Bab 6

Setelah mendengar penjelasan dari Harith mengenai gulungan tersebut, Petapa Agung terdiam sekitar lima menit sambil membaca isi gulungan itu dengan matanya sendiri. Tidak hanya ia, Alucard dan Granger ikut terperangah mengetahui rahasia yang telah disimpan Leonin selama ratusan tahun ini. Bahwa segel yang menutup jalur masuk Dark Abyss ke Land of Dawn dibuat oleh para Elfcat tersebut. Secara turun-temurun diserahkan dan diajarkan. Sayangnya, sebelum melantik pewaris yang baru para iblis telah mengetahui rahasia tersebut dan memporak-porandakan desa Leonin demi menemukannya.

"Meski mereka menemukan sebagian dari lembaran ini pun sudah cukup. Iblis dengan kekuatan besar akan menguasainya, cepat atau lambat. Ini adalah masalah genting yang harus dilaporkan ke istana." Petapa Agung menatap tamu kemudian dua anak asuhnya satu per satu. "Kalian telah bekerja dengan baik. Selanjutnya serahkan padaku."

"Petapa Agung, kumohon, izinkan aku ikut membantu. Gulungan itu diserahkan kakek padaku. Karena itu ... aku ingin menanggung beban ini sampai titik terakhir."

Tatapan Harith dipenuhi dengan rasa bersalah dan keseriusan yang tidak goyah. Petapa Agung mengetahui bagaimana kekuatan sihir para Leonin yang legendaris itu. Sudah ratusan tahun para Elfcat itu tidak menampakkan diri, ia ragu leonin muda di hadapannya itu memiliki kekuatan yang sama hebat dengan dongeng yang selalu didengarnya saat masih kecil.

Alucard mengerti dengan niat Harith. Bagi seorang anak yang telah kehilangan keluarga selalu berharap memiliki sebuah cahaya harapan agar diri lebih berguna dari pada berdiam diri meratapi kepedihan hati. Sementara Petapa Agung seorang pria dengan kelembutan hati dan sedikit rasa tidak percaya jika belum tahu kemampuan seseorang. Pria itu lebih memercayakan misi pada mereka yang telah diakui kekuatannya. Jelas masalah kunci pembuka jalur Dark Abyss sangat genting, semua pendapat Petapa Agung ada benarnya. Hal ini bukanlah urusan mudah.

"Akan lebih efisien diserahkan pada raja dan kesatria kerajaan. Mereka lebih berpengalaman menangani para iblis."

"Kalau begitu aku akan belajar meningkatkan sihirku!" Harith tidak menyerah. "Aku janji akan mempelajarinya dengan cepat!"

Petapa Agung bergumam ragu.

"Kumohon!" Harith menundukkan badan begitu dalam.

Hanya menjadi pengamat membuat Alucard tidak enak hati. "Kau harus percaya dengan kalimat Petapa Agung." Ia menepuk pundak Harith, memintanya menegakkan badan. Namun leonin muda itu tidak mengindahkannya, menggeleng, bersikukuh dengan sikapnya. Alucard menatap Petapa Agung dengan hormat. "Saya tidak sekali pun ragu dengan semua kalimat yang Anda berikan. Saya setuju jika masalah ini diserahkan ke kerajaan. Meski begitu, yang paling banyak mengenal sihir ini hanya Harith. Setidaknya beri ia kesempatan untuk ikut serta dalam upaya menangani masalah ini."

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Petapa Agung menganggukkan kepala. "Baiklah. Masalah ini juga bisa dijelaskan lebih baik oleh Harith sendiri. Apalagi sihir Leonin sangat unik dari pada sihir yang kita miliki. Aku akan pergi melaporkan situasi ini pada raja ke istana langsung. Harith, kau boleh ikut. Kesempatan langkah melangkahkan kaki ke istana, bukan?"

