05 - Sabun Cuci Piring
*
*
*
Hari kedua di posko KKN tidak banyak yang berbeda dari hari pertama. Pagi tadi, Una dan teman-temannya berjalan-jalan untuk melihat-lihat desa yang masih asri sekalian berkenalan dengan masyarakat di sana. Sepulang dari jalan-jalan, para lelaki mampir ke rumah Pak Retno untuk mengambil sarapan. Karena Desa Tretep terletak jauh dari pasar, timnya memutuskan untuk menyerahkan urusan belanja bahan-bahan makanan pada Bu Sarwenti---istri Pak Retno, dan menyiapkan makanan. Wanita empat puluh tahunan itu dengan senang hati menyanggupinya. Tentu saja, mereka menitipkan sejumlah uang pada Bu Sarwenti untuk belanja, transportasi dan hal lainnya.
"Astaga, ini abu rokok banyak banget di atas meja, bersihin dong kalau abis nyebat!" semprot Cindy kesal. Perempuan itu mengambil tisu lalu membersihkan meja ruang tamu.
Mendengar teriakan Cindy, membuat Una sedikit resah. Matanya menyapu ruang tamu dan mendapati beberapa bungkus sampah teronggok di sudut ruangan dan bawah kursi. Baru dua hari tapi sudah berantakan saja. Ia harus membentuk kelompok piket, agar posko mereka tetap terjaga rapi dan bersih. Una berjalan ke arah Marya yang bergelung di atas sofa dengan jaket tebal, lalu duduk di sisi gadis itu.
"Mar, menurut lo kalau mau bagi jadwal piket enaknya kapan, ya?" tanya Una.
"Oh iya, bener!" tukas Marya. "Habis sarapan kali ya? Kok bisa semalem lupa bikin jadwal piket, sih?"
Una hanya tersenyum. "Pikiran Naka banyak kali, jadi kelewat."
"Untung ada ibu wakil ketua!"
Ia memegangi perutnya yang tiba-tiba berbunyi karena lapar. Untung saja Marya tidak dengar. Una terus melihat ke arah pintu, berharap teman-teman yang sedang mengambil sarapan segera kembali. Mata gadis itu berbinar sekitar sepuluh menit kemudian saat melihat Agil masuk sambil membawa baskom, diikuti Ilham dan Naka yang membawa piring besar dan toples kerupuk, serta Erick membawa teko yang mengepul.
Sarapan! Sorak Una senang dalam hati.
Dalam waktu lima menit, seluruh anggota KKN sudah berkumpul di ruang tamu, membawa alat makannya masing-masing. Menu sarapan hari ini adalah nasi goreng kecap dengan telur mata sapi dan naget ayam. Tak lupa teh hangat yang jadi pelengkap untuk menghangatkan badan di pagi hari. Tanpa basa-basi, mereka mengambil nasi goreng dan lauk sesuai porsi masing-masing dan langsung menyantap sarapan mereka dengan nikmat.
"Ehm temen-temen, mohon perhatiannya sebentar, ya," kata Una memberanikan diri, setelah mengamati beberapa piring temannya sudah ada yang kosong. "Kita bagi jadwal piket dulu abis sarapan, ya?"
Amanda yang duduk di sebelahnya mengangguk. "Sama bagi jadwal masak, Na."
Una mengerutkan kening tidak mengerti. "Bukannya urusan masak diserahin ke Bu Sarwenti?"
"Maaf belum sempat bilang," ujar Naka yang duduk di seberangnya. "Tadi Bu Wenti bilang, kalau hari Jumat sampai Minggu Bu Wenti cuma bisa masak sarapan aja, soalnya dia harus kerja ke pabrik gitu. Tapi, nanti bahan-bahannya udah dibelanjain sama Bu Wenti."
Una mengangguk paham. "Ya udah, sekalian aja. Karena kita cuma bersepuluh, bagi dua tim aja, gimana?"
"Ganti-gantiannya per hari apa per minggu?" tanya Jesline.
"Ehm, itu, terserah temen-temen aja," jawab Una tidak yakin.
