[10] Saingan

“Kembali lagi kita bertemu di hari Senin. Bagaimana? Sudah terbiasa di AME?”

Yuzuru agak terperanjat di kursinya saat wali kelas masuk langsung berbincang tanpa salam pembuka. Mungkin ini juga salah satu kebiasaan di AME yang harus dimaklumi, tak ada ketua kelas juga tak ada orang yang memberi aba-aba salam pada guru di awal pelajaran pertama—setiap harinya.

Wali Kelas 1A tahun ini, Fujisaki Miya, melangkah tanpa canggung dan berdiri tegap dengan anggun di samping meja podium. Padahal ini kali pertama menjadi seorang ‘guru’, tapi sikapnya jelas sudah terbiasa dengan profesi sampingannya saat ini. Wanita itu meletakkan tas tangan dan berkas di atas meja, mengedarkan pandangan ke dua puluh lima anak didiknya. Senyuman selalu terpasang manis menghiasi wajah nan cantik.

“Semua hadir. Tak ada yang absen. Tidak perlu melakukan absensi, kan? Kalau begitu langsung ke intinya saja agar tidak buang waktu banyak.”

Fujisaki-sensei menghadap papan tulis, mengambil sebuah spidol, menuliskan tiga poin yang akan disampaikannya pada sesi homeroom kali ini.

Yuzuru membaca dengan seksama, tangan sudah menggenggam pena untuk mencatat apa saja yang akan dibahas Wali Kelas. “Idola…, komposer…, produser...,” gumam gadis kecil itu pelan-pelan. “Ini, kan, tiga jurusan di program seni?”

Setelah menulis tiga poin dalam huruf besar, Fujisaki kembali menatap anak-anak didiknya. Spidol ia pergunakan sebagai penunjuk saat menjelaskan. “Aku sudah menyinggung tentang Tugas Jangka Panjang, bukan? Kita singkat dengan TJP, ya? Lalu, apa saja TJP itu? Mungkin sebagian dari kalian sudah dapat bocoran dari senior, tapi biarkan Sensei jelaskan lebih jelas.

“Masing-masing jurusan memiliki TJP sendiri. Mulai dari Jurusan Idola....” Fujisaki kembali menulis di bawah kata IDOLA. “Membuat lagu.”

Para murid idola langsung menggumamkan kekhawatiran. Yuzuru pun begitu. Ia sudah diberitahu mengenai Tugas Jangka Panjang oleh senior andalannya—Mion. Bagai menelan ludah sendiri, Yuzuru merasa eneg kala tahun lalu sudah meremehkan Kotaro dalam hal membuat lagu. ‘Tibalah waktunya diriku terbebani demi menulis sebuah lagu.’

Fujisaki kembali melanjutkan pembahasan. “Kalian, murid jurusan idola, di tahun pertama ini kalian harus membuat satu lagu. Kalian bisa membuatnya sendiri atau meminta bantuan orang lain. Tapi perlu digarisbawahi, meski orang lain yang membuatkannya untukmu, kamu harus turut andil dalam proses pembuatannya. Setidaknya menuangkan ide, misal tema, atau topik yang ingin diangkat. Bagaikan puisi tak harus selalu cinta agar menaklukan hati si dia, kan?

“Bantuan dari orang lain itu bisa dari teman komposer, senior, atau orang luar akademi? Boleh. Tidak masalah. Jika kamu merasa lagu itu sudah layak publikasi, laporkan dulu padaku. Jika kalian punya pertanyaan, sebaiknya simpan dulu—atau catat jika lupa, di akhir sesi saja kubuka tanya-jawab.”

Tangan Yuzuru dengan lugas menulis di buku catatan. “TJP, jurusan idola, buat lagu, sendiri atau boleh dibantu.” Kepalanya mengangguk-angguk paham. “Sesuai penjelasan Mion-senpai.” Gadis itu mengembuskan napas hingga poni sedikit bertebangan.

Benaknya bergelut sendiri, awal belajar di AME saja sudah diberi tugas ‘berat’? Memang anak tahun pertama diberi keringanan, bisa minta pendapat senior atau malah boleh dibantu orang luar akademi, tapi tetap saja jika hasilnya tak memuaskan, namanya akan tetap melekat pada karya pertama yang bisa menjadi kesan awal diingat orang-orang.

