🐣1. Panggilan BK
"Nusa, Ibu mohon sekali ini saja kamu mengikuti olimpiade Fisika. Tolong ... hanya kamu siswa paling berpotensi yang kami—para guru percayai." Bu Happy tampak memohon pada Nusa, satu-satunya lelaki di SMA Alderra yang memiliki kemampuan berhitung dan menghafal rumus di atas rata-rata. Sesuai dengan namanya, Nusantara Bara Angkasa. Memiliki pengetahuan umum yang sangat luas seperti luasnya negara tercinta kita ini.
Lagi-lagi Nusa dibuat berpikir keras, di satu sisi harus fokus pada pelaksanaan lomba ekskul choir yang akan dilaksanakan sebentar lagi, tapi hatinya pun merasa segan jika harus menolak permintaan guru di hadapannya. Kalau saja ia mengikuti kegiatan akademis ini, dapat dipastikan bahwa ekskul yang sudah dipimpin akan hancur berantakan.
Sampai akhirnya seorang siswi berpita merah datang menyelamatkan nasib Nusa. Ya ... ini adalah kesempatan emas untuk kabur dan menggantungi para guru. Lagi pula, kenapa guru ini sangat suka untuk memanggil di jam istirahat? Jika tujuannya adalah tidak mengganggu pelajaran, lebih baik ia memilih waktu di jam pulang sekolah.
Pikiran Bu Happy seketika beralih fokus pada Ziva dan mempersilakan Nusa untuk keluar dari ruangan. Ia sudah tak tahu lagi harus berbuat apa kepada siswi di hadapannya sekarang. Sepertinya memang tak memiliki sedikit pun niat untuk mendapatkan nilai bagus, padahal semua bisa dilakukan dengan belajar.
Namun, di saat guru di hadapannya ini sedang bersiap-siap untuk ceramah, manik cokelat milik gadis berambut sebahu itu justru bergerak melirik ke salah seorang laki-laki jangkung dengan gaya rambut cepak. Untuk pertama kalinya Ziva merasa penasaran pada seorang laki-laki setelah hidup 16 tahun tanpa perasaan suka ataupun disukai.
"Hai ...!" sapa Ziva pada cowok berompi hitam dan celana panjang putih seraya melambaikan tangan penuh senyuman.
Mendengar suara cempreng seorang gadis dengan tampang tak berdosa ini, gejolak emosi dalam diri Bu Happy semakin tak sabar melompat ke atas. Apakah ia tak tahu di mana sekarang kakinya sedang berpijak?
"Ziva!" teriak Bu Happy bersama mata yang sudah memicing.
Tak mau ikut terlibat dengan masalah, Nusa segera pergi tanpa menoleh—seolah menganggap bahwa ia hanya sedang berhalusinasi.
"Duduk!" Tangannya menunjuk ke sebuah kursi di hadapannya hingga sang gadis akhirnya mendaratkan bokong secara perlahan sambil meratapi kepergian cowok yang baru saja membuat jantungnya berdebar.
"Yah ... Ziva kehilangan target, dong! Ibu mah nanti kalau nggak ketemu lagi gimana? Kan saya pengen cobain pacaran."
Kedua mata Bu Happy sontak terbelalak lebar, bahkan sederetan gigi rapinya pun ikut mengetat. Menggelengkan kepala pelan, lalu membuang napasnya kasar. Semoga Tuhan masih baik memberikan stok kesabaran pada wanita berusia 40 tahun tersebut.
"Kamu nilai saja masih jelek, tapi sudah memikirkan pacar. Dasar anak remaja!"
"Loh, Ziva sekolah itu kan buat buktiin kata orang-orang kalau masa SMA adalah masa terindah. Kita jadi bisa punya pacar, bisa main sama temen sampe malem, bis—"
Belum selesai Ziva berbicara, suara Bu Happy kembali membuat seisi ruangan bergetar. Membuat gadis itu mengunci mulutnya rapat-rapat dan menundukkan kepala walau tak ikhlas sebenarnya ia lakukan semua ini.
"Diam! Kalau kamu terus berbicara kayak bebek di empang, saya jahit mulut kamu!" Kedua tangan wanita itu terlipat rapi di depan dada. Semoga hari ini hanya satu murid menyebalkan yang harus ia sidang. Kalau sampai lebih, bisa masuk rumah sakit jiwa mungkin sepulangnya dari sekolah.
