Bab 4
Kedua mata Leonin muda terbelalak. Seluruh tubuhnya bergemetar hebat kala melihat seluruh rumah di desanya dilalap api dengan rakusnya. Sementara itu ia tidak melihat seorang pun Leonin di luar area kebakaran sebagai yang selamat dari kobaran api tersebut.
"Ke mana seluruh Leonin?"
Dengan sekuat hati ia menerobos di antara api yang menari-nari, membumbung tinggi sampai ke pohon, mencari setidaknya satu-dua eksistensi Leonin lainnya. "Teman-teman! Semuanya! Siapa saja, jawab panggilanku!"
Ia berlari ke sana-sini, mendekati pintu dan jendela yang terbuka, terus berusaha mencari siapa saja yang bisa diselamatkan. Pada salah satu depan rumah tercecer darah. Ia langsung mengikuti jejak darah tersebut. Sayangnya terputus beberapa langkah saja.
"Benar juga. Kakek!" Tanpa mengulur waktu, ia lebih memastikan kondisi satu-satunya keluarga. Tidak beda halnya dengan rumah lain. Dengan nekad ia menerobos masuk ke rumahnya. "Kakek! Kakek!"
Langit-langit berderak. Ia tahu rumahnya tidak dapat lagi berdiri. Dengan cepat ia menelusuri setiap sudut ruangan—memastikan tidak ada seorang pun yang terjebak, lalu melompat keluar sebelum atap menghimpitnya. Ia keluar lewat pintu belakang. Di sana ia menemukan jejak kaki yang diyakini persis milik kakeknya.
Ia ingat di balik semak-semak tidak jauh dari rumahnya itu, ada sebuah pohon dengan lubang yang sangat cocok untuk bersembunyi. Ia sering mengumpat di sana untuk mengerjai kakeknya saat kecil dulu. firasatnya mengatakan kakek ada di sana. Semoga.
Benar dugaannya. Selangkah dari pohon itu ia dapat merasakan sihir perlindungan yang familier. "Kakek, ini aku, Harith!" Ia meretas sihir pelindung itu, mendekati lubang pohon. Matanya terbelalak begitu menemukan Leonin tua penuh luka memar dan darah mengalir dari kepala dan dadanya. "Kakek...."
Leonin muda itu segera merangkul sang kakek, memastikan denyut nadi. Lemah, tapi ia yakin bisa membawanya pergi ke desa sebelah untuk diobati. "Tunggulah, kakek. Aku pasti akan—"
Leonin tua itu membuka mata, menepuk lunak tangan sang cucu. "Harith...."
"Iya, Kek. Harith! Siapa yang telah berbuat seperti ini pada kakek dan desa kita?"
"Cucuku, waktuku sudah tidak banyak...," Leonin tua itu menolak kehendak Harith membawanya keluar dari lubang. Suaranya terdengar sangat lemah. "Dengarkan kalimat terakhirku."
"Apa yang kakek katakan! Aku bisa bawa kakek pergi dari sini! Nanti saja penjelasannya—"
"Tidak, Harith. Sudah tidak ada waktu." Kakek mengeluarkan sebuah gulungan yang tersimpan di balik bajunya. Tanpa menjelaskan gulungan itu apa, ia ulurkan ke Harith. "Tujuan mereka adalah kunci untuk membuka luas jalur Dark Abyss. Mereka ingin melepaskan Raja Kegelapan, menjarah Land of Dawn sekali lagi."
Harith termangu. "Jangan bilang, desa kita hancur ... perbuatan para iblis?" Mereka datang. Ke tanah kita.
Selama ini ia tidak pernah mendengar cerita para iblis dari Dark Abyss dapat menyelinap ke desa Leonin. Mereka yang terus-menerus mengisolasi diri dari ras mana pun dan selama ini hidup dengan tenteram. Karena desanya dikelilingi oleh sihir pelindung yang setiap hari selalu diperiksa dan tidak pernah hancur. Tidak berarti jika sihir pelindung melemah dan para iblis dapat melacak keberadaan desanya.
Harith tahu penyebabnya. Itu karena kakeknya sudah semakin tua. Sudah sepantasnya ia menggantikan posisi kakek melindungi ras Leonin. Tetapi ia selalu menolak karena lebih ingin berpetualang dari pada berdiam diri di desa kecil. Ia mulai menyalahkan diri sendiri.
