03 - Jadi Aneh

*
*
*

Pembalut.

Mata Una melebar, memastikan sekali lagi benda yang ada di kantong plastik berwarna putih adalah pembalut. Naka pamit ke mini market sebelah rumah makan beli pembalut, buat siapa? Hatinya tercubit ketika lelaki itu berjalan ke arah kamar mandi. Yup! Benar sekali. Siapa lagi kalau bukan untuk Jesline? Gadis itu tadi terburu-buru ke kamar mandi setelah mengeluhkan sakit perut. Skenario paling memungkinkan yang bisa Una pikirkan adalah, Jesline mengirim pesan pada Naka dan minta lelaki itu membelikan pembalut karena datang bulan mendadak.

Senyaman itu ya, Jesline pada Naka? Kalau dia pasti lebih memilih meminta tolong pada teman perempuan. Katakanlah, kalau Naka cuma berperan sebagai laki-laki gentleman yang terlalu baik, tetap saja rasanya sedikit aneh mengingat ada ia dan Marya, yang sesama perempuan. Bahkan, selama empat tahun pacaran dengan Naka, Una tidak pernah meminta lelaki itu untuk beli pembalut. Astaga, sudah sedekat itukah hubungan mereka berdua?

"Mau ikut nggak?"

"Eh, iya apa?" Una gelagapan ketika merasakan bahunya dicolek, dan lebih mengejutkan lagi, ternyata si pelaku adalah Naka---mantan pacar yang membuatnya bingung dan penasaran hari ini.

"Kamu ngelamunin apa, sih?" tanya lelaki itu. "Ayo salat, udah masuk ashar."

"Tapi kan, nggak boleh salat berdua."

"Agil sama Ilham udah nungguin," jawab Naka sambil tersenyum.

Oh! Ia baru sadar jika kedua teman laki-lakinya sudah tidak di tempat mereka. Gara-gara kebanyakan melamun jadi tidak fokus. "O-oke." Ia menjawil tangan Marya. "Gue ke mushala dulu ya, lo sendirian nggak apa-apa?"

Gadis itu mengacungkan jempolnya. Karena Jesline sedang datang bulan, ia jadi satu-satunya perempuan yang menunaikan ibadah salat ashar. Marya sendiri pemeluk agama Katolik, jadi gadis itu menjaga meja, sementara mereka semua pergi.

"Kenapa jalan di belakang?" Naka berhenti dan menoleh ke arah Una yang tertinggal di belakangnya.

"Nggak apa-apa." Ya, apalagi kalau bukan buat menghindari kamu biar nggak usah basa-basi rempong.

"Padahal dulu, kalau aku jalannya cepet dikit ngambek," kata Naka tertawa geli. "Biasanya juga jalan di sebelah aku."

Pertanyaan Naka telak membuat Una salah tingkah. Ya Tuhan, dia itu mau ngapain, sih? Ya dulu kan masih jadi pacar, sekarang udah nggak ada hak lagi buat jalan sebelahan, apalagi ngambek cuma gara-gara kalah cepet. "Udah ah, ayo cepet, nanti Agil sama Ilham duluan lagi."

***

Pukul empat sore, mereka melanjutkan perjalanan menuju Tembalang dari Ambarawa. Di dalam mobil suasana lebih tenang, hanya Ilham dan Agil yang asyik mengobrol, Marya tidur, Jesline, mungkin tidur juga, dan Una sibuk bermain ponsel. Naka mengantar mereka ke indekos masing-masing satu per satu. Mobil itu berhenti di indekos Marya, yang paling awal dilewati.

Sambil menguap Marya keluar dari mobil. "Thanks Naka, semuanya, gue masuk dulu."

"Na, kos kamu di mana?" tanya Naka.

"Di belakang kantor pos."

"Oke, berarti ini ke kos Agil sama Ilham dulu," sahut Naka.

Aduh! Nanti Naka jadi tahu kos baruku dong? Dulu ia sengaja pindah kos setelah hubungannya dengan Naka kandas, untuk memutus total kontak dengan lelaki itu. Ia memang berusaha keras untuk lepas dari sang mantan kekasih.

