Bab 3

Enchanted Forest merupakan tempat tinggal asli para Elf. Mereka menutup diri dari dunia, menjadikan hutan satu-satunya tempat teraman, surga yang tiada tara dari pada tempat tinggal manusia yang semakin lama semakin berpolusi. Bagi mereka manusia itu bukan makhluk berbahaya, tapi perusak lingkungan dengan mengatasnamakan pembaharuan, hal-hal baru dengan penemuan yang dapat merusak lingkungan. Karena itu mereka enggan berhubungan dengan manusia.

Para Elf menjaga dengan baik ekosistem yang hutan. Secara turun-temurun memeliharanya hingga Enchanted Forest tumbuh sangat lebat, dari luar terlihat bagai lautan hijau yang begitu pekat. Cahaya matahari tidak dapat menyinari tanahnya hingga di dalamnya sangat remang, karena itu tanahnya pun subur dan lembab.

Hanya saja satu musuh mereka. Tidak lain ialah para iblis dari Dark Abyss—yang juga dikenal sebagai abyssal. Hal ini juga karena jalur masuk ke tanah terkutuk itu ada di salah satu ujung hutan. Mereka yang berhasil menyelinap keluar selalu menjarah hutan agar mendapat kunci untuk membuka lebar gerbang Dark Abyss menuju Land of Dawn. Abyssal saat ini mulai agresif bergerak demi membebaskan pemimpin tertinggi mereka, Raja Kegelapan. Kononnya, kunci tersebut dipegang oleh salah satu ras Elf yang tinggal di Enchanted Forest. Karena para iblis tidak tahu ras mana, seluruh daerah hutan mereka obrak-abrik, mencari dengan jalur kekerasan.

"Yang selalu kutanya dalam hati, kenapa Yang Mulia Thamuz tidak pernah menyebutkan bentuk kunci itu seperti apa."

"Mana kutahu! Yang penting cari dan bereskan para Elf."

"Seenggaknya ada gambaran gitu. Jadi gak ribet nyarinya."

"Mana kutahu! Pakai saja otakmu!"

"Memangnya kau tak punya otak apa? Nyuruh aku pikir sendiri?"

Dua iblis ras curt saling beradu mulut di balik semak-semak lebat. Tubuh mereka hampir mirip dengan manusia, tapi kulit mereka licin bagai ular, dengan kedua tangan tajam seperti cakar, kedua kaki seperti kucing. Ditambah yang mengerikan dari tubuh mereka ialah ekor yang panjang bagai kalajengking. Ujungnya sangat runcing, tajam, dan berisi racun yang mematikan.

"Aah, aku tahu kenapa Yang Mulia Thamuz tidak memberitahu." Curt yang tampak pintar itu menaikkan satu cakarnya seraya menunjuk langit. Itu karena di atas kepalanya telah tergambar jawaban yang memuaskan hati. "Dia sengaja tidak memberitahu kita!"

"Karena dia tidak tahu bentuknya gimana?" heran temannya.

Curt pintar itu menempelengi kepala si Curt bodoh. "Yang Mulia telah hidup selama beribu-ribu tahun, salah satu pemimpin yang ada dalam peperangan lama. Mana mungkin dia tidak tahu. Kau itu bodoh sekali!"

Curt bodoh bersungut-sungut. "Kalau begitu coba jelaskan padaku kenapa Yang Mulia Thamuz tidak menciri-cirikan kunci itu?"

"Dia sengaja tidak memberi tahu supaya kita bisa mengamuk ke seluruh penjuru Enchanted Forest, bahkan menghancurkannya bila perlu agar menemukan kunci yang dimaksud! Aku rasa kunci itu bukan sebuah benda—kunci yang suka dipakai manusia untuk rumah mereka, bisa jadi itu sesuatu yang tidak bisa disentuh."

Curt bodoh hanya bisa menganga mendengar penjelasan temannya yang pintar. Sekali lagi kepalanya kena pukulan ringan.

"Contohnya, ini ... daun ini bisa kita sentuh, kan? Nah, kunci itu bisa kita sentuh. Tapi yang kita cari itu bukan benda yang bisa disentuh. Mungkin sesuatu yang...." Curt pintar berpikir sejenak.

Curt bodoh menelengkan kepala. "Yang?"

"Entahlah! Bisa jadi sebuah kertas mantra agar dapat menghancurkan segel yang membelenggu akses masuk Dark Abyss."

"Hah! Kalau begitu aku mengerti! Jadi kita harus mencari 'kunci' untuk memecahkan segel, bukan?"

"Akhirnya kau pintar juga, kawan! Itu benar. Karena Elf tidak punya kunci seperti manusia. Dan lagi, yang kita tangani itu Elf. Para makhluk kecil yang dilimpah dengan sihir yang hebat."

"Tenang saja, kawanku! Para kerdil itu tidak ada tandingannya dengan sengatan ekorku ini!"

"Tentu saja. Kita lebih hebat dari mereka!"

Keduanya mendengar suara dengungan yang menjadi sinyal dari pemimpin mereka untuk bergerak.

"Ah, itu dia yang ditunggu-tunggu!"

"Akhirnya! Sendi-sendiku sudah pegal menunggunya. Ini waktunya membuat kekacauan."

"Cepat bergabung dengan Kapten Helcurt!"