Leonin tua itu menepuk punggung tangan cucunya. "Harith. Mereka berhasil mendapatkan satu gulungan dariku. Pergilah dari sini dengan sisa gulungan ini. Bawa jauh-jauh kunci ini sebelum mereka mendapatkannya." Ia terbatuk-batuk, memuntahkan darah yang menodai bajunya.
Harith terperenjat dalam hati. "Kakek!"
Kali ini Leonin tua itu menggenggam erat tangannya. "Berlindunglah ke kerajaan! Di sana tempat teraman dari tempat mana pun."
"Kalau begitu aku bawa kakek ke sana—"
"Sudah tidak ada waktu, Harith! Aku tak bisa bertahan.... Larilah...." Kedua mata Leonin tua itu semakin redup. Napasnya semakin pelan. "Maaf, cucuku tersayang ... kau menanggung ... beban berat.... Pergilah.... Kumohon, tetaplah ... hidup...."
Genggaman erat itu mengendur, terjatuh bebas ke tanah. Mulutnya tertutup rapat setelah menyampaikan permohonan terakhir. Dengan mata hampir tertutup. Harith menyaksikan akhir hayat terakhir kakeknya. Kepalanya menggeleng berkali-kali, dengan wajah pasi dan suara tercekat memanggil-manggil, ia menggoyangkan pelan jasad kakeknya. Air matanya lebih dahulu melesat turun dari suara hati yang ingin berteriak keras. "Ka..kek...."
Tangisnya terhenti begitu merasakan aura jahat mendekat. Ia menoleh saat terdengar kikikan jahat di belakangnya. Iblis laknat!
Tanpa memberi waktu berduka, iblis ras curt itu melesatkan cakarnya untuk memotong pohon. Harith menunduk dalam-dalam agar tidak kena tebasan. Saat ekor curt melayang di atasnya, dengan cepat ia membopong jasad kakek dan diri menjau dari para iblis. Harith menghitung curt di depannya. Lima ekor. Ia membaringkan jasad sang kakek, menghadapi kelima curt itu dengan sihir yang ia bentuk dikedua tangannya. Masing-masing bola sihir itu menghempas dua curt. Ia lakukan berkali-kali pada curt yang mendekat. Tiganya tumbang, tinggal dua ekor.
Dua curt ini bertubuh lebih besar dari yang lain. Tebasannya lebih cepat hingga membuat Harith kewalahan. Salah satunya maju dengan meluncurkan sengatan ekor. Harith melompat ke belakang. Ekor tajam itu tepat menancap ke batang pohon, ia kesulitan menariknya lagi. Kesempatan itu diambil Harith untuk memberi pembalasan. Ia menerjang dengan sihir pelindung yang kuat mengelilingi tubuhnya, melempar dua bola sihir dengan kekuatan dua kali lebih besar dari sebelumnya. Sihir itu mengenai kepala curt dan melubanginya.
Tinggal sa—
Harith lengah! Ia ingat tinggal satu curt yang harus dihadapi, tapi ia tidak sadar akan keberadaannya. Curt terakhir melayangkan sengatan ekornya tepat di balik punggungnya. Harith sempat merefleks sebelum jarum sengatan itu merobek tubuhnya, tapi responnya agak terlambat. Sengatan itu melukai lengan kirinya. Meski sedikit, racunnya telah merambat di balik kulitnya, mengalir di darah dengan cepat. Harith kehilangan keseimbangan. Tubuhnya oleng ke kanan-kiri karena bersikeras untuk berdiri tegak. Ia berjanji pada kakek untuk hidup. Ia tidak ingin mati sebelum membalaskan dendam seluruh rasnya. Meski begitu, ia telah merasa mual, dengungan di telinga begitu hebat, pandangannya mengabur, kepalanya begitu sakit seakan ada yang menusuk dengan pisau pipih nan tajam.
Curt di depannya tertawa lepas. Ia sangat menikmati ekspresi lawan yang berusaha untuk melawan kematian. Raut yang tidak ingin kehilangan harapan namun sayang kondisinya sudah tidak bisa diselamatkan. Ia malah bermain-main, menendang Leonin muda itu hingga terjerembab di tanah, menamparnya ketika bangkit, memukul perutnya hingga muntah darah.
Harith mengumpulkan sisa tenaga dan sihir yang ia punya. Sayang, desanya yang biasa dilimpahi oleh aliran mana ini tidak lagi dapat ia rasakan meski sedikit—yang mungkin dikarenakan aliran energi kehidupan di sekelilingnya sudah hangus dilalap api.
Kakek, maaf....