Selang tak lama, akhirnya sepasang suami-istri yang berusia 40 tahun datang dan memasuki ruang BK. Bu Happy melempar senyum ramah, jiwa nenek lampir yang sebenarnya selalu melekat, tiba-tiba saja pergi tanpa diusir.
Mereka berjabat tangan sambil melempar senyum, kemudian duduk mengapit putrinya.
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu. Apa benar orang tua dari Zivanna Alecia?"
Hardie dan Mela mengangguk pelan sambil melempar senyum ramah. Walau hatinya terasa kesal, tapi mereka harus menunjukan citra ramah di depan guru Ziva agar dianggap sebagai orang tua yang perhatian. "Betul sekali."
"Sebelumnya saya meminta maaf atas apa yang akan disampaikan, tapi ada satu pertanyaan yang mungkin ternyata menjadi sebab dari sikap Ziva. Apakah di rumah Ziva ada masalah keluarga atau semacamnya?"
Hardie dan Mela menggeleng cepat. Selama yang mereka lihat, putri tunggalnya itu selalu terlihat bahagia. Rajin tertawa walau topik yang dibahas tidak lucu, tersenyum setiap dimarahi, apalagi yang bisa menggambarkan bahwa gadis itu tidak bahagia dan mendapat perhatian cukup?
"Apa Ziva tidak pernah bercerita soal masalah pribadi atau pengalaman di sekolah baru kepada Bapak atau Ibu?"
Sebuah guratan langsung muncul menghiasi pasangan paruh baya itu. Selama ini mereka selalu memaksa untuk tahu apa yang terjadi pada putrinya. Jadi, dalam keluarga kecilnya tak lagi ada rahasia. Semua harus terbuka dan wajib menganut prinsip kejujuran.
"Soal apa, ya, Bu?" tanya Mela bingung.
"Bukan, maksud saya, apa Ziva sering menyembunyikan sesuatu?"
Ziva ikut menggeleng. Selama ini ia memang tak pernah menyembunyikan apa pun. Ia bodoh dan malas dalam bidang akademik bukan karena ada masalah, melainkan memang sudah bawaan lahir. Ibarat kata, seekor ikan akan selalu dianggap bodoh jika ia dipaksa untuk terbang di udara.
Satu ruangan dibuat semakin bingung. Rencana Bu Happy kali ini adalah memecahkan masalah nilai dan juga kemalasan Ziva, tapi yang ia dapatkan justru pemikiran yang semakin berputar-putar. Bu Happy memang tak akan pernah mau mengubah pola pikirnya soal semua murid yang harus pandai di bidang akademik.
"Dulu saya liat Ziva memiliki potensi yang besar di sekolah, bahkan hasil ujiannya sendiri pun nyaris sempurna." Bu Happy kembali membuka pembicaraan bersama senyum yang kembali ia lukiskan.
"Itu namanya saya lagi hoki, Bu. Lagian saya sekolah juga nggak punya tujuan untuk dapet nilai bagus, kok. Saya cuman jadikan sekolah sebagai formalitas aja, soalnya kata orang-orang, semua pelajaran sekolah itu nggak kepake kalo udah kuliah. Jadi, buat apa saya berjuang untuk sesuatu hal yang nggak penting? Ya, 'kan, Bu?" Ziva berkata dengan kedua alisnya terangkat, serta bibir yang menjuntai ke atas seolah bangga dengan apa yang ia ucap barusan.
Andai tak ada Hardie dan Mela di sini, pasti Bu Happy tak segan untuk menjitak siswi di hadapannya sekarang. Kini, yang dapat ia lakukan hanyalah tersenyum dan memikirkan kata-kata yang pantas untuk memberikan pengertian kepada Ziva. "Sekolah itu penting, Nak. Masa depanmu akan cerah kalau nilai-nilai akademismu bagus."
Dasar topeng monyet! Giliran tadi nggak ada Mama sama Papa, mulutnya pedes kayak sambel buatan Mama, masa sekarang jadi kayak teh manis? batin Ziva berteriak—sangat tak menerima cara Bu Happy berucap. Sungguh guru bermuka dua!
Hardie dan Mela memutar bola matanya malas. Sudah berapa kali putrinya selalu mengucapkan hal yang sama seperti ini sampai mereka sendiri pun bosan mendengarnya.
