🐣16. Aneh
Di sepanjang perjalanan menuju Puncak, hampir semua orang terlelap dalam mimpi. Termasuk Ziva yang kini kepalanya sudah mendarat di bahu Nusa.
Nusa hanya melirik, lantas menggelengkan kepala pelan. Kalau dilihat-lihat, Ziva dan Zea itu tak berbeda jauh. Mereka sama-sama seperti anak kecil yang butuh diperhatikan, namun hanya dibedakan oleh segi usia saja.
Semakin dalam Nusa memberikan sebuah tatapan, kenapa rasanya juga semakin nyaman? Ah, tapi masa iya dirinya jatuh cinta pada gadis menyebalkan ini?
Cuman ... memang, hatinya sempat dibuat luluh saat Ziva dengan rela membantu apa pun demi kebahagiaan dirinya. Ia tahu kalau tipikal gadis seperti itu pasti lelah karena otaknya melepuh usai belajar. Tapi ia masih kagum dengan perjuangan Ziva yang begitu keras.
"Lo cantik, tapi sikap lo yang nggak elegan," ucap Nusa dengan nada sepelan mungkin.
Cowok itu seketika tersenyum tanpa sadar. Terus melempar tatap ke arah Ziva yang semakin lama membuat dirinya menikmati senderan di bahunya.
Jujur, apa yang terucap melalui bibir kerap kali berbeda dengan apa yang Nusa rasakan. Walau terus marah-marah, mengusir gadis itu, namun sejak melihat kedekatan Ziva dan Zea, ada sebuah kerinduan yang membuat cowok itu betah untuk berlama-lama.
Kalau boleh jujur pun, ia menikmati kegiatan belajar bersama yang dipaksakan oleh Mela. Walau tentu saja sangat gengsi apabila harus diucap secara terang-terangan di hadapan Ziva.
"Nggak apa, kok, kalau Kak Nusa belum suka sama Ziva, aku juga udah bahagia liat muka kamu." Matanya masih terpejam, tapi entah apa yang membuat sang gadis sampai terbawa mimpi.
Telinga Nusa tampak panas rasanya saat mendengar kalimat menggelikan itu. Ada-ada saja, sedang tidur pun masih sempat bercerita.
"Nggak jelas," balasnya singkat.
"Iya, Kak. Nggak apa, kok, aku dikata-katain terus. Ziva tetep sabar, dan mungkin emang belum waktunya aja buat kita bersama," jawab gadis itu.
Ya ampun semakin tak bisa berkata-kata pula Nusa saat ini. Semakin sering dibalas, tapi justru sang perkataan semakin melantur. Bahkan Nusa pun semakin bingung dengan bagaimana perasaannya, ia itu tidak suka atau memang diam-diam menikmati?
Tapi kalau dipikir-pikir memang Nusa sejahat itu, ya? Selama 17 tahun menginjakkan kaki di bumi, sangat jarang memang ia berbuat kasar pada seseorang.
🍦🍦🍦
"Kak, bantuin ...." Kedua mata Ziva sengaja dibesar-besarkan agar terlihat imut, lalu bibir gadis itu pun dibuat melukiskan senyum.
"Ck!" Sedikit berdesis, walau yang terjadi justru berbeda dengan sang bibir.
Dibantu Nusa, akhirnya Ziva bisa melompat turun dari bus. Ukuran badannya yang hanya berkisar seratus lima puluh senti sungguh menyulitkan dirinya sendiri di kala harus turun dari tempat yang cukup tinggi.
Jika kakinya tak melangkah dengan tepat, maka sekujur tubuhnya akan menghasilkan lebam dan juga darah kental.
"Makasih, Kakak Ganteng!"
Nusa mengerut, hanya dibantu seperti itu saja sudah membuat sang gadis berucap histeris. Ya ampun, memang aneh cewek ini.
Setelah itu, mereka pun segera berjalan menuju tempat kamping. Ziva dan Nusa berjalan beriringan, sementara Sora melangkah sendirian di bagian paling belakang sembari berharap tentang ia dan juga Biru yang tak tahu kapan akan seperti itu.
Sampai akhirnya ketika mereka semua sudah di tempat kamping, semua murid sibuk merapikan barang masing-masing dan juga mendirikan tenda yang akan mereka pakai.
Keanehan lagi-lagi terjadi pada Sora. Tak tahu apakah karena cemburu atau bagaimana, tapi ia selalu menjauh dari Ziva. Apakah ternyata selama ini Sora jatuh hati pada Nusa, dan sebenarnya Biru hanyalah pelampiasan dari rasa yang pernah ada?