“Kemudian, untuk Jurusan Komposer.” Fujisaki menuliskan tugas di bawah kata KOMPOSER. “Kalian harus membuat sebuah musik, apa pun genre-nya. Mau itu klasik, pop, jazz? Ingat, ya, musik tanpa vokal. Kalian juga bebas menggunakan alat musik apa saja yang dikuasai. Apa boleh minta bantuan orang lain? Sensei rasa lebih ke saran, boleh. Misalnya kalian bingung cara mengoperasikan aplikasi pembuat musik. Atau cara meminta orang lain memainkan alat musik yang tidak kamu kuasai. Boleh, asal aransemennya kamu yang menuliskannya.

“Kenapa perlakuan kalian berbeda dengan murid idola? Mungkin mereka sudah tak asing dengan alat musik, tapi belum tentu latar keahlian mereka membuat lagu utuh. Sementara kalian, para komposer, orang yang sangat diandalkan membuat lagu untuk penyanyi—idola. Mungkin kalian akan terbebani dengan tugas ini—kebanyakan murid komposer paling akhir menyerahkan tugas, tapi percayalah ini satu-satunya kesempatan agar kamu percaya diri dengan karyamu sendiri. Jangan lupa untuk meminta banyak saran dari orang lain.

“Lalu jurusan produser.” Fujisaki kembali menghadap papan, membuat dua garis saling bertolakan di bawah kata PRODUSER. Masing-masing ujung garis itu dituliskan MUSIK dan FILM. “Mungkin tugas kalianlah yang terlihat lebih mudah. Produser itu ada beberapa cabang, tapi di AME lebih fokus pada musik dan film. Kalian boleh memilih salah satu dari dua tugas ini, menulis jurnal musik atau membuat skenario film.

Bagi kalian yang ingin mengambil jurnal musik, lihat dulu judul-judul yang sudah diambil oleh senior-senior tahun lalu, jangan sampai ada yang sama. Apalagi pembahasannya. Jika kalian ketahuan plagiasi, nilai nol, kalian diberi kesempatan menulis lagi atau tinggal kelas. Tinggal kelas bukan berarti kalian akan masuk ke kelas 1A tahun depan, kalian tinggal kelas dan dipindahkan ke kelas regular.”

Keempat murid jurusan produser langsung menahan napas mendengar ancaman yang tidak main-main itu.

Seorang siswi bertanya tanpa menaikkan satu tangan. “Bagaimana dengan murid idola dan komposer? Jika ketahuan plagiasi akan tinggal dan dipidahkan juga?”

Sesaat atmosfer ruangan 1A menegang. Mereka yang mengambil jurusan idola maupun komposer langsung cemas kala bernasib sama dengan murid produser.

Fujisaki mengulas senyum tipis pada murid yang tiba-tiba saja bertanya tanpa izin. Padahal ia belum selesai bicara, tapi sudah ada yang mengacaukan kesempatannya yang berharga. Untung saja pembahasannya selesai—hampir bisa dikatakan begitu, apalagi pasti masing-masing murid sudah memendam sekelumit pertanyaan di hati, karena itu ia tidak jadi marah.

“Poin lebih untuk murid idola dan komposer, kalian tidak perlu melakukan plagiasi. Buatlah karya seorisinal mungkin—musik yang menggambarkan kalian sendiri. Tak ada karya yang sempurna, berikan saja apa pun hasil yang kalian usahakan.”

Jawaban itu langsung melegakan pernapasan dua jurusan tersebut. Tak akan ada yang namanya tinggal kelas bagi mereka. Satu-dua murid produser langsung berwajah cemberut, merasa tak adil dengan pembagian dan hukuman yang diberlakukan.

Fujisaki meletakkan spidol di atas meja, menatap wajah-wajah yang dipenuhi pertanyaan di benak. Wanita itu sekali lagi memoles senyum seraya menepuk tangan sekali. “Baiklah, dibuka sesi tanya-jawab. Yang ingin bertanya, silakan angkat tangan.”
.
.
.
.
.
Dimungkinkan murid-murid sudah antipasi bertanya ke senior mengenai Tugas Jangka Panjang, meski banyak yang angkat tangan, tapi satu-dua murid sudah merangkum pertanyaan hampir keseluruhan dari mereka. Sesi tanya-jawab pun berlangsung sekitar tiga sampai empat menit. Sebagai wali kelas, Fujisaki sangat bangga dengan keantusiasan anak didiknya.

