[6] Pertemuan Ramah-Tamah
Tahun ajaran baru di hari kedua seluruh murid AME sudah melakukan aktivitas sebagai pelajar. Begitu juga untuk semua anak kelas satu. Kelas 1A mendapatkan pelajaran umum penuh di hari tersebut.
Lalu di hari ketiga, untuk pertama kalinya masuk ke pelajaran sesuai dengan jurusan masing-masing. Pihak AME tidak tanggung-tanggung mengambil tenaga ahli sesuai profesi menjadi guru di setiap pelajaran utama bagi murid Program Seni. Seorang produser, sutradara, model, artis, musisi, mereka semua orang-orang profesional yang masih memiliki ikatan kuat dengan Perusahaan AME yang dibentuk Amamiya Toushiro—sang kepala akademi.
Hari pertama masuk kelas musik terasa menyenangkan. Itu yang dirasakan Yuzuru. Guru yang mengajar memiliki raut wajah ramah, bahkan saat berbicara nadanya teratur, begitu tenang masuk ke telinga. Dari kelas musik, 1A kembali bergabung dalam satu kelas untuk mendapatkan ilmu dasar sosial di dunia hiburan. Setelah itu jam istirahat pertama. Hampir semua murid 1A berjalan bersama menuju kantin.
Yuzuru memesan sepiring katsudon—nasi dengan irisan daging goreng—porsi sedang, satu meja dengan Chihiro, Minami, Kira, dan dua lagi teman yang akhir-akhir ini bergabung dengan grup mereka, Ibuki Sora dan Okawa Tsubame.
“Kudengar ada undangan pertemuan dengan senior 2A dan 3A?” Okawa Tsubame membuka percakapan di awal makan bersama.
Kira langsung menjelaskan, “Jumat ini, habis homeroom. Zacho 2A bilang gitu ke aku di asrama. Karena kita belum punya zacho buat dihubungi, makanya senior itu menghampiri kami yang kebetulan lagi duduk bareng di kantin asrama.”
Sora menganggukkan dengan antusias. “Zacho 2A, Ouma Akio-senpai. Orangnya… beraura sekali! Keren!”
Mendengar nama orang elit, telinga Minami langsung berdiri. “Tak kusangka seorang Ouma Akio sendiri yang mendatangi kalian!”
“Siapa?” tanya Yuzuru penasaran.
“Kamu tidak tahu?” heran Minami. Yuzuru menggelengkan kepala, Minami menghela napas lemas. “Dia kan anak artis! Bahkan tahun lalu ia sudah main di beberapa drama. Tahun kedua di akademi saja sudah sesibuk anak Kelas S!”
“Kenapa tak diumumkan di akhir kelas tadi?” Chihiro melontarkan pendapat yang harus didengar kedua sumber informasi. “Dari mulut ke mulut saja informasi tidak akan didapat semua orang.”
Kira tertegun. “Maaf. Aku sudah titip ke yang lain untuk memberitahukannya.”
“Pada akhirnya kelas kita butuh sosok ketua ,” tambah Chihiro tegas.
“Kira-kun, jadilah zacho!” saran Sora spontan.
“Hm, entahlah. Aku lebih suka jadi pendukung.” Kira mengaduk-aduk smootie pisang sebagai teman makan siang. “Tapi kalau disuruh milih, sih, aku mengusulkan Kurosawa Yosuke.”
“Aku setuju,” jawab Minami langsung. “Zacho tidak harus dari Jurusan Idola. Chihiro sendiri mengusulkan siapa?”
Gadis yang ditanya hanya terkekeh kikuk. “Duh, siapa, ya? Kita baru beberapa hari kenal, bingung mau pilih siapa. Hm, mungkin… Kurosawa-kun. Yuzuru sama Tsubame sendiri bagaimana?”
Dua siswi yang ditanya hanya saling bertatapan dengan mulut masih mengunyah, dan hanya bergumam lama.
“Buat grup kelas aja. Biar aku yang jadi admin,” saran Minami. “Kebetulan aku punya nomor telepon kalian semua.” Gadis itu langsung mengeluarkan ponsel, melaksanakan niatnya. “Setelah itu, kabar barusan akan kukirim langsung di grup.”
