🐣13. Akhirnya ...!
Ziva sibuk men-sceenshot layar ponselnya. Berbagai macam bukti ia kumpulkan di dalam satu folder. Keningnya terus mengerut—penasaran dengan jenis ponsel yang berhasil membobol Instagram-nya.
Ia buka akun e-mail dan ditemukan sebuah tampilan mengenai ponsel Android yang berhasil membobol. Sudah dapat dipastikan pelakunya adalah orang terdekat, sebab ia sendiri pun bisa menebak apa kata sandi Ziva.
Jika memang, dan ia menggunakan ponsel jenis Android , apa mungkin itu adalah perilaku Sora? Sedangkan untuk orang-orang lainnya itu lebih banyak menggunakan Ios.
Ziva menggelengkan kepalanya cepat. Ah, buat apa juga Sora melakukan itu semua? Tidak penting. Eh, apa mungkin karena selama ini Sora iri atas kehidupan Ziva yang berada di ambang atas? Gadis itu pula sangat suka mengeluh.
"Duh, siapa, sih? Kok orangnya kurang kerjaan banget?!" celoteh Ziva di dalam kamar. Bibirnya manyun sepuluh senti seraya melipat kedua tangan di depan dada.
"Tunggu ... pasti dia ngelakuin ini semua karena nggak suka gue ada di ekskul choir. Tapi ... siapa?" Ziva tampak berpikir. Banyak kunang-kunang yang sedang berputar di atas kepalanya. Berbagai macam nama, mulai dari anggota, wakil ketua, dan bendahara pun terlintas. Tapi sepertinya bukan mereka semua. Eh, bisa jadi. Ah, siapa?
Seketika kedua mata Ziva pun ikut terbelalak lebar. Ah, tidak, masa iya itu perilakunya?
"Nggak mungkin kelakuan Kakak Ganteng. Dia aja sibuk, terus bijak. Masa, sih?"
"Astaga, Ziva! Lo nggak boleh mikir yang negatif terus ke gebetan. Stt ... udah, diem!" celotehnya pada diri sendiri.
Tapi kenapa semakin sering menebak, dirinya menjadi tambah kepo? Haruskah ia menggunakan jasa IT profesional atau pekerja lainnya untuk mencari tahu? Jangan, nanti dimarahi Mela.
Sudahlah lebih baik Ziva lanjutkan saja pengumpulan bukti itu untuk diserahkan kepada Nusa besok. Tak usah terlalu lama berpikir siapa yang menjadi dalang, karena ujung-ujungnya pasti Ziva jadi tak suka pada orang itu dan tak bisa berperilaku profesional.
"Tapi kalau ternyata Sora gimana?" tanyanya pada diri sendiri seraya menatap langit-langit kamar.
🍄🍄🍄
Ziva melempar tasnya ke atas meja. Lalu segera mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi beberapa bukti. Dengan semangat ia buka tas itu, sampai beberapa lembarnya jatuh mencium lantai.
Karena di pagi hari adalah waktu di mana para siswa harus berlalu-lalang, maka kertas itu pun tak heran sudah menerima berbagai jenis bercak hitam.
Ziva mendengus. Kesal dengan mereka semua. Bagaimana jika Nusa justru jijik atau mungkin tak mau menyentuh benda itu? Tak tahukah mereka jika sekarang Ziva sedang berjuang untuk mendapatkan permintaan maaf?
"Jalan bukannya liat-liat, kek. Kasian tau kertas Ziva jadi item kayak muka Sora," desis sang gadis seraya melirik tajam ke arah Sora. "Minta maaf aja enggak, malah main pergi gitu aja."
Hati Ziva terus berceloteh kesal, lagi pula kenapa meminta maaf untuk hal yang sepele seperti ini aja susah? Memangnya bisa pingsan jika mengucap satu patah kata itu?
Sora masih duduk diam. Tak ada sedikit pun niat untuk membantu Ziva mengangkat semua kertas-kertasnya. Ia masih berpikir soal Leo yang baru saja datang ke rumahnya kemarin. Seluruh barang yang menghinggap di rumahnya pun jatuh berserakkan. Tak tahu lagi apa yang diinginkan oleh cowok itu.
