[4] Pesona Wali Kelas
Untunglah tindakan ‘berani’ Yuzuru terhenti berkat kedatangan seorang wanita muda. Kelas yang riuh semakin parah karena menyadari sosok yang hadir ialah seorang model yang tak pernah absen mengisi berbagai macam kover majalah.
“Dia, kan!”
“Masa?! Ini mimpi, kan?”
“Kenapa bisa ada di sini?”
Wanita itu tersenyum seraya menggerakkan kedua tangan dari atas ke bawah. “Ayo, tolong duduk! Duduk di mana pun kalian suka karena aku akan memulai homeroom—pertemuan kelas pertama.”
Permintaan dengan suara manis itu bagai sihir yang membuat para murid dengan patuh mengambil duduk terdekat. Begitu pula dengan Yuzuru dan Chihiro yang baru masuk, kewalahan mencari kursi kosong, tapi akhirnya bisa duduk berdekatan.
“Dari reaksi kalian sepertinya sudah kenal denganku, ya? Tapi biarkan aku memperkenalkan diri secara formal.” Wanita itu menuliskan namanya di papan tulis. Lalu kembali menatap kedua puluh lima anak kelas 1A. “Aku Fujisaki Miya. Selama tiga tahun ke depan aku akan menjadi wali kelas kalian. Karena hubungan kita berlangsung lama, mohon bantuannya, ya?”
Kedipan mata jahil seorang wanita muda memukau seluruh indera penglihatan para anak remaja. Wajah laki-laki maupun perempuan memerah dan tanpa sadar telah tersenyum bahagia dengan fanservice ringan tersebut.
“Ini kali pertamaku menjadi wali kelas. Sungguh tidak kusangka tibalah waktuku mengabdi sebagai alumni. Ada yang bingung, atau ada yang sudah tahu? AME selalu meminta para alumni menjadi pembimbing murid baru, dalam artian sebagai wali kelas. Kami bukanlah pengajar profesional, tapi kehadiran kami akan sama seperti senior yang sudah banyak pengalaman untuk berbagi kepada kalian. Tentu pengabdian kami tidaklah sementara. Kami, terutama aku, akan membina kalian dari tahun pertama ini sampai kalian lulus.
“Sebelum menjelaskan berbagai aturan sekolah maupun saran-saran dariku, aku ingin sekali tahu nama-nama kalian.” Fujisaki Miya membuka berkas yang sedari tadi dipegangnya. Membentangkan buku absen lebar-lebar di atas meja podium. “Sebagai catatan, kalian bebas memilih tempat duduk setiap hari. Siapa yang cepat, dia yang boleh menduduki posisi ternyaman—menurut kalian masing-masing. Jika ingin tetap seperti ini juga tidak masalah. Hanya saja....”
Wanita itu menggeser posisi berdiri sedikit, memanjangkan leher ke kolom tiga baris tiga, menunjuk gadis mungil yang duduk di sana. “Takutnya yang badannya kecil tak bisa melihat ke depan dengan jelas.”
Seketika seluruh pasang mata tertuju pada Yuzuru. Gadis kecil itu langsung mengerutkan dahi. “Tenang aja, Sensei! Lima hari lagi tinggiku bertambah, kok!”
“Ha? Masa? Berapa? Satu mili?”
Ejekan seorang murid mengocok perut sekelas.
Yuzuru menoleh ke belakang, menggeram bagai anak harimau siap menerkam buruan pertama. Murid yang mengejeknya itu ada di kolom lima baris terakhir. Ia sudah menandai target pembalasan dendam!
“Ekhem.”
Dehaman tepat dekat meja membuat Yuzuru segera menoleh ke depan. Fujisaki Miya sudah berdiri di hadapannya, mengumbar senyuman mempesona. Tanpa izin wanita itu mengelus kepala Yuzuru. “Tenanglah. Dua-tiga tahun lagi kamu pasti akan tumbuh jadi gadis cantik, kok! Sekarang saja sudah begitu imut!”
Tubuh Yuzuru membatu seketika. Sementara Chihiro dan Minami yang duduk tak jauh darinya hanya bisa menyembunyikan kekehan.
“Tiga kali kalimat yang sama dilontarkan oleh tiga orang yang berbeda. Sebegitu kecilkah diriku?”
