[7] Tantangan Senior

Ouma Akio geram saat seorang murid 1A terang-terangan menunjuk dirinya saat tengah asik berbicara di atas panggung. Belum lagi gadis bertubuh mungil itu mengobrol akrab dengan senior 3A. Siapa siswi itu? Kenapa ia bersikap lancang di hadapan senior yang tengah berbaik hati memberikan saran pada anak ingusan? Andai tak ada tradisi ramah-tamah ini, dirinya juga enggan berbagi tips kesuksesan.

“Kau tahu siapa zacho 3A sekarang?”

Siswi itu menggelengkan kepala.

“Hayami Mion. Senior yang kini duduk di sampingmu.”
.
.
.
.
.
Seketika rasa bersalah menjalar di pembuluh nadi. Bersalah karena selama ini tak tahu Mion seorang zacho? Melihat kesedihan terpahat jelas di wajah Mion, Yuzuru yakin ada hal lain yang lebih mengkhawatirkan. Namun gadis kecil itu tetap bersikap tenang dan kembali berpura-pura lugu.

“Wah, tak disangka senior terdekatku orang yang luar biasa! Tapi,” cara bicara riang yang dibuat-buat barusan dengan cepat berganti dengan nada datar, “kenapa tatapan Senpai menajam saat mengungkap nama Mion-senpai? Bagaimanapun Hayami Mion adalah seniormu.”

Pernyataan tegas itu mengubah atmosfer Kelas Akting. Tanpa aba-aba hampir ketiga angkatan menahan napas. Mereka serempak yakin bahwa Yuzuru telah melanggar etika sebagai murid kelas satu terhadap senior. Bahkan Chihiro, orang terdekatnya pun ingin memperingatkan hal tersebut, tapi takut karena tak ada lagi senyum di wajah Ouma Akio.

“Siapa namamu?” tanya Ouma.

“Kitani Yuzuru.”

“Takahiro.” Ouma memanggil seorang murid, teman sekelas dan juga bisa dibilang asistennya di akademi.

Tanpa perintah lebih detail, murid bernama Takahiro itu berdiri. Jari telunjuknya sudah sibuk menggulir berkas—yang ternyata seluruh profil murid 1A tahun ini—lewat sebuah tablet. Takahiro langsung membacakan profil dengan suara jelas. “Kitani Yuzuru. Asal, Kota Mito, Ibaraki. Orang tua, orang biasa. Peringkat sembilan pada ujian masuk. Penerima beasiswa penuh.”

Tiga angkatan langsung bergumam, mengungkapkan pendapat masing-masing pada teman terdekat. Informasi yang menggelitik rasa penasaran mereka ialah tentang beasiswa. Akademi AME sangat jarang memberikan beasiswa penuh kepada seseorang. Hal itu dikarenakan murid yang mendaftar rata-rata dari keluarga yang mampu memenuhi biaya pendidikan anak-anak mereka di AME. Adapun beasiswa diberikan pada murid berprestasi, sekedar memberi apresiasi dengan berbagai bentuk—seperti pengurangan uang semester atau biaya asrama beberapa bulan, makan gratis di kantin, atau tiket yang dapat ditukarkan ke toko kesukaan di akademi.

Ouma berdengus. “Beasiswa penuh? Oh, rupanya anak angkat kepala akademi. Lagi.”

Kening Yuzuru berkerut. ‘Lagi, katanya?’ Ia tak mengerti apa maksud Ouma, tapi gadis itu cukup gelisah saat sang senior—bahkan kebanyakan dari mereka—seakan tahu akan statusnya. Bukankah data dirinya tertutup rapat? Kepala Akademi sudah berjanji bahwa ia akan bersekolah dengan tenang di AME?

“Aku bukan anak angkat.” Yuzuru segera meluruskan situasi. Bagaimanapun ia harus menutupi fakta kedekatannya dengan Amamiya.

“Oh, ya?” Ouma terlihat tak percaya. Pemuda itu bersedekap. “AME tak pernah memberikan beasiswa penuh terhadap satu murid, kecuali orang itu benar-benar menarik di mata sang pendiri. Kau tak perlu malu, kok, Kitani-san, karena buktinya sudah ada.” Ouma menunjuk ke satu arah di barisan kelas tiga, “Shimura Yuuto, dan…,” lalu telunjuk bergerak ke barisan kelas dua, “Carmen Feast. Mereka juga pemegang beasiswa penuh sepertimu.”

Yuzuru terkejut saat nama Shimura disebut. Mata bertatapan tak sengaja pada Shimura yang perlahan menyunggingkan senyum padanya. Kemudian ia menoleh ke kiri, mencari sosok satu lagi yang diungkit Ouma. Siswi dengan perawakan bulai kuat, sama sekali tidak terlihat sebagai anak hasil pernikahan dengan orang pribumi.

