10. Tidak ada yang instant

Quina sedang membuat sarapan di dapur ketika ada seseorang memeluknya dari belakang.

"Udah bangun?" Quina mengusap tangan Fauqa yang berada diperutnya.

"Hmmm,"

Hanya suara gumaman yang didengar Quina sebagai jawaban.

Sudah seminggu mereka jadi suami istri, masih banyak hal yang harus mereka cocokkan. Mulai dari kebiasaan tidur yang berbeda. Fauqa itu tidak suka lampu kamar menyala sewaktu tidur. Sedangkan Quina, akan merasa sesak nafas kalau lampu dimatikan. Fauqa kalau menghidupkan pendingin ruangan, selalu di suhu terendah. Sedangkan, Quina tidak bisa merasakan dingin sedikitpun.

Fauqa itu kalau meletakkan sesuatu itu suka sembarangan, yang membuat Quina sering kali mengomelinya. Dan masih banyak lagi kebiasaan-kebiasaan mereka yang bertolak belakang.

Awalnya Quina sering kesal dengan semua kebiasaan Fauqa, namun setelah dipikir lagi, menikah itu adalah menyatukan dua kepala. Yang memiliki keegoisan masing-masing. Dan menikah itu belajar. Tak ada yang instan dalam belajar, butuh waktu. Dan mereka memiliki waktu seumur hidup untuk itu.

"Mandi gih, biar habis itu kita sarapan.

Fauqa tak menjawab. Ia mengecup sekitaran leher Quina yang terekspos.

"Qa, mandi!"

"Nanti aja. Lagian subuh tadikan udah. Sekarang aku mau peluk-peluk kamu dulu."

"Ntar nggak aku kasih sarapan loh."

Fauqa menggigit kecil telinga Quina, kemudian berbisik, "Nggak papa, yang penting aku bisa sarapan kamu."

Quina berbalik menghadap Fauqa, lalu melingkarkan kedua tangannya dileher pria itu, "hahaha, kamu lucu deh." ejek Quina, lalu menggoda Fauqa dengan mengecup sudut bibirnya. "Sejak kapan sarapan aku, bisa bikin kenyang." Quina balas berbisik.

Quina melepaskan tangannya dari leher Fauqa, kemudian berjalan ke meja makan dengan membawa dua cangkir minuman dikiri kanannya.

Fauqa mengikuti Quina, lalu duduk di kursi yang ada didekatnya. "Yahhh, nggak asik banget kamu, Quin. Aku kan pengen gaya-gayaan kayak pengantin baru di novel-novel yang sering kamu baca itu. Anytime and anywhere mereka making love." ucap Fauqa kemudian menyesap minumannya.

Quina tertawa mendengar omongan Fauqa. "Kan itu novel, Qa. Ya kali, ada orang seperti itu. Gempor yang ada. Anytime, anywhere making love. Nggak makan, nggak minum, nggak ke toilet. Nggak kebayang deh, tenaganya sekuat apa."

"Maka dari itu, mending kita praktekin. Biar tau bener nggaknya isi buku yang kamu baca itu. Lagi pula semalam baru dua kali kita melakukannya. Jadi, kenapa kita nggak cobain aja kayak yang di novel-novel itu." Fauqa menaik turunkan alisnya, menggoda Quina.

"You wish!" Quina meleletkan lidahnya, lalu meninggalkan Fauqa yang tertawa-tawa melihat reaksinya.

"Hey istri! mau kemana? Ini suami belum kelar sarapannya."

Quina menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Fauqa. "Makanya jadi suami jangan usil. Nggak enak kan, ditinggal?"

Fauqa tersenyum lalu mendekati Quina, kemudian mengecup pipinya. "Ngambekan ternyata si Ibuk ini. Iya, nggak enak banget makan sendiri itu. Nggak ada yang nyuapin aku."

Seminggu menikah, Quina baru tau ternyata Fauqa itu sangat susah kalau disuruh makan. Hmm, ya, bentar lagi, selalu seperti itu. Hingga pada akhirnya Quina berinisiatif untuk menyuapainya. Dan itu membuat Fauqa menjadi manja.

