12. Ini apa? honeymoon, kah?
Dengan cepat Quina memakai pembalut nya, kesenangannya beberapa hari lalu pupus sudah ketika tadi dia mendapatkan tanda-tanda datang bulan. Tanpa terasa air matanya meleleh saat menyadari keinginannya untuk hamil harus tertunda lagi. Sepertinya ia harus bersabar lagi untuk hal itu.
Quina menghapus air mata yang meleleh di pipinya. Ia tidak mau Fauqa melihatnya menangis. Ia tidak mau suaminnya sedih melihat dia seperti ini. Sudah tiga bulan sejak kejadian waktu dia muntah-muntah itu. Dan ketika dia melakukan test, dengan beberapa testpack yang dibeli Fauqa dengan tergesa di apotik yang ada didekat rumahnya waktu itu, ternyata hasilnya negatif.
Saat itu, Quina hanya diam terpaku melihat hasil testpack yang hanya menghasilkan satu garis. Begitu pula dengan Fauqa yang berada disampingnya waktu itu, hanya diam, memandang testpack yang dipegang Quina. Mereka tau arti dari itu semua, bahwa apa yang mereka harapkan belum bisa terwujud.
Quina melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga dimana Fauqa tengah bersantai disana. Ditangannya sudah ada sepiring buah segar yang sudah dipotong-potong.
"Qa, geser dikit dong." Quina menekuk kaki Fauqa yang sedang tidur-tiduran di sofa."
"Kok lama sih, Yang, di toiletnya? Ngapain aja? Kan aku nggak suka kamu tinggal lama." rajuk Fauqa.
"Make pembalut, makanya lama." jawab Quina pelan.
"Yaaah, nggak dapet jatah dong, aku?" ucap Fauqa.
"Kamu nggak sedih ya, Qa?"
"Sedih? Ya, sedih lah. Aku nggak dapet jatah, ini." Fauqa tau inti dari pertanyaan Quina. Tapi ia mencoba untuk pura-pura tidak tau.
"Ihhh, bukan ituuuu." Quina mencubit kaki Fauqa saking sebelnya. Masa yang ada dikepalanya cuma jatah itu.
"Aduuuh, sakit, Yang." Fauqa langsung terduduk karena rasa sakit dikakinya. "Yang, sakit banget nih. Sumpah!" ucap Fauqa lalu mengusap-usap kakinya yang terasa perih. Quina ini kalau mencubit sakitnya, ampun-ampunan.
"Abisnya, kamu itu!"
"Kan aku udah jawab. Trus kamu maunya aku jawab apa?" tanya Fauqa balik.
"Kalo aku datang bulan, itu artinya aku nggak hamil. Dan artinya diperut aku ini bibit yang kamu semai belum jadi." jawab Quina kesal.
"Ya, nggak pa-pa kalo kamu belum hamil. Kita juga baru nikahnya, baru juga berapa bulan. Kalo masalah bibit, ntar habis kamu haid aku semai lagi." ucap Fauqa santai.
"Qaaa, kali iniii aja. Serius bisa nggak, ngomongnya?" Quina menatap Fauqa dengan mata berkaca-kaca.
"Yang, udah dong. Nggak usah dibahas lagi." Fauqa langsung memeluk istrinya itu dengan erat. Ia tau masalah anak memang menjadi topik yang sensitif untuk Quina akhir-akhir ini.
"Kamu denger aku, ya?" Fauqa melepas pelukannya lalu menangkup pipi Quina dengan kedua tangannya. "Apapun yang terjadi kedepannya. Ada atau tidaknya anak didalam pernikahan kita. Aku akan tetap cinta kamu, sampai nyawaku berpisah dari raga. Tujuanku nikahin kamu, bukan karena aku mau anak. Tapi karena aku hanya ingin kamu yang menjadi teman hidupku. Sampai nanti. Sampai salah satu dari kita tidak ada didunia ini. Jadi bagiku anak itu adalah hadiah tambahan dari Tuhan. Cukup kamu dihidupku, aku nggak mau yang lain lagi." Fauqa mencium bibir Quina, berharap bisa menyalurkan semua rasa yang ada didalam hatinya.
Quina menangis diantara ciuman mereka. Sebenarnya dia tidak mau seperti ini, menjadi tidak rasional hanya karena belum hamil diusia pernikahan yang baru seumur jagung. Tapi mengingat selentingan kabar yang tanpa sengaja dia dengar ketika menghadiri acara keluarga Fauqa membuat ia menjadi wanita cengeng.