“Masih tak mengakui anak angkat Amamiya-kouchousensei?” Ouma kembali menekankan pendapatnya.

Yuzuru menyahut dengan tegas. “Aku bukan anak angkat! Aku diterima karena hasil kerja kerasku!”

Ouma kembali berdengus, tapi kali ini senyuman lebar terpahat di wajah tampannya. Pemuda itu berbalik badan, hendak kembali ke panggung. Ia melanjutkan pembicaraan dengan pelantang seraya berjalan menuju ‘tahta’. “Aku belum sempat menjawab pertanyaanmu. Kenapa tatapanku tak mengenakkan, begitu, kan?”

Pemuda itu menjeda kalimatnya hingga sampai di tengah panggung. “Karena begitulah keadaannya. Hayami Mion, dia baru menjadi zacho tahun sekarang. Dua tahun sebelumnya zacho angkatan mereka dipegang oleh orang lain. Orang itu ialah Shimura Yuuto—senpai, harus pakai ‘senpai’ karena bagaimanapun Shimura-san adalah orang yang kuhargai.”

Yuzuru diam-diam menahan kekesalan yang menggumpal dalam dada. Gadis itu selalu tak suka terhadap orang yang mengejek seseorang yang dipedulikannya. Kedua tangan mengepal di atas paha, tak sadar tengah meremas ujung rok. Kedua mata berkilat hebat menatap ke depan.

“Apa zacho bisa ditukar? Tentu saja bisa. Jika ia tak lagi diakui, tentu harus ada orang lain yang mengisi kekosongan posisi tersebut. Tentunya pengganti itu harus orang yang berpengaruh. Namun,” Ouma berdengus, terkekeh tanpa adanya lagi rasa tenggang terhadap senior yang tengah dibicarakan, “tak ada yang bisa diakui oleh zacho saat ini. Masih mending zacho sebelumnya—walau menurutku sama saja.”

Tidak hanya Yuzuru yang terkejut dengan keterbukaan ejekan yang dilontarkan zacho 2A, seluruh teman sekelasnya pun berpendapat sama. Apa pantas junior merendahkan senior? Apa dengan memiliki sesuatu yang lebih karena itu boleh menginjak yang lemah? Murid 1A semakin yakin dengan situasi yang tak seimbang saat menatap senior 3A yang tertunduk dengan wajah memerah. Tak ada satu pun dari mereka menentang ucapan Ouma Akio.

“Karena itulah, junior-juniorku tersayang, Kelas A tahun ini, kuharap kalian tidak mengikuti jejak senior yang tak berdaya. Sebagai junior mereka, aku hanya bisa berdiri tegap, memasang wajah tebal saat orang luar menanyakan keterbelakangannya 3A sekarang. Bahkan kelas 3B lebih banyak memegang prestasi. Apa yang salah dengan angkatan 3A sekarang? Jawabannya tentu karena ketidakberdayaannya zacho!”

Tak ingin lagi mendengar cercaan lain, Yuzuru berdiri, hendak mencari celah membela senior yang dikaguminya. “Senpai bicara layaknya seorang pengajar yang kecewa pada anak didiknya. Bahkan aku kecewa jika ada guru yang langsung menilai rendah muridnya sendiri.”

Chihiro takut dengan situasi tegang yang tercipta antara Yuzuru dan sang senior. Gadis itu berbisik pelan, “Sudahlah, Yuzuru. Jangan diteruskan,” menarik-narik seragam belakang agar Yuzuru kembali duduk.

Namun gadis bertubuh mungil itu sama sekali tak merespon peringatannya, dan terus melancarkan serangan pendapat. “Kesuksesan seseorang tidak akan pernah dapat diukur oleh orang lain. Setiap orang punya jalan impian masing-masing. Dan Ouma-senpai sendiri tidak berhak menilai usaha orang lain.”

Meski tampak risi dengan kenaifan murid tahun pertama, Ouma tetap tersenyum saat menjawab. “Semua orang di akademi mengakuinya. Kelas 3A yang kamu kenal saat ini adalah kelompok yang… tidak ada harapan. Sejarahnya kelas A sudah mendapatkan jalur debutnya di tahun kedua, setidaknya lima puluh persen. Di antara 14-15 orang itu, zacho salah satunya. Tahun ketiga akademi, hampir sembilan-lima persen yang sudah memiliki tujuan setelah lulus.

“Coba tanyakan pada Hayami-senpai dan yang lain, berapa orang yang sudah menentukan arah tujuan mereka setelah lulus dari akademi ini? Ada berapa idola yang sudah melakukan debut?”