Fujisaki kembali berdiri di depan kelas. “Maaf sudah mengulur waktu. Kalau begitu kita mulai absennya, ya? Kalian mau aku absen berdasarkan nilai ujian atau urutan nama?”
Hampir seluruh murid menjawab dengan jawaban berbeda. Fujisaki terkekeh. Sebenarnya tidak ada absen berdasarkan hasil nilai ujian masuk. Wanita itu hanya bergurau.
“Oke, berdasarkan nama saja, ya? Yang terpanggil namanya mohon berdiri, ya? Perkenalan singkat dari nama, jurusan yang ingin diambil, serta impian terbesar kalian setelah lulus dari akademi. Kalau begitu dimulai dari… Aoki Hajime.”
.
.
.
.
.
Setiap murid yang terpanggil akan berdiri, memperkenalkan diri secara singkat. Ada yang berdiri dengan tegas dan penuh percaya diri, ada juga yang malu-malu dengan suara tak terlalu terdengar. Setelah murid yang bersangkutan menyelesaikan ‘tugasnya’, murid-murid lain akan bertepuk tangan.
“Selanjutnya… Kitani Yuzuru.”
Tanpa ragu Yuzuru bangkit dari kursinya. “Perkenalkan—”
“Berdiri, dong! Gak kelihatan!”
Ejekan dari orang yang sama membuat beberapa murid tertawa.
Yuzuru menggeram kesal. Saat akan menoleh, tangannya dipegang lembut dari samping. Begitu menoleh, tatapan teduh Chihiro menenangkan perasaannya.
“Abaikan saja.”
Yuzuru ingat ikrarnya pada diri sendiri untuk lebih kuat mengontrol diri, tidak membalas sikap buruk orang lain dengan kekerasan, dan bertindak cerdik. Pelan-pelan gadis mungil itu mengatur pernapasan.
“Oke,” gumamnya saat dada merasa lega. “Terima kasih, Chihiro.”
Chihiro mengangguk, melepaskan genggaman.
Yuzuru dengan cepat mencari ide. Dia terkenal dengan apa saat di sekolah dulu? Suka cari sensasi, bukan? Dengan kekehan geli, ia segera melakukan tindakan yang pasti tak akan dilupakan teman-teman sekelas seumur hidup.
Gadis itu melepaskan sepatu, berdiri di atas kursi. Seluruh murid 1A membelalakkan mata. Kursi bagaikan panggung debut. Yuzuru bertingkah centil dan ceria, memperkenalkan diri sambil melirik kiri-kanan, depan dan belakang bergantian.
“Haalow semua teMAN-teMANku terrrrsayang daannn kepada Fujisaki Miya-sensei yang terrrrhormat!” Tidak lupa gadis itu menundukkan badan ke arah wali kelasnya. “Perkenalkan~ namaku Kitani Yuzuru. Ki. Ta. Ni. Yu. Zu. Ru. Panggil Yuzuru atau Yu-chan juga boleh. Panggil Honey juga boleeeh! Tehe!”
“Gila kau!” Murid itu lagi mengejek Yuzuru.
“Ah~ kecuali laki-laki satu itu. Hm, siapa namanya, ya? Oh iya, dia belum memperkenalkan diri. Ahaha! Kasihan, malah didahului oleh aku yang bertubuh kecil menggemaskan ini!”
Murid yang menertawakan Yuzuru hanya dapat berkomat-kamit karena saat hendak membalas, Fujisaki memperhatikannya, menempelkan telunjuk ke bibir. Murid 1A tertawa bukan lagi mengejek melainkan terhibur dengan sikap manja dibuat-buat gadis paling pendek itu.
“Impianku datang ke AME karena....” Yuzuru terdiam seketika. Tingkah manja pura-pura itu terhenti. Ia menatap Fujisaki dengan bibir tersenyum lebar. “Aku ingin hidup berdampingan dengan musik. Aku ingin bersinar layaknya mereka yang telah menginspirasi di masa tersulit dalam hidupku. Cahaya itu tidak boleh berhenti di aku. Aku harus membuatnya lebih indah dan akan kusampaikan pada mereka meski tak kukenali. Karena kata sahabatku… dengan musik kita terhubung sampai kapan pun. Dan aku percaya dengan kalimat manisnya itu. Terima kasih.”
Yuzuru mengakhiri perkenalan dengan menundukkan badan dalam-dalam.
Tepuk tangan meriah dihadiahkan atas kalimatnya yang sangat menyentuh.
