04 - Petualangan Dimulai
*
*
Pukul satu siang, Una baru sampai di posko bersama tim KKN-nya, setelah melakukan upacara penyambutan di balai desa. Semua barang-barang bawaan masih terkumpul di ruang tamu, tidak tertata. Posko KKN-nya berukuran cukup besar, dengan tiga kamar---dua kamar tidur terisi kasur busa, lemari baju, sedangkan satu kamar sisanya hanya berisi meja dan rak plastik. Ruang tamu lengkap dengan satu set meja dan kursi, serta dapur yang cukup luas bersisihan dengan ruang tengah.
"Karena ceweknya berenam, kita ambil kamar yang paling gede, ya?" tanya Marya, menunjuk kamar tengah.
Naka mengangguk setuju. "Cowok ambil kamar depan. Kasur Ilham nanti dipakai aja kalau butuh."
"Nanti gue taruh ruang tengah aja," balas Ilham, lelaki yang berkuliah di jurusan akuntansi itu.
"Barang-barang kita banyak banget kan ini? Mau taruh ruang tengah?" tanya Jesline kebingungan. "Tapi, kelihatan berantakan nanti."
"Ehm, gimana kalau kamar yang paling belakang buat naruh barang-barang kita? Kayak koper misalnya? Kalau ada barang berharga dibawa ke kamar juga nggak apa-apa," usul Una.
Naka melirik ke arahnya, dan tersenyum kecil. "Setuju, mungkin kayak pakaian dalam, make up, laptop bisa kalian bawa ke kamar, ada lemari juga. Tapi baju sisanya di koper aja. Biar lemarinya cukup buat berbanyak."
Ternyata butuh waktu cukup lama untuk menata barang-barang dan merapikan kamar. Una menyeka keningnya yang lengket karena keringat, lalu duduk di ruang tengah yang sudah dialasi karpet, bersandar di tembok yang dingin. Tak lama kemudian, Marya dan Amanda---mahasiswi jurusan ilmu kesehatan, keluar dari kamar, duduk di sebelahnya.
"Kamarnya sempit ya, jadi males lama-lama di dalem," keluh Amanda, gadis berhijab dengan kulit kuning langsat.
Una menggumam setuju. Itulah mengapa ia memilih beristirahat di ruang tengah daripada di kamar. "Lo harus pakai hijab terus dong seharian?"
"Iya, tapi untung di sini dingin, jadi nggak gerah-gerah banget."
"Bu wakil ketua, agenda kita malem ini ngapain, ya?" tanya Marya.
Wajah Una mendadak pias. Ia belum membicarakan ini dengan Naka. Bahkan mereka tak pernah bertukar pesan sekadar untuk membahas pembagian tugas. "Gue belum tanya Naka."
"Sana tanyain Na, biar jelas gitu," pinta Marya.
"Sekarang banget?" Una mengedarkan pandangannya mencari sosok lelaki itu. "Dia ke mana? Kok nggak kelihatan?"
"Eh, itu suara Naka, 'kan?" kata Amanda sesaat setelah terdengar suara tawa Naka disusul suara anak-anak lain.
Oke, lebih baik tanya pas lagi ramai, daripada harus berduaan.
Una bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke luar menghampiri Naka yang sedang duduk santai bersama Agil, Ilham, dan Erick. Ia merasa ragu-ragu sejenak dan berdiri kikuk di ambang pintu sampai tak sadar Naka memergokinya.
"Na? Ngapain?"
"Eh, itu ... " Una menggigit bibirnya karena terlalu kaget, membuat gadis itu merintih kesakitan, "... nanti malem agendanya apa? Mau rapat nggak?"
"Iya, nanti ada rapat. Bahas timeline sama kegiatan kita di sini, biar nggak berantakan," jawab Naka.
Terus tugas aku ngapain Ka? Kok kamu nggak bagi tugas sama aku? Ingin rasanya Una menanyakan hal itu. "Oh, oke deh."
"Na, soal pembagian tugas kita, kita obrolin sebelum rapat gimana? Habis maghrib gitu," saran Naka seolah membaca pikiran Una.
"Boleh, kalau gitu aku masuk dulu."
Eh? Kok aku sih? Masih kebawa juga ngomongnya kayak dulu pas pacaran. Tetapi Una teringat, Naka tetap memanggilnya dengan sebutan 'kamu' meskipun hubungan mereka sudah lama berakhir. Apa Jesline nggak curiga kalau denger, ya? Terus anak-anak yang lain, pada notice juga nggak sih? Una merutuki dirinya karena meributkan hal tidak penting seperti itu.
"Fokus, jangan suka ke-distract sama hal menye-menye begituan," tekadnya pada diri sendiri.
***
Selepas salat maghrib, mahasiswa KKN Desa Tretep bersantai, sambil menunggu makan malam yang sedang diambil Santi, Marya, Erick dan Ilham di rumah Pak Retno, Kepala Desa. Ada yang menonton film di ruang tengah, ada yang main game di ruang tamu, ada juga yang asyik bernyanyi di teras, padahal cuaca terasa cukup dingin. Sedangkan Una, memilih menyendiri membaca novel karangan Sandra Brown, di sudut ruang tengah.
"Jangan ngelamun, Na."
Gadis itu mendongakkan kepala dan mendapati Naka duduk di hadapannya. "Eh, mau bahas sekarang?"
Naka mengangguk. "Sebelum makanan dateng."
Una menutup novel di pangkuannya. "Jadi, aku harus ngapain?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Aku ambil eksternal kamu ambil internal gimana?" tawar Naka.
Satu alis Una terangkat. "Maksudnya?"