Yuzuru hanya melirik tanpa menggerakkan leher. Murid 3A tetap bungkam, tak ada yang berkomentar. Saat menatap ke depan kembali, Ouma sudah memasang senyum kemenangan.

“Dan tanyakan pada teman-teman seangkatanku—oh, tidak usah, kalian angkat tangan saja siapa yang sudah melakukan debut ataupun mendapatkan tawaran projek di luar akademi?”

Permintaan Ouma langsung dijawab oleh teman seangkatannya. Seluruh 2A yang hadir mengangkat satu tangan dengan raut bangga terpahat jelas.

Puas dengan kelebihan angkatannya, Ouma Akio semakin menaikkan dagu. “Begini ya, Kitani-san, aku bermaksud memberi kalian… inspirasi. Agar kalian tak lambat mengambil peluang yang ada. Agar kalian tak berleha-leha karena terlena dengan fasilitas mewah yang diberikan akademi. Dan agar kalian tak berpikir dunia hiburan itu sangat mudah dimasuki. Kalian harus mengubah cara berpikir kalian yang selama ini selalu diberkahi perhatian orang tua—terutama secara materi. Di sini, kalian harus mulai belajar mandiri, cari sendiri apa yang kalian butuhkan, harus mengikuti nalar orang dewasa.”

Yuzuru terdiam. Semua kalimat terakhir Ouma tak bisa dibantah. Ia semakin mengerti percakapannya dengan Amamiya dulu. AME tidak seindah angannya. Akademi ini terlihat keren di luar, tapi ada jurang tak kasat mata menipu langkah. Tidak sedikit murid yang berputus asa, keluar dari akademi karena tak sanggup melanjutkan pendidikan, tak mampu mengikuti alur dunia hiburan.

“Melakukan debut setelah lulus, atau berharap lebih bebas mendapatkan kesempatan begitu keluar akademi? Mungkin saja, tapi persentasinya sungguh kecil. AME hanya akan membantu saat kalian ada di akademi. Selagi masih memegang status sebagai murid, melakukan debut ataupun mendapatkan tawaran pekerjaan, barulah Agensi AME melirik—bahkan mengontrak kalian.

“Apa sebagai alumni kalian masih dilirik jika mendapatkan tawaran? Antara iya dan tidak, tergantung penilaian agensi terhadap kalian. Dan saat itu persentasinya kecil. Tak ada jaminan AME akan melirik jika kalian sudah lulus dari akademi.

“Dan ya, aku lupa satu hal. Kalian yang lulus dari AME tapi tak mendapatkan kontrak dari instansi ini, jangan harap akan dapat masuk ke agensi yang lebih besar dari AME. Karena apa?” Ouma kembali berdrama sendiri. Memberatkan suara, seakan seorang karyawan berusia tiga puluhan. “‘AME saja tak menilainya berharga, untuk apa dibawa masuk ke agensi ini? Kemampuannya sih terlihat terasah baik, ya? Tapi lebih amannya jangan, deh! Mana tahuan sikapnya jelek, tak profesional.’”

Ouma mengakhiri pendapatnya dengan seulas senyuman penuh intimidasi. “Kira-kira begitulah penilaian orang di luar instansi AME.” Saat Yuzuru menggerakkan mulut untuk menentang—menurutnya—ia dengan tegas menyatakan diri secara tersirat. “Bila kau anggap itu bualan, silakan. Tapi aku sering mendengar ucapan itu di luar akademi.”

Yuzuru menutup bibir rapat-rapat dengan gigi menggigit daging bibir dalam. Gadis itu bersedekap, menggeram kesal. Kening berkerut bagai mesin yang tengah sibuk mencerna semua ucapan kejam sang senior.

“Aku… bisa mengerti, tapi menjelek-jelekkan orang lain itu—”

Ucapan Yuzuru terhenti saat lengan kanannya digenggam. Ia menoleh, tangan Mion yang telah menggenggamnya. Tatapan teduh dan senyuman gadis itu perlahan menyingkirkan kejengkelan dalam dada Yuzuru. Seolah Mion menerima semua ucapan pedas dari juniornya sendiri. Sebagai anak baru yang tidak banyak tahu soal senior dua angkatan itu, Yuzuru menerima situasi. Bagaimanapun ia sudah berjanji untuk tidak terlalu keras kepala dan tak terlalu ikut campur atas permasalahan orang lain.

Yuzuru menghela napas, meluruskan kedua tangan ke bawah. “Aku mengerti, tapi… cara bicaranya Ouma-senpai agak keterlaluan. Bawaan sejak lahir kali, ya?”

Serentak murid 2A tergelak kecil.

