mencengkeram kedua tangan Quina hingga Quina tak bisa melakukan aksinya lagi. Nando merapatkan tubuh mereka ke dinding terdekat lalu mencium paksa Quina. "Kayaknya gue nggak butuh ranjang buat nyenangin lo, ya? Lagian kasihan juga sama ranjangnya, ntar amblas! Lo terlalu bersemangat, berdiri kayaknya okey juga." ucap Nando disela-sela ciumannya.
Quina mengerakkan kepala kekiri kekanan berusaha menghindar dari ciuman brutal Nando. "Ndo, please! ucap Quina memohon kepada Nando.
"No, no, Quin. Jangan memohon sekarang. Karena itu akan membuat permainan ini menjadi kurang seru." ucap Nando disela-sela ciumannya di leher Quina.
Quina memejamkan matanya. Tak boleh seperti ini. Ia tak boleh lemah. Ia harus mencari cara agar terlepas dari Nando.
Membuka matanya, Quina menatap Nando yang sedang memejamkan mata, sibuk menciumi sekitaran leher dan dadanya. Quina melihat sekitarnya. Kamarnya tinggal beberapa langkah lagi. "Ndo, tangan gue sakit." lirih Quina.
Nando membuka matanya, kemudian menghentikan aksinya. Ia menatap Quina yang juga menatapnya. "Lo, jangan macam-macam, tapi." Nando berkata dengan suara serak karena nafsunya yang telah memuncak.
Quina hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
Nando melepas kedua tangan Quina yang dari tadi ditahannya. Setelahnya ia kembali menciumi bibir Quina.
Quina membuka matanya, menatap Nando yang tengah menciumi bibirnya dengan penuh kebencian. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Nando. Lalu tangannya mengusap rambut kemudian menjambak rambut tersebut dengan keras. Yang membuat Nando mengaduh kesakitan. Kemudian Quina mendorong tubuh Nando dengan sekuat tenaganya.
Nando mengaduh kesakitan. Ia tersungkur di lantai karena dorongan Quina yang begitu keras. Quina mendekat kearah menendang selangkangan pria itu. Lalu berlari hendak menuju kamarnya. Namun reaksi Nando begitu cepat, ditengah rasa sakit yang dirasakannya Nando menahan satu kaki Quina yang berhasil didapatnya dan itu membuat Quina terjerembap di lantai.
Nando mendekati Quina yang tengah kesakitan. Menaiki tubuh Quina, lalu merobek paksa baju yang dipakai Quina, hingga memperlihatkan bra hitam yang dipakai gadis itu.
Quina meronta dibawah tindihan Nando. Ia meronta, meninju dan menendang ke segala arah. "Nando, lepas! Gue, nggak mau, lepas sialan!! Nando lepasss!!!"
****
"Quin, bangun! Quin!!!" Fauqa mengguncang tubuh Quina. Membangunkan istrinya itu.
Quina terbangun dari tidurnya, matanya nyalang menatap sekeliling. Dengan nafas yang masih terengah, ia duduk menyandar dikepala ranjang. Disampingnya, Fauqa duduk menatapnya cemas.
Mimpi ini begitu nyata, persis seperti yang dialaminya enam tahun silam.
Quina menatap Fauqa yang terlihat cemas disampingnya. Ia mengenggam tangan suaminya itu, meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. "Nggak apa-apa, hanya mimpi." ucap Quina meyakinkan.
Akhir-akhir ini entah mengapa ia sering bermimpi tentang masa lalunya.
"Kamu yakin?" tanya Fauqa kuatir. Ia tau mimpi buruk yang dialami Quina menyangkut tentang masa lalunya.
"Iya, aku nggak pa-pa." Quina mengambil gelas yang diasongkan Fauqa, lalu meminum habis isinya.
Mimpi membuatnya haus dan lelah. Quina seperti mengalami reka adegan tentang apa yang dialaminya dulu.
Entah apa maksud dari mimpi yang dialaminya akhir-akhir ini. Tapi bagi Quina masa lalu tetaplah masa lalu. Yang di kirimkan Tuhan sebagai proses belajar guna menghadapi ujian dimasa depan. Mungkin Tuhan ingin Quina berdamai dengan masa lalunya, agar ia bisa menyambut kebahagiannya dimasa sekarang tanpa dihantui rasa takut.
Sorry for typo, dan segala hal yang tidak sesuai dengan tata cara menulis yang baik dan benar. Peace 'n love ✌✌✌❤❤❤
Terima kasih untuk vote dan komennya ya, Gaess. 😍😍😃😃
With love,
Libra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top