“Ada lagi yang ingin bertanya?”

Tak ada lagi murid yang mengangkat tangan.

Lelah berdiri, Fujisaki meraih kursi, mengangkat pelan-pelan ke samping meja podium. Ia pun duduk sambil merilekskan badan. “Ah, baiklah. Aku anggap kalian sudah mengerti dengan tugas. Kalian boleh menemuiku di kantor, membahas tugas secara pribadi. Jadwalku setiap Senin dan Jumat pagi. Nanti akan kuberitahu jika aku datang ‘mendadak’ ke AME di luar hari itu. mungkin diundang mengajar di kelas atau ada keperluan di Klub Fotografi.

“Sekarang… di menit-menit terakhir homeroom hari ini, kita bahas hal lain—yang lebih santai. Jumat lalu kalian temu ramah dengan senior-senior dari 2A dan 3A, bukan? Bagaimana kesan kalian?”

Murid-murid 1A hanya bisa cengar-cengir sambil menatap satu sama lain.

“Tekanan senior begitu kuat,” ungkap Kirishima Kira seraya menaikkan satu tangan. Lalu tangan itu menepuk pundak Yuzuru yang duduk di depannya. Yuzuru hampir saja mengeluarkan pekikan. “Tapi lebih mengerikan anak ini.”

Murid 1A setuju dan sebagian besar tertawa kecil mengingat kejadian pekan lalu. Alis Fujisaki terangkat, menatap Yuzuru lekat-lekat. Gadis yang diperhatikan itu hanya menyeringai kaku.

“Yuzuru-chan, kasih tahu Sensei, gak, ya?” Kira sengaja mencondongkan badan, usil berkata tepat di belakang telinga kiri Yuzuru.

Murid-murid yang akrab dengan keduanya serempak berkata, “Bilang! Bilang!”

Fujisaki menutup mulut yang terkikik dengan jemari lentiknya. “Sensei penasaran. Apa yang terjadi?”

“Awalnya karena apa, ya?” tanya salah seorang siswi bingung.

“Tahu-tahu, Kitani-chan sudah bersiteru dengan Ouma-senpai, kan?” jawab Tsubame yang duduk tepat di sebelah siswi itu. “Masalah zacho,” ujarnya kemudian bergidik ngeri karena masih mengingat aura intimidasi Yuzuru.

“Wah, wah, sudah bahas mengenai zacho, ya?” Tanpa sadar Fujisaki telah memainkan beberapa helai rambut legamnya nan panjang. “Sensei ingin membahas hal tersebut, tapi hari Jumat. Hm, sekarang juga tak apa. Lalu bagaimana? Apa kalian sudah punya calon zacho?”

Untuk beberapa saat murid 1A bergantian menceritakan kejadian Jumat lalu. Mereka lebih mendramatiskan bagian Yuzuru menentang sang senior. Orang yang dibicarakan itu hendak menentang setiap pernyataan yang tak sesuai fakta, tapi yang lain ikut nimbrung hingga tak ada celah baginya meluruskan perkara. Sementara Fujisaki hanya terkekeh pelan mendengar pembahasan seru dari anak didiknya.

“Kitani-san sendiri bagaimana? Lanjut mencalonkan diri sebagai zacho?” tanya Fujisaki setelah cerita dari murid-murid 1A telah rampung.

Yuzuru menghela napas lemah. “Kemarin itu jawab iseng, sih, Sensei. Tertarik, sih, tertarik, tapi aku tahu diri. Mana ada yang mau dipimpin sama anak kecil—badan kecil sepertiku? Bukan jadi zacho, malah jadi maskot.”

Sontak hampir seluruh murid terbahak mendengar pernyataan jujur Yuzuru. Orang yang mengungkapkannya saja juga tertawa lepas kemudian. Ia bisa membayangkan kala menjadi zacho sekalian maskot yang digadang-gadangkan berdiri di depan barisan. Bukan karena dia pemimpin, tapi teman-teman berbaik hati menempatkannya di depan agar eksistensinya tak tertutupi.

“Kalau ada calon yang memungkinkan, aku akan undur diri. Bodo’ diketawain Ouma-senpai, aku lebih memikirkan nasib 1A.”