Kira dan Sora mengacungkan jempol.
“Admin kita seorang hacker,” ucap Yuzuru keceplosan.
Gemas dengan kepolosan gadis bertubuh mungil itu, Minami menyumpal mulut Yuzuru dengan potongan daging terbesar dari piringnya.
.
.
.
.
.
Murid AME hanya bersekolah selama empat hari dalam seminggu, dari hari Senin sampai Kamis. Hari Jumat tetap masuk kelas karena adanya homeroom dengan wali kelas sebagai diskusi bersama di akhir pekan.
Seperti biasa, homeroom berlangsung selama 45 menit. Pertemuan kedua dengan wali kelas kali ini tidak banyak yang disampaikan Fujisaki di hadapan murid-murid 1A. Wanita itu hanya mendengarkan kesan tiap-tiap anak selama belajar tiga hari di AME.
Berkas harapan pindah jurusan sudah dibagikan, tapi tidak ada satu pun murid yang mengisinya. Itu berarti tidak ada yang hendak pindah jurusan. Setelah meyakinkan pilihan para murid, Fujisaki pun pamit undur diri dari kelas.
“Setelah ini pertemuan dengan senior, kan?” tanya seorang murid.
Kira langsung menyahut. “Pertemuannya di Kelas Akting Dua. Anak Kelas B juga gitu, mereka melakukan pertemuan dengan 2B dan 3B. Pertemuannya di Kelas Akting Satu.”
“Wow, jadi kita masuk wilayah senior, nih?” ungkap murid yang lain.
Murid-murid 1A bersiap-siap keluar dari kelas. Yuzuru pun begitu. Ia bertingkah bagai adik kecil yang menempel erat dengan Chihiro, takut teman sekamarnya itu dibawa kabur orang lain. Minami yang menyadari kecemasan gadis kecil itu langsung menggandeng lengannya. Yuzuru kewalahan berjalan, harus menjinjit karena berusaha sejajar dengan dua gadis yang memiliki tinggi tiga puluh senti lebih tinggi darinya.
“Pertemuannya ngapain aja, ya?” Yuzuru lebih memilih bertanya daripada menerka-nerka. Bertemu dengan kakak kelas? Hal tersebut tidak akan pernah dilakukan di sekolah biasa. Palingan kenal dengan senior hanya di klub.
Chihiro mengangguk, setuju dengan pertanyaan yang dilontarkan Yuzuru. Ia juga tidak tahu agenda apa yang mengharuskan murid tahun pertama menemui kakak kelas.
Sebagai orang yang tahu segala hal, dengan senang hati Minami menjelaskannya. “Kalian tahu sendiri kalau Akademi AME diperuntukan khusus studi seni, terutama di dunia hiburan. Kesampingkan Kelas S yang isinya anak-anak sibuk yang tak selalu bisa hadir ke kelas, kita, Kelas A dan Kelas B, adalah pion terkuat yang akan menaikkan nama akademi. Daripada bersaing tak tentu arah, akademi mengharapkan murid-muridnya akrab ke berbagai tingkat. Sebagai alumni kita diharapkan saling membantu di dunia hiburan nanti.”
“Jadi, karena itu sejak awal kita harus kenal dengan senior?” terka Chihiro ragu.
“Yup!” Dari belakang Kira menyahut. Pemuda itu sengaja mengambil langkah di samping sang sepupu. “Awalan mengenal senior sesama ‘peringkat A’. Kedengarannya akrab, tapi itu bukan berarti kita diharuskan kenal dengan senior dari ‘peringkat B’. Masih ada kasta lho di sini.”
Raut wajah riang Yuzuru agak memudar. “Pantas aja, tiap kali dekat dengan anak kelas B, mereka tampak segan, terus pergi begitu aja.” Gadis itu tak hanya berusaha dekat dengan teman sekelas, di kelas khusus jurusan idola maupun di asrama, ia pasti akan berkenalan dan mencoba dekat dengan wajah baru. Namun ia selalu sedih saat murid yang dikenal dari kelas B ataupun regular pasti akan buru-buru pergi dari hadapannya.
Chihiro yang mengerti dengan ekspresi itu pun menyahut. “Memang lebih bagus punya banyak teman dari berbagai kalangan, ya?”