Dengan gerakan kikuk nan malu-malu, Yuzuru turun dari kursi, berdiri di samping meja, menundukkan badan berkali-kali. Ia kembali duduk, tapi langsung menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangan. “Maluuuu.”
Kira yang duduk di belakang Yuzuru langsung menepuk-nepuk punggungnya.
Hanya satu orang yang tidak bertepuk tangan. Fujisaki Miya. Wanita itu tak akan menyangka akan mendengar kalimat wajar, tapi terasa berkesan. Kalimat itu biasanya hanya akan dilontarkan oleh seseorang yang sadar karena dirinya ialah idola. Namun murid baru, tahun pertama yang bisa dikatakan jauh dari dunia hiburan rasanya tak mungkin mengucapkan kalimat penuh makna tersebut.
‘Gadis kecil itu… sebegitu menyedihkannya di masa lalu? Atau memang karena ia adalah sosok idola ideal sesungguhnya?’
“Sensei!” Murid yang duduk tepat di depan meja podium memanggil. Fujisaki tersentak dari lamunan. “Selanjutnya, Sensei! Kok melamun?”
“A-ah, iya. Baiklah. Terima kasih untuk Kitani-san. Perkenalanmu sungguh membuatku terpana.” Fujisaki terkekeh gugup, membuat murid-muridnya turut tertawa. “Baiklah selanjutnya… Kurosawa Yosuke—wah! Kamu yang tadi berdiri di podium, kan? Silakan berdiri!”
Seluruh mata kembali fokus pada murid yang akan menceritakan dirinya. Namun kali ini semua pandangan terasa begitu menusuk. Yuzuru bisa mengamati berbagai macam sikap teman-teman sekelasnya. Tentu ia merasa demikian. Semua orang pasti ingin mengenal orang yang memiliki peringkat tertinggi di ujian masuk akademi. Apalagi Chihiro sudah memberitahu sedikit tentang anak laki-laki itu.
‘Gak kenal, sih, tapi kenapa rasanya gak asing, ya?’
Yuzuru menerka-nerka dalam hati sambil mengamati murid bertubuh tegap dengan kacamata bertengger di hidung nan mancung itu.
.
.
.
.
.
“Baiklah, semua sudah memperkenalkan diri. Nanti setelah homeroom kalian bisa berkenalan lagi.” Fujisaki melirik jam yang melilit di tangannya. “Homeroom ada sekitar lima belas menit lagi. Tanpa menunda waktu lagi, aku akan menyingkat beberapa hal penting yang akan kalian patuhi dan lakukan selama tahun pertama di AME.
“Sebelum itu semua jadwal tentu bisa kalian akses di laman resmi akademi. Kalian sudah paham soal login ke akun masing-masing, kan? Jika ada kendala, kalian bisa tanyakan ke bagian administrasi. Lebih baik tanyakan ke staff sekolah karena kami takut adanya kebocoran data dari tangan tak bertanggung jawab.”
Cara bicara Fujisaki kini tampak lebih tegas dari sebelumnya. Kalimat barusan tanpa sadar dianggukkan Yuzuru karena gadis itu curiga pada Kirishima Minami yang katanya bisa hacking. Ia mengira hacker itu hanya dilakukan oleh orang dewasa—pokoknya orang yang bekerja di bagian komputer, bukan anak sekolahan.
“Seperti yang sudah kalian tahu, AME memiliki dua program pendidikan: Pendidikan Seni dan Pendidikan Reguler. Pendidikan Seni memiliki tiga jurusan utama: Jurusan Idola, Jurusan Komposer, dan Jurusan Produser. Jelas, Kelas S, Kelas A, dan Kelas B merupakan kelas yang diperuntukkan ke Pendidikan Seni. Saat daftar ulang kalian sudah mengisi formulir akan masuk jurusan mana, tapi dalam seminggu ini kalian boleh berubah pikiran. Misalnya dari idola ke komposer, produser ke idola, atau produser ke komposer.
“Pikirkan dengan matang selama seminggu ini kalian mau diarahkan ke mana, karena Senin depan kalian sudah mendapatkan Tugas Jangka Panjang secara khusus sebagai murid Jurusan Idola, Jurusan Komposer, ataupun Jurusan Produser. Apa tugas itu boleh dikerjakan bersama? Boleh! Tergantung bagaimana kalian menyelesaikannya, tapi tetap penilaiannya individu.