"Keperluan eksternal kayak ngurus sponsor, perizinan keluar, dan kegiatan semacam itu. Tugasmu handle temen-temen, pastikan mereka jalanin kegiatan sesuai timeline yang nanti kita buat. Terus, nanti kita pasti diminta ikut kegiatan ini itu dari desa, 'kan? Kayak ke pengajian, Posyandu, arisan, itu kamu yang bagi. Gimana?"
Penawaran yang tidak bisa Una tolak sejujurnya. Daripada harus bertemu dengan banyak orang asing, ia lebih nyaman berkomunikasi dengan teman-teman KKN-nya tentu saja. Namun, gadis itu tidak enak pada Naka. Karena merasa lelaki itu hanya memberikan beban ringan pada dirinya sedangkan Naka harus melakukan kegiatan yang berat.
"Serius?" tanya Una tidak yakin.
"Nanti kamu bisa minta tolong sama Marya, kamu deket kan sama dia? Jangan dibawa beban pokoknya lah. Kita bisa sering-sering diskusi kok."
"Bukan itu," Una menggeleng. "Kenapa kamu kasih aku tugas gampang Ka? Apa kamu nggak kerepotan nanti? Aku tahu, kamu kasih tugas aku kayak gitu soalnya kamu tahu aku susah ngomong sama orang. Aku janji bakal usaha, aku bisa juga Ka tanggung beban berat."
Sudut bibir Naka terangkat membentuk senyuman lembut. "Una, tugas ngatur temen-temen itu bukan tugas ringan. Kamu harus berani lawan ego temen sendiri, hati-hati dalam pemilihan kata, soalnya kalau salah sedikit malah bikin kondisi jadi panas, berantem. Aku kasih tugas itu ke kamu, bukan karena kamu nggak mampu ngurusin kegiatan eksternal, karena aku tahu, kamu lebih bakal lebih mampu ngurusin kegiatan internal daripada aku."
Oke, tarik napas pelan-pelan, lepaskan. Kenapa dia sebijak ini, sih? Ia mengangguk perlahan setelah mendengar penjelasan lelaki di depannya. "Maaf, kukira karena itu. Aku nggak mau aja diomongin lepas tanggung jawab Ka."
Kali ini Naka terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Na, kapan sih aku anggap kamu remeh? Nggak pernah. Sulit komunikasi emang jadi kekuranganmu, tapi bukan berarti kamu nggak bisa, bukan berarti kamu nggak mau usaha. Aku kenal kamu nggak sehari dua hari aja ya."
Deg! Una mendadak ingat hubungannya dengan Naka yang sudah empat tahun kandas di tengah jalan. Jangan bilang, gara-gara KKN dia akan menyesal karena sudah memutuskan lelaki sebaik, sepengertian, sebijak dan sedewasa Naka? Baru saja hari pertama tapi hatinya sudah nano-nano begini.
"Makanan udah dateng pak ketua!" seru Jesline, tiba-tiba duduk di samping Naka, dengan posisi agak menyender pada lelaki itu, sambil menyodorkan sebungkus keripik singkong.
"Kok cepet? Bawanya pakai kardus makanan apa wadah gitu?" tanya Naka, sambil mencomot keripik singkong Jesline.
Gadis bule itu mengedikkan bahu. "Belum lihat." Lalu dia mendekatkan bungkusan keripik itu pada Una, "mau nggak?"
Una menggeleng sambil tersenyum. "Lagi sariawan."
Jesline terkekeh kecil. "Aku bawa vitamin c, nanti aku kasih. Btw, kalian lagi ngobrol apaan, kok mojok begini?"
"Rahasia," ujar Naka sambil tersenyum jahil.
"Nggak asyik pakai main rahasia-rahasiaan segala!" Jesline mencebik.
"Idih ngambekan, emangnya cantik?" goda Naka.
Jesline mengibaskan rambutnya lalu mengedipkan mata dengan genit. "Aku kan cantik pari purna. Udah deh kamu nggak usah sok nggak ngerti gitu."
Naka hanya terkekeh, fokusnya kembali pada Una yang memasang wajah datar. "Nanti kita diskusiin lagi. Kalau habis rapat ada yang mau ditanyain, tanya aja." Lelaki itu lalu berdiri, "ayo ke ruang tamu, makan bareng-bareng."
Jesline mengulurkan tangan, meminta Naka untuk membantunya berdiri. "Nggak bisa bangun!"
Naka menarik Jesline berdiri. "Manja!" Tapi lelaki itu tidak terlihat kesal, malah senyum lebar menghiasi wajahnya. "Una, gabung ya."
Una menghembuskan napas panjang setelah Naka dan Jesline memasuki ruang tamu. Perlakuan Naka pada Jesline tampak sangat natural. Ekspresi mantan pacarnya itu memperlihatkan jika dia memang menikmati setiap momen bersama Jesline. Ya wajar sih, orang gebetannya. Una dapat merasakan ketulusan Naka, sama persis seperti sikap lelaki itu padanya dulu, ketika mereka masih bersama. Sedetik dibuat galau takut menyesal telah memutuskan Naka, sedetik kemudian sudah ditampar kalau rasa sesalnya tidak berarti dan tidak akan bisa memperbaiki apapun, saat melihat interaksi Naka dan Jesline tepat di depan mata.
Petualangan baru akan dimulai, Na. Brace yourself. Kamu bisa, kamu cuma butuh waktu untuk membiasakan diri ada di sekitar mereka dan menerima perlakuan Naka padanya tidak berarti lebih. Katanya pada diri sendiri. Lelaki itu hanya kelewat baik pada siapa pun, termasuk mantannya yang memutuskan tanpa alasan jelas.
*
*
Yang greget sama pikirannya Una siapaa?
Yang sebel sama Jesline siapa??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top