"Ra, kita satu tenda, 'kan?" tanya Ziva seraya meletakkan barang-barangnya di depan kain berseleting berwarna biru muda tersebut.
Sora tak menjawab. Ia masih fokus merapikan semua perlengkapan yang ia bawa untuk beberapa hari ke depan.
"Soraia ...!" teriak Ziva sekali lagi. Namun sepertinya, temannya itu memiliki gangguan pendengaran. Tapi ... apa yang menjadi penyebab itu semua? Karena kecelakaan di minimarketkah?
"Apa, sih?!" balas Sora sinis. Dari cara bicaranya pun terlihat jelas bahwa ia tak nyaman dengan kehadiran Ziva di sana.
Ziva melongo. Masih kurang yakin bahwa manusia yang ada di dalam tenda ini benar-benar Sora atau bukan, atau mungkin ada sesosok makhluk halus yang menjelma?
"Kok lo nyolot banget, Ra? Gue nggak ngapa-ngapain, loh." Ziva membela diri. Memang benar apa yang ia katakan. Masa Sora mau meniru Mela dengan menjadi manusia yang selalu menggunakan urat? Siapa Sora? Ibunya saja bukan, tapi berlagak layaknya orang yang sedang berkuasa. Dasar, manusia!
Tak mau berlama-lama berurusan dengan Ziva, Sora justru merapikan semua barang dan meminta izin untuk bergabung bersama teman lain.
Sora tak mau berada di satu tenda yang sama dengan Ziva. Perempuan ini ingin membuktikan pada Biru, bahwa ia rela meninggalkan Ziva demi mendekatkan diri pada Biru.
"Loh, ih, kok nggak jelas? Kenapa, sih? Aneh banget tuh manusia," seru Ziva sembari memasuki tenda. Biar saja Sora bergabung dengan yang lain. Bukankah jika tenda diisi oleh dirinya sendiri maka akan terasa lebih luas? Bisa meletakkan barang di mana pun itu.
Ketika Sora bergabung dengan anak lainnya pun mereka sempat merasa aneh. Biasanya Sora selalu berdua dengan Ziva, tapi kali ini jika mereka memprediksi, pasti sedang ada pertengkaran hebat di antara mereka.
"Lo kenapa sama Ziva?" tanya salah seorang perempuan yang juga merupakan salah satu murid dari X Bahasa 3.
"Nggak apa. Gue lagi pengen gabung sama yang lain aja, biar bersosialisasi." Tentu saja Sora berbohong dan pastinya mereka yang berada di dalam tenda sudah menaruh curiga. Alasannya sungguh tak masuk akal. Mereka yakin, bahkan sampai menebak-nebak tentang Sora yang cemburu terhadap kedekatan antara Nusa dan Ziva.
Sudah pasti semua itu akan mereka jadikan bahan gosip di sekolah nanti.
🍔🍔🍔
Di saat matahari hampir terbenam, semua murid ditugaskan untuk mencari kayu untuk membuat api unggun. Hah, sungguh hal yang paling dihindari oleh sang gadis kembali terjadi.
"Ayok!" ajak Nusa sembari mengulurkan tangan pada Ziva yang masih terduduk di dalam tenda.
Ziva tak suka menjelajahi hutan, apalagi untuk mencari kayu. Sungguh merupakan kegiatan yang tak jelas baginya.
Tapi tunggu ... kenapa mendadak Nusa berubah seperti ini? Tadi waktu di bus ia jutek, lalu sekarang mendadak memberi perhatian. Astaga, memang sulit, ya, memahami perasaan gebetan.
"Aku di tenda aja, ya," ucap Ziva.
"Kenapa?" tanya Nusa.
Ziva justru menggeleng. Iya, sih, seharusnya ia bisa memanfaatkan waktu ini untuk berduaan, tapi kalau sudah menyentuh hutan, lebih baik Ziva mundur walau disogok harus bersama dengan Nusa sekalipun.
"Cepet, Biru lagi digoda Sora. Gue cari lo aja, karena nggak punya pasangan."
Ziva mendengus. Ya ampun, ternyata ini penyebabnya. Tapi tak apa, deh, ia ikhlas walau beralasan horror seperti ini.
"Kakak Ganteng nggak mau ngumpet bareng Ziva aja di dalem tenda?"
"Nggak."
"Cepet, sebelum gue tinggal."
Sampai akhirnya gadis itu pasrah, apalagi di saat bapak kepala sekolah memaksa semua murid dan akan menghukum siapa pun yang diam di dalam tenda.
"Aku takut. Nanti kalo ada uler gimana? Aku nggak suka jalan di tanah becek," keluh Ziva dengan raut wajah terpaksa.
