Bab 5
Alucard terjebak dalam situasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kedai makan dengan penerangan remang. Asap tembakau yang menyebar bebas di ruangan. Suara bising dari para pelanggan yang bicara pada kelompok meja masing-masing. Dan ia sendiri ada di antara satu kelompok pemburu yang telah kembali dari misi. Bagi ia yang tidak biasa pergi makan beramai-ramai ini sangat ganjil. Biasanya ia akan menolak ajakan, tapi kali ini Kean mendesak. Dan entah kenapa ia tidak bisa berkata 'silakan pergi tanpaku' seperti biasa. Ditambah Granger ikut serta, karena itu setidaknya ada dua orang yang tidak asing duduk di sekitarnya.
Ia melihat Si Pendiam Granger yang dengan tenang membalas pembicaraan yang dilontarkan padanya. Julukan pemuda itu seakan tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Ia pikir Granger sengaja menutup mulut dengan mengenakan pakaian berkerah tinggi sebagai penanda tersirat sungkan bercakap-cakap. Namun tampaknya gaya berpakaian itu sekedar gaya saja, tidak ada maksud dibaliknya. Walau memang sejak pertama mengenal Granger, pemuda itu sangat pendiam dan hanya menjawab satu-dua kata saja. Melihat perubahan Granger membuatnya berpikir dua kali untuk membuka hati pada orang-orang sekitar. Salah satu caranya dengan situasinya saat ini, menerima ajakan makan bersama agar mengenal lebih jauh rekan-rekan yang hanya ia ingat nama dan wajah.
Minum-minuman keras dan makanan memenuhi meja bundar kelompok pemburu. Pembicaraan tidak jauh dari cerita misi masing-masing. Pengalaman yang dialami berbeda setiap tim menjadi bahan yang hangat dilontarkan. Mereka tidak membanggakan keberhasilan, melainkan melepas penat setelah bertarung dengan para iblis.
"Smilodon itu sangat buas, mereka tidak bersahabat begitu kita tiba. Tapi saat kita bertarung melawan iblis, mereka mengerti bahwa kita memiliki musuh yang sama."
"Mereka kucing yang sangat kuat dan pintar. Jika tidak mungkin kita sudah terkoyak layaknya iblis-iblis itu."
"Yang lucunya, Duex ditaksir sama Smilodon betina! Ia telah memancarkan aura-aura minta dikawinkan!"
"Sial! Gara-gara kau bilang merelakan rekan agar berbahagia, hampir saja aku ditinggal. Smilodon itu tidak mau melepaskanku, tahu! Dasar memang teman baik!"
Mereka tertawa lepas, tidak peduli dengan pendapat sekitar. Sebab pelanggan lain juga tidak kalah berisik dengan suara mereka.
"Tapi kalian berkomunikasi dengan Smilodon, kan? Itu pengalaman langka yang tak datang dua kali! Setelah ini aku yakin mereka akan menerima kehadiran manusia sebagai rekan."
"Kean, bisa-bisanya kau bicara bijak seakan lebih senior dariku?" Pria bernama Deux itu merangkull eher Kean, berpura-pura mencekiknya dengan gemas. Kean memukul-mukul lengan yang kekar itu, berharap dilepas segera karena ia memiliki saraf sensitif di sekitar leher. "Menemukan Leonin itu juga langka. Bagaimana keadaannya sekarang?"
Tawa Kean terhenti, kemudian melirik senior satu timnya. Semua pandangan kini tertuju pada Alucard.
"Well," Alucard berdeham sesaat, mengatur nada bicara agar tenang dan terdengar bersahabat, "kondisinya sudah semakin baik. Hanya saja belum bisa diajak bicara."
"Kita perlu memberinya cukup ruang untuk merenung. Ia sudah kehilangan seluruh ras dan keluarga yang dicintainya. Tentu berat menerima kenyataan." Granger ikut bicara. Alucard mengangguk setuju.
"Tapi, kalau kelamaan kita juga repot membuat laporan ke atas, kan?" Kean mengingatkan.
"Kau lupa, yang membuat laporan itu siapa?" Alucard menimpali Kean.
Pemuda itu terkekeh malu sambil menundukkan kepala. "Kapten tim."
"Jangan khawatir. Semuanya bisa kuatasi," jawab Alucard percaya diri.
Meski berkata demikian, sebenarnya kalimat Kean ada benarnya. Sudah dua hari ini Leonin muda bernama Harith itu mengurung diri di kamar yang diberikan khusus untuknya. Tidak sepatah pun menjelaskan apa yang telah terjadi pada rasnya. Ia tidak bisa mendesak hanya dengan alasan masalah pekerjaan. Karena bagaimana pun seorang anak kehilangan keluarga bagai kehilangan seluruh dunia. Pandangan menjadi gelap, tidak peduli dengan siapa pun atau apa pun yang akan menghadang. Mereka kehilangan arah, enggan untuk hidup.
