1. Ternyata semesta pun sedikit berpihak
Quina menggeliat malas di atas tempat tidurnya. Hari minggu adalah waktunya bermalas-malasan. Namun gedoran di pintu kamarnya memaksa Quina melangkahkan kakinya untuk membuka pintu. Quina hanya bisa meringis ngeri, membayangkan nasib sang pintu jikalau ia tak segera membukanya.
Di ambang pintu yang sudah terbuka, Puti sahabat gilanya sedang tersenyum lebar melihat Quina yang sedang melotot ke arahnya.
"Apaan sih lo ,Pu, pagi-pagi udah ganggu ketenangan gue aja!" sunggut Quina. Kembali melangkah menuju kasurnya, berniat melanjutkan tidurnya yang terganggu.
"Eh, Tenyom, jangan tidur lagi lo. Udah jam berapa ini? Pantas aja lo masih jomblo, jam segini lo masih tidur." Puti duduk di kursi meja rias sembari mengacak kosmetik yang ada di depannya.
"Nah, lo sendiri ngapain ke sini pagi-pagi? Udah jadi jomblo juga lo?" Quina membalas ucapan Puti tubuhnya ia sandarkan di kepala ranjang.
"Amit-amit jabang bayi!" seru Puti yang langsung mengetuk meja rias tiga kali.
"Ngapain lo getak-getuk meja gue? Asli jati tu! Mahal dulu belinya, warisan nenek moyang!" ucap Quina, lalu melangkahkan kakinya keluar kamar menuju kamar mandi.
"Sialan lo, Quin. Gue bukan mau ngecek meja lo! Gue cuma mau nangkis ucapan sialan lo! Gue nggak mau omongan lo didenger malaikat yang lagi lewat, trus dicatat, mulut lo kan asin!" Maki Puti yang sayup-sayup masih dapat didengar Quina.
Quina tertawa mendengar makian Puti. Emang bisa apa? getak-getok meja, kepala atau apapun yang ada di sekitar kita buat nangkis omongan yang nggak baik? Aneh-aneh aja. Yang ada itu banyak-banyakin aja berdoa minta sama Tuhan buat diberi perlindungan biar dijauhi dari bala dan marabahaya dimanapun kita berada. Ya 'kan?
Quina kembali ke dalam kamar setelah setengah jam berkutat di kamar mandi. Dilihatnya Puti sedang asyik menonton acara gosip yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta dari tv bututnya. Iya butut. Saking bututnya tombol-tombol yang biasanya dipake buat mengganti siaran sudah hilang entah ke mana. Mana remotnya nggak ada lagi. Jadilah dipake sendok atau apapun itu sebagai pengganti remot.
"Jadi ngapain lo ke sini, Nyom?" tanya Quina yang sedang memakai pelembab di wajahnya.
"Temenin gue ke nikahan temen kantor gue dong, Nyom." Puti yang sedari tadi asyik mencari-cari siaran tv yang bagus dengan tangkai sendok langsung mendekati Quina.
"Nggak ah, gue lagi males gerak. Pengen leyeh-leyeh di rumah hari ini." tolak Quina.
Lagian ia paling malas kalau diajak kondangan. Kalau ditanya alasannya? Quina hanya mengedikkan bahu seraya berkata males aja.
"Emang laki lo kemana? Percuma punya laki kalo nggak bisa diajak kondangan." Ujar Quina. "Dan lagi, gue kan nggak diundang. Bikin dosa gue aja datang ke nikahan orang yang nggak ngundang gue." cerocos Quina yang tengah menyisir rambut panjangnya.
"Lagi dinas luar dia. Lagi nyari modal nikah." Puti menghampiri Quina. Berdiri di samping sahabatnya. Ikut mematut diri di cermin. "Dosa gimana? Kan di undangan nggak di sebut nama laki gue. Cuma ditulis Puti & partner. Nggak papa dong kalo lo ikut. Jadi kali ini lo harus jadi partner gue. Siapa tahu ntar lo nemu jodoh di sana. Biar lo bisa move on dari mantan terindah lo."
"Pretlah terindah, kalo aja pintu kemana sajanya doraemon itu ada, ingin banget gue ke masa lalu buat menghapus masa-masa itu. Dan lagian temen macam apa lo, nyuruh gue nyari jodoh di tempat kondangan. Iya kalo di sana gue nemu imam buat dunia akhirat gue. Nah, kalo nemunya kayak sang mantan 'kan bego namanya. Kata orang nih ya, kalo mau nyari jodoh yang baik itu, harus di tempat yang baik pula. Nah, seharusnya lo itu ngajak gue ke tempat-tempat pengajian, biar gue yang agamanya setengah ini dapet imam yang nggak cuma bisa ngajak gue bahagia dunia, tapi akhirat juga."
"Tai, lagak lo, Nyom. Ya udah, ntar habis ke kondangan gue ajak lo ke pengajian mingguan di kompleks gue. Siapa tau ntar lo nemu jodoh di sana." Puti menoyor kepala Quina. Membuat Quina mendesis marah. Rambutnya kan udah di sisir rapi. Dasar teman kurang hasyeem!
Apa kata Puti tadi? Nyari jodoh ke pengajian kompleks tuh anak? Ngapain jauh-jauh, kalo itu mah Quina juga bisa pergi sendiri. Di tempat kerjanya, tiap minggu juga ada. Dasar Quina saja yang malas. Bisa dihitung dengan jari sudah berapa kali dia ikut ke pengajian itu.
"Oke deh gue ikut lo kondangan. Tapi gue mau makan dulu." Quina keluar kamar menuju ruang makan.