Imingan itu menghapus kesedihan di mata Harith. Anak itu segera meluruskan punggung, menatap pria di hadapannya penuh harapan. Penggambaran rumah manusia yang sangat tinggi bernama istana itu tersusun-susun acak di benaknya. Jelas ia belum pernah melihat istana itu seperti apa, tapi dari cerita kakek ia bisa membayangkannya walau tidak jelas.

"Dengan syarat." Petapa Agung menunjuk Alucard. "Seandainya Harith diminta bergabung dengan barisan kesatria kerajaan, kau harus jadi pamongnya, Alucard."

Alucard terbelalak. Spontan ia teringat sosok pria yang dibecinya, Tigreal, yang sedang gencar mencari anggota kesatria baru. "Tunggu dulu, Petapa Agung. Jika Harith menerima ajakan tersebut, itu berarti aku...." Ia tidak mau melanjutkan kemungkinan besar itu.

Petapa Agung mengangguk. "Sebagai pamong tentu juga harus bergabung."

"Jelas-jelas kenapa aku harus jadi pamong Harith?" Alucard tidak mengerti dengan keputusan pemimpin Kuil Cahaya. Tanpa ia sadari, Harith telah memasang raut kecewa mendengarnya.

"Benar juga, Tuan. Aku tidak perlu dilindungi seperti barang langka." Harith mencoba menyimpan rasa kecewanya itu. "Aku lebih kuat dari yang Anda kira. Jadi tidak perlu menyusahkan Alucard karena aku. Aku sudah sangat bersyukur telah ditolong saat itu."

Alucard menyadari perasaan Harith hanya dengan nada bicaranya. Ia jadi serba salah. Sebenarnya ia tidak masalah menjadi rekan Harith di area perang, namun tidak dengan bergabung menjadi kesatria kerajaan. Karena sampai kapan pun ia tidak ingin bertatap muka dengan Tigreal.

"Aah, kau buat Harith patah hati," gumam Granger di sebelahnya yang selama ini hanya menjadi pendengar baik.

Kerut di dahi Alucard meringsing sebal. Teman yang diharapkan menemani dapat membantu malah mengeruhkan suasana.

"Syarat yang kuajukan tidak dapat diganggu gugat. Terima atau lepaskan kesempatan ini." Petapa Agung tidak memberikan pilihan lain. "Aku yakin, sebenarnya kau ingin membantu Harith, bukan, Alucard? Bagimu tidak ada masalah menjadi pamong atau sekedar menemani. Tapi kau enggan jika harus berurusan dengan Paladin Tigreal, kan?"

Semua terkaan Petapa Agung benar. Tampak dari raut muka Alucard mulai masam, membuang muka karena enggan memperlihatkan ekspresi itu di hadapan pemimpin tertinggi Kuil Cahaya.

Harith mengadahkan pandangan pada Alucard. "Raut itu lagi," gumamnya teringat ekspresi itu pernah dilihatnya saat Alucard menceritakan apa yang terjadi pada orangtuanya.

"Jangan biarkan hatimu dipenuhi kebencian Alucard. Kau tidak akan pernah melangkah maju jika terus terperangkap masa lalu."

"Anda sengaja?" tanya Alucard penuh selidik. Rasa hormat di matanya telah menghilang seketika pada pria yang sudah mengasuhnya. "Apa orang itu meminta Anda mengeluarkanku dari serikatan ini?"

Petapa Agung tidak pernah kehilangan ketenangannya. Ia sudah terbiasa dengan pemberontakan anak-anak asuhnya. "Kau bebas memilih jalanmu sendiri, Alucard. Prestasimu juga sangat bagus sebagai Pemburu Iblis. Hanya saja, keterampilanmu sangat disayangkan jika terus tertahan dalam misi pemburu. Kau dapat berkembang lebih baik jika menjadi kesatria kerajaan. Kau akan lebih kuat di sana jauh dari perkiraanku selama ini. Sebagai anak yang telah tumbuh dewasa, aku tahu kau bisa memikirkannya lebih matang dan mengesampingkan perasaan. Semua ini demi kedamaian tanah kita, Moniyan, Land of Dawn. Demi Raja Cahaya."