Alucard mengerti perasaan Harith karena ia juga mengalaminya. Ia melihat para pemburu—rekan seprofesi, lalu mengoreksi pendapatnya. Tidak hanya ia yang berduka kehilangan keluarga, pada awalnya setiap individu Pemburu Iblis adalah kumpulan anak yatim-piatu yang memulai kehidupan dengan pilihan yang diberikan. Tidak diragukan lagi, mereka paham dengan konteks 'kehilangan'.
Acara makan bersama berakhir hampir tengah malam. Kebanyakan dari mereka pulang dalam keadaan mabuk. Alucard sendiri kewalahan membopong Granger yang tidak disangka kalap hanya minum beberapa deguk bir. Kean yang lebih muda dari mereka sanggup menghabiskan tiga gelas besar dan masih bisa berjalan sendiri. Pemuda itu menertawakan kelemahan Granger, tanpa ada niat membantu Alucard memanggul sebelahnya.
Begitu tiba di kamar, Alucard menghempaskan tubuh ke kasur. Baginya acara makan bersama itu lebih melelahkan dibanding pergi menjalankan misi. Ia tidak tahu mengapa merasa demikian. Padahal ia hanya duduk di tengah keramaian, mendengarkan cerita hingga ocehan tidak jelas dari mereka yang telah mabuk, minum dan makan seperlunya, sama sekali pekerjaan yang tidak mengeluarkan banyak energi. Meski begitu tubuhnya penat-penat. Senyum terbit di wajahnya, mengingat betapa lucu melihat orang-orang mabuk saling membuka aib rekan saat di lapangan. Kini ia paham mengapa Granger tidak lagi menolak ajakan makan malam bersama. Karena kebersamaan dengan rekan itu lebih baik dari pada sendirian. Terasa hangat dan nyaman layaknya ... keluarga.
Alucard tercenung dengan pendapat yang tiba-tiba timbul di benaknya. Ia baru sadar bahwa selama ini ia tidaklah sendirian. Walau kedua orangtuanya telah tiada, mengganggap di dunia ini sudah tidak ada lagi tempat untuknya bernaung, ia sudah salah. Karena di Kuil Cahaya ini menjadi rumahnya yang baru, dengan Petapa Agung, para rekan pemburu, dan seluruh penghuni yang ada ialah keluarga baginya.
⨳
Salah satu pelayan Kuil Cahaya, anak laki-laki berusia sepuluh tahun, membawa nampan berisi sarapan untuk tamu mereka. Ia telah memanggil dan mengetuk pintu beberapa kali, namun sang penghuni kamar tidak jua membukakannya.
"Bagaimana ini?" Ia kewalahan. Walau ini bukan kali pertama tapi tetap saja ia tidak tahu cara membujuk agar tamu itu menerima makanan yang dibawakan untuknya. "Harith, kuletakkan sarapanmu di depan pintu ya?"
Saat hendak meninggalkan nampan, anak itu menyadari kehadiran seseorang. Ia langsung menundukkan badan dengan hormat pada Sang Pemburu Iblis. "Selamat pagi, Tuan Alucard."
"Pagi, Hex." Alucard menunjuk nampan dengan tatapan mata. "Sarapan untuk Harith?" Hex mengangguk. "Biar kuberikan."
"Tapi, Tuan...." Anak itu enggan menyerahkan tugasnya pada seorang pemburu yang statusnya lebih tinggi dari pelayan.
Alucard mengambil alih nampan itu, lalu sebelah tangannya menepuk pundak Hex lembut. "Kau pasti ada pekerjaan lain, kan? Serahkan di sini padaku."
Melihat pertolongan tulus itu membuatnya mengangguk patuh. "Terima kasih, Tuan Alucard. Saya pamit undur dulu." Anak laki-laki itu pun melangkah pergi, hendak ke belakang kuil untuk mencuci pakaian.
Alucard mengetuk pintu dua kali dan membukanya tanpa basa-basi. Di dalam tampak gelap. Sudah pukul tujuh, Leonin muda itu enggan membuka jendela agar cahaya pagi masuk menerangi kamar. Sementara anak itu terlelap dengan kondisi duduk di ujung kasur. Alucard meletakkan nampan di atas meja, beranjak ke jendela untuk membukanya. Suara yang timbul karena pergeseran kayu membangunkan Harith. Anak itu memicingkan mata kala sinar matahari menerobos paksa memenuhi ruangan. Kehangatan dan semilir angin segar menjalar dari udara sampai ke seluruh indera, menyadarkannya dari mimpi. Alucard mendapati anak Leonin itu bangun dengan air mata tak henti mengalir.