Mobil Naka berhenti di daerah belakang masjid kampus, untuk menurunkan Agil. Lalu menuju ke Jalan Sirojudin, dan menurunkan Ilham. Sekarang hanya ada Una, Jesline, dan Naka. Tidak ada suara, kecuali rintik hujan yang menghantam jendela. Tiba-tiba mobil berhenti di depan sebuah indekos asing, membuat mata Una melebar. Tunggu, kalau ini kos Jesline itu artinya ia akan tinggal berdua dengan Naka setelah gadis itu turun?

"Gue turun dulu, hati-hati," kata Jesline lemas.

"Istirahat habis ini, tapi jangan sampai kelewatan makan malam," kata Naka.

"Cepet sembuh ya, Jes," imbuh Una berusaha menjadi teman yang baik.

"Nggak pindah depan?" tanya lelaki itu, menoleh ke belakang, setelah Jesline menutup pintu.

Una menggeleng. "Udah mau sampai kok, tanggung."

"Jadi kayak supir taksi, ya?" celetuk Naka terkekeh.

Entah kenapa Una merasa Naka baru saja menyindirnya. Perjalanan singkat itu terasa lama karena ia tiba-tiba merasa canggung. Hanya berdua di dalam mobil bersama mantan pacar sepertinya bukan ide yang bagus. Ia juga tak tahu kenapa merasa seperti itu. Harusnya, ia bisa bersikap santai seperti sikap Naka padanya. Akan tetapi, lelaki itu memang punya sifat ramah, tidak seperti dirinya yang kaku. Apa mungkin ia tidak nyaman karena Naka punya pacar baru? Ah tidak. Ngapain coba aku nggak nyaman? Ya karena udah lama nggak ketemu, jadi bingung aja mau ngobrol apa. Eh, kalau Jesline tahu aku mantan pacar Naka, sikap dia nggak bakal berubah sama aku kan?

Ia berharap Jesline tidak pernah tahu fakta itu. Una tidak ingin hubungannya dengan Jesline, atau teman-teman lainnya jadi tidak enak selama empat puluh dua hari mereka tinggal bersama. Lagi pula, tidak etis juga kalau mau ngobrol tentang masa lalu di saat Naka sudah punya tambatan hati lain.

"Eh, ini kos aku," kata Una setelah melihat bangunan dengan plang tertulis 'Kos Putri Cendrawasih'.

"Sejak kapan pindah kos, Na?"

"Udah lama," jawab Una.

"Kenapa? Setahuku kamu suka kos di sana? Kamarnya luas juga, 'kan?"

"Udah nggak ada temen."

"Emang di sini ada temen?"

"Indri kos di sini."

"Indri? Serius?" Wajah Naka terlihat terkejut, kemudian tertawa.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa." Naka menggeleng sambil tersenyum geli.

"Ya udah, aku turun."

"Tunggu!" Tangan Una yang memegang handle pintu membeku. "Pelan-pelan, jangan dibawa beban."

Una menaikkan satu alisnya, ia tidak paham maksud Naka. "Apanya yang jangan dibawa beban?"

"Jadi wakil ketua," jawab Naka. "Kamu adaptasi dulu aja, jangan memaksakan. Aku tahu kamu punya rasa tanggung jawab besar, jadi aku percaya kamu bisa menjalankan tugasmu dengan baik nanti."

Mulut Una menganga. Oh, ia sangat tidak menyangka jika Naka tahu konflik di dalam batinnya mengenai ini. "O-oke, makasih."

"See you soon," kata Naka setelah cukup lama memandangi Una.

Gadis itu hanya mengangguk dan keluar dari mobil tanpa berani menatap wajah Naka. Ada sesuatu dalam dirinya yang meyakini jika lelaki itu ingin mengatakan sesuatu lebih, tapi Naka menahannya. Una mengedikkan bahu, tidak mau ambil pusing. Empat puluh dua hari bersama sang mantan, akan jadi pengalaman yang tidak akan terlupakan. Entah kenangan baik, atau tidak menyenangkan. Ia hanya berharap, semoga pertemuan dengan Naka berikutnya, bisa bersikap lebih normal.