Tawa curt itu menghilang kala melihat semangat kecil yang tercermin di mata Harith menghilang. Ia kecewa karena mainannya telah rusak. Sebelum santapannya dingin, ia memutuskan akan menghisap darah Leonin muda yang begitu segar itu. Belum sempat tangannya menggapai Harith, tubuhnya telah terbelah dua. Serangan dari belakang yang tidak disadarinya. Ia tidak sempat bersuara, apalagi memastikan siapa yang menghabisi nyawanya.
"Membusuklah di neraka, wahai iblis terkutuk."
⨳
Alucard segera turun sebelum kudanya berhenti karena takut dengan api yang menjalar sampai ke pohon-pohon. Ia segera melangkah ke area pemukiman yang terbakar. Kean hanya menganga dengan reaksi cepat seniornya itu. Ia yang membawa dua kuda menjauhi api sebelum menyusul.
Alucard terheran-heran. Ia yakin rumah-rumah yang hanya setinggi dua meter itu milik para Leonin—tidak salah lagi pemukiman yang terbakar ini tempat tinggal mereka. Anehnya tidak ada seorang pun di tempat perkara. Bahkan tubuh yang tidak sempat menghindar dari keganasan api. Ia menerka bahwa para Leonin telah pergi sebelum kebakaran terjadi.
"Apa itu mungkin?" Ia tidak yakin.
"Alu!" Kean berhasil menyusulnya. "Sial, panas sekali." Ia melihat sekeliling, ikut menyadari apa yang dipikirkan Alucard. "Ke mana para penduduk?"
"Apa kau pikir mereka pergi begitu saja, membiarkan api menghanguskan rumah mereka?" Alucard menguji analisis Kean.
"Jika dibiarkan begitu saja, mereka tidak punya tempat tinggal lagi, kan? Apa mereka punya pemukiman baru?" Kean tidak habis pikir.
"Tidak dengan cara seperti ini," jawab Alucard yakin. "Tempat ini milik para Elf—meski aku tidak yakin ras apa, tapi mereka bukan makhluk yang suka merusak lingkugan."
Kean terkejut. "Berarti ... ini disengaja?"
Alucard mengangguk. "Kita berpencar. Cari siapa saja yang bisa diselamatkan. Kemungkinan kejadian ini berkaitan erat dengan campur tangan iblis."
"Aku akan cari cara untuk memadamkan api," usul Kean mengambil arah berbeda dari Alucard.
Keduanya pun berpisah, mempersiapkan senjata masing-masing untuk menghadapi iblis yang akan ditemui. Alucard telah mengeluarkan pedang dari sarungnya, berlari, mencari sembari menghindari jilatan api. Semakin lama ia dapat menerka apa yang telah terjadi setelah melihat kondisi rumah-rumah yang terbakar tanpa tidak ada seorang pun yang tersisa.
"Dasar iblis biadab!" umpatnya melihat darah-darah hanya membekas di bagian depan rumah. "Mereka membawa para Elf!"
Alucard tersontak mendengar suara ledakan. Ia pun mempercepat langkah menuju suara itu berasal. Namun ia bertemu dengan beberapa iblis yang tengah mencari. Mereka menyadari kehadiran Alucard, mengerang saat akan menyerang. "Curt, kah?" Tetapi Alucard bertindak lebih cepat. Dengan beberapa tebasan kuat, ia mengalahkan para iblis tersebut.
Ledakan lain terdengar. Tanpa mengulur waktu, Alucard berlari terus ke depan. Darahnya mendidih kala melihat satu curt bertubuh dua kali lebih besar dari curt biasa. Emosinya berkecamuk melihat curt itu mempermainkan Leonin kecil yang tidak berdaya. Ia memperbesar langkah, melayangkan pedangnya dari bawah hingga ke atas. Pedangnya membelah curt itu menjadi dua bagian sama rata.
Leonin kecil itu tersungkur ke tanah. Alucard segera menghampirinya. "Hei, apa kau bisa mendengar suaraku?" Ia memastikan kesadaran Leonin itu, menyadari lengannya telah terluka oleh sengatan ekor curt. Wajahnya telah pucat pasi, efek dari racun yang telah menyebar ke seluruh tubuh, mematikan sistem imun. Ia pun membopong Leonin kecil itu.
"Leonin?" Ini kali pertama Alucard melihat ras kuno yang sangat langka ditemui. Mereka bertubuh setengah dari manusia pada umumnya, memiliki kaki dan tangah sama dengan manusia, bedanya mereka memiliki ekor seperti kucing dan dua telinga berbulu di atas kepala.