"Ih, Sora bukannya bantuin malah main hp melulu." Ziva berdecak. Apakah hidup Sora selalu dipenuhi oleh ponsel? Mungkin yang berharga hanya benda itu. Jadi, ibarat Ziva pergi ke kantin tanpa mengajaknya pun sepertinya Sora juga tak peduli.
"Apa, Sayangku, Cinta, Beb?" Sora meletakkan ponselnya di atas meja bersama kedua senyum yang sengaja ia tarik supaya tak lagi mendengar celotehan manusia paling cerewet di muka bumi sekarang.
"Gue dipanggil sayang. Aduh kalo gue baper gimana? Ih tapi gue kan masih normal. Kalo Kakak Ganteng yang sebut baru gue kelepek-kelepek." Ziva menatap langit kelas, jika ada awan di atas kepalanya, mungkin sekarang sudah ada wujud ia dan juga Nusa yang sedang duduk berdua, kemudian Nusa menyatakan berbagai macam gombal.
"Dah ah gue mau keluar dulu, mau kasih lampiran bukti ke kakak-kakak choir yang ganteng itu." Sora mengernyit. Itu artinya Ziva mau bertemu Biru? Tidak ... tidak boleh terjadi. Jika Biru semakin sering melihat Ziva, pasti laki-laki itu akan semakin tak menghiraukan kehadirannya. Bahaya. Dengan begitu pula Leo akan semakin berulah yang tidak jelas.
"Va, sini aja." Sora menarik tangan Ziva untuk kembali duduk. Otomatis gadis itu tertarik seperti magnet, dan kembali mendaratkan bokong.
"Nggak mau." Ziva menolak. Ia harus cepat menemui Nusa, Bu Doremi, dan anggota lainnya. Tak lagi bisa berlama-lama. Lagi pula Sora juga biasanya tak jelas, selalu berdiam diri seperti batu dan menikmati dunianya sendiri.
"Selama ini lo nggak pernah denger gue cerita, 'kan? Nih sekarang gue mau cerita. Makanya lo jangan pergi. Gue pengen lo tau seberapa berat hidup gue dibandingin hidup lo yang enak dan bahagia itu," ucap Sora cepat, supaya Ziva tak langsung melengos pergi dan mau mendengarkan. Memang selama ini ia selalu memendam semuanya sendiri, tapi jika Ziva sudah berurusan dengan lelaki bernama Biru, jangan salahkan Sora jika ini semua terjadi.
"Apa, sih, Ra? Bukannya lo nggak mau dengerin gue? Kenapa gue harus dengerin lo, sih? Nggak penting. Udah gue mau kete—"
Belum selesai Ziva berbicara, Sora langsung bercerita soal Leo yang akhir-akhir ini tak pernah berhenti mengganggu.
"Lo tau nggak? Masa si Leo sekarang teror gue tiap hari anjir!" sahut Sora tiba-tiba. Kedua bola matanya berputar malas.
"Mending, ya, kalau dia baik, kaya, kalem. Ini mah apaan udah kasar, suka teror. Gue tuh sebel banget. Harusnya dia minta maaf, kek."
"Mana pake ngungkit-ngungkit soal ortu gue, dipikir gue suka?"
Ziva terdiam tak memperhatikan. Gadis itu justru membuka ponsel dan mengusap layar aplikasi Instagram. Terlalu seru rasanya saat menikmati penampilan wajah-wajah tampan dari para pria luar negeri. Bisa berkhayal kalau andai saja amit-amit tidak berpacaran dengan Nusa, dia bisa bersama Shawn Mendes gitu.
"Duh, Bebeb Shawn-ku ganteng banget, sih. Mirip kamu sama Kakak Ganteng," ucap Ziva.
Sementara si gadis buruk rupa masih setia bercerita soal Biru yang menjadi seorang pahlawan di saat ia bekerja. Sora menceritakan itu semua dengan bangga, ia merasa hebat karena sudah bisa membuat Biru datang untuk menolong. Walau sebenarnya ia tak tahu apa maksud dari pertolongan yang Biru berikan beberapa hari lalu.
"Udah ceritanya? Ya udah gue mau ketemu Kakak Ganteng dulu sama yang lainnya. Lo curhat aja sama meja, kursi, papan tulis. Gue nggak peduli haha ...." Ziva benar-benar pergi. Ia berlaku sama. Bila Sora bisa cuek dan hanya mau didengarkan tanpa mendengar, mengapa Ziva tak melakukan hal yang sama? Kan ia diajarkan oleh Regan.