***

Suara ketukan, bukan, gedoran pintu membangunkan Una dari tidur sorenya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, berpikir itu hanya mimpi sampai suara gedoran itu terdengar kembali. Dengan malas, gadis itu bangun, berjalan gontai menuju pintu, dan siap mengutuk siapa pun yang tega mengganggu tidurnya. Sedetik kemudian pintunya terbuka, Indri yang awalnya berdiri di depan pintu langsung menerobos masuk, melewatinya.

"Pergi, gue mau tidur, Ndri." Una membuka pintu lebar-lebar dan melirik perempuan yang sudah duduk nyaman di kursinya, sebelum dipersilakan.

"Kok bisa sih, lo nggak kasih tahu gue?" Gadis itu mencebik sambil memicingkan mata ke arahnya.

Una menghela napas panjang---tahu Indri tidak akan pergi dari kamarnya--- dan menutup pintu lalu duduk di atas tempat tidur. "Kasih tahu apa?" tanyanya bingung.

"Lo sama Naka satu desa KKN."

Eh, tahu dari mana ini anak? Kayaknya tim KKN-ku nggak ada temen Indri deh, atau Naka yang bilang? "Kok lo tahu? Lagian nggak penting juga, sih."

"Ya penting, lah! Lo bareng sama mantan yang bikin lo jomlo menahun!"

Una mendelik tak senang. "Eh, gue nggak jomlo menahun, ya! Emang nggak cocok aja kemarin sama Adam!"

"Emang sama Adam jadian?"

"Emang masih zaman orang jadian?" sindir Una.

"Terus Yudha, lo juga nolak dia, 'kan? Cowok sebaik Yudha, lho," cibir Indri.

"Maksud lo, gue nggak bisa jadi sama cowok lain gara-gara Naka gitu?"

Indri mengedikkan bahu. "Lebih tepatnya gara-gara lo gagal move on, lo nggak bisa terima cowok lain."

Una menghela napas panjang. "Udah gue bilangin berapa kali, sih? Gue cuma nggak kerasa klik aja sama Yudha. Kalau sama Adam, ya emang ternyata kita nggak cocok. Lagian kita udah jalan tiga bulan, nggak cepet-cepet banget." Ia jelas jengkel dituduh tidak bisa move on dari Naka. Hei, dia yang memutuskan lelaki itu! Tentu saja ia sudah move on sejak lama!

"Serius?"

"Kalau lo nggak percaya, lo bisa keluar dari kamar gue. Gue mau tidur, tadi baru survei ke Temanggung."

"Oke, oke! Cranky banget sih lo," gerutu Indri. "Gue denger, lo juga satu desa sama gebetannya Naka yang anak BEM itu."

Eh, tunggu? Jadi, Jesline itu gebetannya Naka bukan pacar? Terus, dia juga anak BEM? "Maksud lo, Jesline anak kedokteran itu?"

Indri mengangguk semangat. "Gimana? Cantik banget, ya? Gue cuma lihat fotonya aja."

"Gue nggak tahu lho Ndri, kalau dia anak BEM," sahut Una.

"Ya, mereka cinlok dari mana kalau nggak dari BEM? Bule banget, tapi kayak kelihatan songong nggak, sih?"

Jesline tidak songong kok, malah terlihat ceria dan baik. "Dia baik kok, supel, agak cerewet tapi."

"Ya udah, kalau lo beneran nggak terganggu sama mereka. Gue takut lo jadi baper, terus uring-uringan," tutur Indri, "tapi, yang namanya KKN, sebulan lebih tinggal bareng, ada banyak kemungkinan bisa terjadi. Yang pacaran bisa jadi mantan, yang temenan bisa jadi gebetan, yang awalnya mantan bisa jadi balikan. Jadi, semangat!"

Indri beranjak dari kursi, menuju pintu sambil tertawa. Sebelum menyentuh gagang pintu, Una memanggil gadis itu membuat langkahnya terhenti. "Kenapa?"

"Tunggu! Kok lo tahu gue sama Naka satu desa? Siapa yang kasih tahu lo?"

"Ada, deh!" kata Indri sok main rahasia sebelum ngacir keluar.

Dasar aneh!

*
*
*

halooo cuma mau bilang, yang mau baca drama kkn lengkap bisa ke karya karsa ya. cari aja oktyas. Thanksss

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top