08 - Selengket Permen Karet
*
*
*
Sebagai mahasiswi yang tidak aktif ikut organisasi kampus, di KKN Una baru merasakan bagaimana sibuknya mengikuti rapat. Rapat RT-lah, karang tarunalah, panitia tujuh belas Agustus lah, rapat ibu-ibu lah, dan berbagai macam rapat lainnya. Seperti sore ini, timnya terbagi jadi tiga kelompok. Ia, Naka, Marya, dan Agil mengikuti rapat karang taruna, membahas acara tujuh belas Agustus sekaligus sponsor untuk pos kamling.
Sedangkan Amanda, Jesline, dan Ilham mengikuti rapat bersama ibu-ibu warga RT 05 membicarakan acara tirakatan, dan sisanya bertugas berjaga di posko, siapa tahu ada tamu atau dosen yang mengunjungi.
"Kenapa tiba-tiba jadi Agil yang ikut rapat karang taruna? Mana bisa tuker-tukeran begitu?" protes Jesline menggerutu.
Dari tempat duduk, Una dapat mendengar dengkusan Marya yang tidak jauh darinya. Ah, pasti cek-cok lagi.
"Astaga, harus diributin banget cuma masalah tuker tempat rapat?" tukas Marya memberikan tatapan sengit pada gadis bule itu.
"Ya kan, perjanjiannya gue yang ikut rapat karang taruna, bukan Agil! Enggak bisa dong asal ganti gitu aja," sembur Jesline tak terima.
Una memejamkan matanya karena pening. Awal mula permasalahannya dimulai lima belas menit lalu. Agil memberi usul pada Naka, bagaimana jika ia yang mengikuti rapat dengan Karang Taruna Desa Tretep, karena lelaki itu yang bertugas mencari sponsor bersama Naka. Jadi otomatis, Agil, lebih paham tentang sponsor daripada Jesline. Mendengar usul dan alasan masuk akal Agil, Naka langsung menyetujuinya dan menukar rapat yang harus dihadiri Agil dengan Jesline, karena sama-sama bendahara. Tidak ada masalah sebenarnya, sampai Jesline tahu dan ngambek. Gadis itu menumpahkan kekesalannya pada anak-anak—alias kita yang di posko—karena Naka dan Agil sedang keluar.
"Kalian bendahara, kan? Tugasnya sama, lo rapat bareng ibu-ibu, Agil bareng karang taruna. Lo keberatan di sebelah mananya, sih?" Karena tidak tahan, akhirnya Una bersuara.
"Bucin dia. Enggak bisa napas kalau pisah sama Naka," ledek Cindy sambil terkikik, wajah gadis itu masih terpaku pada layar laptopnya yang menampilkan drama Korea.
Jesline mendengkus keras-keras. "Bukan! Masalahnya gue udah prepare buat rapat ini semalem."
"Alah! Prepare apa, sih? Kayak mau sidang aja lo rapat beginian pakai prepare segala," cibir Marya.
Oke, sudah mulai memanas. Sebagai wakil ketua yang bertanggung jawab dengan masalah internal, Una harus meredamkan pertikaian kecil ini.
"Kalau lo mau banget rapat sama anak karang taruna, lo izin sendiri sama Naka dan Agil. Terus, pakai alasan yang logis dan masuk akal," terang Una.
Sebetulnya, kalau boleh jujur, Una juga merasa jengah dengan sikap kekanakan Jesline. Awal KKN, masih biasa saja, tapi menginjak minggu kedua, kelakuan Jesline semakin merepotkan. Pokoknya kalau ada Naka harus ada Jesline. Kalau berani, Una ingin membentak perempuan itu atau menegurnya. Kenapa jadi cewek posesif begitu? Takut Naka diambil siapa, sih Mbak? Kayak ada yang nyaingin cantikmu aja di sini.
***
"Kalau mau bikin taman di sebelah pos kamling, kita butuh dana yang lebih besar, Mas. Mengandalkan sponsor aja not a smart move, jadi kalau emang pengin banget ada taman, gimana kalau minta warga buat menyumbang bahan-bahan pembuat taman?" Naka memberi pendapat.
Dany—Ketua Karang Taruna—mengerutkan kedua alisnya. "Bahan-bahan gimana?"