Dengan pipi menggembung Yuzuru mengangguk setuju.
Kelas Akting Dua ada di lantai tiga. Ruangannya bisa dianggap besar, layaknya teater mini. Tak ada meja, tempat duduknya bertingkat. Hanya ada papan tulis berjalan yang bisa disingkirkan bila tak dibutuhkan.
Saat murid 1A memasuki ruangan, senior dari kelas 2A dan 3A sudah mengambil posisi duduk di sayap kiri dan kanan. Tinggal enam kolom di tengah yang tersisa. Anak 1A sudah tahu kalau mereka disuruh duduk di sana, menjadi pusat perhatian. Di atas podium berdiri seorang murid. Pemuda itu langsung menebarkan senyuman, bergestur seolah pemilik rumah yang mempersilakan tamu-tamunya duduk.
Begitu mata menangkap sosok Hayami Mion, Yuzuru langsung menarik kedua temannya duduk sebaris dengan sang senior. Tentu Yuzuru duduk di pinggir agar bisa dekat dengan Mion. Teman sekelas Mion hanya terheran-heran melihat seorang murid baru yang dengan ringan bicara dengan seniornya. Antara kagum dan juga menganggap tak tahu malu.
Terdengar dentuman kecil dari mik yang dihidupkan. Seluruh mata memusatkan perhatian ke atas panggung.
“Terima kasih pada rekan-rekan sekalian yang sudah menyempatkan hadir di pertemuan ramah-tamah ini. Sebelum memulai acara kita, alangkah baiknya jika aku, selaku pembawa acara, memperkenalkan diri, terutama pada murid kelas 1A yang baru di akademi ini. Namaku Ouma Akio. Zacho 2A, Jurusan Idola.”
Dari tempat duduk penonton, Yuzuru berbisik ke Chihiro. “Itu yang namanya Ouma Akio-senpai? Wajahnya emang gak asing. Pernah lihat di tipi.”
Chihiro terkekeh. “Saking tampan rasanya aku mau pingsan, nih!”
Yuzuru kembali berekspresi datar saat teman sekamarnya mulai kecentilan.
“Duh, pengin lirik kiri-kanan! Senior-senior Kelas A ganteng-ganteng!” tambah Minami yang tak kalah antusias—tapi berusaha mengecilkan suara agar tak menarik perhatian.
Yuzuru mulai ogah mengajak Chihiro bicara. Pasti akan disahuti dengan kecentilan, dan Minami pun mengikuti sikapnya. Ia pun berusaha fokus mendengarkan pidato sang senior di atas panggung.
“Bagi kalian yang kekurangan informasi pasti bertanya-tanya, kenapa harus diadakan ramah-tamah yang membosankan ini. Sekolah swasta lain pasti keberatan melakukan hal sepele ini.”
Kalimat ejekan tapi terkesan jenaka itu disambut dengan kekehan oleh kelas 2A. Anak 1A hanya menoleh kebingungan. Senior-senior mereka tampak tak keberatan dengan kalimat sinis barusan.
Ouma Akio melanjutkan pidatonya. “Itulah keistimewaan Akademi AME! Inilah tradisi yang tidak bisa kita langgar. Dan lagi, bukannya sebuah kebanggaan bisa kenal dengan senior dan junior satu almamater? Awalnya aku membayangkan begini.”
Pemuda itu menghadapkan badan ke kanan, seolah berbicara dengan seseorang. “Kamu lulusan AME?” Akio tengah beradegan. Pertanyaan barusan ia jawab sendiri dan kali ini menggeser kaki kanan sedikit, lalu menghadap ke kiri. “Benar.” Ia kembali menghadap ke kanan. “Berarti kenal dengan si A, dong? Dia lulusan AME juga.” Kembali, ia menjawab sendiri. “Maaf, saya tidak kenal dengan si A.” Lagi, ia menjadi orang lain. “Gimana, sih! Masa gak kenal!”