“Aki-chan, dari awal image-mu jadi jelek di hadapan murid kelas satu!” sahut seorang murid 2A.

Ouma Akio menghela napas berat. “Sejak awal aku ingin berkesan kaku dan keren. Biarlah.” Balasan yang terdengar apa adanya itu kembali disahuti dengan gelak tawa. “Pembahasan kita sudah berantakan gara-gara kamu, Kitani-san. Padahal aku mau bahas soal zacho di akhir.”

Masih dengan sikap lugu, Yuzuru menundukkan badan sedikit. “Maaf, tak diulangi. Silakan lanjut!” Gadis bertubuh mungil itu kembali duduk.

“Ah, sudahlah. Karena sudah membahas zacho, lebih baik dilanjutkan.” Ouma menaikkan satu tangan, hanya sampai sejajar kepala. “Di antara kalian, 1A, siapa yang berminat menjadi zacho?”

Pertanyaan mendadak membuat murid-murid 1A saling bertatapan. Tak ada yang hendak menaikkan tangan untuk mengajukan diri.

Ouma kembali mengendalikan suasana. “Harusnya memang kalian yang membahas persoalan ini bersama di kelas, bukan di pertemuan ramah-tamah. Kami tak boleh ikut campur, tapi ini inisiatif dariku. Lebih cepat, lebih baik. Atau setidaknya dengan acara ini, kalian yang tertarik menjadi zacho bisa didengar oleh teman-teman yang belum akrab. Bagaimana?”

Suasana kembali hening. Masih tak ada satu pun dari 1A yang berani berbicara. Setelah mendengarkan betapa sulitnya di dunia hiburan? Mengenai zacho yang sangat berperan penting di kelas, tentu mereka harus berpikir keras agar bisa menjadi panutan oleh orang lain.

Yuzuru melirik teman-temannya, terutama barisan duduk laki-laki. Chihiro dan yang lain sempat membahas soal zacho, dan orang yang mereka harapkan menjadi pemimpin hanya duduk tenang sambil bersedekap. Kurosawa Yosuke tampak bersahaja, tapi tak terlihat ada niat ingin menjadi pemimpin.

Ouma Akio berdengus, kali ini agak keras. “Masa tak ada yang berani? Apa kalian semua seonggok anak cupu?”

“Hah! Lagi-lagi ucapannya pedas!” sahut Yuzuru spontan. “Senior dengan mulut berbisa kayak gitu mana mau angkat tangan! Seram, tahu!”

Chihiro mencubit lengan Yuzuru dengan gemas. “Jangan begitu, Yuzuru-chan!”

“Habisnya!” Yuzuru tak mau disanggah. Ia sudah gerah dengan sikap sinis seorang senior.

“Lalu kamu sendiri bagaimana, Kitani-san? Kau, kan, tak takut denganku.” Seorang Ouma Akio sengaja mendesak keadaan.

Yuzuru mengangguk. “Mana mungkin! Di dunia ini hanya satu orang yang aku takuti. Ibu. Sekian.”

Sontak gelak tawa menggema di Kelas Akting. Bahkan Ouma bersusah payah menahan bibir untuk tersenyum. “O-oke…, kalau tak takut, tunjuk tangan cepat!”

Gadis berwajah lugu itu sontak angkat tangan tinggi-tinggi.

Ouma pun bertepuk tangan. “Akhirnya dari 1A ada yang mencalonkan diri menjadi zacho. Beri tepuk tangan atas keberaniannya itu.”

Seketika Yuzuru membatu di tempat—masih dengan tangan belum turun. Riuh tepuk tangan bagaikan hujan meteor yang kini tengah menghujam badan. Sekujur tubuhnya penuh dengan keringat dingin.

“Mampus, aku dikerjai!”

Writer's Corner

Ohaaa!!!
Balik lagi hari Senin!
Gimana kabar kalian?

Bab kali ini cerminan blurb! Tantangan dari senior jadi zachou.

Awal tahu kata ini aku sangat tertarik dan ingin sekali menjadikannya bahan tulisan. Ternyata... terlaksana di ceritanya Yuzuru.

Ini juga salah satu ciri khas Akademi AME yang membuat cerita ini beda dari fanfiksi sebelah. (*ゝωб*)b

Setelah aku baca-baca lagi cerita sebelah, jujur aja malu sendiri karena masih kekanakan! XD wwww
Moga kali ini lebih baik dan amat-sangat baik!

Bantu aku dengan like, komen, dan share cerita ini ke teman² kamu biar lapak ini ramai, ya! Dan supaya aku jadi lebih semangat nulis kelanjutannya!

Onegaishimasu!

Sampai ketemu di bab 8!

ALana
16 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top