Quina kembali duduk disamping Fauqa, "Abisnya kamu itu..." Quina tak melanjutkan kata-katanya. Dia masih sebel dengan Fauqa yang ternyata tingkat keusilannya lumayan tinggi.

Kalau di tempat kerjanya Quina dan teman-teman suka menyerempet ngobrol ke hal-hal porno, ternyata Fauqa lebih parah lagi. Dia ternyata lebih master dari Quina. Ibaratnya kalau dengan Fauqa, Quina dapat lawan.

Benar kata pepatah don't judge book from the cover. Memang kita tidak bisa menilai karakter seseorang itu terlalu cepat. "Ya udah buruan makannya," Quina mulai menyuapi Fauqa lagi.

"Quin, besok aku mau ke kebun." ucap Fauqa disela-sela kunyahannya.

Fauqa itu punya kebun sayur hidroponik. Luasnya ada 8000an meter. Fauqa sudah merintis kebun sayur itu sejak beberapa tahun yang lalu. Di samping kebun hidropinik Fauqa juga mempunyai ladang yang berada tak jauh dari kebun sayurnya. Di ladang Fauqa menanaminya bawang, kentang, cabe dan masih banyak lagi. Semua hasil panennya sudah ada yang menampung, baik pasar tradisional, supermarket serta hotel dan restoran.

"Tapi pulangkan?" tanya Quina, lalu mengasongkan segelas air.

Kebun Fauqa itu berada sekitar dua jam dari tempat tinggal mereka ini. Dan, Fauqa punya pondok di dekat kebunnya. Dulu setiap dia ke kebun dia sering menginap di sana.

"Pulang, tapi malam." Fauqa meminum airnya dalam sekali teguk.

"Ya udah. Kamu hati-hati aja di jalan. Dan jangan kelayapan." ucap Quina.

"Udah ada yang nungguin ini di rumah, jadi aku nggak bakalan kelayapan lagi." Fauqa tersenyum manis kearah Quina.

"Kalo yang pulang ampe jam dua malam itu apa namanya?"

Dua hari yang lalu jadi pertengkaran pertama mereka. Gimana Quina nggak marah, Fauqa ternyata kalau olah raga bisa gila-gilaan. Dia bisa pulang sampe jam dua malam. Bayangkan. Jam dua malam.

"Jangan ngebahas itu lagi dong, Quin.Kan aku udah minta maaf. Kemaren itu aku lupa ngasih tau kamu, kalau Jadwal ku olah raga badminton bareng teman-teman."

Fauqa memang lupa memberitahu Quina kalau hari itu dia ada jadwal badminton. Dan bodohnya dia tidak mengecek handphone selama waktu itu. Jadilah ketika dia hendak pulang dan melihat jam yang ada di handphone-nya dia baru tersadar setelah melihat banyaknya panggilan yang masuk dari Quina.

"Ya siapa tau, ntar lupa lagi kalo udah punya istri."

"Nggak bakal. Tuh, semua peralatan olahraganya udah dikeluarin dari mobil. Ntar kalo mau main, aku minta kamu yang siapin. Jadi kamu tau kalo aku ada jadwal." Fauqa tersenyum lebar ke arah Quina.

"Nggak usah senyam senyum deh, aku masih kesel kalo inget kejadian kemaren."

Gimana Quina nggak kesel kalau orang yang dikhawatirkannya ternyata hahahihi dengan teman-temannya. Lagian ada ya, orang olahraga sampai dini hari itu.

***

"Hati-hati ya. Assalamualaikum" pamit Quina, kemudian turun dari mobil yang dikendarai Fauqa.

Seperti ucapannya kemaren, hari ini Fauqa akan ke kebunnya untuk memastikan kesiapan panen sayur-sayuran hidroponik nya.

"Ya, Wa'alaikum salam, istriku." lalu mobil yang di tumpangi Fauqa melaju meninggalkan Quina di parkiran kantornya.

