🐣14. Zea Bersyukur
Tak lagi bisa menolak, akhirnya dengan terpaksa Nusa mengiyakan permintaan Ziva. Sebenarnya ia sendiri pun takut jikalau sumpah serapah dari Mela benar-benar terjadi. Mana orang tua pula yang berucap.
"Serius, Kakak Ganteng? Ikhlas, 'kan?"
"Iya. Sebenernya aku, eh gue nggak ikhlas. Males. Tapi ya udah, karena gue kasian, jadinya gue iyain. Ntar nangis lagi kayak kemaren di depan kelas, kayak Zea," balas Nusa sinis.
Eh, sebentar. Kenapa rasanya Nusa jadi merasa aneh seperti ini? Bisa-bisanya pula mengucapkan aku?
Aku ... kata itu yang keluar dari mulut Nusa. Sangat jarang kata itu ia pakai saat berada di luar rumah. Itu adalah tiga huruf khusus yang digunakan saat melakukan percakapan dengan orang tuanya.
Ziva senang. Kalau begitu, ia berjanji akan fokus dan berusaha untuk naik kelas walau sebenarnya ia alergi dengan pelajaran. Demi Nusa, apa pun rela dilakukan.
"Cie ... ngomong aku sama Ziva," ledek perempuan tersebut. Senyumnya kembali terlukis lebar, bahkan jantung Ziva pun sudah dibuat berdetak kencang. Bolehlah sering-sering berbicara dengan kalimat agak panjang, serta lebih halus. Kan Ziva jadi senang.
Nusa diam, lalu pergi tak tahu ke mana. Ziva masih setia 'tuk berdiri sendirian di depan ruang guru, sedikit seperti anak hilang yang sedang mencari orang tuanya, namun memakai seragam sekolah.
"Aaaa ... seneng!" Suara Ziva berhasil menelusuri ruang guru. Maka seorang wanita paruh baya yang merupakan pengajar dari pelajaran bahasa Jepang sontak keluar untuk mengecek. Benar saja sang dugaan, kasihan sekali telinga para guru di dalam, pasti terasa seperti sedang disumbat bawang merah.
"Sōzōshī (berisik)!" Kedua jarinya menjepit telinga Ziva dengan kencang. Rasa-rasanya sudah terlalu lama budaya membimbing Ziva tak dilakukan. Ya ... ia rindu menyiksa manusia bawel itu.
"Aargh ...." Gadis itu meringis sakit. "I-ibu, jangan kasar sama Ziva. Kakak Ganteng tolongin ...!" Tarikan telinga dari si guru bahasa Jepang dibuat semakin kencang.
Astaga, memang benar-benar! Kalau tidak berulah, rasa-rasanya selerti ada yang kurang bagi Ziva. Ya ampun, kenapa bisa ia memiliki murid seperti ini? Di mana-mana cewek itu harus kalem, tapi kenapa ia justru berbeda?
"Ampun, Ibu Cantik! Ziva juga nggak paham Ibu ngomong apa, pake bahasa Indonesia aja, ya?" Wajahnya dibuat memelas, terus melirik meminta pertolongan kepada sang guru agar segera dilepaskan.
Sebuah bercak berwarna merah perlahan muncul menghiasi telinga Ziva. Semakin kencang pula permainan menjewer ini.
"Iya, Ibu, saya minta maaf," ucap Ziva sekali lagi.
"Tadi saya dengar kamu mau diajarin sama seorang laki-laki yang tak saya tahu siapa, pokoknya kamu harus lulus di ujian saya! Kalau tidak, jangan salahkan saya kalau kamu tidak naik kelas!" Hobinya lagi-lagi ia tunjukkan, yaitu mengancam para murid yang tak pandai dalam bidang pelajarannya.
Ziva memberi hormat sambil melepaskan jari-jari nakal itu dari sang telinga. Dengan lemas pula jari itu mengikuti pergerakkan tangan Ziva.
Akhirnya, telinga Ziva bisa beristirahat dengan tenang. Gadis itu segera mengusap sang alat pendengaran, kasihan sekali disiksa selama beberapa detik.
Tak lagi mau bermasalah, sontak Ziva berlari demi menghindari jeweran selanjutnya. Sebab guru itu pasti merasa bahwa ia sudah tidak dihormati lagi oleh sang murid.
Beberapa saat kemudian setelah sadar bahwa korbannya kabur, guru itu hanya mendengus kesal dan kembali ke dalam kantor. Baiklah, tak ada gunanya berteriak karena jarak mereka sudah semakin jauh.