"Per hari aja deh, Na," kata Agil memberi solusi. "Tim satu kerja di tanggal ganjil, tim dua kerja di tanggal genap. Pas, 'kan?"
"Ah, setuju gue! Ya udah, langsung dibagi aja, lah!" sahut Marya.
"Kita bagi kayak gini aja daripada bingung." Jesline menunjuk dirinya dan teman-teman lain yang kebetulan duduk di sisi kanan. "Barisan sini tim satu, barisan sana tim dua. Cowoknya juga pas dua-dua."
Karena tidak ingin repot, mereka langsung menyetujui usul Jesline. Tim satu, yang duduk di sebelah kanan, terdiri dari Naka, Jesline, Ilham, Cindy, dan Santi. Sedangkan tim dua, terdiri dari Una, Marya, Amanda, Agil, dan Erick. Una sangat bersyukur tidak satu tim piket dengan Naka. Ia berharap dengan begitu, dapat mempersempit kesempatannya berbicara pada Naka ataupun meminta bantuan lelaki itu. Semakin lebar jarak mereka, semakin bagus.
Mungkin gadis itu terlihat seperti menghindari mantan kekasihnya, karena tidak tahu bagaimana harus bertingkah dengan normal. Namun entah kenapa, Una yakin, bisa saja Naka merasakan hal yang sama seperti dirinya, canggung atau tidak nyaman. Akan tetapi, lelaki itu lebih pandai menyembunyikan perasaannya dan mengatasi hal tersebut dengan baik.
Nggak boleh kelihatan aneh atau terlalu akrab sama Naka. Jangan sampai temen-temen tahu aku sama Naka pernah ada hubungan.
***
Selasa, 16 Juli 2019.
Una mengecek kalender di ponsel dan mendapati jika hari ini bertanggal genap. Itu artinya, dia dan kelompok piketnya bertugas untuk mengembalikan peralatan sarapan tadi ke rumah Bu Sarwenti, serta mengambil makan siang dan malam nanti. Baru saja aturan itu dibuat, ia langsung harus melaksanakannya hari itu juga.
"Ini nyuci piring sendiri-sendiri apa dicuciin sama kelompok piket?" tanya Santi, sambil memukul-mukul piring dengan sendok.
"Enak aja kelompok piket, itu kan barang pribadi, ya cuci sendiri, lah!" sahut Marya. "Kalau nggak mau cuci piring, makan pakai daun."
Santi memutar bola matanya. "Idih, gue kan cuma nanya."
Una terkekeh mendengar jawaban teman satu kelompok piketnya. Marya ini cukup straightforward orangnya. Omongannya pun kadang terdengar judes, tapi gadis itu teman yang asyik. Selama masa KKN yang baru berjalan dua hari, Marya jadi salah satu teman yang membuatnya nyaman, bersama dengan Amanda.
"Ayo Mar, peralatan makannya Bu Wenti bawa ke dapur, kita cuci dulu sebelum dibalikin," ajak Una, sambil membereskan baskom dan piring lauk.
"Piring kalian tumpuk aja, nanti kita cuciin sekalian, nggak apa-apa," kata Amanda sambil tersenyum. Berbeda dengan Marya, Amanda sangat ramah dan lemah lembut. Gadis itu seperti definisi calon menantu idaman yang rajin, murah senyum dan pengertian.
Marya memberi tatapan tajam pada gadis berkerudung abu-abu itu. "Ih, apaan sih, Amanda? Kan kesepakatannya tadi cuci sendiri-sendiri."
"Nyuci baskom sama piring lauk aja tanggung Mar, sekalian," balas Amanda. "Agil, minta tolong ya, nanti piring temen-temen bawain ke tempat cucian."
Una menghampiri gadis dengan rambut sebahu sambil terkikik, lalu menepuk bahu Marya. "Nggak usah cemberut, lagian Amanda bener. Cuma tambah sepuluh piring Mar, nggak satu kodi."
"Sepuluh piring hampir selusin lho, Na!" protes Marya, tapi gadis itu tetap mengikutinya ke tempat cuci piring.