"Ya nyumbang pot, bibit tanaman, cat, semen, semacam itu, lah. Enggak harus satu orang satu bahan, bisa per lima rumah, kirim bahan. Nanti kekurangannya baru diakalin pakai kas desa," imbuh Agil. "Blak-blakan aja ini, Mas, renovasi pos kamling butuh dana lumayan lho, apalagi dari desa cuma nyediain lima juta. Menurutku itu masih kurang banget. Mau ngandalkan iuran anak KKN? Ya, cukup kejam, sih, kami kan di sini mengabdi buat membagikan keterampilan, dana kami pun sangat terbatas."
Wah! Una berdecak kagum, tidak menyangka Agil memiliki nyali sebesar itu. Sudah jadi rahasia umum kalau anak KKN itu dianggap sebagai dinas sosial, yang bisa kasih bantuan dana sebanyak yang desa mau. Jadi, mereka bakal banyak minta iuran ke para mahasiswa. Padahal mahasiswa juga sama-sama tidak punya uang.
"Oke, sementara itu dulu ya. Nanti kalau ada apa-apa kita kumpul lagi," kata Dany menutup rapat.
Dari rapat sore hari ini, Una tahu jika Naka dan Karang Taruna Desa Tretep, berhasil mendapatkan sponsor berupa cat kaleng besar satu buah, cat kaleng sedang dua buah, dan semen dua karung. Meskipun bukan dalam bentuk uang, karena mereka mencari sponsor di toko-toko bangunan, tapi itu hasil yang cukup mengagumkan.
"Kok lo berani sih ngomong begitu ke Mas Dany?" tanya Una pada Agil -setengah berbisik, setelah keluar dari rumah Dany.
"Yang mana?" Agil melirik Una yang membuntuti lelaki itu.
"Itu soal dana."
"Ngapain enggak berani? Biar sama-sama enak aja kalau udah terus terang dari awal," jawab lelaki itu santai.
"Keren deh lo. Emang lumayan ngeselin sih ya kalau KKN malah diporotin uangnya."
Agil mengangguk setuju. "Ya, 'kan? Gue juga bukan anak konglomerat yang napas aja keluar duit." Una terkekeh mendengar candaan receh lelaki itu.
"Eh, Na? Lo mau sama Agil, nih?" Suara Marya membuat Una dan Agil dan menoleh ke arah gadis itu.
"Eh?" Una lalu baru menyadari jika ia mengikuti Agil sampai ke tempat motornya diparkir. "Iya aja deh sekalian."
"Oke, kita switch berarti ya," sahut Marya tak banyak pikir.
Tadi waktu berangkat, Una dibonceng oleh Naka sedangkan Marya bersama Agil. Sebenarnya tidak ada rencana Una akan membonceng Agil saat pulang nanti. Tapi, ini ide bagus, 'kan? Ia tidak perlu terjebak dengan Naka. Dan, sepertinya dia juga sudah tidak canggung jika ada di sekeliling sang mantan, buktinya ia bahkan lupa jika ada Naka di sini.
"Hati-hati ya Mar, nanti diamuk Jeje," kata Una terkekeh sambil diam-diam melirik Naka, yang mendengkus keras.
Marya berdecak sebal. "Oh, jadi itu maksud lo, ngorbanin gue demi menyelematkan diri lo sendiri."
"Ngapain juga Jeje ngamuk? Enggak make sense," tukas Naka.
"Kalian itu, cewek-cewek sukanya julid aja," tegur Agil dengan nada bercanda.
"Aduh Mar, Bapak marah, kita besok enggak dimasakin nanti," ujar Una terkikik, menanggapi Agil.
"Ya Tuhan, aduh Bapak, jangan emosi, ya, besok kita aja yang masakin Bapak," sahut Marya tertawa.
"Masak tahu bacem aja gosong lo berdua, sok-sokan," dengkus Agil.
Setelah cukup lama bercanda, akhirnya mereka pulang menuju posko. Sebelum motor Agil melaju lebih dulu, Una sempat mencuri pandang ke arah Naka, yang terlihat sedang tidak mood. Ya, bagaimana tidak, pasti lelaki itu sedikit kesal karena diabaikan olehnya dan Marya.
***
"Gue aja yang ambil makan sama Naka," sergah Jesline ketika Ilham akan mengikuti lelaki itu keluar untuk mengambil makan di rumah Bu Sarwenti.
"Gue cuma mau bantuin."
"Enggak apa-apa, gue berdua aja sama Naka." Ilham mengedikkan bahu, lalu tanpa bicara kembali masuk ke dalam.
"Jes, kenapa, sih?" Samar-samar Una dapat mendengar suara Naka.