🌈🌈🌈
Seusai pulang sekolah, Ziva langsung pulang bersama Nusa. Gadis itu ingin sekali melingkarkan kedua tangannya di pinggang Nusa, tapi tak mungkin. Sudah bagus Nusa mau mengajarinya pelajaran di sekolah, bila itu semua terjadi, bagaimana jika Nusa menarik kembali kata-katanya? Tidak, jangan sampai terjadi. Kasian hati Ziva nantinya.
Zea menyambut kedatangan Ziva ria. Wajahnya benar-benar bahagia. Sudah lama sebenarnya Zea ingin memiliki seorang kakak perempuan yang bisa ia ajak untuk bermain, memakaikan pita di rambutnya. Namun sayang, kakak yang ia punya hanyalah seorang Nusa. Kakak yang sangat jarang mengajak adiknya bermain, tetapi untungnya masih sering memberikan sebuah cokelat jika nilainya bagus.
"Kakak Cantik ...!" sapa Zea sembari berlari menabrakki tubuhnya ke tubuh Ziva. Ziva membungkukkan badan, lalu membelai puncak kepala gadis berusia tujuh tahun itu dan membalas pelukkan Zea.
"Hai, Sayang!" balas Ziva.
Zea menoleh ke samping, di posisi yang sama pula ia menyapa Nusa. "Hai, Abang. Zea kangen sama Kakak Cantik, nggak kangen sama Abang."
Nusa tersenyum mengiyakan apa yang keluar dari bibir Zea. Tak mungkin ia berdecak karena Zea hanyalah seorang anak kecil.
"Nanti Abang nggak mau beliin coklat lagi, ah," canda Nusa yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ih ... ya udah, Zea kangen Abang juga." Wajahnya mengerut, kesal sepertinya dengan apa yang diucapkan Nusa.
Nusa tertawa kecil sembari mengusap puncak kepala Zea, lalu pergi ke kamar terlebih dahulu untuk mengganti pakaian.
"Abang ke kamar dulu, ya."
Zea mengangguk cepat. Tak lagi peduli di mana kehadiran Nusa selama Ziva sudah hadir di hadapannya.
"Ya ampun, Ziva jadi ngebayangin nanti kalau punya anak sama Kakak Ganteng, dia pasti bakal jadi ayah yang baik." Bola matanya melirik ke sudut langit rumah Nusa.
Sementara Zea yang berdiri di dekat Ziva seketika mengerutkan kening. Tunggu ... apakah mungkin ia akan memiliki keponakan? Jadi, bertambahlah nanti isi sang anggota keluarga, lalu ada teman bermain.
"Kak Ziva udah mau bikah sama Abang?!" teriak Zea kencang hingga sepasang manusia paruh baya yang tengah berada di dalam kamar menongolkan kepala ke luar.
Sedikit curiga rasanya saat mendengarkan ucapan Zea. Apakah mungkin putranya sudah menghamili cewek di sekolah?
Ah, tapi tak mungkin, mereka harus tahu kalau Zea hanyalah seorang anak-anak yang masih suka asal-asalan dalam berbicara.
Ziva justru mengangguk cepat. Dirinya memang tidak menyadari lirikkan terbelalak dari balik pintu kamar yang berada tepat di sebelah ruang tamu.
"Kapan?!" balas Zea semangat.
"Secepatnya!"
"Woi, nggak usah tebar fitnah ke adek gue!" Sebuah teriakkan dari lantai atas membuat tawa Ziva pecah seketika, serta sepasang suami-istri yang tengah mengintip menghela napas lega.
🦉🦉🦉
Nusa duduk mengapit Ziva dan juga Zea. Itu semua dilakukan supaya cowok itu lebih mudah untuk mengajari perkalian dan juga bahasa Jepang.
"Sekarang Zea kerjain soal-soal ini, ya! Nanti kalau udah selesai, Abang cek," perintah Nusa sembari menyodorkan selembar kertas berisi perkalian sederhana. Di saat seperti itu, Ziva justru ingin mengerjakan semua soal. Semuanya terlihat mudah. Tapi sayang ... ia harus sadar umur.
Zea mengeluarkan kelima jarinya, lalu semua angka itu dihitung secara manual. Beberapa kali Zea sempat bertanya pada Ziva.
"Kak, 5x5 itu berapa?" tanya Zea.
"Dua puluh lima, Sayang," jawab Ziva tanpa sadar.
"Ziva ... Zea ...," panggil Nusa sesekali. Bukannya fokus menghitung dan membiarkan Nusa berkonsentrasi menulis beberapa kosa kata bahasa Jepang, mereka berdua justru berbicara.
Suasana kali ini sungguh berbeda, biasanya di tengah pembelajaran antara Nusa dan juga Zea, semuanya berjalan dengan sunyi dan sepi. Tapi kali ini semua berputar 180 derajat.