Bukankah seseorang harus diberi pelajaran terlebih dahulu supaya bisa sadar dengan apa yang mereka lakukan? Karena manusia selalu bertindak sesuai ego dan diri masing-masing. Mereka tak akan peduli bagaimana perasaan lawan jenis, yang terpenting adalah mereka bahagia. Begitu kata Regan—sang sepupu.
Bukan karena harus mencintai diri sendiri, tetapi juga tak boleh mencintai diri sendiri secara berlebih sampai lupa bahwa masih ada orang lain di sekitar kita.
"Kakak Ganteng!" panggil Ziva yang sudah bertengger di depan kelas Nusa.
Nusa segera keluar dari kelasnya, menghampiri Ziva yang ia yakini sudah membawa bukti—terlihat jelas dari beberapa lembar kertas yang dipegang erat oleh sang gadis.
"Cepetan ayok ke Bu Doremi." Tanpa sadar, telapak tangan Ziva secara reflek menarik lengan cowok itu. Membawanya berjalan cepst menuju ruang guru.
Dalam diam Nusa sadar. Ia terus melirik ke arah tangannya yang dibawa bagai menggandeng sebuah boneka. Tapi di satu sisi, kalau boleh jujur, setelah mendengar wejangan dari Biru kemarin, apakah ia terlalu kasar dalam memperlakukan seorang perempuan?
Membuat seorang cewek menangis sebenarnya sudah melanggar prinsip hidup Nusa. Sejak kecil ia berjanji untuk tidak pernah membuat perempuan meneteskan air mata, apalagi Zea dan sang ibu. Tapi ... kenapa ketika bertemu gadis ini prinsip itu buyar?
"Ya udah, untuk sekali ini aja gue biarin. Anggep aja permintaan maaf walau jujur gue marah banget sama dia," ucap Nusa dengan suara pelan.
Langkah Ziva tiba-tiba terhenti. Sempat menoleh ke belakang dan mencuri lirik ke bawah. Astaga, tapi tak apa, ternyata nikmat bisa menyentuh gebetan.
"Kamu ngomong apa, Kak?"
Nusa menggeleng, lalu melepaskan genggaman itu secara paksa, dan melangkah terlebih dahulu. Jangan sampai gadis itu sadar bahwa ia sedari tadi pun sudah tahu kalau digandeng dan dibawa-bawa bagai mainan.
"Ih, ditinggal pula!"
Setelah bertemu dengan Bu Doremi di depan kantor guru, Ziva menunjukkan bukti yang telah ia kumpulkan bahwa akun Instagram-nya telah dibobol oleh seseorang yang tak bertanggung jawab.
Bu Doremi mengangguk bahagia. Benar pula dugaannya kemarin saat di rumah sibuk mencari jalan keluar, bersyukur pula ia bahwa Ziva tak benar-benar berkhianat.
Nusa tersenyum tipis. Kerpercayaannya akan ia kembalikan pada Ziva. Walau tak mungkin meminta maaf secara langsung, tapi setidaknya ia tahu kalau di hati terdalam mereka pasti sudah merasakan lega yang teramat.
"Berati Kakak Ganteng udah nggak marah lagi sama aku?" tanya Ziva polos.
Nusa menggeleng, dan di saat itu pula kedua tangan Ziva refleks melingkar di pinggang cowok kelas XI IPA tersebut.
Bu Doremi berdeham, baru kemudian Ziva melepaskan pelukan itu dengan cepat. Aduh, mengapa ia sampai tak sadar? Bagaimana jika Nusa marah?
"Maaf, Kakak Ganteng. Maaf Bu Doremi. Ziva khilaf."
Bu Doremi tertawa kecil, kemudian langsung memasuki kantor guru.
"Kalo kayak gitu, berarti Kakak Ganteng jadi ngajarin aku belajar bahasa Jepang sama MTK bareng Zea?" Ziva menatap Nusa dalam. Apa itu artinya Ziva bisa memiliki waktu berdua yang lebih lama dan bisa memiliki hubungan yang intim dengan Zea?
Cie Zeanisa_ mau belajal baleng Ziva🤣
Happy reading, Bebsky!
Love you 💕,
Bong-Bong
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top