"Jadi anak rajin itu banyak manfaatnya, loh, Ziv. Contohnya bisa jadi dokter, ilmuan."
"Ziva nggak tertarik sama yang Ibu sebutin. Lagian saya juga pernah pinter pas SMP, tapi rasanya nggak guna aja kalo harus ngerjain tugas yang horor. Padahal masuk sekolah aja baru mau sebulan. Tapi udah ada ulangan, tugas, kan saya jadi pusing," celoteh Ziva santai.
"Loh, kalau kamu pernah pintar, lantas mengapa sekarang menjadi tidak suka belajar dan membiarkan nilai-nilaimu jelek? Inget, Ziva, di sekolah ini kamu tidak bisa main-main dengan nilai. Banyak yang tidak naik kelas karena tinta merah di rapor menghinggap lebih dari satu."
"Ibu pernah denger nggak kalau murid yang kebanyakkan tugas, dia bisa depresi sama bunuh diri. Aku tuh nggak mau kayak gitu!"
"Ziva, dengerin ibu gurumu, Nak. Kasian dia udah meluangkan waktu buat urusin kamu," sahut Hardie lembut.
Sementara Ziva justru masih tetap berpegang teguh pada prinsipnya. Ah, rasanya pusing jikalau harus memikirkan nilai. Lebih baik mencari tahu soal laki-laki yang tadi sempat bermain ke tempat ini.
"Bu Happy, cowok ganteng yang tadi siapa namanya?"
Mata Bu Happy seketika terbelalak lebar. Bibir merahnya mengerucut. Kedua alisnya terangkat.
"Ziva ...!" teriak Mela dan Hardie kompak. Sudahlah hancur reputasi yang ia bangun sejak menginjakkan langkah pertama di sini. Benar-benar, kalau bukan putri kandung, sudah mereka buang ke panti asuhan agar tahu caranya menghargai keadaan.
Beruntung nasib Ziva saat itu, bel yang menandakan bahwa jam istirahat telah usai pun akhirnya berbunyi. Tanpa mempedulikan apa yang baru saja ia lakukan, dengan cepat pula kakinya melengos pergi dan menemui Sora yang sudah menunggunya di depan ruang BK.
"Bye-bye, Ma, Pa, Bu Hap! Aku keluar, ya ...!"
Semua orang yang ada di ruangan terpaksa diam dan merelakan kepergian Ziva. Pada akhirnya Bu Happy hanya akan menyampaikan pesan secara tatap muka pada Mela dan juga Hardie, serta berharap bahwa mereka akan menyampaikannya kembali pada Ziva saat pulang sekolah nanti.
"Ra, tadi gue nemu cogan ...!" teriak Ziva histeris sembari berlari kecil menuju kelas. "Masa gue mau kepo sama Bu Happy, tapi dia malah pasang aba-aba kayak singa mau nerkam rusa? Ih, gue nggak suka, ya, kalo lagi seneng harus digituin!" Sembari melipat kedua tangan di depan dada, gadis itu menatap kesal.
Sora membuang napasnya pelan, kemudian segera berjalan lebih cepat beberapa langkah untuk mendahului Ziva. Betul, ia malu.
Pikirannya kembali mengungkit wajah sang mantan yang begitu kasar. Tidak, semua lelaki itu sama berengseknya, jadi tak lagi mungkin ada yang benar-benar tulus mencintai. Terkecuali seseorang yang kemarin bertugas menjadi komandan upacara. Mau bagaimanapun ia bertindak, tetap terlihat sempurna di mata seorang Soraia Bellatrix.
"Soraaaaa!" teriak Ziva dari belakang seraya berlari kecil. Semakin merasakan kehadiran sosok makhluk halus, langkah Sora bergerak semakin cepat.
Namun, tentu bukan Ziva namanya kalau menyerah begitu saja. Gadis itu langsung ikut berlari hingga membuat sang sahabat tersungkur di lantai.
"Zivaaaaa!" teriak Sora kencang yang berhasil membuat perempuan bertubuh mungil itu melarikan diri dari terkaman singa.
Hai, Bebsky!
Gimana? Sudah jatuh cinta belum sama ceritanya? Hayo ... itu Sora naksir sama siapa? Yang pasti bukan sama kamu, eh😂
Happy reading, yaw!!!
Love,
Bong-Bong ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top