Ouma Akio mengakhiri adegannya, kembali menatap lurus ke murid 1A. “Jika aku masuk SMA swasta lain, mungkin aku tak akan malu dengan ungkapan ‘masa gak kenal, padahal satu almamater?’, karena ya, untuk apa kenal? Kita bersekolah bukan untuk menghapal semua nama murid yang ada, kan? Jika kalian berpikir demikian padahal sudah masuk AME, kalian sudah keliru.”
Senyuman zacho 2A terasa aneh bagi Yuzuru. Seakan tengah mengejek. Kalimat-kalimat yang dilontarkan juga terdengar meremehkan apa pun yang akan dipikirkan orang sekitarnya. Namun senyuman penuh intimidasi itu memudar seketika.
“Oh, mungkin inilah cara Akademi AME mencuci otak kita. Kita yang individual ini mau tak mau harus terbiasa bekerja sama dengan banyak orang—dari berbagai kalangan. Mau dia dari anak bangsawan, anak pengusaha, hasil perkawinan silang artis dan produser?”
2A kembali tergelak bersama-sama. “Hentikan gurauanmu, Zacho!” ungkap salah seorang dari mereka.
Ouma Akio hanya membalas dengan senyuman. “Orang tua dari kalangan mana pun tak akan menghapus jejak bahwa kalian adalah murid Akademi AME. Kita semua sama, sama-sama mengenyam pendidikan demi mencapai impian masing-masing.
“Dan ya, selamat buat kalian telah berusaha keras agar dapat bangku di 1A. Karena aku pernah menjadi kalian, senior 3A pun begitu. Banggalah karena sudah menjadi kedua puluh lima murid pemegang hasil ujian masuk tertinggi. Selamat sekali lagi.”
Senior dari dua tingkat itu langsung memberikan tepuk tangan meriah. Murid 1A pada mengangguk kiri-kanan, berterima kasih dengan ekspresi masing-masing. Apalagi Yuzuru yang kini pipinya tengah bersemu dan terkekeh geli terhadap pujian yang berlebihan.
Tepuk tangan pun mereda. Ouma Akio kembali melanjutkan hal-hal yang ingin disampaikannya. “Namun bukan berarti usaha kalian berakhir di sini. Justru perjuangan kalian dimulai dari sekarang. Teman adalah saingan. Saingan adalah teman. Jangan sampai tertinggal. Walau kelas satu pun, jika kalian menemukan kesempatan, ambil dan berusahalah memenangkannya.
“Informasi audisi atau kompetisi sangat terbuka di AME. Mau jadi aktor, penyanyi, pembawa acara? Semua lowongan itu pasti akan disebarkan di papan pengumuman. Guru di kelas atau wali kelas pun akan memberitahukan pada kita kesempatan tersebut.
“Aku berharap 1A sekarang terus mengikuti jejak sukses senior-seniornya. Kalian adalah murid terpandai dan harapan akademi. Idola, komposer, produser, kalian harus gesit mencari peluang, mendapatkan kesempatan langsung dari orang-orang profesional di bidangnya. Kalian harus mengukir nama sejak dini. Untuk apa? Tentu agar bisa segera debut dan mempermudah kalian di tahun-tahun berikutnya.
“Kalian pikir… ‘sekolah aja dulu, setelah lulus baru pikirkan mau ke mana?’ JANGAN! Pemikiran tersebut sangat tidak kusarankan—dan tentunya senior-senior terdahulu pun berpikir demikian. Malah akademi sangat mengapresiasi kalian jika sejak kelas satu sudah mendapatkan banyak pekerjaan.
“Jangan pikirkan soal nilai akademis! Di waktu kosong kalian pasti akan dibimbing langsung oleh guru yang sudah dipilih agar kalian tidak ketinggalan pelajaran. Nilai kalian turun karena pekerjaan? Tidak masalah! Asal masih di atas batas tuntas, sampai lulus kalian akan tetap murid 1A.”
Yuzuru terperangah. Teman-teman sekelasnya pun begitu. Selama ini mereka berpikir akan sulit mengimbangi nilai pelajaran umum dengan pelajaran utama. Apalagi jika nanti mendapatkan tawaran baik di dunia hiburan. Mata murid 1A terbuka lebar terhadap jaminan yang diberikan AME, dan mereka sungguh bangga bisa masuk di akademi ini.