"Ini hari ketigamu di sini. Walau aku tahu perasaanmu, tapi tak ada waktu untuk terlalu lama larut dalam kesedihan."
Harith bersungut, memeluk diri. "Aku tahu."
Dia membalas kalimatnya, pertanda baik bagi Alucard. Ia yakin kali ini Harith bisa diajak bicara. Perlahan kakinya beringsut mendekat, duduk di sisi ranjang dengan tenang. Setelah makan bersama semalam, ia berkeinginan membuka pikiran Harith agar lebih bertindak lebih baik ke depannya. Jika tidak diberi arahan, Leonin muda itu dikhawatirkan akan salah memilih jalan dan terpuruk dalam kesedihan dan kebencian lebih jauh.
"Sebelumnya sudah kukatakan, kau ada di Kuil Cahaya." Alucard membuka percakapan.
"Yang jauh dari ibukota Moniyan," balas Harith, sangat ingat penjelasan Alucard saat pertama kali siuman di kuil itu. Bahwa ia terluka berat, hampir kehilangan nyawa karena racun dari ekor curt, dan ditangani oleh medis yang tinggal di Kuil Cahaya.
"Kuil ini tidak sekedar tempat Pemburu Iblis berlatih. Bangunan ini menampung kami dari penyisihan dunia setelah kehilangan keluarga."
Harith spontan menegakkan punggung, terkejut mendengar pernyataan Alucard. Ia termangu, berbicara pada diri sendiri bahwa ia tidaklah 'sendiri' mengalami kepedihan dari kehilangan keluarga. Merasa dirinya egois karena tidak menenggang perasaan para pemburu yang telah menolongnya, terutama pada pria yang sedang bicara padanya.
"Apa kalian juga terpuruk sepertiku?" tanya Harith lirih.
"Cerita setiap kami berbeda, tapi perasaan kehilangan tetap sama. Aku bisa bilang masa laluku jauh lebih buruk dari yang kau alami."
"Maksudmu?" Harith menunjukkan rasa tertarik untuk mendengarkan sebuah cerita.
Alucard terperangkap oleh pembicaraannya sendiri. Ia enggan membicarakan masa lalu, tapi iba dengan tatapan Harith yang kini memancarkan cahaya kehidupan kembali. Jika menolak untuk membicarakannya, kemungkinan sorot mata itu kembali meredup. Tidak ada pilihan lain selain menceritakannya.
"Saat seusiamu, mungkin lebih muda atau lebih tua setahun-dua tahun darimu kini, kedua orangtuaku tergabung dalam sebuah misi tingkat menengah. Mereka ... Kesatria Kerajaan Moniyan, kebanggaanku. Aku kecil selalu bercita-cita menjadi seperti mereka, berharap setelah dewasa dapat pergi bersama mereka, menjalankan misi dan saling membantu. Namun..., singkat cerita—biar kupersingkat karena bisa terlalu panjang—di tengah ekspedisi para iblis menghadang. Mereka kalah jumlah. Kapten menyuruh para kesatria mundur. Harusnya begitu. Tetapi seorang kesatria malah menghadapinya, terlalu percaya diri dapat menanganinya seorang diri. Walau itu terlalu gegabah, orangtuaku malah bertukar tempat dengannya dan...."
Harith membeku, membalas tatapan Alucard dengan iba. Menunggu lanjutan cerita.
"Mereka pulang tinggal nama."
Harith tidak tahan dengan perasaan bersalah tertumpuk di dada, hingga menundukkan pandangan. Pemburu di hadapannya memberi tatapan seakan masa lalu sebuah tragedi yang terjadi dan membiarkannya berlalu. Namun agak aneh, ada setitik rasa tidak suka saat menceritakan alasan orangtuanya berkorban. "Apa ... kau dendam pada kesatria yang ditolong orangtuamu?"
Alucard terkejut dengan terkaan Harith. Hanya cerita tidak detail tapi Leonin muda itu seakan dapat menerawang perasaannya. Ia menoleh pandangan keluar jendela. Awan yang terbentuk di langit biru bagai lukisan berbingkai sederhana di sana. Tampak di luar begitu tentram, sangat bertolak belaka dengan perasaannya kala membicarakan masa lalu.
"Mungkin," jawab Alucard singkat, kemudian mengoreksinya cepat. "Tapi aku lebih membenci para iblis yang telah merenggut mereka dariku."
Sejenak keduanya membisu, sibuk dengan pemikiran sendiri.
"Aku menyesal pulang terlambat." Harith membuka mulut. Suaranya terdengar bergetar pelan.
"Andai tiba di rumah lebih cepat, aku dapat menolong mereka. Setidaknya kakek."
"Menurutku, jika kau ada di sana saat kejadian, kemungkinan besar kau juga tidak selamat."