“Walau kalian ada di Program Pendidikan Seni, kalian akan tetap mengikuti pembelajaran umum: bahasa, matematika, dan ilmu lainnya. Kalian akan belajar dengan guru mata pelajaran di kelas. Sementara pembelajaran khusus jurusan akan diarahkan ke ruangan yang dipegang oleh guru berwenang. Ruang akting, bernyanyi, mengembangkan projek, ruang musik, dan masih banyak lagi. Kalian juga bebas meminjam fasilitas di luar jam pelajaran, misalnya ruang musik, ruang latihan, komputer, apa saja, asal sudah meminta izin lewat laman akademi.
“Lalu apa lagi, ya?” Fujisaki memeriksa catatan yang ada di tabletnya. “Soal klub, klub tidak terlalu wajib untuk kalian—lebih ditekankan pada murid Pendidikan Seni. Tapi saranku sebagai alumni, lebih baik ikut klub yang sangat menambah kemampuan kalian dalam karir ke depannya. Sebagai referensi, dulu aku ikut Klub Fotografi. Dengan arahan guru, teman, dan juga senior, pengetahuanku di dunia permodelan semakin terasah.
“Terakhir….” Fujisaki menjeda kalimatnya dengan senyuman simetris yang menawan. “Tidak ada yang namanya ketua kelas.”
Yuzuru menelengkan kepala sedikit ke kanan. ‘Waaah, saking elitnya sistem sekolah ini sosok ketua kelas tidak berlaku! Ck, ck, ck. Hana pasti kecewa mendengarnya!’
“Biasanya murid Program Seni akan sibuk dengan urusan masing-masing. Rasanya percuma jika menghadirkan sosok tersebut. Apalagi jika sudah di tahun kedua, rata-rata kalian akan menerima tawaran pekerjaan sesungguhnya, sekolah pun tak akan memberikan tugas kelompok.”
Kini Fujisaki semakin mempertajam tatapan di hadapan kedua puluh lima murid didiknya. Tekanan suaranya terdengar mengintimidasi. “Meskipun akademi ini tidak memberlakukan seorang ketua kelas, bukan berarti tidak ada sosok pemimpin. Untuk itulah diusulkan seorang zachou. Terdengar sangat ‘dunia hiburan’, bukan? Tapi… untuk menjadi zachou itu tidak mudah. Kau harus mendapatkan pengakuan dari setiap murid di kelas. Asal kau tahu, murid-murid yang diterima di AME, setiap mereka memiliki harapan tersendiri sebagai tokoh utama.
“Kau sanggup menundukkan dua puluh empat kepala agar mau berlutut di bawah kakimu?”
Kalimat terakhir Fujisaki memberi tekanan mengerikan. Murid-murid seakan tengah terhimpit langit-langit yang seketika rubuh tanpa aba-aba. Melihat wajah tegang para anak baru membuat Fujisaki terkikik. Wanita itu menepuk tangan sekali, lalu meriangkan suara kembali.
“Homeroom selesai! Sebagai tambahan, homeroom hanya diadakan dua kali dalam seminggu. Senin dan Jumat. Sekali lagi, selamat datang di AME! Saran pertama dariku....” Fujisaki menempelkan telunjuk di bibir, mengedipkan sebelah mata. “… raihlah prestasi secepat mungkin.”
Writer's Corner
HAPPY NEW YEAR!
Halo buat pembaca The Troupe Class! Sudah menjelang tahun baru aja, ya? Apa harapan kalian di penghujung akhir tahun ini?
Aku sengaja mengunggah bab terbaru untuk menemani kalian yang gak ke mana-mana malam ini 😌
It's okay gak ke mana-mana. Bahkan mataku udah layu 😴 ngatuk! www
Rencananya aku mau publish 2 bab, tapi sumpah ngantuk!!! 🤣
Jadi bab barunya di awal tahun, ya!
Sampai ketemu di tahun baru~!
Semoga tahun depan kita bisa jadi diri yang lebih baik lagi!
Bonus!
Yuzuru desu!
Minna~ happy new year!
Akemashite omedetou gozaimasu!
Mada mada yaritai koto takusan aru no de, zehi Yuzuru to minna, soshite monogatari wo ouenshiteagete ne!
Yoiotoshi yo!
Rainen mo yoroshiku onegaishimasu!
31 Des 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top