Alucard membatu di tempat, membuang muka dengan mulut terkunci rapat. Harith tidak tahu harus bicara apa, ia ingin membela Alucard karena tidak ingin direpotkan, tapi ia tahu bahwa percakapan keduanya jauh dari yang diketahuinya. Sebagai orang luar ia hanya bisa diam. Sementara Granger tetap diam, berdiri santai dengan kedua tangan dilipat ke dada.

"Aku tidak memberimu waktu untuk menimbangnya, Alucard. Karena hari ini aku akan pergi ke ibukota, melaporkan semua misi kali ini." Petapa Agung menyerahkan gulungan di tangannya pada Harith kembali. "Tanpa Alucard, kau akan ikut denganku. Bersiaplah dalam waktu lima belas menit. Akan kutunggu di depan gerbang selatan."

Harith mengangguk gugup.

Alucard melangkah keluar ruangan terlebih dahulu tanpa disuruh. Ketegangan suasana membuat Harith bingung harus berbuat apa. Granger membaca situasi, setelah memberikan salam pamit ia mengajak Harith meninggalkan ruang pribadi Petapa Agung. Ia menutup pintu yang dibiar Alucard terbuka lebar. Keduanya berjalan dengan suasana hening.

Sinar matahari dari timur telah menguasai langit, cahayanya menerangi seluruh lorong yang dilalui. Harith memicingkan mata. Langkahnya terhenti, lalu menghadap ke arah sinar memancar. "Kenapa langit di sini begitu cerah?" gumamnya terheran-heran.

Granger berdiri di sampingnya. "Mungkin karena selama ini kau tinggal di bawah bayang-bayang pohon. Enchanted Forest begitu asri hingga pepohonan sangat lebat, cahaya matahari saja sulit menyelinap ke dalamnya."

"Ah, perkiraanmu mungkin benar adanya." Harith tidak menolak pendapat Granger. "Tapi aku sangat menyukai tempat itu."

"Siapa saja tentu menyukai rumahnya sendiri, meski tidak semegah milik orang lain. Bukan karena telah mengenal hingga nyaman sejak lahir, tapi karena ada orang yang menyambut kita pulang."

Harith ingat kembali kondisi para Pemburu Iblis di Kuil Cahaya. Mereka semua telah merasakan kehilangan seperti yang ia rasakan saat ini. Bahkan hingga kini mereka tetap menyimpan perasaan itu sebagai alur cerita hingga sampai pada pencapaian mereka kini. Termasuk Alucard dan pria yang berdiri di sampingnya kini.

"Kudengar dari Alucard sendiri, orangtuanya dulu seorang kesatria kerajaan. Mereka gugur dalam menjalankan misi. Apa karena itu ia benci dengan kesatria kerajaan?"

"Hampir tepat. Tapi bisa dibilang kurang dari itu. Kau tahu ceritanya sampai mana?" tanya Granger penasaran.

"Hm, orangtuanya berkorban demi seorang kesatria. Hanya beberapa kesatria yang pulang dengan selamat."

Granger bergumam pelan. "Dia tidak memberitahu siapa kesatria yang diselamatkan orangtuanya? Yah, aku tahu alasannya. Ia enggan menyebut nama pria itu. Dia sekarang ini dikenal sebagai jenderal tertinggi, memegang kuasa penuh atas kesatria kerajaan. Namanya Tuan Tigreal. Paladin Tigreal."

Harith terkejut mendengar nama yang sama disebut Petapa Agung. "Karena itu Alucard...."

"Begitulah," jawab Granger singkat. Harith kembali terdiam, tidak tahu harus bertindak apa. "Jangan terlalu dipikirkan. Itu semua urusan pribadi Alucard. Tugasmu saat ini mengikuti semua perintah Petapa Agung. Itu sudah cukup."

Harith mengangguk setuju. "Aku ingin secepatnya menemukan rasku. Membawa mereka kembali."