Seminggu ini, Quina selalu memikirkan ucapan-ucapan itu. Ingin sekali ia mengabaikannya, tapi Quina adalah seorang remainder. Gampang baginya, untuk mengingat suatu hal. Apalagi yang menjadi topiknya adalah dia dan Fauqa.
"Coba si Fauqa nikahnya sama si Anin, pastilah sekarang istrinya udah hamil."
"Pastilah istri si Oka itu mandul, makanya dulu ditinggal sama laki pertamanya."
"Eh, tapi dia janda apa bukan sih. Kan nikah siri."
"Pake pelet pasti itu istrinya si Oka, nggak ada apa-apanya kalau dibanding keluarga kita, kok bisa-bisanya Oka mau sama dia. Gadis aja banyak. Tinggal pilih deh dia.
Quina tidak melanjutkan lagi langkahnya. Hatinya perih mendengar omongan saudara Fauqa. Didepan Quina, mereka bisa bermanis-manis ria. Ternyata dibelakang itulah penilaian mereka.
Quina tidak pernah mengejar-ngejar Fauqa atau melakukan hal jelek apapun untuk membuat Fauqa mau dengannya. Orang tua Fauqa lah yang memintanya dengan perantara mama Puti. Quina tidak mandul, karena dia dan Fauqa telah melakukan tes sebelum mereka menikah. Dan Quina tidak... Quina tidak mau melanjutkan pikirannya tentang masalalu yang telah lama coba dikuburnya.
"Udah ah, aku nggak mau kita sedih-sedihan lagi. Gimana kalo minggu depan kita kesini?" Fauqa memperlihatkan sebuah gambar yang baru di-googling-nya kepada Quina.
"Boleh, boleh," ucap Quina antusias. "Eh, ini apa? Honey moon, kah?"
"Yaaa, bisa dibilang begitu. Ngomong-ngomong kamu bisa berenang kan, Yang?" tanya Fauqa iseng. Dia tau pasti kalau Quina bisa berenang. Karena Puti pernah menceritakan nya.
"Astaga, si Bapak ngomongnya, minta dicipok itu mulut? Belum kenal sama saya berarti."
Fauqa tersenyum melihat reaksi Quina. Ia sengaja berbicara seperti itu untuk mengembalikan mood istrinya itu.
"Jangankan cuma dicipok, Yang. Di enak in kamu, aku juga mau." Fauqa tersenyum melihat reaksi Quina. Selalu seperti itu, pipi istrinya akan bersemu merah ketika ia menggodanya.
"Nggak usah ngarep deh, Pak. Lagi disegel ini." Quina tersenyum mengejek kearah Fauqa.
"Ya, nggak usah main course, makanan pendamping aja, kan bisa?"
"Kamu yaaa," Quina gemas melihat Fauqa, selalu saja seperti itu. Apapun topiknya akan berakhir dengan hal yang berbau intim.
Sepertinya Quina harus membuat sedikit peraturan agar kemesuman Fauqa sedikit terkendali. "Kamu, aku kasih kartu kuning. Nggak boleh pegang-pegang, apalagi cium-cium."
"Loh, kok?" belum sempat Fauqa membantah Quina sudah memberikan peringatan lainnya.
"Kalo ngebantah, aku kasih kartu merah. Biar kamu puasa satu bulan." Quina tersenyum jumawa kearah Fauqa, yang tak bisa berkata-kata.
"Aku nggak terima, aku mau naik banding. Ini nggak adil. Siapa yang bikin peraturan kayak gini."
"Ya, siapa lagi? Aku dong. The queen of your heart." ucap Quina bangga.
Fauqa tertawa melihat gaya Quina ketika berkata demikian. Dia tau yang diucapkan istrinya itu hanyalah candaan belaka. Kalaupun Quina membuat peraturan seperti itu, akan mudah bagi Fauqa untuk mematahkannya. Ada sejuta rayuan yang bisa dia lakukan agar istrinya itu melanggar aturannya sendiri.
***
Seperti rencana mereka minggu lalu. Sabtu pagi Quina dan Fauqa telah sampai di dermaga tempat mereka menaiki kapal yang akan membawa mereka ke pulau. Semua perlengkapan yang mereka butuhkan selama dua hari satu malam telah tersusun rapi didalam koper yang sekarang tengah ditenteng Fauqa.