Gadis itu malah tersenyum lebar, lalu menghampiri Naka, sehingga mereka berjalan berhimpitan. "Kenapa? Cemberut mulu, enggak asyik."
Selebihnya, Una tidak peduli lagi apa yang dua orang itu bicarakan, karena ia memilih masuk ke dalam. Udara yang cukup dingin membuatnya menggigil. Di ruang tengah yang tersambung dengan ruang tamu, Una dapat melihat teman-temannya sedang bermain uno tumpuk. Nampak juga wajah Agil yang dicoret-coret lipstik.
"Idih, enggak jago mainnya, udah cemong aja," goda Una sambil memposisikan dirinya duduk di sebelah lelaki itu.
"Ih, situ enggak tahu, ini yang bikin ulah si Marimar, tuh! Senggol-senggol eyke!" jawab Agil dengan nada yang dibuat ala-ala waria pekerja salon.
"Enak aja, lo ganti nama gue!" sahut Marya yang duduk di seberang mereka. "Kalau cupu ngaku aja cupu."
Lima belas menit berlalu, permainan mereka harus selesai saat Naka dan Jesline kembali. Una ke dapur untuk mengambil alat makannya. Sang ketua menghampiri para anggotanya yang berkumpul di atas karpet dengan senyum mengembang.
"Habis makan, main lagi lah, gue ikut," kata Naka, tampak tertarik.
"Boleh, Pak Ketua! Tapi, harus berani dicoret pakai lipstik," jawab Cindy sambil memperlihatkan lipstik merah marun di tangannya.
Naka melirik ke arah Agil lalu terkekeh. "Gue enggak cemen kaya Agil, tenang aja."
"Songong banget lo! Jangan nangis nanti kalau mirip Lucinta Luna!" tukas Agil sambil pura-pura mengibaskan rambut imajinasinya.
"Couple aja! Kalau main bersepuluh kelamaan!" usul Ilham.
"Gue kan enggak ikut," sahut Una.
"Enggak asyik lo Na, udah ikut aja," balas Santi kemudian menoleh pada Ilham yang duduk di sampingnya, "Gue sama lo deh Ham." Lelaki itu mengangguk tanda setuju.
Lalu ia sama siapa? Marya? Tidak mungkin, gadis itu sudah duduk bersebelahan dengan Cindy, yang dia tebak jadi pasangannya. Pilihannya hanya ada Agil yang duduk di sebelahnya dan Naka yang tidak jauh darinya. Una melirik ke arah Jesline yang masih mengambil makan, lalu menggeleng pelan. Tidak mungkin Naka.
"Udah sama aku aja," kata Naka pelan.
Belum sempat menjawab, Jesline datang sambil membawa piring dan disodorkan pada Naka, yang langsung jadi bahan obrolan teman-temannya. Mereka menggoda Jesline karena sudah seperti seorang istri yang mengambilkan makan malam untuk sang suami.
"Mainnya couple-an ini? Gue sama Naka aja, ya? Males ribet."
"Lo mah couple enggak couple sama Naka mulu! Enggak bosen apa?" sindir Marya.
"Kemarin gue juga pergi sama Erick!" bela Jesline. "Lagian kalian udah pada punya pasangan sendiri-sendiri, kan?"
"Gue belum," gumam Una cukup keras didengar teman-temannya.
"Sama gue lah, Na," balas Agil mendekat. "Gue jamin, lo enggak akan kecewa kalau memilih gue, Na."
Una memutar mata, tapi tetap mengikuti drama yang dimainkan Agil. "Lo wajahnya paling banyak kena coretan lipstik loh Gil, yakin itu bukan janji palsu kampanye? Gue enggak mau sakit hati Gil, sembuhnya lama."
"Curhat, Neng?" goda Marya.
"Tenang sama Bang Agil, hatimu akan aman."
"Tapi kalau kita kalah, lo aja yang dicoret, mau?" tawar Una. Teman-temannya kompak mengatakan hal itu jelas tidak bisa. Tapi tidak dengan Agil. "Jangankan coret-coret muka, coret-coret buku nikah dengan nama kita aja Abang sanggup."
Seketika suara siulan dan tawa meledek memenuhi ruangan.
Una menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menutup muka karena tertawa terlalu keras. Entah kenapa, tiba-tiba wajah Naka masuk ke dalam radar penglihatannya, dan seketika ia sadar, lelaki itu jadi satu-satunya orang yang tidak tertawa di ruangan itu. Tapi, kenapa?
*
*
*
Udah keliatan tanda-tanda yang diinginkan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top