Diam-diam Yuzuru menyunggingkan senyuman. “Wah, pandai sekali senior satu ini bicara. Pasti pernah menang lomba berpidato!”
Mion duduk tak jauh dari Yuzuru terkikik pelan mendengarkan pendapat polosnya itu. “Bahkan dia lebih baik berbicara daripada pertemuan ramah-tamah tahun lalu.”
Yuzuru menoleh. “Tahun lalu siapa yang berdiri di sana?” tanyanya tanpa sadar terang-terangan menunjuk ke panggung.
“Tahun lalu zacho kelas 3A—senior kami. Orangnya sangat kaku. Kami yang mendengarnya cukup gelisah, apa anak kelas satu paham dengan maksudnya?”
“Kelas tiga?” bingung Yuzuru. Ia melirik teman-teman seangkatan Mion, lalu orang yang berdiri di panggung, menatap Mion kembali. “Kalau begitu, kenapa bukan zacho-nya Mion-senpai yang bicara di sana?”
Mion terpegun. Senyum di bibir hilang seketika, ditambah dengan lirikan mata ragu-ragu dan tatapan sendu. “Karena… dia lebih baik.”
Yuzuru merasa ada yang tidak beres dengan sikap Mion. Sinyal di kepalanya menangkap peringatan bahaya, tapi ia masih penasaran. Tak mengindahkan peringatan tersebut, mulut gadis kecil itu pun bertanya. “Zacho 3A sekarang siapa?”
“Itu....” Mion tak lagi sanggup menatap juniornya. Bibirnya sedikit terbuka, kaku, dan tak bergerak sedikit pun.
Seseorang menepuk pundak Yuzuru. Gadis itu mengabaikan panggilan Chihiro dengan suara pelan dan agak panik. Gadis itu tengah fokus membaca isi hati Mion lewat raut wajahnya. Tepukan pundak semakin menjadi.
“Yuzuru!”
“Apa, sih?” keluh Yuzuru seketika itu ingin menoleh ke kiri, tapi berhenti begitu menangkap sosok seseorang sudah berdiri di depannya. Kepala mengadah, mencari tahu siapa orang yang sudah menutupi tubuhnya yang kecil dengan bayang-bayang. “Oh, halo, Senpai? Pidatonya udahan?”
Ouma Akio memasang senyuman lebar. Ia tengah berusaha sabar dengan sapaan polos dari seorang murid baru yang tak tahu sopan santun. “Yakin kau memperhatikan pembahasanku di depan?”
Bulu kuduk Yuzuru agak merinding, tapi ia berusaha untuk tetap tenang, dan menjawab dengan anggukan.
“Ada pertanyaan?” tanya Ouma.
“Kenapa Senpai yang memberikan arahan, bukan zacho kelas tiga?”
“Kau tahu siapa zacho 3A sekarang?”
Yuzuru menggelengkan kepala.
“Hayami Mion. Senior yang kini duduk di sampingmu.”
Mulut Yuzuru sedikit terbuka. Kepala langsung menoleh ke kanan. Hayami Mion tengah menggigit bibir bawahnya.
Writer's Corner
Konnichiwa~
Sudah kangen dengan apdetan The Troupe Class???
Yuppp!
Kamu udah bisa baca lanjutan cerita Yuzuru di Akademi AME di sela waktu istirahat kalian di Senin ini!
(๑˃̵ ᴗ ˂̵)و
Semoga bisa menghibur dan menyemangatimu di tengah kesibukan sekolah, kuliah, atau kerja(?) kamu!
EN GES WAT?!!
I GOT 800 FOLLOWERS!!!
AAAAA TENGKYU TENGKYU SO MACHA!!!
❀(*´▽'*)❀
Salken buat followers baru! Moga kalian betah di lapakku!!!
♪ヽ(*´3')ノ
And next target!
900 followers for this month!
Bisa gak, ya? 😌
Yuk, bisa, yuk!
Bantu dengan ramaikan lapakku ini, yuk!
Like, komen, dan SHARE on your social media, anywhere!
Follow buat gak ketinggalan kabar karya-karyaku yang lainnya!
Sampai jumpa di bab selanjutnya!
(ノ*°▽°)ノ🌸🌸🌸🌸
ALana
9 Jan 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top