Alucard menyapu pandangan, menemukan satu sosok Leonin lain yang terbaring tidak jauh. Ia sudah tua dan memiliki bekas luka lebih banyak. Sayangnya denyut nadinya sudah tidak ada. "Berarti tinggal anak ini saja."
Genggaman pada pedang semakin erat. Kekesalan dan penyesalan yang membuncah bertumpuk dalam dada. "Harusnya kami datang lebih cepat." Ia yakin jika datang lebih cepat, atau tepat saat para iblis tiba, ia pastikan telah membunuh seluruh iblis yang menyerang dan para leonin terselamatkan.
"Alu!" Kean berlari menghampirinya. "Kondisi di sini semakin para—dia tidak apa?" Ia sadar dengan kondisi Leonin yang digendong Alucard. "Gawat! Jika dibiarkan nyawanya tidak akan selamat!"
Alucard mengangguk setuju. "Kita harus membawanya keluar."
"Tidak akan sempat menyelamatkannya," sanggah Kean. "Setidaknya kita pergi jauh dari kebakaran ini. Setelah itu biar kuurus mengeluarkan racunnya." Ia merobek lengan bajunya sendiri, menjadi tali yang diikatkan ke lengan Leonin agar racunnya tidak menyebar terlalu jauh.
"Kau yakin bisa?"
Kean mengangguk dengan serius. "Selain berlatih pedang, aku mempelajari beberapa ilmu medis. Ayo!"
Keduanya keluar, meninggalkan pemukiman yang hampir merata dengan tanah. Dalam perjalanan mengambil kuda, Kean mengatakan sumber air begitu jauh. Tidak ada cara memadamkan api selain membiarkannya padam sendiri. Ia juga mendengar suara ledakan dan pergi menemui Alucard. Saat itu ia terkejut melihat jasad iblis yang telah tercabik-cabik yang diyakini oleh pedang Alucard.
Mereka sudah cukup jauh dari lokasi kebakaran, memastikan api tidak sampai ke tempat mereka berhenti. Kean menunjukkan keahliannya. Leonin muda dibaringkan di tanah. Kean merobek lengan baju Leonin itu, memastikan berapa panjang sayatan yang diperlukan di lengan terkena racun tersebut. Darah pekat mengalir setelah pisau kecil menyayat lurus di lengan kecil itu. Kean menekannya agar darah yang terkena racun keluar lebih banyak. Leonin muda itu meringis. Alucard memegang tubuhnya agar tidak banyak pergerakan yang dapat menghambat pengobatan.
Kean mengeluarkan sebuah botol dari tas kecil yang terikat di pinggangnya. Baunya begitu menyengat saat penutupnya dilepas—membuat Alucard meringis pelan menciumnya. Isi botol itu dioleskan ke lengan Leonin yang terluka. Setelah tertutup oleh obat, ia kembali merobek lengan bajunya yang sebelah lagi untuk menutup luka.
"Setidaknya dapat menolongnya sampai kita tiba di Moniyan," ujar Kean menyelesaikan pengobatannya.
Alucard mengangguk paham. Ia tidak menyangka ada pemburu yang mempelajari medis seperti Kean. Karena selama ini pemburu hanya belajar caranya mengobati diri sendiri di saat genting. Tapi Kean tampaknya lebih mengenal—bahkan menyediakan obat—lebih dari sekedar yang diajarkan di pelatihan.
"Aku mengagumi keterampilanmu, Kean."
"Ibuku dulu seorang dokter. Sejak kecil aku sudah belajar ilmu medis dengan beliau, termasuk meracik obat sendiri," jawab Kean bangga.
"Dulu?" gumam Alucard iba.
"Yaah, Elf kucing ini baru kulihat. Namanya apa ya?"
"Leonin," jawab Alucard. "Ras yang langka."
"Apa anak ini punya nama?" tanya Kean heran.
"Mungkin." Alucard menggendong Leonin muda itu dengan hati-hati, dengan meletakkan tangan yang terluka lurus di atas tubuh. "Apa begini tidak masalah?" Ia mengkhawatirkan luka yang tertutup akan terbuka karena guncangan kuda nantinya.
"Aah, mungkin," jawab Kean ragu. "Asal sampai dengan cepat, tidak masalah."
"Kalau begitu kita bergegas."
Dengan bantuan Kean, Alucard naik ke kuda terlebih dahulu, lalu menerima tubuh Leonin muda itu didudukkan di depan. Keduanya mengendarai kuda masing-masing dengan kecepatan penuh, berharap dapat menyelamatkan satu-satunya nyawa Leonin yang tersisa.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top