"Dan kini kau sudah ada di jalan yang tepat menemukannya," jawab Granger menguatkan tujuan Harith.

Harith menyunggingkan senyum. Jauh di lubuk hati ia sangat bersyukur telah dibawa Alucard ke Kuil Cahaya. Dirinya yang tidak berdaya setelah kehilangan keluarga dan seluruh ras telah ditolong oleh perkataan Pemburu Iblis itu. Ia pun menemukan tujuan kuatnya untuk hidup kembali. Karena itu melihat Alucard terpuruk membuatnya sedih karena tidak bisa melakukan apa pun. Walau begitu ia memantapkan hati, seandainya bertemu dengan sebuah celah yang dapat membantu Alucard, ia tidak akan ragu memanfaatkannya dan mengulurkan tangan kepada sang penolongnya.

Tidak banyak hal yang disiapkan Harith dalam perjalanan singkat kali ini. Selain gulungan yang diberikan kakeknya, kemantapan hati yang ia teguhkan. Ia akan pergi ke pusat kerajaan manusia, tentu saja akan banyak manusia yang akan ditemuinya. Ada perasaan cemas menyusup ke batin, takut manusia risi melihat ekor dan telinganya—atau malah menertawakan fisiknya itu. Ia kembali ke kamar sekedar menukar pakaian. Bajunya yang telah compang-camping akibat petarungan dengan curt diganti oleh pelayan dengan yang baru. Jauh lebih 'kemanusiaan' dan elegan dari pada baju kulit yang selama ini dikenakan rasnya. Ia bahkan hampir meloncat kegirangan di kamar seorang diri sebelum mengenakannya. Baju dengan bahan dasar kain dengan jahitan yang tidak bisa ia jelaskan merupakan impian terpendamnya.

Harith lebih dahulu tiba di gerbang selatan. Ia merenung berbagai kemungkinan yang akan ditemuinya nanti di ibukota. Tidak lama Petapa Agung hadir diiringi para pelayan kuil yang membawa persiapannya. Kereta kuda pun tiba di waktu bersamaan.

"Sudah siap?" tanya Petapa Agung.

Harith mengangguk mantap.

Petapa Agung tersenyum. Ia mengedarkan pandangan dan berhenti pada seseorang yang tengah berjalan menujunya. Senyumnya sekali lagi mengembang. Mata Harith mencelang senang kala Alucard menampakkan diri.

Alucard berkacak pinggang agar tidak tampak canggung, tapi matanya melirik malu-malu dengan kedua alis mata naik. "Aku yang bawa Harith ke sini, tentu ia jadi tanggung jawabku. Selain itu, meski anak ini berbakat, belum tentu langsung diminta menjadi kesatria kerajaan."

Harith melipat tangan ke dada, bersungut-sungut. "Kau meremehkanku."

Alucard tergelak sesaat. "Ya, kuakui kau sangat hebat mengalahkan empat curt. Cukup memuaskan." Ia tidak peduli Harith menggeram bagai kucing, lalu menunjuk pelayan paling muda. "Bawakan seekor kuda untukku. Atau kalau kau menemui Hex, suruh ia yang membawakannya."

"Baik, Tuan." Pelayan itu segera berlari kembali ke dalam melaksanakan permintaan Alucard.

"Padahal aku tidak keberatan berbagi tempat di bilik keretaku," ujar Petapa Agung.

Alucard menaikkan bahu. "Bisa-bisa aku tertidur sepanjang perjalanan," ujarnya mencoba bergurau. Walau sebagian maksud perkataannya jujur bahwa ia bisa mati kebosanan duduk di antara pria tua dan anak-anak selama tiga puluh menit.

Petapa Agung tertawa, tidak sangka Alucard yang dikenalnya sebagai anak yang terlalu serius bisa melontarkan candaan. Ada perubahan yang ditunjukkan anak asuhnya itu, perubahan dalam hal baik. Ia tidak yakin sejak kapan. Yang terpenting ialah Alucard tidak lagi digerakkan oleh keegoisan.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top