"Itu lebih baik—"
"Kakekmu tidak akan setuju dengan pemikiranmu itu," jawab Alucard sangat yakin. "Mereka yang rela mengorbankan diri demi orang lain selalu berharap dengan tulus akan keselamatannya. Kau ada di samping kakekmu sampai akhir napasnya, kan?" Harith mengangguk pelan. "Pasti ia senang kau baik-baik saja. Jangan menyia-nyiakan harapan kakekmu."
Harith sontak teringat dengan pesan terakhir kakeknya. Selama ini ia sempat melupakan—bahkan tidak peduli sama sekali. Benda yang ditinggalkan padanya itu dikeluarkan dari saku celana. Gulungan itu tampak lusuh tapi sangat kuat, tidak robek sedikit pun. Ia merentangkan kertas tersebut, tertulis mantra-mantra dari bahasa yang hanya dimengerti oleh leonin.
"Apa isinya?" tanya Alucard tertarik dengan gulungan tersebut.
Harith mencoba membacanya. Bahasa Leonin lama itu tampak tidak jauh beda dengan bahasa kesehariannya, tapi ada beberapa huruf yang tidak dimengertinya. Matanya terbelalak begitu membaca keseluruhan dan menerka maksudnya. "Ini...." Ia baru ingat mengapa kakeknya menyuruh pergi ke Kerajaan Moniyan. "Kumohon, tolong temani aku ke kerajaan! Pertemukan aku dengan orang penting di sana!"
Raut Harith tampak serius, tidak dibuat-buat. Ia menerka pasti ada hubungannya dengan gulungan itu, sangat penting hingga harus bertemu dengan orang berkedudukan tinggi di kerajaan. "Aku sangat penasaran, tapi kau akan kesulitan menjelaskannya dua kali pada mereka, kan?" Alucard mengangguk paham. "Tidak perlu ke ibukota, di sini pun kau bisa menemui orang kepercayaan raja. Kuil ini dipimpin oleh pria yang kami panggil dengan Petapa Agung."
Bagai menemukan harapan, ekspresi Leonin muda itu kembali cerah. "Kalau begitu—"
"Jangan terburu-buru, Anak Muda. Kau punya tugas penting sebelum bertemu dengan Petapa Agung." Alucard menunjuk sarapan yang telah dingin. "Isi perutmu terlebih dahulu. Aku tidak ingin kau pingsan di tengah penjelasan karena tidak bertenaga."
Untuk pertama kalinya Harith tersenyum, meski kedua ujung bibir tertarik ke atas karena malu. "Baiklah."
"Dan juga obatnya," tambah Alucard, mengingatkan.
"O-oke...," Leonin muda itu bersungut, lupa harus minum air yang begitu pahit segelas penuh.
"Sementara aku akan bicara pada Petapa Agung, meminta waktunya untuk bicara denganmu. Tetaplah jadi anak baik sampai aku kembali."
Harith mengangguk paham. Alucard tersenyum senang saat Leonin itu mulai menyendok bubur dan memakannya. Ia melangkah pergi meninggalkan kamar Harith. Langkahnya agak berat kala harus mengganggu waktu orang paling berpengaruh di Kuil Cahaya. Karena selama ini yang bertemu dengan Petapa Agung tanpa dipanggil hanya para pemburu senior. Ia yang belum pantas menganggap diri sebagai senior tapi juga bukan lagi junior dalam pekerjaannya itu ragu melangkah sendirian ke ruang pribadi Petapa Agung.
Di tengah jalan ia melihat Granger yang tengah berjalan ke arahnya. Ia memasang senyum untuk memikat teman akrabnya itu. Seakan tahu apa yang dikehendaki Alucard, Granger dengan gerakan halus membalikkan badan.
"Oh, ayolah, Teman! Jangan kabur sebelum aku memohon." Alucard menangkap pundak Granger agar tidak kabur.
Granger menghela napas gusar. Ia pun menurut tanpa mengeluarkan keluhan. "Ke mana?"
"Menemui Petapa Agung."
Granger mengangguk begitu saja. "Lebih baik dari pada pertemuan kencan buta."
Alucard tercenung. "Siapa yang mengajakmu?"
"Kean."
Alucard menarik tangannya. Merasa waktunya tidak tepat meminta bantuan sang penembak jitu di Kuil Cahaya. "Oh, maaf."
"Tidak. Justru aku berterima kasih." Granger berjalan terlebih dahulu. "Tampaknya urusanmu lebih penting dari pada—hm, apa namanya, ya? Menggoda wanita?"
Alucard tertawa. Ia tidak sangka kepolosan pemikiran Granger dapat menghiburnya—meski kalimat barusan jauh dari kata meng-hibur-nya. Keduanya berjalan beriringan. "Ya, tidak salah lagi urusan 'ini' sangat penting dari pada menggoda anak gadis orang."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top