Fujisaki tertawa. “Baiklah, kalau itu keputusanmu” Fujisaki kembali berdiri, sedikit menggeser kursi agar pergerakannya tidak terhambat. “Kalau begitu, selain Kitani-san, ada yang berminat menjadi zacho?”

Gumaman murid 1A senyap seketika. Mereka saling menatap, melirik untuk mencari tahu apa ada yang menaikkan tangan. Namun tak ada yang hendak berbuat demikian.

Fujisaki menukar pertanyaannya. “Kalau begitu orang yang menurut kalian pantas jadi zacho?”

Seorang murid angkat tangan. “Saya… merekomendasikan Kurosawa Yosuke-kun.”

Pemuda yang disebut namanya membalas dengan seulas senyuman. Seluruh mata memandangnya. Kurosawa Yosuke yang duduk paling belakang dekat jendela berdiri tegap. “Terima kasih atas kepercayaannya, akan tetapi saya mohon maaf karena tidak bisa memenuhi harapan teman-teman.”

“Kenapa?” tanya seorang siswi yang duduk tak jauh dari Kurosawa. “Menurutku kamu cocok sebagai pemimpin kelas. Zacho tidak harus dari jurusan idola.”

Dengan tatapan dan tutur yang tegas, Kurosawa sekali lagi menjawab, “Saya ingin menjalani kehidupan akademi dengan ketenangan. Maaf bila terkesan egois, tapi saya serius dan ingin fokus pada pendidikan. Bagaimanapun, andai dari teman-teman yang tahu kondisi saya, jujur tak ada yang berasal dari dunia hiburan. Karena itu, untuk menyeimbangi pengetahuan saya dengan teman-teman, saya ingin fokus belajar.”

Telapak tangan Fujisaki bergerak turun-naik-turun—seperti mengubik, bermaksud meminta Kurosawa kembali duduk. “Sensei mengerti dengan alasan Kurosawa-kun. Sebaiknya jangan memaksakan kehendak kita. Apa.. ada rekomendasi lain?”

Kali ini murid yang suka mengganggu Yuzuru angkat tangan. Tatsuo Lawrance, tangan pemuda itu kemudian menunjuk murid yang duduk di samping kanannya. “Mikado Zen-kun.”

Yuzuru menoleh ke belakang, bibir agak mengerucut saat tak sengaja bertatapan dengan Tatsuo. Berusaha tak peduli dengan pandangan sinis, bola matanya beralih ke pemuda bernama Mikado Zen. Menatapnya lekat-lekat seolah mesin pemindai yang dapat membaca isi kepala teman sekelas yang belum pernah diajaknya bicara.

Aura pemuda itu terkesan misterius. Tak pernah terlihat tersenyum tulus. Tatapannya terlihat meremehkan orang lain. Cara bicaranya biasa, tapi terkesan dibuat-buat seolah tengah menahan segala kalimat yang tak seharusnya keluar. Kira-kira itu kesimpulannya selama ini walau melihat dari jauh.

“Bagaimana, Mikado-kun, apa kamu mau mencalonkan diri?” tanya Fujisaki.

Mikado Zen berdiri, berdeham pelan, lalu memperbaiki kerah—walau menurut Yuzuru sikap tersebut tak perlu karena seragamnya tetap terlihat rapi. Pemuda itu menyeringai. Sesaat satu lengannya meremang sedikit karena senyum tak ramah itu.

“Saya akan merasa terhormat bila dipercaya menjadi zacho. Karena di dunia hiburan, pasti semua aktor ingin menjadi zacho—di drama ataupun dalam film. Jika teman-teman memilih saya, saya pastikan kalian tak akan kecewa.”

Tatsuo segera bertepuk tangan, sebagai apresiasi terhadap rekomendasinya. Tindakan itu pun diikuti beberapa murid 1A—turut bertepuk tangan.

Mikado menundukkan badan sedikit, sebagai rasa hormat terhadap perhatian teman-temannya. Pemuda itu beradu pandang dengan Yuzuru yang memahat wajah tanpa ekspresi—tak ada senyum, pun kedipan mata.

“Kata pembuka yang sangat baik,” salut Fujisaki. Wanita itu juga turut bertepuk tangan tadi. “Bagaimana, Kitani-san? Apa kamu akan mundur dari kecalonan? Jika tidak ada yang ingin jadi zacho, Mikado-kun bisa langsung diterima.”