"Eh Quin, ngapain lo makan sekarang, bentar lagi kita juga makan di tempat orang kondangan." Puti mengikuti Quina ke ruang makan.
"Gue nemenin lo aja lah, nggak pake acara makan-makan. Nggak enak juga makan di tempat yang gue sendiri nggak kenal sama yang punya hajatan."
"Ya udah, serah lo dah. Gue numpang ganti baju dulu deh. Lo habis makan langsung dandan ya. Trus kita langsung cuss ke venue." Quina mengunyah makanannya, mengabaikan Puti yang masih berceloteh panjang lebar. Dandan apa lagi emang? Barusan yang dia lakukan itu kan dandan. Bedanya cuma kurang tebal aja kali dempulan yang dia tempel di muka.
***
"Acaranya di mana sih?" Quina menoleh ke kursi penumpang yang ada di kirinya. Pantas saja pertanyaannya tak dijawab ternyata Puti sedang asyik dengan handphonenya.
"Tenyom, lo bener-bener ya! Lo pikir gue supir! Enak-enakan lo cengengesan sama hape, gue putar balik nih!" Quina melirik Puti dengan kesal. Saat ini mobil yang mereka kendarai tengah berhenti karena lampu merah.
"Laki gue nih, dia nanya sama siapa gue pergi kondangannya." Puti memperlihatkan handphone yang ada di genggamnya ke arah Quina.
"Alasan aja lo, jadi di mana nih tempatnya?" Quina mulai melajukan mobilnya kembali karena lampu telah terlihat hijau kembali.
"Perum Permata, dekat rumah mantan lo." Puti mengangkat tangannya kemudian mengacungkan tanda V dengan dua jarinya.
Quina melotot mendengar kata-kata Puti. Ingin rasanya Quina memaki sahabatnya itu. Entah apa yang ada dipikiran Puti hingga mengajaknya ke tempat yang sangat dihindarinya. Memang ia dan mantannya yang sangat amat menyebalkan itu tinggal di kota yang sama. Namun selama ini, Quina sudah berhasil untuk memperkecil kemungkinan mereka bisa bertemu. Nah, sekarang ini, Quina malah datang langsung ke pusatnya. Quina menarik nafas dalam, mungkin ini waktunya ia bertemu dengan masa lalunya yang menyebalkan itu.
Quina memarkirkan mobilnya di antara deretan mobil yang terparkir beberapa rumah dari lokasi pesta. "Dah sampai, turun lo!" Perintah Quina. Nada kesal dalam suaranya tak bisa ia sembunyikan sama sekali.
Puti merapihkan penampilannya sebelum keluar dari mobil. "Trus lo?" tanya Puti yang sudah keluar dari mobil.
"Males gue, lo aja yang pergi sendiri. Gue nunggu di mobil aja. Jangan lama- lama." Quina langsung mengunci pintu, sebelum Puti masuk kembali dan merayunya.
Quina tahu ini nggak adil buat Puti. Tapi dia bener-bener kesel dengan sahabatnya itu. Kenapa Puti sampai tega menjebaknya. Quina juga heran sama temen si Puti ini. Padahal kaya tapi pesta pernikahan di rumah. Pelitkan itu namanya. Sekarang kan lagi tren orang-orang nikahan di gedung, di hotel atau di pantai. Nah, ini di rumah kan bikin repot tetangga. Iya sih pake katering. Tapi yaa, ngerepotin juga namanya. Bayangkan aja gara-gara lokasi kondangan ini, jalanan harus di tutup. Bikin susah kendaraan lewat. Musti nyari jalan lain. Udah gitu musik organ yang biasanya dimulai dari sabtu malam atau bahkan hari sebelumnya, bikin berisik aja kan ya, bikin susah tidur. Dan itu apa namanya kalo nggak nyusahin. Kalau bikin pesta itu ya harusnya nggak hanya bikin kita senang, tapi orang juga tenang. Nah kan, Quina jadi ngelantur gitu. Gara-gara Puti nih!
Quina melirik jam di pergelangan tangannya. Puti sudah pergi kira-kira sepuluh menit yang lalu. Untuk membunuh waktu, Quina menyetel radio yang ada di mobil Puti. Iya, mereka naik mobil Puti. Quina cuma punya motor. Itupun dia harus menabung lama untuk mendapatkannya. Emang sih bisa kredit. Tapi Quina mana mau. Ia paling malas kalau di suruh kredit alias ngutang. Nanti nggak ke bayar. Lagian ngutang itu nggak bagus kan ya? Jadi untuk bisa membeli motor, Quina menabung dulu, mengumpulkan uangnya sedikit-sedikit baru dia membeli apa yang dia inginkan. Hitung-hitung Quina berlatih sabar.
Quina memperhatikan sekelilingnya. Kompleks ini masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Tidak begitu banyak yang berubah. Rumah mantan sialannya itu satu blok dari lokasi pesta ini. Jadi kemungkinan mereka bertemu sangat besar. Maka dari itu Quina membatalkan niatnya menemani Puti ke dalam. Quina takut kalo dia ikut ke dalam, nanti ia bertemu dengan keluarga mantannya atau bahkan sang mantan. Karena jam-jam seperti ini adalah waktu yang biasa dipakai orang untuk pergi kondangan. Jadi, Quina cukup menunggu di mobil untuk meminimalisir kemungkinan dia bertemu dengan laki-laki itu atau mungkin keluarganya.
Ternyata semesta pun sedikit berpihak kepada Quina hari ini. Karena di saat matanya memandang ke luar, Quina melihat sang mantan yang menggandeng mesra pasangan barunya.
Untung gue milih ngetem di dalam mobil, batin Quina.
With love,
Libra
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top