Una berjongkok, membilas piring-piring penuh sabun yang sudah dicuci Amanda. Sedangkan Marya menata piring bersih di rak. Di posko mereka, tidak ada wastafel untuk mencuci piring. Disediakan tempat di sebelah kamar mandi, untuk keperluan cuci baju dan peralatan rumah tangga.
"Yang balikin alat-alat Bu Wenti, gue sama Erick aja," kata Agil yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Makasih Agil," sahutnya dan Amanda bebarengan.
"Semoga kalian berdua peka selalu ya, terus yang rajin," ujar Marya
"Siap, komandan," balas Agil dengan nada bercanda. Lelaki itu lalu menghampiri Una, mengambil baskom yang baru dibilas gadis itu. Akan tetapi, lelaki itu tidak langsung beranjak, malah diam di tempat dengan tatapan tertuju pada wajahnya.
Merasa dipandangi, Una jadi salah tingkah. "Kenapa?"
Agil tersenyum. "Ada bekas sabun di pipi lo."
Rasa salting Una berubah jadi malu. Ia mengusap pipinya dengan asal. "M-makasih," katanya buru-buru ke ruang tamu meninggalkan Agil di dapur. Karena tidak memperhatikan jalan, tanpa Una ketahui, ia menabrak seseorang.
"Hati-hati Na, kayak dikejar anjing aja," kata Naka sambil mengangkat tangannya. "Kamu dicari sama Bu Wenti, nanti sore ada acara Posyandu, mau bahas jadwal warga sini. Kamu yang atur ya, biar semua acara bisa kita datengin, maksudku dibagi-bagi gitu sebagian ke mana sebagian ke mana."
"O-oke," jawab Una, ia memandangi Naka heran, karena lelaki itu tidak beranjak pergi. "Kenapa?" Ya kenapa orang-orang pada nglihatin wajahku?
Naka mendekat, mengulurkan tangannya mendekati wajah Una, membuat gadis itu berjengit mundur. Matanya melebar dan napasnya tercekat, menebak-nebak apa yang akan dilakukan lelaki itu.
"Bekas sabun," kata Naka terkekeh, mengusap pipi kanan Una.
Aliran darah seketika tertuju pada wajah Una, yang mengakibatkan rona merah memenuhi pipinya. Ah sabun sialan, perasaan tadi udah aku lap deh. Una menatap Naka kikuk, lalu mundur menjauhi lelaki itu. "Ah, eh, itu, m-makasih. Kukira udah nggak ada."
"Na---"
"Ka---"
Kata Una dan Naka bersamaan membuat suasana semakin canggung. "P-pagi ini, agenda kita apa?" tanya Una cepat, mengalihkan perhatian.
"Jam sembilan keliling desa lagi, survei, biar kita cepet dapet program kerja. Kalau bisa minggu ini udah pada ngumpulin program kerja mono."
Una mengangguk. "O-oke, kalau gitu aku uhm, kasih tahu yang lain, terus mandi."
"Hm, yang bersih ya mandinya, jangan sampai ada sabun sisa," sahut Naka lalu melenggang pergi.
Seperginya Naka, Una masih mematung di tempat sambil merapalkan kutukan pada sisa sabun cuci yang menempel di pipinya. Tidak hanya satu orang, tapi dua orang membuatnya malu karena itu. Ia hendak melangkah kembali ke dapur untuk memberi tahu Marya dan Amanda, tapi dua gadis itu bersama Agil berjalan ke arahnya dari dapur.
"Kenapa wajah lo merah banget?" tanya Marya heran.
"Eh, lo nggak marah karena gue godain tadi, 'kan?" sambung Agil was-was.
Una menggeleng cepat sambil menepuk kedua pipinya. "Nggak kok, cuma dingin, iya, agak dingin aja."
"Oh, gue kira." Agil mendesah lega.
"Kalian buruan siap-siap ya, kata Naka jam sembilan kita survei desa, biar program mono kita siap minggu ini."
"Siap, ibu wakil ketua," balas Amanda.
*
*
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top