Yuzuru menoleh ke depan. Sebelum itu pandangannya menemukan kejanggalan. Teman yang duduk tepat di samping kanannya, Yamashita Chihiro, sedari kemarin terlihat tidak ceria. Gadis itu terus menundukkan pandangan, seolah hendak menyembunyikan wajah dengan rambutnya nan panjang. Setiap kali ditanya, “kenapa?”, jawabnya selalu, “tak apa, kok.”.

Berusaha menahan rasa penasaran, Yuzuru pun menjawab pertanyaan Fujisaki-sensei. “Ada yang lain, gak?”

“Eh?” Fujisaki tak sengaja mencondongkan badan, berjalan selangkah, seakan tak mendengar ucapan muridnya barusan.

Tanpa ragu Yuzuru menunjuk ke belakang. “Aku bisa baca watak orang dari wajah. Dia gak bisa dipercaya.”

Seketika 1A termangu. Fujisaki turut demikian, bahkan matanya membola sempurna. Beberapa detik kemudian Kira tertawa terbahak-bahak. Diikuti kikikan geli Minami.

“Kurang ajar, kau!” harik Tatsuo seraya menunjuk-nunjuk sang penentang rekomendasinya. “Apa maksudmu gak bisa dipercaya, hah! Kalian juga, dua sepupuan Kirishima! Berhenti tertawa!”

Minami pun meredam kikikan, berbicara dengan nada ringan, “Yaa, meski Yuzuru-chan tidak sepertiku—seorang informan—dia berkata apa adanya.”

“Maaf ya, Mikado-kun, aku sih memang kecewa Kurosawa-kun tidak mau jadi zacho, tapi menurutku lebih baik pilih Yuzuru-chan—walau berakhir jadi maskot!” Kira berusaha menjelaskan meski diselingi kekehan jahil.

Yuzuru menyilang tangan di atas perut seraya menggembungkan pipi tembamnya. Gadis itu balik badan, hendak ‘memukul’ Kira, tapi tatapan Mikado membuatnya teralih. Mata yang penuh ambisi. Melihat orang lain bagai benda tak berarti. Yuzuru bisa menilai semua itu dengan jelas terpampang di wajah Mikado.

Sejak kecil Yuzuru sering memperhatikan ekspresi wajah setiap orang yang ditemuinya. Tatapan penuh keegoisan itu bukanlah yang pertama. Dulu sekali ia yakin pandangan itu diberikan padanya saat masih kecil. Dari keluarga terdekat tapi terasa jauh. Orang itu kakak dari ibunya.

Menutupi kegelisahan atas tatapan penuh intimidasi, Yuzuru mengembangkan senyuman di hadapan Mikado. “Aah~ maaf ya, Mikado-kun. Aku gak jadi undur dari pencalonan. Sesuai dengan pernyataanmu tadi, semua orang ingin menjadi zacho—sang tokoh utama. Aku sih tak tahu isi hati teman-teman sejurusan bagaimana, tapi punya saingan pasti seru!”

“Oh.” Kini tak ada lagi senyuman di wajah Mikado. Tatapannya lebih tajam. Pemuda itu serius menganggap Yuzuru sebagai saingan. Namun tak lama kemudian pemuda itu kembali mengembangkan senyuman. “Mari sama-sama berusaha agar menjadi yang terbaik!”

Yuzuru menaikkan dua jempol, lalu kembali menghadap ke depan. Ia hampir lupa dengan eksistensi sang wali kelas. Fujisaki tersenyum penuh makna terhadapnya.

Bel pun berbunyi.

Wanita itu meraih tas serta berkas yang tadi dibawanya. “Homeroom sampai di sini. Mengenai zacho kita bahas hari Jumat, ya! Dan tentang Festival Olahraga!” Fujisaki tidak langsung melangkah ke pintu, ia menghampiri tempat duduk Yuzuru. “Kitani-san, saat jam istirahat pertama, datang ke kantor, ya?”

Yuzuru menelengkan kepala, bingung.

Tanpa jawaban dari gadis mungil itu, Fujisaki menarik diri, keluar dari kelas 1A. “Sampai jumpa hari Jumat!”


Late post but happy reading, minna!
(☆/>u</)

15 Feb 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top