Memang biasanya ia selalu senang melakukan apa pun bersama Nusa, namun ketika harus mengingat ia kerap terjatuh sampai ditertawakan oleh semua orang semua keinginan untuk bersama pun lumpuh begitu saja. Tak ada yang mau membantu, bahkan ia mendapat banyak cibiran dan dianggap sebagai perempuan lemah.
"Nanti gue jagain. Ayok ...!" Agak terpaksa, sih, Nusa mengucapkan ini, tapi ya sudahlah daripada dimarahi, sekaligus menjawab pertanyaan hatinya yang bingung atas perasaan yang sebenarnya.
Akhirnya Ziva menurut. Ketika matanya melirik mencari Sora, nyatanya ia sudah pergi tak tahu ke mana bersama orang-orang satu tenda.
Ternyata dia beneran ninggalin gue. Cukup tau aja. Nanti kapan-kapan gue gituin juga, ah. Biar tau rasa, batin Ziva kesal.
Langkah demi langkah mereka lahap. Sudah ada belasan kayu yang mereka peluk. Sudah seperti membawa anak.
"Berat," keluh Ziva beserta keringat yang sudah membasahi tubuh.
"Tanggung, bentar lagi sampe," jawab Nusa seolah tak peka.
Ziva berdecak. Tak adakah sedikit pun rasa kasihan melihat sang calon pacar membawa barang yang berat? Apakah Nusa tak takut tubuh Ziva menjadi bungkuk dan semakin minimalis?
"Jangan manja."
"Kakak Ganteng, aku tuh nggak manja. Emang berat aja."
"Ya udah nanti kalau udah mau pingsan baru gue bantuin," balas Nusa.
Kalau sudah seperti ini kondisinya, apakah Ziva harus menyerah untuk berjuang? Kalau saja nanti sudah berpacaran dan Nusa masih bersikap sama, apakah ia akan betah?
Andai semua mimpi yang tadi di bus terjadi. Tidak sehorror apa yang ia alami sekarang pasti. Membayangkan bagaimana Nusa menggendongnya di belakang, eh, tidak, nanti bagaimana caranya mereka bisa membawa kayu?
Dengan sengaja Nusa meletakkan tangannya di atas telapak Ziva. Ia juga tak tahu kenapa bisa melakukan itu semua, yang jelas sejak beberapa hari ini terus bersama Ziva, dan diterimanya proposal, ada sesuatu yang berbeda. Tak tahu apakah ini adalah rasa terima kasih atau mungkin benar-benar suka.
Ziva membelalakkan matanya lebar. Nusa adalah laki-laki yang tidak tertebak. Ziva menikmati momen ini, jika bisa menghentikan waktu, pasti akan ia lakukan supaya tangannya selalu terasa hangat.
Oh My God ... gue pengen teriak sekenceng-kencengnya. Aduh, Kakak Ganteng, aku suka diginiin. Walau ini pertama kali disentuh sama cowok, tapi Ziva seneng...! batin si gadis berpita merah.
Kenapa tangan gue berasa ada lemnya? Lebih lama kayaknya enak, batin Nusa.
"Ka-Ka-Kak Gan-teng, ak-aku su-suka diginiin," ucap Ziva terpatah-patah. Sungguh ... ia tak bisa berkata-kata.
"Gue juga suka," balas Nusa santai. "Jangan panggil gue Kakak Ganteng lagi, ya?"
Ziva mengangguk. Dengan semangat empat puluh lima ia laksanakan jika adegannya sudah seperti ini.
"Ya udah, aku panggil sayang boleh?"
"Emang kita pacaran? Nanti aja kalau udah."
"Kita kapan pacarannya, Kak?" tanya Ziva polos. Bila besok sudah bisa berpacaran, mengapa tidak dimulai dari sekarang saja?
Nusa menggelengkan kepalanya. "Kapan-kapan, ya. Sekarang kita temenan dulu. Gapapa, 'kan?"
Ya ... masih butuh waktu rasanya untuk mengetahui bagaimana perasaan ia sekarang. Melihat kebersamaan Ziva dan Zea, keberhasilan lomba ekskul choir, rasanya berhasil membuat Nusa semakin senang berdekatan dengan gadis ini.
Ziva mengangguk setuju. Tak apa, setidaknya ada kepastian. Melihat Nusa memberi tanggapan dengan baik saja sudah berhasil membuat jantungnya bergetar, bagaimana jika ... sudah berpacaran nanti?
Walau semuanya berujung aneh karena tiba-tiba saja berganti latar dan waktu. Seolah membawa Ziva pada kemungkinan terburuk andai hubungan mereka benar-benar terjalin.
Hepi reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top