"Eciee, pengantin baru, basah terus rambutnya. Habis perang ya semalam."

Quina mengabaikan godaan dari Adra yang baru saja mendaratkan bokongnya di kursi yang ada di ada di pantry. Tempat dimana mereka biasa bergosip ria hingga jam kerja di mulai.

"Main berapa ronde lo semalam?"

Quina mengabaikan pertanyaan Adra. Ia mengisi mugnya dengan air, kemudian berlalu meninggalkan Adra dan teman-temannya yang masih merecokinya dari pertanyaan yang tidak penting untuk dijawabnya. Kepo lo semua!

Quina mulai membersihkan meja kerjanya. Memulai proses line clearance. Memang sih ada cleaning service, tapi yang ada di atas meja adalah tanggung jawab kita. Jadi yang berhak membersihkannya adalah kita sendiri. Kan yang tau berguna atau tidaknya suatu benda yang ada diatas meja adalah si pemilik meja, bukan rekan kerja, ataupun orang lain.

"Yahh, nggak asik lo, Quin. Masa kabur gitu, kan pertanyaan gue belum lo jawab." Adra kembali dengan kekepoannya.

"Itu pertanyaan yang nggak perlu gue jawab. Lagian lo jadi orang kepo akut banget. Ntar kalo gue cerita, lo malah pengen lagi. Trus lo mau nyalurin ke siapa?"

"Taik lo, sombong sekarang ya." ucap Adra bersungut-sungut dan mulai membersihkan mejanya.

Quina hanya tertawa menanggapi omelan temannya itu. "Eh, Dra, lo udah input orderan kemaren belum sih?" tanya Quina.

"Yang masuk sore?"

"Iya"

"Belum. Ntar lo yang input ya?"

"Eh, ngomong-ngomong anak-anak pada kemana nih?" Quina melihat sekelilingnya hanya dia dan Adra yang terlihat. Padahal sebentar lagi jam kerja dimulai.

"Palingan masih di pantry. Pada ngegosipin chief barunya store."

"Lah, si Pandu kemana?"

"Pindah ke Team A."

"Trus, kenapa lo nggak ikut?"

"Lagi nggak mood gue." jawab Adra cuek.

"Lagak lo nggak mood. Awas ya, kalo gue liat, lo jalan ama tuh chief baru." ancam Quina.

Adra tersenyum mendengar ancaman Quina. "Nah, itu lo tau. Gue nggak harus gembar-gembor ntar juga tuh chief nempel sendiri."

"Kampret, sombong banget lo jadi makhluk. Udahlah, gue mau input data nih. Gue nggak mau disuruh lembur."

Quina mulai melakukan pekerjaanya. Dia tidak mau menunda-nunda pekerjaan seperti dulu lagi.

**

Tak terasa waktu ashar telah masuk. Meninggalkan Kubikelnya, Quina menuju mushala yang ada di lantai satu.

Bagi Quina bekerja itu bukan hanya masalah materi. Buat apa bekerja dengan gaji yang besar tapi tidak mendapatkan kenyaman. Dan kenyamanan itu bisa didapat dari rekan kerja dan kenyamanan untuk beribadah tanpa harus terburu-buru waktu.

Dan di perusahaan ini Quina mendapatkan semuanya. Gaji yang lumayan menurut Quina. Karena standar setiap orang-orang itu berbeda-beda. Teman yang baik dan kesempatan beribadah.

Setelah selesai shalat ashar, Quina segera kembali ke ruangannya memberikan, kesempatan kepada temannya yang lain untuk melaksanakan kewajiban.




As always, aku cuma mau bilang sorry untuk typo-nya. And then, thanks buat vote and komennya. Dan terima kasih udah nungguin cerita absurd ini (kayak ada yang nungguin aja).

Terakhir mau ngucapin selamat malam. Happy weekend,
i'm gonna miss u,
see you next part byebye😍😍😍😘😘




With love,

Libra









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top