Dua curt itu merangkak dengan cepat di antara semak-semak lebat menuju kelompok mereka. Hari ini mereka telah berencana untuk menyerang sebuah desa yang selama ini luput dari pandangan para iblis. Dari informasi yang sudah dikorek, ras Elf ini memiliki kunci yang dapat membuka pintu Dark Abyss. Setelah diberi aba-aba oleh sang kapten, segerombolan curt merangkak dengan cepat menuju lokasi target. Dark Forest.
.
.

.
.
Pandangan langit di sore hari bagaikan kanvas luas yang penuh dengan sapuan warna oranye. Warna yang sangat lembut memanjakan mata, tapi juga tampak sendu. Karena warna itu menjadi penanda bahwa malam akan segera tiba, membawa kegelapan yang menyelimuti seluruh alam. Begitu yang ada dalam cerminan kedua bola mata Elfcat Leonin muda yang sedang duduk di atas dahan tertinggi yang ada di Dark Forest.

Dulu ia berpikir sore adalah penanda bahwa ia harus segera pulang, jika tidak akan dimarahi sang kakek. Ia kesal dengan kedatangan sore karena waktu bermainnya sudah habis. Tapi kini ada satu alasan lain yang membuatnya tidak suka dengan sore hari. Suatu hari, beberapa bulan lalu, salah satu teman sepermainannya pergi untuk memulai petualangan. Saat itu di sore hari, perpisahan yang begitu mendadak dan singkat. Ia menyesal tidak dapat meyakinkan anak perempuan itu agar tidak pergi.

"Nana...."

Sebutir apel yang dipetik saat siang hari itu utuh dalam genggamannya. Warnanya sangat merah dan aroma ranum yang begitu menggiurkan. Ia tebiasa memetiknya setelah berlatih, tapi kali ini tidak tertarik memakannya. Apel itu akan diberikan pada kakeknya sebagai buah tangan setelah berlatih seharian. Iya, sejak Leonin bernama Nana itu pergi, ia semakin giat melatih sihir agar menjadi lebih kuat. Dengan begitu ia akan menggapai impian yang selama ini ditentang kakeknya. Yaitu suatu saat nanti dapat keluar dari Enchanted Forest, pergi ke Kerajaan Moniyan dan menjadi penyihir terkuat di sana. Namun begitu, emban yang dibebankan di kedua pundaknya itu membuatnya ragu. Suatu hari nanti ia harus menggantikan kakeknya memimpin dan melindungi ras mereka.

Tangan kanannya menompang dagu. "Pasti enak, ya, berpetualang?"

Ia kembali berhayal dapat bertemu dengan ras-ras lain yang ada di Land of Dawn, menambah pertemanan, mengenal sihir-sihir yang belum pernah ditemuinya. Ia tertawa kecil, kembali teringat teman sepermainannya itu. "Semoga Nana tidak mericuh di suatu tempat. Semua bisa berantakan."

Leonin muda itu berdiri. Sekali lagi menatap pohon-pohon yang hancur dalam sebuah lingkaran yang cukup besar dan tanah di sekitarnya agak curam. Andai saja hujan lebat selama seminggu tanpa henti, lubang itu bisa menjadi danau dangkal. Jika dilihat dari atas, pohon-pohon yang merata dengan tanah itu tampak seperti lubang pada Enchanted Forest. Sayangnya yang melakukan itu adalah Leonin bernama Nana.

Matahari semakin condong di barat. Leonin muda itu tahu waktunya untuk pulang. Ia melompat, menuruni dahan demi dahan dengan lincah. Begitu sampai di daratan, kecepatan larinya semakin bertambah. Dalam sekejap ia melewati perbatasan Dark Forest dengan Enchanted Forest. Tiba-tiba hidungnya mencium bau yang tidak sedap. Perasaannya mulai tidak tenang. Sembari berlari ia melirik kiri-kanan, mencari tahu dari mana datangnya bau itu. Semakin lama ia sadar itu adalah bau gosong.

"Ada kebakaran!" kagetnya. Larinya semakin cepat. Perasaannya semakin tidak nyaman setelah menelusuri bau itu berasal ada di jalurnya pulang. "Oh, tidak. Jangan!" Ia menerka hal buruk sedang terjadi di desanya. "Kakek...." Suaranya semakin gemetar. Bahkan ia tidak sadar apel dalam genggamannya terjatuh, tergelincir sampai ke lubang kelinci. Bagi makhluk kecil itu adalah rezeki yan tidak terduga, tapi Leonin muda tidak peduli. Pikirannya kacau menebak apa yang terjadi dengan rasnya kini.

Alucard menarik kekangan kuda. Tumpangan berkaki empat itu dipaksanya menghentikan langkah. Begitu pula Kean yang berhenti tepat di samping kirinya. Tanpa bertanya ia segera tahu ada yang tidak beres. Ia ikut mengadahkan pandangan ke mana mata Alucard terpaku. Asap mengepul pekat tidak jauh di depan mereka.

"Kita telat, Kean."

Tanpa aba-aba, Alucard memacu kudanya lebih kencang ke depan. Kean mengikutinya tanpa mengoceh. Ia mengerti maksud seniornya. Ada yang tidak beres di lokasi yang akan mereka tuju. Perlahan sayup-sayup terdengar jeritan malang dari para Elf meminta pertolongan.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top