"Iya?" sahut Ziva dan Zea kompak seolah tak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Mendengar suara itu, lantas Nusa tak lagi bisa berkata apa-apa. Sungguh menggemaskan.
"Lanjut, ya. Konsentrasi."
Ziva dan Zea mengangguk kompak. Zea kembali mengerjakan soal-soalnya, sementara Ziva sibuk menikmati ketampanan Nusa dari samping. Benar-benar tampan. Mungkin bisa disandingkan dengan Shawn Mendes.
Tiba-tiba saja ada ketukkan pintu dari luar. Ia adalah Nissa—Ibu dari Nusa dan juga Zea. Sepiring roti bakar dengan keju sudah bersender di atas piring hijau yang ia bawa. Susu kental manis yang diguyur pun menetes tanpa henti. Sungguh menggoda selera.
Nusa membukakan pintu, kemudian mengambil pemberian dari Nissa. Tak lupa ucapan terima kasih ia lontarkan. Sontak hal itu membuat Ziva sadar bahwa ucapan Mela kemarin benar adanya. Nusa adalah anak yang berbakti.
"Makannya nanti, ya, kalau udah selesai belajar," ujar Nusa.
Setelah lelaki tampan itu selesai menuliskan beberapa kosa kata, ia menyuruh Ziva untuk membaca dan mencoba untuk mempraktikkan apa yang telah Nusa tulis di atasnya.
"Baca, Ziv," perintah Nusa.
Ziva menunjuk tulisan demi tulisan, lalu kata yang tak seharusnya diucapkan justru keluar secara otomatis tanpa meminta izin pada Ziva. "Kakak Ganteng."
Ziva menutup mulutnya rapat. Sudah dicoba untuk belajar lebih serius, tapi mengapa semuanya menjadi tak selaras? Matanya tak ingin melihat tulisan horror di hadapannya, melainkan terus menikmati ketampanan Nusa yang tiada tara.
"Zivana Alecia ...!" Penuh penakanan nama itu terucap. Nusa ingin serius, bukan bermain saat belajar. Jika perempuan itu tak mau berubah, bisa saja ia pensiun mengajari Ziva. Apakah ini adalah alasan di balik semua guru les yang mengundurkan diri di hari pertama?
Zea tersentak kaget. Ia pikir namanya yang disebut, ternyata nama calon kakak ipar.
"Iya ... aduh maaf aku nggak konsen tadi."
"Ulang, ya."
Sampai akhirnya Ziva bisa membaca dengan benar, kini ia diharuskan menulis hiragana. Tulisannya benar-benar berantakkan dan tak karuan. Pantas saja nilai bahasa Jepang Ziva selalu telur dadar.
Mau tak mau Nusa harus melingkarkan tangannya dan menggenggam tangan Ziva supaya bisa menulis dengan benar.
Jantung Ziva benar-benar semakin cepat memacu. Dengan semangat pula mereka melakukan senam.
"Tangannya jangan gemeteran, biasa aja," ucap Nusa sembari menatap mata Ziva lekat.
"Ih, aku kan terharu gitu."
Nusa hanya memutar kedua bola matanya malas. Lebay sekali anak ini, hanya dipegang tangan saja sudah gerogi.
"Cie ...!" Fokus Zea ikut terpecah. Terus melirik ke arah pemandangan indah yang jarang sekali bisa disaksikan.
"Yumazea Eilliyah Starasya." Lagi-lagi nama itu diucapkan dengan penuh penekanan, hinga mau tak mau Zea kembali memanyunkan bibir dan menatap soal-soal yang sebenarnya sudah bosan ia kerjakan.
"Kenapa Zea sekarang bibirnya manyun-manyun gitu?" celoteh Nusa.
"Abang! Kok jadi galak?! Zea nggak suka Abang kayak gini!"
"Siapa yang ajarin Zea ngomong kayak gitu?"
"Iya, Zea. Abang Nusa emang suka galak. Nggak usah didengerin, kayak aku aja masuk kuping kiri keluar kuping kanan!"
Zea mengangguk setuju. Baiklah tips dari Ziva akan ia praktikkan di kala Nusa berucap dengan nada tinggi. Hingga akhirnya sang gadis kecil pun menjulurkan lidah ke arah Nusa—menandai bahwa dirinya sudah memenangkan pertengkaran.
Sudahlah, tak lagi bisa Nusa berkata-kata. Saat ada Ziva, kondisi jadi tidak efektif. Memang dasar pembawa keributan!
saturasisenja nisnos, biar kita sweet kayak yang lain, jadi bongbong pake nama nisnos buat jadi ibunya nusa yaw🤣. Lumayan nisnos jadi ibunya cogan sekelas shawn WKWKWKWKWKW
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top