Hanya butuh waktu 45 menit kapal yang mereka tumpangi akhirnya menepi. Setelah meletakkan koper dan juga menganti baju, mereka langsung menuju spot untuk diving yang telah disiapkan oleh resort tempat mereka menginap.
Tak ada acara untuk leha-leha dikamar, layaknya acara bulan madu biasanya. Tujuan utama mereka kesini memang untuk wisata. Melepas penat, merefresh otak dan mencuci mata dengan menikmati pemandangan yang terpampang indah didepan mata.
Pulau ini, benar-benar surga bagi pecinta wisata laut. Kita bisa berenang, snorkling, maupun diving, sembari menikmati keindahan bawah laut. Untuk yang hobby memancing juga dapat memamerkan keahliannya sambil menatap laut lepas yang menjadi latarnya.
Setelah puas diving Fauqa membawa Quina duduk-duduk sejenak dipinggir pantai sembari menikmati keindahan laut dan segarnya angin dan sejuknya udara yang berasal dari hutan tropis yang memang menjadi salah satu daya tarik pulau itu.
Puas menikmati pemandangan dan berfoto-foto dengan berbagai gaya Quina dan Fauqa kembali ke resort untuk beristirahat, memulihkan tenaga. Karena mereka butuh tenaga lebih untuk trecking ke atas bukit pada sore hari nanti.
Sesampainya di kamar, Quina langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur yang sangat luas. Tadi begitu datang dia tidak sempat memperhatikan keadaan kamar tempat mereka menginap. Dinding kamar yang mereka tempati didominasi dengan warna putih. Ada kaca besar yang ditutupi gorden putih yang kalau dibuka, akan langsung membuat kita bisa memandang laut lepas. Sofa bewarna coklat tua bertengger manis di sudut kanan.
Quina tak peduli seperti apa penampakan kamarnya. Yang penting baginya adalah dengan siapa dia saat ini. Toh, mereka hanya butuh kamar ini untuk melepas penat.
Quina hampir saja tertidur ketika merasakan sesuatu yang dingin menyentuh dahinya.
"Mandi dulu, Yang. Biar tidurnya nyenyak." ucap Fauqa yang sudah terlihat segar. Suaminya itu hanya mengenakan celana cargo selutut berwarna khaki. Dipundaknya tersampir handuk yang baru saja dipakainya.
"Hobby banget sih, nggak pake baju. Mau pamer perut onepack-nya, ya?" Fauqa hanya tertawa mendengar godaan istrinya itu.
Walaupun tidak sixpack ataupun eightpack, perut Fauqa tidaklah buncit. Tubuh Fauqa itu porposional dengan tinggi 180 cm kulit sawo matang dan memakai kaca mata. "Yang, sekalian handuk aku dibawaiin dong." Fauqa menyerahkan handuknya lalu merebahkan tubuhnya di kasur.
Pukul 5 sore mereka sudah mulai melakukan trecking keatas bukit. Beruntung jalur yang dilalui tidak terlalu terjal. Sepertinya pengelola resort telah mengantisipasi hal ini, guna mempermudah pengunjung. Butuh waktu sekitar 30 menit agar sampai diatas bukit sambil menunggu matahari terbenam mereka bisa melihat pulau-pulau kecil dan berfoto-foto.
"Wahhh, keren banget." Quina bahagia sekali, letih yang dia rasa hilang seketika ketika melihat pemandangan didepan mata.
"Keren, kan?" Fauqa mendekap Quina dari belakang menaruh dagunya dipundak istrinya.
"Iya, capeknya terbayar dengan pemandangan yang maha keren ini."
"Aku, seneng kalau kamu senang, Yang. Jangan sedih-sedih lagi, ya? Jangan dengerin omongan orang-orang tentang rumah tangga kita. Mereka nggak tau apa-apa." Fauqa berbisik di telinga Quina.
Quina memutar tubuhnya menghadap Fauqa. Tersenyum kearah suaminya itu. Didalam hati ia membenarkan semua yang dikatakan Fauqa. Orang-orang tak tau apa-apa tentang keluarga mereka. Mendekatkan wajah, Quina mencium bibir Fauqa dalam.
Senja boleh saja tenggelam tapi cintanya pada pria yang tengah membalas ciumannya tak akan hilang. Pria yang menjadikan Quina penyempurna ibadahnya.
Quina bersyukur atas jutaan nikmat yang telah Tuhan berikan. Atas segala berkah yang ia dapat.
Sorry for typo.
With love,
Libra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top